Selasa, 30 Desember 2008

Menghukum Politisi KUNKER

Sumber : Opini KOMPAS Jatim, 24 Oktober 208

Salah satu penyakit lama anggota DPRD Jatim tak pernah sembuh dan bahkan sering kambuh adalah penyakit dan kebiasaan melakukan kunjungan kerja (Kunker). Penyakit yang menyakitkan perasaan masyarakat ini tak pernah sembuh total di tubuh DPRD Jatim. Meskinpun diprotes dan dikecam berbagai elemen masyarakat, tidak menyurutkan anggota DPRD Jatim untuk melakukan kegiatan Kunker ke luar negeri yang dinilai publik tak jauh dari nglencer.
Sudah sering kali kegaitan Kunker anggota DPRD Jatim bermasalah dan menjadi sorotan dan kecamanan publik. Namun semua itu sepertinya dianggap angin lalu. Bagaikan anjing menggongong kafilah tetap berlalu. Pada tahun 2007 lalu, salah satu kegiatan Kunker yang menjadi sorotan keras masyarakat Jatim adalah Kunker ke Belanda dengan dalih mencari hari Jadi Jawa Timur. Saat itu, Koalisi Masyarakat Anti Kunker DPRD mengecam dan bahkan membawa kasus Kunker tersebut ke Pengadilan Negeri Surabaya melalui Class Action, meskinpun akhirnya kalah di pengadilan.
Kini “kebiasan tak produktif” tersebut kembali diulangi pada akhir tahun anggaran 2008 ini. Menjelang akhir anggaran tahun 2008 ini, anggota DPRD ramai-ramai berencana melakukan kegiatan Kunker ke luar negeri. Setidaknya sudah ada tiga komisi yang sudah berancang-ancang memilih negara tujuan, sedangkan dua komisi lain masih berembuk. Perjalanan rencanannya dilakukan akhir Oktober dan awal November 2008 (Kompas Jatim, 10/10/2008).
Beberapa negara tujuan Kunker tersebut diantaranya adalah Komisi A yang membidangi Hukum dan Pemerintahan akan ke Helsinki, Finlandia dan Malaysia. Komisi B yang membidangi Ekonomi dan Pembangunan ke Australia. Sementara Komisi C yang membidangi Keuangan akan berkunjung ke Republik Rakyat China (RRC). Adapun anggaran yang tersedot untuk kegiatan Kunker 100 anggota dewan ini mencapai Rp 5 milyar, per anggota dialokasikan Rp 50 juta.
Masalah Kunker ini sepertinya sudah menjadi pesoalan dan penyakit tahunan DPRD Jatim. Ketika Kunker akan dilaksanakan sering kali menjadi polemik, bermasalah dan dipermasalahkan masyarakat. Mengapa demikian; Pertama, Manfaat dan urgensi Kunker tersebut. Pengalaman sebelumnya menunjukkan sudah beberapa kali anggota dewan melakukan Kunker ke luar negeri, tapi hasilnya nihil. Kunjungan tersebut hanya menghambur-hamburkan uang rakyat dan formalistik belaka, yakni memenuhi jatah dana Kunker tertera pada APBD. Bahkan Kunker kali ini menjelang tutup anggaran 2008, sehingga ada kesan Kunker ini hanya untuk menghabiskan anggaran. Kunkerpun tidak memberikan kontribusi berarti pada kinerja dewan, apalagi bagi peningkatan kualitas kesejahteraan hidup masyarakat.
Kedua, masalah transparansi dan akuntabilitas. Kunker seringkali dilakukan secara diam-diam tanpa ada publikasi dan tanpa sepengetahuan masyarakat. Perilaku ini semakin menunjukkan dugaan politik (suudhon politik) masyarakat bahwa kegiatan Kunker dewan sulit untuk dipertanggungjawabkan kepada publik., baik kegiatannya maupun anggarannya. Sehingga tak salah, jika Kunker dewan ini tak jauh beda dengan nglencer berjamaah. .
Anggaran untuk Kunker dewan ini setiap tahun terus mengalami kenaikan. Pada tahun 2004 total anggaran DPRD sebesar 68,98 milyar. Dari jumlah ini sebesar 47,43% atau sekitar 32,71 milyar dialokasikan untuk Kunker. Pada tahun 2005 anggaran DPRD sebesar 107,61 milyar, sebanyak 32,75% atau Rp 35,24 milyar untuk Kunker. Dan pada tahun 2006 dari total anggaran DPRD sebesar 94,48 milyar, 44,23% atau Rp 41,79 milyar dialokasikan untuk Kunker. Dan pada tahun 2007 ini anggaran DPRD Jatim mencapai Rp 93,55 milyar. Dari jumlah itu, sebesar Rp 32,24 milyar atau sekitar 34,24% dipakai untuk Kunker. Namun naiknya anggaran Kunker dewan ini, tidak sebanding dengan hasil yang di dapat. Anggaran Kunkernya jelas, namun hasilnya tidak jelas.
Anggaran Kunker dewan bergerak bagaikan deret ukur, sementara kinerjanya bergerak bagaikan deret hitung. Artinya besarnya anggaran yang dikeluarkan untuk kebutuhan Kunker tak sebanding dengan kinerja yang ditunjukkan anggota dewan selama ini. Baik kinerja legislasi, budgeting, maupun kinerja kontroling. Kinerja ketiga fungsi dewan tersebut dinilai masih jauh dari harapan masyarakat. Bahkan dewan sampai saat ini belum mampu berbuat banyak terhadap berbagai persoalan sosial-ekonomi masyarkaat Jatim, terutama terkait dengan pengentasan kemiskinan dan pengangguran yang angkanya terus merembet naik.

Menghukum Politisi Kunker
Kegiatan Kunker DPRD Jatim ini sungguh sangat kontras sekali dengan kondisi di Jatim saat ini. Di saat anggota dewan berambisi ramai-ramai Kunker ke luar negeri, pada saat yang sama Puluhan juta masyarakat Jatim bergelut dengan kemiskinan dan pengangguran. Mereka hidup di bawah gatis kemiskinan dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Masyarakat miskin (Maskin) saat ini tidak mampu membeli beras, minyak tanah, susu untuk anak balitanya, sulit mendapatkan pendidikan dan kesehatan murah apalagi gratis. Mereka hanya bisa bertahan hidup dengan makan aking, gaplek, hidup di tempat yang kumuh, jauh dari standart kesehatan. Kualitas hidup mereka sangatlah terancam.
Berdasarakan survey sosial-ekonomi nasional BPS Jatim menyebutkan saat ini jumlah penduduk miskin di Jatim sampai Maret 2007 tercatat 7,138 juta jiwa atau sekitar 18,93 persen dari total jumlah penduduk. Dan angka ini berpotensi melambung menyusul kenaikan harga BBM akhir Mei 2008 lalu. Selain itu juga, pertumbuhan ekonomi Jatim selama setahun ini suram. Bahkan dalam rapat paripurna penyampaian LKPJ gubernur 2007/2008 bulan lalu muncul data kemiskinan versi DPRD yakni mencapai 8 juta orang sementara versi Pemprop hanya sekitar 6,8 juta. Yang pasti, angka kemiskinan Jatim saat ini masih cukup tinggi. Di tengah keprihatinkan sosial-ekonomi masyarakat yang begitu parah ini, seharusnya mengundang simpatik dan empatik para anggota dewan terhormat. Kunker anggota dewan tersebut sungguh sangat menyakiti perasaan Maskin Jatim yang saat ini sedang berjuang untuk bertahan hidup.
Karena itu, menjelang Pemilu 2009 ini, sudah saatnya masyarakat Jatim untuk menghukum para politisi yang suka Kunker/nglencer, pertama hukuman sosial, yakni dengan menge-list beberapa anggota dewan suka nglencer, tak peduli dengan penderitaan masyarakat tersebut dan disebarluaskan kepada masyarakat. Kedua hukuman politis, yakni masukan para politisi Kunker tersebut dalam daftar hitam dan mengkampanyekannya ke masyarakat untuk tidak dipilih pada Pemilu 2009. Jangan Pilih Poltisi kunker...!

Implikasi Politis Putusan MK

Sumber : Opini Radar Surabaya, 29 Desember 2008


Pemilu 2009 dinilai akan menjadi pemilu yang lebih demokratis dibanding dengan Pemilu 2004. Ini menyusul keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan sistem penetapan caleg terpilih berdasarakan nomor urut sebagaimana yang diatur dalam Pasal 214 Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu legislatif dan menggantinya dengan sistem suara terbanyak. Sistem suara terbanyak dinilai lebih adil dan mendorong untuk para caleg untuk bekerja keras dan cerdas agar dapat dipilih oleh masyarakat pemilih. Caleg terpilih nantinya benar-benar orang yang dikenal masyarakat setempat dan akan memiliki kedekatan emosional dan politis antar rakyat dengan wakilnya di parlemen.
Selain itu, ada beberapa dampak politis yang positif atas keluarnya putusan MK tersebut di antaranya Pertama, putusan MK tersebut semakin mengukuhkan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945. Masyarakat pemilih diberi kebebasan untuk memilih caleg yang dikehendaki tanpa ada “intervensi politik” dari parpol. Caleg terpilih murni pilihan rakyat. Karena masyarakat pemilih akan tak sekedar memilih parpol, tapi yang lebih utama adalah memilih orang. Sistem ini hampir sama dengan sistem pemilihan distrik.
Kedua, putusan MK tersebut menegasikan atau meruntuhkan kekuasaan dan oligarkhi parpol. Dengan kata lain, kedaulatan dan kekuasaan parpol dalam menentukan caleg terpilih semakin kecil bahkan hilang. Prinsip vox populi vox dey, benar-benar tercemin dalam sistem suara terbanyak ini.
Ketiga, di tengah apatisme politik dan tingkat golput yang cukup tinggi, sistem suara terbanyak dinilai akan dapat meningkatkan partisipasi politik masyarakat (pemilih) dalam Pemilu 2009. Pilihan politik masyarakat tidak lagi “dijegal” dengan kehendak dan kepentingan politik parpol. Selama ini dengan sistem nomor urut, suara atau pilihan rakyat cenderung dikebiri oleh praktik politik oligarkhis dan kepentingan parpol. Caleg yang memiliki suara terbanyak dikalahkan caleg dengan suara sedikit namun berada di nomor urut terkecil. Dengan sistem suara terbanyak ini, masyarakat pemilih nantinya akan lebih bergairah dalam menentukan hak politiknya secara merdeka.
Keempat, sistem suara terbanyak dipastikan akan menjadikan pertarungan politk antar caleg dan parpol pada Pemilu 2009 akan semakin kompetitif dan ketat. Para caleg parpol akan berlomba-lomba dan bekerja keras mencari dan mencuri perhatian suara pemilih. Dalam konteks ini, rakyat akan menjadi raja, dialah penguasa sejati yang diburu banyak caleg. Meskinpun masyarakat sebagai pemegang kedaulatan dan pemilik suara yang sah, bukan berarti masyarakat bisa mengobral suaranya. Masyarakat dituntut untuk lebih rasional dan cerdas dalam menggunakan dan menentukan hak politiknya secara bertanggungjawab.
Kelima, putusan MK tersebut secara langsung maupun tidak langsung dapat memberi kontribusi bagi proses pendidikan politik rakyat yang lebih mencerahkan dan mencerdaskan. Ada semangat fair play di antara caleg, begitu juga ditataran pemilih. Karena suara caleg benar-benar pilihan dan kehendak rakyat. Caleg yang terpilih merupakan wujud dukungan besar dari masyarakat. Sementara caleg yang tak terpilih berarti belum mendapat dukungan dan kepercayaan dari masyarakat.
Keenam, putusan MK tersebut dinilai akan memberi keuntungan bagi caleg-caleg yang mengandalkan popularitas, seperti para caleg artis. Sehingga caleg-caleg artis merupakan salah satu caleg yang paling antusias menyambut putusan MK tersebut. Bagi caleg artis, dengan modal popularitas yang dimilikinya akan dapat meraih suara terbanyak atau kursi parlemen. Dengan kata lain, popularitas yang tinggi belum tentunya memiliki elektabilitas yangt tinggi pula. Karena itu, popularitas tidak cukup, tentunya harus dibarengi dengan kapabilitas, kredibilitas, kompetensi, dan track record caleg.

Politik uang marak.
Harus diakui, selain memberikan dampak politis yang positif, juga dinilai akan memberikan peluang negatif, diantaranya adalah Pertama, putusan MK tersebut akan menguntungkan para caleg yang memiliki modal kapital yang besar. Dengan sumber kapital yang banyak, si caleg bisa secara leluasa mencari dan memburu suara pemilih. Uang yang banyak akan dimanfaatkan dan digunakan semaksimalkan mungkin agar dirinya terpilih, salah satunya dengan membeli suara pemilih dengan tumpukan uang. Dengan kata lain, praktik politik uang akan semakin marak dan menjamur. Namun demikian, dalam sisi ini, masyarakat dituntut untuk menggunakan hak politiknya secara rasional, cerdas dan bertanggung jawab. Hak politik rakyat jangan sampai digadaikan dengan iming-iming rupiah yang ditawarkan para caleg.
Masyarakat pemilih harus berfikir money politic adalah racun bagi dirinya dan bangsa ini. Para caleg yang mengandalkan politik uang nantinya jika terpilih akan berperilaku lebih ganas bak predator yang bisa menghisap uang rakyat lebih banyak. Jika sudah menjadi anggota dewan, dalam pikirannya akan muncul bagaimana uang ratusan juta yang telah dikeluarkan bisa balik, bahkan kalau perlu bisa lebih. Para caleg model ini akan “menghalalkan segala cara” dalam meraih keuntungan politik dan ekonomi ketika sudah duduk menjadi wakil rakyat. Karena itu, ambil uangnya, jangan pilih orangnya.
Kedua, Putusan MK tersebut dinilai akan merugikan caleg perempuan. Kuota 30 persen dinilai sia-sia, karena dengan sistem suara terbanyak, semua caleg (laki-laki dan perempuan) bersaing setara, tidak ada perlakuan khusus secara gender. Caleg perempuan dengan nomor urut terkecil/topi tidak menutup kemungkinan akan terancam dengan caleg-caleg laki-laki yang berada di nomor urut besar atau sepatu. Apalagi sumber politik, kapital yang dimiliki perempuan kalah dibanding laki-laki. Dengan kata lain, representasi politik perempuan di parlemen akan terancam.
Namun demikian, sisi negatif dari putusan MK tersebut, bisa diminimalisir dengan meningkatkan kapabilitas, kredibilitas, akseptabilitas para caleg. Selain itu, para caleg dituntut untuk lebih banyak bergaul dan berkomunikasi secara intensif dengan masyarakat pemilih. Dan bisa mencuri hati pemilih. Dengan demikian, kedepan, Pemilu di Indonesia bisa akan berjalan lebih berkualitas dan demokratis. Suara dan kedaulatan rakyat benar-benar tercermin dalam proses politik (pemilu).

Senin, 29 Desember 2008

Rendanya Kinerja Legislasi DPRD Jatim

Sumber : Opini KOMPAS Jatim, 19 Desember 2008



Dalam rapat persiapan pelaksanaan Program Legislasi Daerah (Prolegda) 2009 oleh panitia legislatif (Panleg) DPRD Jawa Timur terungkap, selama tahun 2008 ini DPRD hanya mampu mengesahkan 13 Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) menjadi Perda. Padahal, usulan dan Raperda yang sudah direncanakan sebanyak 38 Perda. Yang lebih ironis lagi, dari 13 Perda yang sudah digedok tersebut, hanya tiga perda yang berasal dari inisiatif dewan. Sisanya, 10 Perda adalah usulan dari pihak eksekutif (Kompas Jatim, 29/11/2008).
Salah satu indikator untuk mengukur kinerja legislasi dewan bisa kita lihat pada aspek kuantitas dan kualitas Perda yang dihasilkan. Pertama, berapa Perda yang sudah dihasilkan dewan selama ini atau setidaknya tahun 2008 ini dan kedua seberapa kualitas Perda yang dihasilkan dewan atau sejauh mana dampak dari Perda yang dihasilkan dewan terhadap peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat. Jika alat ukur ini dipakai untuk melihat kerja dan kinerja DPRD dalam bidang legilasi selama ini, maka bisa disimpulkan bahwa kerja dan kinerja legislasi DPRD Jatim sangat buruk. Apalagi jika di bandingkan dengan anggaran yang dialokasikan untuk setiap Raperda jumlahnya cukup besar dan didukung dengan anggaran untuk keperluan Kunjungan Kerja (Kunker) yang terkait dengan pembahasan setiap Raperda.
Seringkali pembahasan Raperda diikuti dengan kegiatan Kunjungan Kerja atau studi banding. Apologi Kunker atau Studi banding tersebut dimaksudkan untuk mencari masukan dan pembanding terkait materi yang sama dalam Raperda yang akan dibahas. Namun kegiatan Kunker atau Studi Banding ini pun tak berpengaruh positif terhadap materi dan proses pembahasan Raperda. Padahal, kegiatan Kunker menyedot anggaran cukup besar. Jika kita hubungan antara anggaran Kunker dengan kinerja dan produk legislasi yang dihasilkan, menurut saya, anggaran Kunker dewan bergerak bagaikan deret ukur, sementara kinerja legislasi bergerak bagaikan deret hitung. Artinya fungsi dan kinerja legisilasi dewan lebih lemah dari besarnya anggaran yang telah dikeluarkan. Pembahasan Raperda terus molor, tak pernah terselesaikan tepat waktu.

Anggaran Kunker DPRD Jatim 2004-2008
Tahun Anggaran Kunker
2004 32,71 Milyar
2005 32,24 Milyar
2006 41,79 Milyar
2007 32,24 Milyar
2008 33,91 Milyar
Sumber : data Parliament Wacth, diolah, 2008

Kesibukkan anggota dewan saat ini sudah tidak konsentrasi pada tugas-tugas dan kewajibannya untuk menyelesiakan tugas-tugas kedewanan dan amanah rakyat, terutama dalam tugas-tugas legislasi. Mereka lebih memilih berkosentrasi pada pencalonan kembali sebagai anggota dewan untuk Pemilu 2009 nanti. Karena, saat ini waktunya pencalonan dan kampanye Pemilu Legislasi 2009. Di tambah lagi, Pilgub Jatim “putaran III”. Sehingga praktis, anggota dewan bermalas-malas pada tugas-tugas kedewanan, sebaliknya mereka ramai-ramai dan bersemangat untuk aktivitas pemenangan Pemilu Legislatif 2009.
Dengan melihat fakta tersebut, kinerja legislasi DPRD dinilai masih sangat rendah. Apalagi target 38 Raperda yang harus diselesaikan sampai akhir tahun ini, saya berkeyakinan tak akan bisa diselesaikan. Dari segi kuantitas saja sudah bermasalah, apalagi kualitasnya, dipastikan akan lebih bermasalah. Anggaran dan Kunkernya jelas, tapi hasilnya tak jelas. Ini semakin menguatkan pendapat publik bahwa Kunker tak berkorelasi positif terhadap kerja dan kinerja legislasi DPRD Jatim.
Saya melihat, dalam perkara tugas dan kewajibannya sebagai anggota dewan, mereka dewan sepertinya bermalas-malasan, tapi ketika berurusan dengan hak (baca; hak ekonomi) sangat bersemangat dan berjuang sampai titik darah pengahabisan. Kasus PP 37/2006 dan dana jasa pungut (japung) adalah salah satu contohnya.

Kinerja Legislasi
Salah satu parameter yang dapat dipakai untuk mengukur keberhasilan otonomi daerah dan tingkat kesejahteraan masyarakat, yakni dengan melihat Perda yang telah dihasilkan oleh Pemda dan dampaknya terhadap kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Perda merupakan instrumen sekaligus pedoman yuridis bagi Pemda dalam menjalankan proses pembangunan daerah yang goal-nya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Produk Perda ini juga dapat juga dijadikan sebagai tolak ukur apakah proses pembangunan yang dijalankan Pemda itu berpihak pada kepentingan masyarakat atau tidak?.
Sebagai catatan, pada tahun 2003 lalu, Departemen Dalam Negeri pernah mempublikaskan ada sekitar 7.000 Perda yang dibuat Pemerintah propinsi/kab/kota –termasuk sebagiannya diproduksi dari Jatim- yang dinilai tidak layak diterbitkan bahkan dari jumlah tersebut 2.000 Perda direkomendasikan untuk dicabut karena tidak mendukung iklim usaha di Indonesia. Perda-perda tersebut cenderung lebih banyak berorientasi pada penggemukkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan dinilai sangat memberatkan pengusaha sehingga menjadi kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah. Perda-perda tersebut juga dinilai sangat memberatkan masyarakat.
Dari segi kuantitas saja bermasalah, apalagi dari segi kualitas. Materi dan substansi dari Raperda yang ada tidak berkolerasi positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bahkan tidak sedikit Raperda yang ditolak oleh masyarakat. Dengan melihat fakta tersebut, kinerja legislasi DPRD Jatim masih sangat rendah.
Otonomi daerah yang diharapkan dapat mendekatkan aspirasi dengan kebijakan, dan lebih dari itu tingkat kesejahteraan masyarakat semakin meningkat, namun justru sebaliknya, yang semakin sejahtera para elitnya. Oleh karena itu, mulai saat ini masyarakat harus mulai menge-list anggota-anggota dewan yang berkinerja rendah; malas, tak pernah hadir pada rapat dewan, terindikasi kasus KKN dan moral, dan lebih mementingan kepentingan sendiri. Anggota dewan dengan karakter seperti ini sudah saatnya tidak dipilih kembali pada Pemilu 2009 nanti. Anggota dewan seperti ini, tidak saja akan menjadi beban sosial, politik, dan ekonomi bagi lembaga dewan, tapi juga bagi masyarakat Surabaya. Jangan polih politisi bermasalah..!

Selasa, 02 Desember 2008

Gubernur Baru dan Agenda Kemiskinan

Sumber : Opini Radar Surabaya, 16 November 2008

Pemilihan gubernur dan wakil gubernur (Pilgub) Jatim telah digelar. Berdasarkan perhitungan resmi manual KPU Jatim perolehan suara pasangan Soekarwo-Saefulloh Yusuf (Karsa) unggul dengan: 7.729.944 suara atau 50,20 persen sementara pasangan Khofifah Indarparawansa-Mudjjiono (Kaji) memperoleh 7.669.727 atau 49,80 persen. Selisih suara keduanya sebesar 60.233 suara atau 0,4 persen.
Gubernur terpilih, pasangan Karsa sudah dihadapkan pada berbagai problem Jatim yang harus segera digarap dan diselesaikan. Salah satu problem jatim yang harus mendapat perhatian lebih dari gubernur terpilih adalah masalah pengentasan kemisikinan. Mengingat problem yang satu ini sudah cukup mengkhawatirkan. Masalah kemiskinan dan pengangguran masih menjadi problem serius Jatim saat ini.
Meskinpun berbagai program pengentasan kemiskinan di Jatim ini digalakan dan digrojok dengan anggaran cukup besar, namun angka kemiskinan di Jatim masih cukup tinggi. Hal ini diperkuat dengan fakta di lapangan masih sulitnya masyarakat miskin kita mendapatkan kebutuhan dan pelayaan dasar; seperti pendidikan dan kesehatan. Masyarakat miskin juga sulit membeli beras dan terpaksa makan apa adanya, minyak tanah, susu untuk anak balitanya. Apalagi saat ini, menyusul kenaikan harga BBM akhir Mei lalu sebesar 28,6%, angka kemiskinan Jatim dipastikan akan melambung.
Berbagai kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam mengentaskan dan mengurangi angka kemiskinan di Jatim genjar dilakukan. Beberapa program pengentasan kemiskinan yang ada di Jatim di antaranya adalah PAMDKB, RASKIN, BOS, Jaring Pengaman Ekonomi-Sosial (JPES), ASKESKIN, Gerdu Taskin, Rehabilitasi Sosial Daerah Kumuh (RSDK) dan yang terbaru Program Keluarga Harapan (PKH). Semua itu dimaksudkan untuk mengurangi angka kemiskinan di Jatim.
Dilihat dari sisi anggarannya, program Gerdu Taskin misalnya setiap tahun dianggarkan sebesar Rp 40 milyar. Total anggaran selama lima tahun 2003-2008 mencapai Rp 200 milyar. Program PAMDKB tahun 2006-2007 dianggarankan sebesar Rp 450 milyar, dan JPES tahun 2007-2008 dianggarkan sebesar Rp 150 dan PKH di anggarkan 800 milyar. Banyaknya program dan besarnya anggaran tersebut ternyata tak berkorelasi positif terhadap penurunan angka kemiksinkan di Jatim.
Berdasarakan survey sosial-ekonomi nasional BPS Jatim menyebutkan saat ini jumlah penduduk miskin di Jatim sampai Maret 2007 tercatat 7,138 juta jiwa atau sekitar 18,93 persen dari total jumlah penduduk. Dan angka ini berpotensi melambung menyusul kenaikan harga BBM akhir Mei 2008 lalu. Selain itu juga, pertumbuhan ekonomi Jatim selama setahun ini suram, karena masalah lumpur Lapindo sampai saat ini belum selesai. Bahkan dalam rapat paripurna penyampian LKPJ gubernur 2007/2008 bulan lalu muncul data kemiskinan versi DPRD yakni mencapai 8 juta orang, sementara versi Pemprop hanya sekitar 6,8 juta. Yang pasti, angka kemiskinan Jatim saat ini masih cukup tinggi.
Selain melambungkan angka kemiskinan di Jatim, kenaikkan harga BBM juga akan semakin menambah beban masyarakat yang sampai saat ini masih juga menanggung beban krisis ekonomi. Dan keluaga miskin (Gakin) merupakan kelompok sosial yang paling awal terkena dampak kenaikkan harga BBM ini. Kehidupan sosial-ekonomi masyarakat semakin susah. Jangankan mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik, yang didapat justru kehidupan Gakin semakin terpuruk. Mereka menilai kebijakan tersebut hanya semakin menyengsarakan dan memiskinkan kehidupan masyarakat. Keluarga yang sebelumnya belum miskin berubah menjadi miskin, yang sudah miskin berubah menjadi semakin miskin. Di tengah kemiskinan masyarakat yang semakin merebak dan meluas ini, sangat berpotensi pada berbagai kerawanan sosial seperti kriminalitas sosial.

Peduli Wong Miskin
Dengan melihat realitas sosial (baca: kemiskinan) tersebut, masyarakat sangat menunggu gebrakan politik gubernur terpilih dalam 100 hari kerjanya. Masyarakat akan melihat, apakah gubernur terpilih memliki komitmen yang tingi terhadap janji-janji politiknya, terutama terhadap program pengentasan kemiskinan di Jtaim. Seperti kita ketahui, pada saat kampanye putaran I, hampir semua cagub-cawagub mengusung tema-tema peduli wong cilik, terutama masalah pengentasan kemiskinan. Para cagub-cawagub sangat begitu fasih dan bersemangat ketika menguarakan masalah kemiskinan di hadapan masyarakat.
Nah, setelah menduduki kursi empuk L-1 Jatim ini, apakah semangat yang terpancar dalam kampanye di berbagai daerah ini akan tercermin dalam menjalankan roda pemerintahan nanti. Komitmen awal gubernur-wakil gubernur terpilih nanti, setidaknya akan terlihat pada pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) 2009. Dalam APBD 2009 berapa alokasi anggaran yang yang diperuntukkan untuk program pengentasan kemiskinan dan pengangguran di Jatim. Dan tidak hanya itu, sejauh mana anggaran yang telah dialokasikan dan program yang telah dibuat bisa direalisasikan tepat sasaran. Indikator keberhasilan agenda kemiskinan ini adalah gubernur terpilih mampu menurunkan angkan kemiskinan Jatim setiap tahunnya. Dan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat semakin terangkat.
Isu kemiskinan dan pengangguran yang kerap kali dijadikan tema kampanye Pilkada hanya dijadikan alat penarik simpatik sesasat untuk meraup suara rakyat, tapi setelah duduk empuk di kursi kekuasaan, tidak sedikit pada kepala daerah lupa dengan nasib orang miskin. Terbukti, munculnya kelaparan dan gizi buruk di beberapa daerah di Jatim kurang mendapatkan perhatian dan pelayanan yang memuaskan.
Ini menjadi ujian politik gubernur terpilih. Jangan sampai mudah dikendalikan “phak ketiga” atau para penyandang dana kampanyenya, atau para pengusaha yang membantunya melancarkan ke Grahadi. Dengan kata lain, gebernur terpilih menjadi “boneka ekonomi” yang mudah dikendalikan sang sutradaranya/pengusaha, dengan dalih jasa atau kompensasi politik ekonomi karena ikut memenangkan dalam Pilgub.

Pilgub Jatim; Menguji Kedewasaan Politik Elite

Sumber : Opini KOMPAS Jatim, 25 November 2008


Pada awal kampanye lalu, kedua pasangan yang lolos putaran II Pilgub Jatim, Khofifah Indarparawansa-Mudjiono (Kaji) dan Soekarwo-Saefulloh Yusuf (Karsa) sudah berkomitmen di atas kertas dan melakukan deklarasi untuk “Siap Menang-Siap Kalah”. Setiap pasangan pasti mengaku siap menang, tapi apakah siap juga untuk menerima kekalahan?. Mengingat hasil rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Jawa Timur berbeda dengan hasil survey beberapa lembaga survey yang sebelumnya memenangkan pasangan Kaji.
Hasil rekapitulasi perhitungan resmi yang dilakukan KPUD menunjukkan pasangan Soekarwo-Saefulloh Yusuf (Karsa) menang dengan keunggulan tipis atas pasangan Khofifah Indarparawansa-Mudjjiono (Kaji). Pasangan Karsa memperoleh 7.729.944 suara atau 50,20 persen, sementara pasangan Kaji memperoleh 7.669.727 atau 49,80 persen. Selisih suara keduanya sangat tipis, yakni sebesar 60.233 suara atau 0,4 persen. Hasil rekapitulasi KPUD ini membalikan hasil beberapa survey yang dilakukan Lembagai Survey Indonesia seperti Lingkaran Survey Indonesia (LSI), yang memberi keunggulan pada Kaji dengan 50,76 persen, sedangkan Karsa memperoleh 49,24 persen dengan margin of error sebesar 1 persen. .
Atas hasil ini, pihak Kaji dengan tegas menolak hasil rekapitulasi KPU, kerena dinilai banyak terjadi kasus kecurangan dan berbagai pelanggaran yang dibiarkan Panitia Pengawas (Panwas). Pihak Kaji menyebut kasus kecurangan berupa penggelembungan suara Karsa di berbagai daerah di Jatim. Pihak Kaji mengklaim ada sekitar 160.000 suara Kaji yang hilang. Bahkan pihak Kaji menuntut adanya perhitungan atau Pilkada ulang., terutama di Madura
Sebagai tindak lanjutnya, pihak Kaji akan membawa kasus kecurangan Pilgub Jatim ini ke jalur hukum, yakni melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan tidak hanya itu, Khofifah akan mengirim surat protes atas praktik demokrasi yang dinilai cacat ini ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pihak KPUD Jatim saat ini masih belum menetapkan pasangan Karsa sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih dan akan menunggu proses gugatan hukum pasangan Kaji di MK. Dan ini adalah cara yang paling elegan. Sengketa Pilkada diselesiakan melalui jalur hukum, tidak dengan cara-cara jalanan (baca: jalur ekstraparlementer). Semua pihak untuk menahan diri dan menghormati proses hukum yang ada. Dan semua pihak pun harus menghormati dan menerima dengan lapang dada (legowo) hasil dan putusan apapun yang dikeluarkan MK.
Kita berharap salah satunya nanti bisa bersikap dan bertindak seperti McCain yang pada Pemilu Amerika Serikat lalu (4/11/2008), dimana McCain yang kalah atas Barack Obama mampu bersikap jentelmen atau bersikap legowo. Bahkan McCain, pasca kekalahan tersebut langsung menelpon Obama dan mengucapkan selamat atas kemenangannya. Tidak itu saja, McCain juga memuji kharisme dan kemampuan politik Obama dalam menarik simpatik warga AS. Dengan kata, budaya politik berdemokrasi “siap menang-siap kalah” tidak hanya jargon politik semata, tapi benar-benar ditunjukkan dalam sikap, perilaku dan tindakannya.

Kedewasaan elit Politik
Proses gugatan hukum sengketa Hasil Pilgub Jatim ini akan menjadi ujian politik kedua pasangan, bagaimana kedewasan politik kedua pasangan dalam menghadapi putusan hukum MK yang nantinya bersifat mengikat dan final. Kita berharap kasus Pilgub Maluku Utara tidak terjadi di Jatim, lantaran salah satu pasangan tidak atau belum mau menerima kenyataan politik yang ada. Bagaimanapun juga sikap elit partai atau cagub akan sangat berpengaruh pada sikap politik dan reaksi pendukung atau konstituennya.
Untuk menenangkan suasana Jatim yang semakin memanas, pasangan calon dan tim suksesnya dituntut bersikap jentelmen dan menenangkan para pendukung dan simpatisannya untuk bersikap tenang dan siap menerima apapun keputusan hukum dari MK. Kita harus belajar praktik demokrasi di Amerika Serikat. Salah satu pasangan –yang kalah- , nantinya kita harapkan bisa bersikap seperti McCain pasca kekalahan di Pemilu 4 November lalu. Saat itu, McCain tak hanya legowo menerima kekalahan, tapi lebih dari itu McCain berpidato di hadapan puluhan ribu pendukungnya di pusat kota dan mengatakan ucapan selamat kepada Obama dan menyerukan kepada pendukungnya untuk menerima kekalahan serta mendukung kemenangan Obama. Kemenangan Obama adalah kemenangan seluruh warga AS.
Demokrasi politik kita tidak hanya sekedar demokrasi prosedural semata, tapi demokrasi kita harus melahirkan sikap dan perilaku demokrat, yakni sikap dan perilaku yang menujunjung tinggi semangat dan prinsip-prinsip dalam hidup berdemokrasi, termasuk sikap dan budaya siap menang dan siap kalah. Masyarakat Jatim jangan sampai menjadi korban politik atas ketidak-legowo-an para elt politik dalam menerima kekalahan. Masyarakat Jatim sudah mengeluarkan uang hampir setengah triliun rupiah untuk menggelar hajatan lima tahunan tersebut. Uang setengah triliun rupiah tersebut hanya akan menjadi debu yang tak berbekas, akibat kekacauan politik yang disebabkan nihilnya kedewasaan politik elit-elit politik kita dalam menerima kekalahan
Sungguh indah kehidupan politik dan berdemokrasi kita, jika sikap, perilaku dan suasana politik seperti di AS bisa dilakukan oleh pasangan cagub-cawagub Jatim. Kedewasaan politik elit ini sangat dibutuhkan bangsa ini dalam membangun kehidupan politik dan demokrasi yang lebih baik dan berkualitas untuk kesejahteraan masyarakat. walluhu ‘alam.

Menjaga Konsisitensi KPK

Sumber : Opini Republika,12 November 2008

Sikap berani kembali ditunjukkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani kasus korupsi di Indoensia, terutama terkait dengan kasus korupsi penarikan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp 100 milyar yang melibatkan para petinggi Bank Indonesia. Setelah publik menunggu, akhirnya KPK menetapkan mantan deputi gubernur BI yang juga sekaligus besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Aulia Pohan sebagai tersangka. Aulia menyusul petinggi BI yang lainnya yang sudah menjadi pesakitan yakni, mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdulllah (sudah divonis pengadilan Tipikor selama lima tahun), Oey Hoey Tiong, dan Rusli Simanjuntak.
Penetapan Aulia Pohan sebagai tersangka bisa dibilang cukup ”terlambat”. Mengapa baru kali ini dia ditetapkan sebagai tersangkan, tidak berbarengan dengan ketiga terdakwa lainnya. Seharusnya Aulia Pohan sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak proses peradilan Burhanudiin, Oey Tiong, Rusli Simanjuntak berjalan. Karena berdasarkan fakta-fakta hukum dipersidangan, baik yang muncul dari para saksi dan penunutut umum, menyebut nama Aulia Pohan beberapa kali. Bahkan menurut Indonesia Corruption Wacth, nama Aulia Pohan disebut 114 kali.
Pihak KPK beralasan, bahwa KPK tidak mau gegabah dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Sebagaiamana yang dikatakan Ketua KPK Antasari Ashzar, bahwa penetapkan Aulia lebih didasarkan pada bukti-bukti hukum yang kuat untuk dilakukan penyidikan lebih lanjut. Bukan karena desakan publik atau asumsi yang kadang sulit dipertanggungjawabkan. KPK bekerja berdasar pada profesionalisme hukum.
Terlepas dari semua, langkah hukum KPK ini patut diapresiasi. Ini menunjukkan bahwa supremasi hukum masih berjalan, bukan lagi supremasi politik. Ini mengingat tersangka korupsi yang dihadapi KPK adalah bukan sembarangan. Dia (Aulia Pohan) adalah besan dari Presiden SBY. Jika ada “kemauan politik” dari SBY, bisa saja nasib hukum Aulia tidak seperti sekarang, jadi tersangka. Bahkan SBY sendiri, sebagai presiden menegaskan bahwa hukum harus ditegakkan kepada siapa pun. Ini sebagai komitmen awal dari SBY sendiri yang menjadi penegakkan hukum dan pemberantasan korupsi menjadi agenda utama dalam pemerintahannya, tidak akan intervensi dan menyerahkan besannya itu sepenuhnya kepada proses bukum. Terlepas dari “nada miring” dari publik yang menyebut sikap politik SBY untuk mencari simpatik publik jelang pemilu 2009. Namun, sikap politik SBY ini patut juga diaparesiasi.
Dalam konteks penegakkan hukum, penetapan Aulia Pohan tersebut menunjukkan KPK tidak melakukan tindakan diskriminatif atau “pandang bulu” sebagaimana yang sebelumnya dilontarkan sebagian orang. Hukum dalam konteks ini menjadi supreme dan otonom. Hukum berjalan sesuai dengan relnya. Tidak ada intervensi politik dari manapun dan siapapun. Baik dari istana maupun dari publik yang selama ini bersuara keras terhadap kasus korupsi BI ini.
Sikap tegas dan tak pandang bulu KPK sudah saatnya diikuti oleh para penegak hukum lainnya, terutama kejaksaan yang selama ini dianggap lamban dan kurang produktif dalam “menjaring” para tersangka korupsi untuk duduk di kursi pesakitan. Ada ratusan bahkan ribuan pejabat, mulai tinggi daerah sampai pusat, yang tersangkut kasus dugaan korupsi. Dan sebagian besar sudah ditangani kejaksaan, namun tidak sedikit sebagian dari para tersangka lolos dari jerakan kejaksaan.

Menjaga Konsistensi.
Setelah dijadikan tersangka, KPK akan aktif untuk melakukan menyidikan lebh lanjut minggu. Inilah ujian selanjtnya yang akan dihadapi KPK, apakah akan konsisten untuk membawa kasus Aulia ini sampai ke Pengadilan Khusus Tipikor. Dan Aulia sepertinya akan bernasib sama seperti keempat koleganyanya yang lain. Kecuali KPK mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan Perkara (SP3). Ini sangat sulit dan dalam sejarah KPK belum pernah ada kasus tindak pidana korupsi yang di SP3. Dengan kata lain, KPK bisa bersikap konsisten terhadap kasus Aulia dan para tersangka lainnya.
Selanjutnya, KPK diharapkan akan bekerja secara profesional dan konsisten. Tidak terpengaruh terhadap desakan publik atau tekanan politik dari manapun dan siapapun. Kini setelah menetapkan Aulia sebagai tersangka, gebrakan hukum lain dari KPK akan ditunggu publik, terutama terkait dengan calon tersangka lain yang berasal dari DPR. Saat ini baru dua orang anggota DPR RI yang ditetapkan sebagai tersangka, yakni Hamka Yandu, Anthoni Zedra Abidin.
Dalam persidangan Tipikor, fakta dan bukti-bukti hukum menunjukkan bahwa aliran dana BI sebesar Rp 35,5 milyar tidak saja dinikmati oleh kedua anggota dewan tersebut, tapi juga ke beberapa anggota dewan lainnya. Ini akan menjadi ujian hukum bagi KPK, apakah berani menyeret anggota dewan yang lainnya yang ikut menikmati uang haram tersebut menjadi tersangka?. Sampai sekarang sebagian anggota dewan tersebut masih bebas bebas berkeliaran. Belum tersentuh hukum.
Dengan logika sederhana, jika kepada Aulia (yang ada kaitannya dengan istana) saja bisa bersikap tegas, tentunya KPK bisa bersikap lebih tegas dan berani berhadapan dengan anggota dewan. Jangan sampai KPK mengkeret berhadapan dengan anggota dewan yang sebelumnya punya “jasa politik” atas terpilihnya Antasari dkk sebagai anggota KPK. Dan saya yakin, KPK bisa bersikap tegas dan lebih berani kepada anggota dewan yang lainnya yang belum dijadikan tersangka. Dan saya yakin, KPK tidak akan menggadaikan kasus hukum BI ini dengan jasa politik anggota dewan. Terlalu murah untuk dilakukan.
Kini, masyarakat tidak saja menunggu ketegasan para penegak hukum, termasuk KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi di negeri ini, tetapi lebih dari itu bagaimana penegakkan hukum bisa melahirkan keadilan hukum bagi masyarakat. Karena banyak kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara disidik dan dibawah persidangan, tapi sangat sedikit putusan hukumnya belum memenuhi rasa keadilan. Tidak sedikit kasus korupsi divonis ringan bahkan ketika ditangani hakim Pengadilan Negeri divonis bebas.
Karena itu, bagi masyarakat, penegakkan hukum penting, tetapi jauh lebih penting adalah bagaimana penegakkan hukum bisa melahirkan keadilan hukum bagi masyarakat. Wallahu ‘alam.

Kamis, 06 November 2008

Menyehatkan Birokrasi Pemprop Jatim

Sumber : Opini Radar Surabaya, 28 Oktober 2008

Gerak reformasi saat ini sudah berjalan satu dekade. Ada perubahan yang cukup mendasar dalam kehidupan berpolitik dan berdemokrasi kita. Namun, ada satu aspek yang belum tersentuh secara mendasar oleh arus reformasi, yakni reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi bergerak bagaikan kura-kura, sangat lambat. Dan bahkan ada yang menilai stagnan dan tidak produktif. Belum ada perubahan yang signifkan dalam tubuh birokrasi kita. Harapan akan lahirnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa, bebas KKN, memimjam istilah acara Metro TV; baru bisa mimpi.
Birokrasi kita sebagaimana dikatakan Dwight Y.King, ditandai oleh ciri-ciri sebagai berikut: mekanisme kerja yang tidak efisien, jumlah pegawai yang berlebihan, proses pelayanan yang lamban, tidak modern atau ketinggalan jaman, sering menyalahgunakan wewenang, tidak tanggap atas keragaman kebutuhan dan kondisi daerah setempat. Strukturnya gemuk, personilnyapun gemuk. Dampak dari hal ini sudah sangat terasa di bidang anggaran. Struktur APBD Jatim dengan angka berkisar 7o% habis dipakai untuk belanja rutin dan melayani birokrasi, sedang sisanya sekitar 30% untuk masyarakat lewat alokasi pembangunan. Itu berarti birokrasi kita lebih berfungsi sebagai kekuatan penyerap anggaran (baca: pemborosan) ketimbang sebagai pengatur dan pelayan masyarakat
Obesitas birokrasi bagaikan orang gemuk dengan kolesterol tinggi. Orang yang mengidap obesitas, potensi penyakitnya lebih besar, tak mampu berlari cepat karena memang keberatan badan, dan kalau bersaing lari misalnya pasti kalah. Jangankan untuk lari, berjalan saja seperti kura-kura, sangat lambat. Dan butuh biaya besar untuk membiayai penyakit akibat obesitasnya itu. Model birokrasi semacam ini secara finansial hanya mengambur-hamburkan APBD dan lebih dari itu model birokrasi macam itu sangat tidak produktif.
Performance birokrasi sebagaimana digambarkan di atas terjadi di birokrasi Pemerintah Propinsi Jatim saat ini. Meksinpun sudah ada kebijakan perampingan birokrasi sebagaimana yang diamanatkan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007, namun perampingan tersebut masih sebatas struktur dan itu sifatnya sangat terbatas. Reformasi birokrasi belum terlalu menyentuh para aspek personil. Terutama yang saat ini sedang disorot anggota DPRD Jatim, yakni masalah masih dipertahankannya para pejabat tua atau udzur dalam jabatan-jabatan sratategis di lingkungan birokrasi Pemprop Jatim. Dan wajah birokrasi sebagaimana digambarkan King diatas disebabkan salah satunya karena masih dipertahankannya para pejabat udzur yang miskin kinerja dan prestasi.
Sebagaimana diungkapkan Komisi A DPRD Jatim, saat ini di lingkungan birokrasi Pemprop ada sekitar 30 pejabat udzur atau tua. Mereka sudah memasuki masa pensiun, yakni berusia 56 tahun dan bahkan sudah mendapatkan perpanjangan, namun tetap saja dipertahankan menduduki jabatan-jabatan strategis. Para pejabat tua tersebut tersebar di berbagai dinas, badan, biro dan memiliki eselon I, II dan III (Radar Surabaya, 12/9/2008).
Beberapa pejabat udzur tersebut di antaranya adalah Plt Sekretasris daerah Propinsi Jatim, Chusnul Arifin Damuri, Kepala Dinas P dan K, Drs. Rasiyo, M.Si, Asisten II yang di jabat Chaerul Djaelani, Asisten III Subagyo, Kepala Disnaker Bahrudin, Kepala Bappemas Soeyono, Kepala Biro Mental Thoriq Afandi, Kepala Biro Umum M. Amin, dan Kepala Biro Kepegawaian yang di jabat M.Munir. Para pejabat tersebut saat ini masih “digandoli” gubernur untuk dipertahankan.

Miskin Kinerja dan Prestasi
Padahal jika di lihat dari sisi kinerja dan prestasi, para pejabat udzur tersebut tidak memiliki kelebihan dan keunggulan apalagi prestasi yang signifikan. Selama menjabat, tak ada kemajuan dan prestasi yang bisa dibanggakan. Sebut saja misalnya, Kelapa Disnaker yang saat ini dijabat Bahrudin. Selama menjabat, Bahrudin belum mampu menekan angka pengangguran di Jatim. Angka pengangguran masih cukup tinggi, yakni sekitar 3-4 juta orang. Tingginya angka pengangguran ini, salah satunya terkait dengan absennya kesempatan dan lapangan kerja baru. Dan absennya lapangan kerja karena tak ada investasi.
Selain masalah pengangguran, angka kemiskinan Jatim juga masih cukup tinggi yakni sekitar 7,1 juta orang. Dan masalah ini adalah tanggng jawab Dinas Pemberdayaan Masyarakat (Bappemas), sebagai leading sektornya. Selama lima tahun terakhir ini, tak ada prestasi yang membanggakan dari kepala Bappemas dalam mengentaskan atau mengurangi angka kemiskinan di Jatim, justru angka kemiskian setiap tahun terus mengalami kenaikan. Begitu juga dengan pejabat-pejabat yang menduduki dinas, biro, badan yang lainnya. Kinerja dan prestasi mereka tidak terlalu signifikan bagi perubahan dan perbaikan kesejahteraan masyarakat Jatim.
Karena itu, sebenarnya tidak ada alasan apapun bagi gubernur misalnya, untuk mempertahankan para pejabat udzur tersebut, karena memang kinerja dan prestasinya sangat rendah. Sudah saatnya birokrasi di lingkungan Pemprop Jatim ini disehatkan kembali. Salah satunya dengan memberhentian para pejabat udzur tersebut dan menggantikannya dengan pejabat muda. Para pejabat tua tak saja miskin kinerja dan prestasi, tapi lebih dari itu jika terus dipertahankan hanya akan menjadi beban sosial-ekonomi bagi masyarakat dan Pemprop sendiri.
Akan sangat sulit diharapkan perubahan dan gerakan reformasi birokrasi di lingkungan Pemprop akan berjalan dengan baik dan menghasilkan output dan outcome yang signifikan bagi masyarakat jika diserahkan pada pejabat udzur atau tua. Di era birokrasi modern sekarang ini, kita sangat membutuhkan pemimpin-pemimin dan pejabat-pejabat baru yang lebih muda dan segar yang memiliki gagasan besar, kreatif, inovatif, dan progresif bagi kemajuan birokrasi dan masyarakat Jatim. Dan karakter semacam ini tidak ditemukan pada pemimpin atau pejabat tua, melainkan pemimpin dan pejabat muda. Pejabat tua cenderung berfikir lambat dan konservatif dan ini sangat menghambat kemajuan Jatim.
Karena itu, dalam konteks ini, gubernur Jatim harus bersikap tegas dan profesional dalam memilih dan menetapkan para pembantunya. Para pejabat udzur yang miskin kinerja dan prestasi sudah saatnya diberhentikan dan digantikan dengan pejabat-pejabat baru yang lebih segar. Dengan begitu, roda birokrasi bisa berjalan dengan maksimal dan produktif.

Menjaga Konsistensi KPK

Sumber : Opini Radar Surabaya, 6 November 2008

Sikap berani kembali ditunjukkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani kasus korupsi di Indoensia, terutama terkait dengan kasus korupsi penarikan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp 100 milyar yang melibatkan para petinggi Bank Indonesia. Setelah publik menunggu, akhirnya KPK menetapkan mantan deputi gubernur BI yang juga sekaligus besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Aulia Pohan sebagai tersangka. Aulia menyusul petinggi BI yang lainnya yang sudah menjadi pesakitan yakni, mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdulllah (sudah divonis pengadilan Tipikor selama lima tahun), Oey Hoey Tiong, dan Rusli Simanjuntak.
Penetapan Aulia Pohan sebagai tersangka bisa dibilang cukup ”terlambat”. Mengapa baru kali ini dia ditetapkan sebagai tersangkan, tidak berbarengan dengan ketiga terdakwa lainnya. Seharusnya Aulia Pohan sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak proses peradilan Burhanudiin, Oey Tiong, Rusli Simanjuntak berjalan. Karena berdasarkan fakta-fakta hukum dipersidangan, baik yang muncul dari para saksi dan penunutut umum, menyebut nama Aulia Pohan beberapa kali. Bahkan menurut Indonesia Corruption Wacth, nama Aulia Pohan disebut 114 kali.
Pihak KPK beralasan, bahwa KPK tidak mau gegabah dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Sebagaiamana yang dikatakan Ketua KPK Antasari Ashzar, bahwa penetapkan Aulia lebih didasarkan pada bukti-bukti hukum yang kuat untuk dilakukan penyidikan lebih lanjut. Bukan karena desakan publik atau asumsi yang kadang sulit dipertanggungjawabkan. KPK bekerja berdasar pada profesionalisme hukum.
Terlepas dari semua, langkah hukum KPK ini patut diapresiasi. Ini menunjukkan bahwa supremasi hukum masih berjalan, bukan lagi supremasi politik. Ini mengingat tersangka korupsi yang dihadapi KPK adalah bukan sembarangan. Dia (Aulia Pohan) adalah besan dari Presiden SBY. Jika ada “kemauan politik” dari SBY, bisa saja nasib hukum Aulia tidak seperti sekarang, jadi tersangka. Bahkan SBY sendiri, sebagai presiden menegaskan bahwa hukum harus ditegakkan kepada siapa pun. Ini sebagai komitmen awal dari SBY sendiri yang menjadi penegakkan hukum dan pemberantasan korupsi menjadi agenda utama dalam pemerintahannya, tidak akan intervensi dan menyerahkan besannya itu sepenuhnya kepada proses bukum. Terlepas dari “nada miring” dari publik yang menyebut sikap politik SBY untuk mencari simpatik publik jelang pemilu 2009. Namun, sikap politik SBY ini patut juga diaparesiasi.
Dalam konteks penegakkan hukum, penetapan Aulia Pohan tersebut menunjukkan KPK tidak melakukan tindakan diskriminatif atau “pandang bulu” sebagaimana yang sebelumnya dilontarkan sebagian orang. Hukum dalam konteks ini menjadi supreme dan otonom. Hukum berjalan sesuai dengan relnya. Tidak ada intervensi politik dari manapun dan siapapun. Baik dari istana maupun dari publik yang selama ini bersuara keras terhadap kasus korupsi BI ini.
Sikap tegas dan tak pandang bulu KPK sudah saatnya diikuti oleh para penegak hukum lainnya, terutama kejaksaan yang selama ini dianggap lamban dan kurang produktif dalam “menjaring” para tersangka korupsi untuk duduk di kursi pesakitan. Ada ratusan bahkan ribuan pejabat, mulai tinggi daerah sampai pusat, yang tersangkut kasus dugaan korupsi. Dan sebagian besar sudah ditangani kejaksaan, namun tidak sedikit sebagian dari para tersangka lolos dari jerakan kejaksaan.

Menjaga Konsistensi.
Setelah dijadikan tersangka, KPK akan aktif untuk melakukan menyidikan lebh lanjut minggu. Inilah ujian selanjtnya yang akan dihadapi KPK, apakah akan konsisten untuk membawa kasus Aulia ini sampai ke Pengadilan Khusus Tipikor. Dan Aulia sepertinya akan bernasib sama seperti keempat koleganyanya yang lain. Kecuali KPK mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan Perkara (SP3). Ini sangat sulit dan dalam sejarah KPK belum pernah ada kasus tindak pidana korupsi yang di SP3. Dengan kata lain, KPK bisa bersikap konsisten terhadap kasus Aulia dan para tersangka lainnya.
Selanjutnya, KPK diharapkan akan bekerja secara profesional dan konsisten. Tidak terpengaruh terhadap desakan publik atau tekanan politik dari manapun dan siapapun. Kini setelah menetapkan Aulia sebagai tersangka, gebrakan hukum lain dari KPK akan ditunggu publik, terutama terkait dengan calon tersangka lain yang berasal dari DPR. Saat ini baru dua orang anggota DPR RI yang ditetapkan sebagai tersangka, yakni Hamka Yandu, Anthoni Zedra Abidin.
Dalam persidangan Tipikor, fakta dan bukti-bukti hukum menunjukkan bahwa aliran dana BI sebesar Rp 35,5 milyar tidak saja dinikmati oleh kedua anggota dewan tersebut, tapi juga ke beberapa anggota dewan lainnya. Ini akan menjadi ujian hukum bagi KPK, apakah berani menyeret anggota dewan yang lainnya yang ikut menikmati uang haram tersebut menjadi tersangka?. Sampai sekarang sebagian anggota dewan tersebut masih bebas bebas berkeliaran. Belum tersentuh hukum.
Dengan logika sederhana, jika kepada Aulia (yang ada kaitannya dengan istana) saja bisa bersikap tegas, tentunya KPK bisa bersikap lebih tegas dan berani berhadapan dengan anggota dewan. Jangan sampai KPK mengkeret berhadapan dengan anggota dewan yang sebelumnya punya “jasa politik” atas terpilihnya Antasari dkk sebagai anggota KPK. Dan saya yakin, KPK bisa bersikap tegas dan lebih berani kepada anggota dewan yang lainnya yang belum dijadikan tersangka. Dan saya yakin, KPK tidak akan menggadaikan kasus hukum BI ini dengan jasa politik anggota dewan. Terlalu murah untuk dilakukan.
Kini, masyarakat tidak saja menunggu ketegasan para penegak hukum, termasuk KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi di negeri ini, tetapi lebih dari itu bagaimana penegakkan hukum bisa melahirkan keadilan hukum bagi masyarakat. Karena banyak kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara disidik dan dibawah persidangan, tapi sangat sedikit putusan hukumnya belum memenuhi rasa keadilan. Tidak sedikit kasus korupsi divonis ringan bahkan ketika ditangani hakim Pengadlan Negeri divonis bebas. Karena itu, bagi masyarakat, penegakkan hukum penting, tetapi jauh lebih penting penegakkan hukum bisa melahirkan keadilan hukum bagi masyarakat. Wallahu ‘alam.

Menghukum Politisi Kunker

Sumber : Opini KOMPAS Jatim, 24 Oktober 2008

Salah satu penyakit lama anggota DPRD Jatim tak pernah sembuh dan bahkan sering kambuh adalah penyakit dan kebiasaan melakukan kunjungan kerja (Kunker). Penyakit yang menyakitkan perasaan masyarakat ini tak pernah sembuh total di tubuh DPRD Jatim. Meskinpun diprotes dan dikecam berbagai elemen masyarakat, tidak menyurutkan anggota DPRD Jatim untuk melakukan kegiatan Kunker ke luar negeri yang dinilai publik tak jauh dari nglencer.
Sudah sering kali kegaitan Kunker anggota DPRD Jatim bermasalah dan menjadi sorotan dan kecamanan publik. Namun semua itu sepertinya dianggap angin lalu. Bagaikan anjing menggongong kafilah tetap berlalu. Pada tahun 2007 lalu, salah satu kegiatan Kunker yang menjadi sorotan keras masyarakat Jatim adalah Kunker ke Belanda dengan dalih mencari hari Jadi Jawa Timur. Saat itu, Koalisi Masyarakat Anti Kunker DPRD mengecam dan bahkan membawa kasus Kunker tersebut ke Pengadilan Negeri Surabaya melalui Class Action, meskinpun akhirnya kalah di pengadilan.
Kini “kebiasan tak produktif” tersebut kembali diulangi pada akhir tahun anggaran 2008 ini. Menjelang akhir anggaran tahun 2008 ini, anggota DPRD ramai-ramai berencana melakukan kegiatan Kunker ke luar negeri. Setidaknya sudah ada tiga komisi yang sudah berancang-ancang memilih negara tujuan, sedangkan dua komisi lain masih berembuk. Perjalanan rencanannya dilakukan akhir Oktober dan awal November 2008 (Kompas Jatim, 10/10/2008).
Beberapa negara tujuan Kunker tersebut diantaranya adalah Komisi A yang membidangi Hukum dan Pemerintahan akan ke Helsinki, Finlandia dan Malaysia. Komisi B yang membidangi Ekonomi dan Pembangunan ke Australia. Sementara Komisi C yang membidangi Keuangan akan berkunjung ke Republik Rakyat China (RRC). Adapun anggaran yang tersedot untuk kegiatan Kunker 100 anggota dewan ini mencapai Rp 5 milyar, per anggota dialokasikan Rp 50 juta.
Masalah Kunker ini sepertinya sudah menjadi pesoalan dan penyakit tahunan DPRD Jatim. Ketika Kunker akan dilaksanakan sering kali menjadi polemik, bermasalah dan dipermasalahkan masyarakat. Mengapa demikian; Pertama, Manfaat dan urgensi Kunker tersebut. Pengalaman sebelumnya menunjukkan sudah beberapa kali anggota dewan melakukan Kunker ke luar negeri, tapi hasilnya nihil. Kunjungan tersebut hanya menghambur-hamburkan uang rakyat dan formalistik belaka, yakni memenuhi jatah dana Kunker tertera pada APBD. Bahkan Kunker kali ini menjelang tutup anggaran 2008, sehingga ada kesan Kunker ini hanya untuk menghabiskan anggaran. Kunkerpun tidak memberikan kontribusi berarti pada kinerja dewan, apalagi bagi peningkatan kualitas kesejahteraan hidup masyarakat.
Kedua, masalah transparansi dan akuntabilitas. Kunker seringkali dilakukan secara diam-diam tanpa ada publikasi dan tanpa sepengetahuan masyarakat. Perilaku ini semakin menunjukkan dugaan politik (suudhon politik) masyarakat bahwa kegiatan Kunker dewan sulit untuk dipertanggungjawabkan kepada publik., baik kegiatannya maupun anggarannya. Sehingga tak salah, jika Kunker dewan ini tak jauh beda dengan nglencer berjamaah. .
Anggaran untuk Kunker dewan ini setiap tahun terus mengalami kenaikan. Pada tahun 2004 total anggaran DPRD sebesar 68,98 milyar. Dari jumlah ini sebesar 47,43% atau sekitar 32,71 milyar dialokasikan untuk Kunker. Pada tahun 2005 anggaran DPRD sebesar 107,61 milyar, sebanyak 32,75% atau Rp 35,24 milyar untuk Kunker. Dan pada tahun 2006 dari total anggaran DPRD sebesar 94,48 milyar, 44,23% atau Rp 41,79 milyar dialokasikan untuk Kunker. Dan pada tahun 2007 ini anggaran DPRD Jatim mencapai Rp 93,55 milyar. Dari jumlah itu, sebesar Rp 32,24 milyar atau sekitar 34,24% dipakai untuk Kunker. Namun naiknya anggaran Kunker dewan ini, tidak sebanding dengan hasil yang di dapat. Anggaran Kunkernya jelas, namun hasilnya tidak jelas.
Anggaran Kunker dewan bergerak bagaikan deret ukur, sementara kinerjanya bergerak bagaikan deret hitung. Artinya besarnya anggaran yang dikeluarkan untuk kebutuhan Kunker tak sebanding dengan kinerja yang ditunjukkan anggota dewan selama ini. Baik kinerja legislasi, budgeting, maupun kinerja kontroling. Kinerja ketiga fungsi dewan tersebut dinilai masih jauh dari harapan masyarakat. Bahkan dewan sampai saat ini belum mampu berbuat banyak terhadap berbagai persoalan sosial-ekonomi masyarkaat Jatim, terutama terkait dengan pengentasan kemiskinan dan pengangguran yang angkanya terus merembet naik.

Menghukum Politisi Kunker
Kegiatan Kunker DPRD Jatim ini sungguh sangat kontras sekali dengan kondisi di Jatim saat ini. Di saat anggota dewan berambisi ramai-ramai Kunker ke luar negeri, pada saat yang sama Puluhan juta masyarakat Jatim bergelut dengan kemiskinan dan pengangguran. Mereka hidup di bawah gatis kemiskinan dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Masyarakat miskin (Maskin) saat ini tidak mampu membeli beras, minyak tanah, susu untuk anak balitanya, sulit mendapatkan pendidikan dan kesehatan murah apalagi gratis. Mereka hanya bisa bertahan hidup dengan makan aking, gaplek, hidup di tempat yang kumuh, jauh dari standart kesehatan. Kualitas hidup mereka sangatlah terancam.
Berdasarakan survey sosial-ekonomi nasional BPS Jatim menyebutkan saat ini jumlah penduduk miskin di Jatim sampai Maret 2007 tercatat 7,138 juta jiwa atau sekitar 18,93 persen dari total jumlah penduduk. Dan angka ini berpotensi melambung menyusul kenaikan harga BBM akhir Mei 2008 lalu. Selain itu juga, pertumbuhan ekonomi Jatim selama setahun ini suram. Bahkan dalam rapat paripurna penyampaian LKPJ gubernur 2007/2008 bulan lalu muncul data kemiskinan versi DPRD yakni mencapai 8 juta orang sementara versi Pemprop hanya sekitar 6,8 juta. Yang pasti, angka kemiskinan Jatim saat ini masih cukup tinggi. Di tengah keprihatinkan sosial-ekonomi masyarakat yang begitu parah ini, seharusnya mengundang simpatik dan empatik para anggota dewan terhormat. Kunker anggota dewan tersebut sungguh sangat menyakiti perasaan Maskin Jatim yang saat ini sedang berjuang untuk bertahan hidup.
Karena itu, menjelang Pemilu 2009 ini, sudah saatnya masyarakat Jatim untuk menghukum para politisi yang suka Kunker/nglencer, pertama hukuman sosial, yakni dengan menge-list beberapa anggota dewan suka nglencer, tak peduli dengan penderitaan masyarakat tersebut dan disebarluaskan kepada masyarakat. Kedua hukuman politis, yakni masukan para politisi Kunker tersebut dalam daftar hitam dan mengkampanyekannya ke masyarakat untuk tidak dipilih pada Pemilu 2009. Jangan Pilih Poltisi kunker...!

Selasa, 21 Oktober 2008

Menolak Caleg Bermasalah

Saat ini tahapan Pemilu 2009 memasuki masa penetapan Daftar Calon Sementara (DCS) anggota DPR/DPRD propinsi, Kabupaten/kota dan DPD. Pihak KPU sudah mempublikasikan daftar calon anggota legeslatif tersebut melalui media, baik media massa maupun elektronika. Dan saat ini masyarakat bisa melihat dan menilai para calon anggota legislatif tersebut berdasarkan daera pemilihnya masing-masing.
Ada ribuan caleg yang diajukan Parpol. Masa pencalegan ini merupakan titik awal bagi masyarakat untuk melihat dan menilai wajah-wajah calon legislatif yang akan duduk di Parlemen pada 2009. Masyarakat mulai sekarang harus jeli dan kritis terhadap nama-nama caleg yang dicalonkan Parpol. Karena tidak sedikit parpol yang mencalonkan seseorang bukan karena kapabilitas, kredibilitas, dan kompetensinya, tapi lebih karena popularitas semata. Bahkan yang paling memprihatinkan kita, ada beberapa Parpol yang mencalonkan seseorang yang pernah atau sedang tersengkut kasus hukum (baca: pidana). Ini yang perlu diwaspadai, agar masyarakat tak menjadi korban politik Parpol.
Dalam masa pengumuman DCS tersebut, tidak sedikit elemen masyarakat yang mulai mempertanyakan keberadaan para calon anggota legislatif tersebut. Bahkan tidak sedikit kader Parpol yang mempersoalkan dan bahkan memprotes beberapa calon yang tertera dalam DCS. Sebagian besar protes dari kader parpol terkait penyusunan daftar caleg. Misalnya munculnya calon “karbitan” parpol yang muncul tiba-tiba dan ditaruh di nomor urut topi alias jadi, muncul aroma praktik politik uang atau KKN dalam penentuan nomor urut calon, orang yang tak pernah berkeringat dan berjasa pada partai, tapi mendapat “tempat” dalam daftar calon dan berbagai alasan lainnya .
Sementara, elemen masyarakat -seperti LSM- lebih menyoriti dan mengkritisi beberapa caleg yang bermasalah, terutama terkait dengan track record yang dianggap tercela. Berbagai elemen masyarakat, seperti Koalisi Masyarakat Anti Politisi Buruk menyoroti masih dicalonkannya beberapa orang atau anggota dewan yang pernah/sedang tersangkut kasus-kasus hukum dan susila. Misalnya korupsi, kekerasan terhadap perempuan, pencurian, dan tindak pidana yang lainnya.
Pihak Parpol berapologi, bahwa pencalonan terhadap seseorang yang pernah di pidana atau sedang tersangkut kasus hukum dengan ancaman hukuman kurang dari lima tahun dan belum berkekuatan hukum tetap dari pengadilan dinilai tidak masalah. Secara hukum, seseorang yang masih dalam proses hukum dan belum mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap dari pengadilan atau tidak pernah dihukum kurang dari lima tahun, boleh dan sah-sah saja dicalonkan.
Dalam konteks ini, parpol cenderung mencari celah politik dan hukum sebagaimana yang disebutkan dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif. Dalam pasal 50 ayat 1 point G memang disebutkan; syarat menjadi anggota DPR/DPR propinsi, kabupaten/kota adalah Bakal calon anggota DPR/DPRD propinsi, kab/kota harus memenuhi persyaratakan; tidak dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum yang diancam hukuman pidana penjara selama 5 tahun atau lebih.
Parpol boleh saja berapologi dan berkelit dari aturan hukum yang ada, namun secara etis dan moral, seseorang yang sedang tersangkut kasus hukum atau pernah di hukum pidana penjara –meskinpun kurang dari lima tahun, tetap saja calon tersebut sudah tercela secara moral dan sosial. Dan karenanya seseorang yang sudah terkena kasus hukum sudah masuk kategori politisi tercela. Dan politsi tercela sudah sangat tidak layak lagi dicalonkan, apalagi dipilih.
Bagi parpol, mungkin politisi tercela tersebut sangat populer dan memiliki uang banyak serta berpotensi memberi keuntungan politik dan materi bahkan memberi suara terbanyak, sehingga begitu mudah lolos seleksi dan verifikasi internal partainya. Namun politisi tercela seperti itu sekali lagi sangat tidak layak dan haram untuk dicalonkan.

Tolak Politisi Bermasalah
Saat ini pihak KPU memberikan waktu sekitar dua minggu bagi Parpol dan masyarakat untuk menilai dan mengkritisi para calon politisi parlemen. Peran penting dan strategis dalam menyeleksi para caleg ini sebenarnya ada di Parpol. Karena Parpol merupakan pintu awal para caleh dicalonkan. Seharusnya parpol lebih selektif dalam melakukan proses rekruitmen; mulai dari penjaringan, penyaringan sampai pada penetapan caleg. Ini yang cenderung kurang diperhatikan Parpol. Parpol lebih melihat dan mempertimbangkan aspek popularitas dan uang. Tidak melihat dan mempertimangan aspek kapasitas, kapabilitas, dan kredibilitas (moral dan sosial) caleg. Sehingga tidak salah jika proses rekruitmen caleg banyak diwarnai protes dan praktik KKN.
Mumpung masih dalam DCS, pihak Parpol dituntut mempertimbangkan kembali untuk tidak mencalonkan calon politisi yang bermasalah atau tercela. Dengan kata lain, Parpol harus mencoret para politisi bermasalah dan digantikan dengan yang tidak bermasalah. Kita semua sepakat bahwa Pemilu 2009 nanti harus diselamatkan dari para politisi yang bermasalah atau tercela. Kita sudah kecolongan pada Pemilu 2004 lalu, tidak sedikit para politisi bermasalah dan tercela duduk sebagai wakil rakyat. Dan kita bisa melihat sendiri, mereka yang bermasalah dan tercela, sampai saat ini masih bermasalah dan terus bermasalah.
Jika Parpol bersikeras mempertahankan para politisi bermasalah dan tercela, maka alat kontrol terakhir dan paling efektif adalah kontrol dari masyarakat atau pemilih. Masyarakat pemilih harus lebih selektif dan rasional dalam menentukan hak pilihnya pada pemilu 2009 nanti. Para calon politisi dari Parpol yang bermasalah dan tercela sudah selayaknya tidak dipilih. Masyarakat harus tegas menolak para calon politisi yang bermasalah dan tercela. Kampanye tolak politisi busuk yang disuarakan Koalisi Masyarakat Anti Politik Busuk merupakan langkah yang bisa membantu menyelamatkan lembaga wakil rakyat dari para politisi bermasalah dan tercela.
Jika dibiarkan dan melenggang ke parlemen, para politisi bermasalah dan tercela tidak saja akan menjadi beban sosial-politik dan ekonomi bagi lembaga parlemen, tapi juga bagi mayarakat. Jangan sampai masyarakat menjadi korban politik kedua kalinya dari para politisi dan calon politisi yang bermasalah, tercela dan tak bernurani.

Sabtu, 20 September 2008

Gerontokrasi dan Macetnya Regenerasi

Sumer : Opini Kompas Jatim, 19 September 2008

Saat ini pemerintah propinsi Jawa Timur baru saja melakukan kebijakan perampingan struktur birokrasi sebagaimana diamantkan dalam Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 2007. Meskinpun sudah ada perampingan. Namun, menurut hemat penulis struktur birokrasi Pemprop masih dirasa sangat gemuk, padahal semangat dari PP 41/2007 tersebut adalah bagaimana membentuk performance struktur birokrasi yang miskin struktur, tapi kaya fungsi. Sehingga dalam konteks ini, yang lebih dikedepankan adalah kerja dan kinerja fungsi-fungsi dalam setiap unit struktur birokrasi sehingga menghasilkan kinerja dan produktivitas aparatur birokrasi yang maksimal. Dengan kata lain, Pemprop Jatim masih setengah hati dalam melakukan kebijakan reformasi birokrasi sebagaimana yang dimanatkan PP.
Kebijakan setengah hati tersebut rupanya di tambah lagi dengan munculnya fenomena pejabat tua atau udzur yang masih memegang jabatan-jabatan strategis di lingkungan birokrasi Pemprop Jatim, padahal mereka sudah memasuki masa pensiunan bahkan ada beberapa melebihi masa pensiun (baca: 56 tahun). Sebagaimana di lansir oleh Komisi A DPRD Jatim, saat ini setidaknya ada 30 pejabat yang seharusnya sudah pensiun tapi masih dipertahaknakn untuk diperpanjang.
Para pejabat udzur tersebut berasal dari berbagai tingkatan; mulai dari eselon II, III, setingkat asisten, kepala dinas, wakil kepala dinas, sampai pada kepala biro dan badan. Para pejabat tersebut sudah berusia 56 tahun keatas. Bahkan, ada pejabat yang sudah berumur 58 tahun tapi masih mendapat dispensasi perpanjangan jabatan dan menduduki jabatan strategis, dengan rinician; 11 pejabat menduduki kepala dinas, 11 pejabat menduduki wakil kepala dinas, dan sisanya tersebar di beberapa badan, dinas, dan biro.

Sebagain Pejabat udzur (berusia di atas 56 tahun) di lingkungan Birokrasi Pemprop Jatim
No Nama Pejabat Instansi
01 Arifin Damuri Plt. Sekda Propinsi Jatim
02 Chaerul Djaelani Asisten II
03 Subagyo Asisten III
04 Drs Rasiyo Kepala Dinas P dan K
05 Bahrudin Kepala Disnaker
06 Soeyono Kepala Bappemas
07 Thoriq Afandi Kepala Biro Mental
08 M. Amin Kepala Biro Umum
09 M. Munir Kepala Biro Kepegawaian

Sarat KKN
Perpanjangan sekali mungkin masih bisa ditoleransi, itupun dengan catatan pejabat yang bersangkutan memiliki kinerja yang luar biasa dan tentunya memiliki catatan prestasi yang membanggakan bagi institusi dan Jatim pada umumnya. Apalagi dua kali, tentunya harus memiliki kinerja dan prestasi yang lebih dan luar biasa.
Namun faktanya, selama ini perpanjangan jabatan strategis di lingkungan Pemprop Jatim lebh banyak diwarnai dengan praktik KKN, lebih mengedepankan praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme daripada kinerja dan prestasi. Sudah tak menjadi rahasia umum, setiap pejabat yang akan naik pangkat atau mendapat perpanjangan jabatan, “diwajibkan” menyetor upeti atau angpou agar bisa lolos naik pangkat atau mendapat perpanjangan jabatan sekali atau dua kali. Bahkan praktik perpanjangan pejabat, lebih bernuansa pada upaya untuk mempertahankan status quo. Sebagian pejabat tidak mau “kehilangan” jabatannya lebih dini. Dan lebih dari itu bisa karena masalah politis maupun ekonomis seorang pejabat udzur dipertahankan.
Praktik illegal ini, yang kemudian melahirkan kemacetan regenerasi di tubuh birokrasi Pemprop. Pejabat-Pejabat muda yang memiliki kapabilitas, kredibilitas dan kompetensi lebih tidak bisa naik atau menduduki jabatan strategis, karena masih bercokolnya pejabat-pejabat tua. Para pejabat tua sepertinya tidak “rela” jabatannya diserahkan para pejabat muda. Kondisi ini yang kemudian menjadikan birokrasi Pemprop menjadi konservatif, tidak profesional, dan tidak produktif. Mereka anti perubahan. Tak salah jika reformasi birokrasi dalam bentuk perampaingan birokrasi saat ini dilakukan setengah hati.
Birokrasi Pemprop lebih banyak dihuni oleh para pejabat tua atau udzur yang rendah kapasitas dan produktivitasnya. Kondisi ini yang biasanya kita sebut sebagai gerontokrasi, birokrasi para pejabat tua. Birokrasi semacam ini, dipastikan bersifat konservatif, anti perubahan, tidak produktif, miskin kreasi dan inovasi. Performance gerontokrasi Pemprop semacam ini berdampak pada rendahnya fungsi-fungsi dan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Padahal birokrasi modern sebagaimana diungkapkan Max Weber, sejatinya harus bersikap adaptif, kreatif, inovatif, dan progresif dengan lingkungannya.

Perlu regenerasi
Salah satu indikator sehatnya sebuah orgnaisasi, termasuk organisasi birokrasi adalah berjalannya proses regenerasi secara berkesinambungan. Dengan adanya regenarasi di tubuh birokrasi apalagi proses regenerasi tersebut warnai dengan munculnya pejabat-pejabat muda yang kreatif, progresif dan profesonal diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan produktivitas pelayanan kepada masyarakat. Proses regenerasi ini senafas dengan semangat gerakan reformasi birokrasi yang saat ini sedang digalakan. Keinginan akan lahirnya birokrasi yang bersih dan sehat sangat logis, mengingat birokrasi di Indonesia sedang mengalami distorsi yang cukup parah setelah republik ini berdiri. Birokrasi belum berperan dan berfungsi seperti halnya birokrasi di negara maju dan demokratis. Bahkan mantan Presiden Megawati Sukarnoputri pernah menyebut birokrasi kita seperti keranjang sampah.
Kebijakan reformasi birokrasi yang saat ini sedang dijalankan Pemprop Jatim, sudah saatnya tidak saja menyentuh pada perampingan struktur dan personal birokrasi, tapi juga harus memperhatikan proses regenerasi yang berseinambungan. Dan salah bentuk regenerasi ini diwujudkan dengan “mempensiunkan” para pejabat tua, terutama para pejabat yang miskin kinerja dan prestasi dan digantikan dengan pejabat yang lebih muda. Para pejabat tua semacam ini tak hanya akan menjadi beban sosial bagi masyarkaat, tapi juga beban ekonomi (baca: APBD).

Selasa, 02 September 2008

Besama Kita Bisa (apa)?

Sumber : Opini Radar Surabaya, 21 Mei 2008

Bersama Kita Bisa. Jargon politik tersebut mungkin masih kita ingat di Pemilu 2004. Jargon politik tersebut yang digunakan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-M. Yusuf Kalla (MJK) ketika running menjadi presiden dan wakil presiden 2004-2009. Dan jargon tersebut yang juga digunakan pasangan SBY-MJK untuk menarik simpatik dan suara rakyat ketika berkampanye.
Kini di usia pemerintahan SBY-MJK yang memasuki tahun keempat, jargon politik masih belum dirasakan betul oleh rakat kebanyakan. Bahkan sebagian masyarakat mulai merasakan dan mempertanyakan; Bersama Kita Bisa apa?. Yang dirasakan betul oleh rakyat kita adalah kita bisa lapar, kita bisa ngangur, kita bisa miskin, kita bisa putus sekolah, dan bahkan kita sepertinya tidak bisa apa-apa. Semakin hari, kehidupan masyarakat semakin susah.
Empat tahun berjalan, pemerintah SBY-MJK belum mampu menghadirkan kesejahteraan untuk masyarakat. Kebijakan-kebijakan sosial-ekonomi bukannya mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarkat, justru semakin menyengsarakan masyarakat. Orang yang belum miskin menjadi miskin, orang yang sudah miskin semakin tambah miskin. Sehingga tak salah, jika ada sebagaian orang yang memplesetkan jargon politk tersebut ; bersama kita bisa berubah menjadi bersama kita binasa. Jargon tersebut masih sebatas sloganistik, yang tak nyata di lapangan.
Kemiskinan masih menjadi wajah buram negeri ini. Ribuan orang antri minyak tanah, minyak goreng, elpiji, bahkan beberapa bulan lalu antri beras. Tidak hanya itu, masyarakat juga masih dihadapkan pada masalah masih mahalnya beras. Bahkan ada sebagian Gakin di beberapa daerah yang tak mampu membeli beras, terpaksa makan aking atau gaplek. Sebuah kondisi ironis di tengah melimpahnya sumber daya alam yang kita miliki. Masyarakat indonesia sekarang bagaikan; ayam mati di lumbung padi. Bagaimana mungkin sampai ayam mati di kandangnya sendiri yang berlimpah makanan.
Pada tahun 2007, angka pengangguran terbuka diperkirakan bertambah 12,6 juta jiwa. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin diperkirakan mencapai 45,7 juta jiwa. Menurut Koordinator Tim Peneliti Prospek Perekonomian Indonesia 2007 Pusat Penelitian Ekonomi LIPI M. Tri Sambodo, angka itu berasal dari 1,6 juta pengangguran baru, menambah jumlah pengangguran yang sudah ada sebesar 11 juta. Ia menambahkan, angka 1,6 juta pengangguran itu berasal dari angkatan kerja yang tidak tertampung oleh kesempatan kerja pada 2007 sebesar 1,4 juta orang. Semakin besar angka pengangguran terbuka merupakan indikator meningkatnya angka kemiskinan.

Semakin Binasa
Kini masyarakat bersiap-siap untuk binasa lagi dan semakin binasa. Siap jadi pengangguran baru, siap jadi orang miskin baru, siap tak makan normal, siap lapar, siap antri lagi. Ini menyusul rencana pemerintah yang akan menaikkan harga BBM sebesar 30% pada awa Juni mendatang. Menurut pemerintah, kenaikkan ini tak bisa dihindari menyusul melambungnya harga minyak di pasaran dunia yang mencapai 120USD/barel,
Dipastikan dampak kenaikkan harga BBM ini akan mengakibatkan kenaikkan harga-harga yang lain, termasuk harga sembako. Bahkan harga BBM belum naik, harga sembako sudah lebih dulu naik. Lebih dari itu, kebiakan harga BBM ini akan berdampak pula pada melambungnya angka kemiskinan. Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi memperkirakan, kenaikkan harga BBM sebesar 30% berpotensi mengakibatkan orang miskin bertambah sebesar 8,55% atau sekitar 15,68 juta jiwa.
Berdasarkan data Badan Pusat Stastik per Maret 2007 angka kemiskinan nasional masih cukup tinggi, yaitu sekitar 16,58 persen atau sebanyak 37,17 juta orang, sementara angka pengangguran tercatat sekitar 9,75 persen. Jika digabung dengan potensi kenaikan orang miskin akibat kenaikan harga BBM ini, maka angka kemiskinan diperkirakan akan melambung menjad 42,85 juta jiwa.
Kebijakan ini akan semakin menambah beban masyarakat yang sampai saat ini masih juga menanggung beban krisis ekonomi yang belum pulih. Kenaikkan BBM akan mengakibatkan efek domino di masyarakat, baik secara ekonomi maupun sosial-politik. Secara ekonomi, kenaikan tersebut akan mengakibatkan kenaikkan harga-harga barang dan jasa (inflasi), bahkan kenaikkan tersebut bisa tak terkendali menyusul kenaikkan BBM itu. Seperti diungkapkan para pengamat ekonomi, Kenaikkan BBM yang cukup signifikan ini dikhawatirkan akan memicu inflasi besar-besaran pada tahun 2008. Kenaikkan laju inflasi itu akan tercermin dari naiknya harga sejumlah komponen kebutuhan pokok masyarkat, berupa barang dan jasa. Bahkan harga BBM belum naik, harga-harga sembako sudah naik duluan.
Secara sosial-politik kebijakan menaikan BBM tersebut juga akan menimbulkan kerawanan sosial di masyarakat. Di tengah kehidupan sosial-ekonomi yang semakin terhimpit krisis, kebutuhan hidup semakin melambung sementara, daya beli masyarakat semakin rendah, bukan tidak mungkin masyarakat akan berbuat nekad. Unjuk rasa terus-menerus akan sangat potensial menimbulkan ketidakstabilan sosial-ekonomi dan keamanan. Saat ini saja sudah mulai mengemuka mahasiswa dan elemen-elemen masyarakat lainnya di beberapa daerah yang menolak kebijakan yang tak berpihak rakyat itu. Mereka menilai kebijakan tersebut hanya semakin menyengsarakan dan memiskinkan kehidupan masyarakat.

Pilgub Jatim dan Oligakhi Parpol

Sumber : Majalaj Teropong Balitbangda Jatim Mei-Juli 2008


Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur secara langsung yang akan digelar 23 Juli 2008 mendatang diharapkan dapat berjalan aman dan demokratis. Kedaulatan rakyat benar-benar terwujud dalam proses Pilgub, bukan kedaulatan elit partai. Ini penting untuk menciptakan kepercayaan masyarakat terhadap hasil Pilkada nantinya. Dalam arti, gubernur dan wakil gubernur terpilih nantinya merupakan representasi dan cerminan aspirasi rakyat, bukan representasi dan aspirasi kelompok tertentu, apalagi personal elit politik.
Kekhawatiran terhadap hasil Pilgub ini menjadi wajar tatkala proses rekrutmen politik Parpol lebih diwarnai oleh praktik oligarki partai yang begitu masif. Ini jelas terlihat dalam praktik politik rekrutmen calon gubernur dan wakil gubenrur Jatim. Dalam proses rekrutmen calon kepala daerah ini justru yang lebih kuat adalah kekuasaan dan kedaulatan (elit) partai bukan kedaulatan rakyat. Ini tercermin dari adanya konflik di internal beberapa parpol dalam melakukan proses rekrutmen calon. Beberapa pengurus cabang sampai tingkat anak cabang partai melakukan aksi protes terhadap keputusan partainya (baca: elit partai) yang menetapkan calon kepala daerah secara sepihak, tanpa mengikutsertakan partisipasi politik konstituen.

Rekrutmen calon
Sebut saja misalnya proses rekutmen bakal calon gubernur di internal PDI-P. Seperti di ketahui, dalam konvensi internal PDI-P Jatim yang telah dilaksankaan pada pertengahan 2007 lalu, di mana Soekarwo telah mengantongi dukungan terbanyak di lingkungan PDI-P, yakni 22 Dewan Pimpinan Cabang (DPC) dibanding Soetjipto, yang didukung 11 DPC. Namun, kemenangan di tingkat konvensi ini tidak menjamin Soekarwo menjadi Cagub definitif dari PDI-P. Pihak DPD PDI-P Jatim justru mengajukan dua nama yang ikut konvensi –Soekarwo dan Sotjipto- ke DPP PDI-P untuk mendapatkan rekomendasi dari DPP, terutama Megawati. Dan terbukti, akhirnya DPP PDI-P memutuskan Soetjipto sebagai cagub dari PDI-P untuk Pilgub Jatim 2008
Dengan merujuk hasil konvensi PDI-P Jatim, sebenarnya pihak DPP PDI-P tidak terlalu sulit untuk menetapkan atau memberikan surat keputusan kepada DPD PDI-P Jatim terkait siapa Cagubnya. Karena hasil konvensi di tingkat daerah jelas pemenangnya. Molornya surat rekomendasi atau keputusan atas cagub PDI-P definitif ini sempat menimbulkan tanda tanya besar. Ada apa dengan molornya surat keputusan DPP ini? Ada dugaan politik tarik menarik kepentingan di lingkungan elit PDI-P baik di tingkat propinsi maupun pusat. Ada sebagian menginginkan cagub PDI-P berasal dari kader sendiri, sebagian yang lain menginginkan diluar kader.
PDI-P Kota Surabaya, melalui ketuanya, Muhammad Saleh Mukadar, pasca konvensi sempat mengancam akan mematikan mesin politiknya jika akhirnya DPP PDI-P memberikan rekomendasinya jatuh ke tangan Soekarwo. Dia mengatakan, diri dan pengurus “akan tidur nyenyak”.
Selain di PDI-P, Praktik oligarkis juga terjadi di Partai Demokrat. Di tengah penjaringan bakal calon yang dilakukan tingkat cabang, DPP PD secara mengejutkan memutuskan pasangan Soekarwo-Saefulloh Yusuf sebagai cagub dan cawagub dari PD. Bahkan DPP PD mengacam akan menjatuhkan sanksi kepada DPC-DPC yang mbalelo dan menentang keputusan DPP atas pasangan Pak De Karwo-Gus Ipul (Kompas Jatim, 7/2/2008).
Keputusan sepihak DPP PD ini langsung direaksi negatif oleh DPC-DPC tingkat kab/kota. Hal ini ditunjukkan oleh Forum DPC PD se-Jatim, melalui ketua umumnya, RM. Boedhi, menolak tegas Soekarwo menjadi bakal calon dari PD. Selain penentuannya tidak sesuai mekanisme internal partai, Soekarwo dinilai tidak punya sejarah apa pun dengan PD. Menurut Boedhi, saat ini sudah ada 30 DPC yang mulai merapatkan barisan dan menyuarakan penolakan atas Seokarwo. Menurutnya, DPC-DPC hanya dijadikan sebagai kendaran politik oleh partai, tanpa pernah diajak musyawarah atau urun rembug. PD seharusnya memilih tokoh yang memiliki hubungan sejarah berdirinya PD untuk dijadikan sebagai bakal cagub dari PD, diantaranya adalahAnggota dewan pembina PD; Hayono Isman, Haris Sudarno (mantan Pangdam V Brawijaya), dan wakil ketua DPP PD Anas Urbaningrum. Namun suara protes pengurus di bawah tak menyurutkan DPP PD untuk tetap mencalonkan duet Soekarwo-Saefullaoh Yusuf (Pak de Karwo-Gus Ipul).
Hal sama juga bisa merembet dan terjadi di PKB. Munculnya nama Achmady-Soehartono tak lepas dari peran dan pengaruh kuat politik Ketua Dewan Syuro’ DPP PKB, Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Bahkan munculmya Achmady-Soehartono ini diwarnai konflik intenal PKB, yakni antar kubu Gus Dur/Ali Masykur Musa dengan Muhaimin Iskandar. Konflik internal PKB yang tak berkesudahan ini, tentunya akan berpengaruh pada upaya PKB Jatim dalam memangkankan Pilgub 2008 ini.
Bahkan PAN yang mengklaim dirinya sebagai partai reformasi juga tak luput dari praktik politik oligarkhis. Ini ditunjukkan dengan reaksi keras dari DPC-DPC PAN di Kota Surabaya atas pencalonan “sepihak” para elit-elitnya di tingkat wilayah dan DPP yang tiba-tiba mengusung Pak De Karwo-Gus Ipul. Pengurus di tingkat kota dan kecamatan merasa tak pernah diajak rembug bareng untuk ikut menentukan bakal cagub dan cawagub yang akan diusung partainya. Tak pernah diajak bicara, pun tak ada sosiolisasi. Bahkan duet Karo-Ipul ini sudah mendapat restu dan SK dari ketua Umumnya, Sutrisno Bachir. Sama seperti Demokrat, meskinpun di protes kader-kader PAN di tingkah bawah, DPP dan DPW PAN Jatim tetap mencalonkan Pak De Karwo-Gus ipul.

Oligarki Partai
Kasus di atas menunjukkan bahwa praktik oligarki partai masih mewarnai proses rekrutmen politik dalam Pilkada di Jawa Timur. Kekuasaan partai (baca: elit partai) sangat begitu besar sehingga bisa secara sewenang-wenang melakukan pembonsaian politik terhadap aspiraasi dan kedaulatan rakyat (baca: konstituen). Kedaulatan rakyat yang diharapkan muncul dalam proses Pilkada ini, namun dalam realitasnya justru tereduksi oleh praktik oligarki (elit) partai yang begitu masif. Sehingga rakyat hanya dijadikan sebagai alat legitimasi politk saja. Rakyat bukan jadi sukjek politik, namun terus menjadi objek politik yang mudah dimonopoli dan dipermainkan oleh kekuasaan (elit) partai.
Keputusan politik partai dalam rekutmen calon di Pilkada ini lebih tergantung pada ‘selera’ dan otoritas elit politik tertentu dalam partai, terutama elit politik di pusat. Kalau di PKB selera dan otoritas politik ada di tangan Gus Dur. Sedangkan di PDI-P ada di tangan Megawati. Semua keputusan politik, termasuk penentuan calon gubernur dan wakil gubernur dalam Pilakda ini sangat ditentukan oleh kemauan politik Gus Dur dan Megawati. Dengan kata lain, otoritas personal elit partai lebih dominan daripada otoritas kelembagaan partai yang demokratis.

Peningkaran demokrasi
Proses suksesi kepala daerah yang diharapkan oleh 37 juta masyarakat Jatim sebagai wujud demokratisasi daerah, berpotensi hanya menjadi mimpi politik saja. Calon-calon gubernur dan wakil gubernur tidak lahir dari proses politik dan mekanisme yang demokratis, namun hanya sekedar memenuhi pesanan dan kemauan politik dari personal elit tertentu.
Itulah potret pengingkaran demokrasi dari elit-elit politik kita. Pelaksanaan Pilkada langsung yang diharapkan menjadi milik rakyat, tapi dalam kenyataanya sudah dibajak oleh praktik oligarki (elit) partai yang sangat pragmatis. Dengan kata lain, Keputusan politik kelembagaan parpol direduksi sedemikian rupa menjadi keputusan politik yang bersifat personal. Mekanisme kelembagaan parpol dikalahkan oleh otoritas kekuasaan sang ketuanya atau orang yang memiliki pengaruh dan kharisma kuat. Ini yang kemudian menghasilkan calon kepala daerah atau pemimpin “karbitan” dan instan.
Tentu, perilaku dan praktek politik ini tidak kondusif dan mematikan proses demokratisasi di internal Parpol. Aspirasi kader-kader partai dan masyarakat hanya menjadi slogan politik yang kemudian dimatikan oleh otoritas personal partai yang ‘otoriter’. PKB maupun PDI-P sebagai partai besar (pemenang dan runner up pemilu) seharusnya memiliki tanggung jawab moral dan politik terhadap konstituensnya.
Setiap Parpol -termasuk PKB dan PDI-P- seharusnya tidak terjebak dan menjebakkan diri pada pemunculan nama calon “karbitan” hasil pesanan dan kemauan politik elit tertentu dengan mengorbankan proses-proses politik dan kelembagaan partai yang semestinya harus dilalui dan lakukan. Pilgub ini seharusnya dijadikan momentum bagi Parpol untuk membangun budaya politik yang sehat, rasional, dan elegan, bukan sebaliknya menciptakan pendistorsian dan pembusukan terhadap demokrasi.
Biarlah proses demokratisasi berkembang secara wajar dan alami di lingkungan internal partai, tanpa adanya intervensi politik yang terlalu berlebihan dari seseorang atau kelompok secara dominan (baca: Gus Dur atau Megawati). Setiap Parpol tentunya secara kelembagaan memiliki hak politik dan otonomi sendiri dalam mengambil sebuah keputusan politiknya. Proses-proses kelembagaan ini yang seharusnya ditumbuh kembangkan di lingkungan parpol, bukan malah disumbat oleh otoritas kekuasaan yang sifatnya personal.
Pengalaman buruk Pilgub 2003 diharapkan tidak (akan) terjadi pada Pilgub 2008. Apalagi Pilgub 2008 akan dilaksanakan secara langsung. Parpol harus bertidak tegas dan berkomitmen untuk menjadikan Pilgub 2008 sebagai Pilgub yang demokratis dan menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Salah satunya dengan memilih cagub-cawagub yang sesuai dengan aspirasi masyarakat (baca: konstituen), bukan aspirasi dan kemauan elit tertentu seperti yang terjadi pada Pilgub 2003. Pemimpin Jatim ke depan bukan lahir dari proses yang instan, tapi ia lahir dari rahim rakyat. Dan mulai saat ini masyarakat Jatim harus terus mewaspadai munculnya cagub “karbitan” atau instan yang diproduksi Parpol.
Praktik politik “karbitan” model oligarkhis semacam itu, sangat tidak kondusif bagi proses pendidikan politik rakyat yang sehat dan rasional, dan bahkan lebih dari itu akan menghambat proses kehidupan demokratisasi, baik itu untuk internal partainya sendiri maupun dalam pembangunan demokrasi daerah. Dengan demikian, lalu apa jadinya, calon gubernur atau pemimpin yang dihasilkan dari praktik politik “karbitan” semacam itu?. Praktik semacam itu hanya akan melahirkan karakter kekuasaan yang otoriter. Calon pemimpin semacam itu tidak berpihak pada kepentingan rakyat, tapi pada kepentingan elit atau kelompok tertentu.
Pilgub 2008 mendatang diharapkan menjadi momentum bagi Parpol untuk membangun budaya politik yang sehat, rasional, dan elegan, bukan sebaliknya menciptakan pendistorsian dan pembusukan terhadap demokrasi. Jika praktek politik karbitan ini masih berlanjut pada Pilgub 2008 mendatang, maka ‘pesta demokrasi’ Pilgub nanti sangat tak layak disebut hajatan politik rakyat Jatim, melainkan hajatan kenikmatan dari elit parpol.

Senin, 01 September 2008

Mengkritisi Pencalegan Parpol

Sumber : Opini Radar Surabaya, 2 September 2008


Saat ini tahapan Pemilihan Umum (pemilu) 2009 memasuki masa pendaftaran calon anggota legislatif atau pencalegan yang dilakukan oleh Parpol. Pada tahapan ini, adalah salah satu tahapan yang paling ditunggu-tunggu oleh para kader atau elit-elit di internal Parpol. Para bakal caleg sudah barang tentu berkeinginan agar dirinya bisa ditempatkan para deretan urutan atas atau nomor urut topi. Dengan berada pada urutan teratas, berahap dapat terpilih menjadi anggota legislatif mendatang.
Meskinpun dalam Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu legislatif, berlaku ketentuan caleg terpilih adalah mereka yang memperoleh 30 persen suara dari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Namun jika tak ada satupun caleg parpol yang memperoleh suara minimal 30 persen, yang berlaku adalah nomor urut. Melihat pengalaman Pemilu 204, sangat sedikit sekali caleg yang memperoleh batas minimal 25 persen yang saat itu diberlakukan.
Saat ini, tidak sedikit proses pencalegan di interal parpol di berbagai daerah diwarnai dengan aksi protes dan bahkan tindak kekerasan yang dilakukan kader dan simpatisan yang kecewa terhadap penyusunan daftar caleg karena dinilai tidak aspiratif, tidak adil, diskriminaitf, bahkan diwarnai praktik politik “karbitan” dan bernuansa nepotisme. Hanya caleg-caleg yang memiliki kedekatan dengan pusat kekuasaan atau elit elit-elit kekuasaan di Parpol yang bisa berada dari daftar urutan atas. Bahkan tidak sedikit, pencalegan ini diwarnai dengan praktik politik uang. Caleg yang memiliki uang banyak akan bebas memilih Daerah Pemilihan yang diinginkan dan nomor urut atas alias jadi.
Bahkan tidak sedikit proses pencalegan ini diwarnai dengan politik oligarki, yakni hanya elit-elit tertentu saja yang menentukan penetapan caleg terdaftar. Bahkan sampai pada penentuan nomor urut. Proses pencelagan ini tak melalui proses dan mekanisme pelembagaan demokrasi di tubuh parpol. Aspirasi kader dan simpatisan parpol seringkali dikebiri. Karena itu, sangat wajar jika proses pencalegan ini sering diwarnai aksi protes dari kader dan simpatisannya sendiri.
Sebut saja misalnya, proses pencalegan di tubuh partai Demokrat Surabaya, sebanyak 19 Pengurus Anak Cabang (PAC) di tingkat Kecamatan di Surabaya mengajukan aksi protes di DPC. Aksi ini menyusul kebijakan DPC Partai Demokrat Kota Surabaya dalam penyusunan daftar caleg dinilai tidak adil. Aroma nepotisme sangat kental dalam penentuan nomor urut caleg PD untuk DPRD Kota Surabaya. Menurut Ketua PAV Rungkut, Tavar, Orang-orang baru yang di Demokrat yang belum berjuang membesarkan partai, diberi nomor urut jadi, karena mereka dekat dengan ketua DPC. Sedangkan kami yang di PAC-PAC yang berkeringat sejak tahun 2002 dan punya massa dalam pemenangan Pak SBY, ditempatkan di nomor urut sepatu (Radar Surabaya, 25/08/2008).
Masalah yang terjadi di tubuh partai Demokrat juga terjadi di parpol-parpol lainnya di berbagai daerah, baik parpol lama maupun parpol baru. Bahkan ada fenomena baru di berbagai parpol dalam pencalegan ini, yakni praktik politik “karbitan” atau politik instan. Dan yang paling mengkhawatirkan dan patut disesalkan, caleg yang dikarbit adalah mereka yang tak memiliki kapabilitas, kredibilitas dan kompetensi sebagai wakil rakyat. Jika yang dikarbit adalah caleg non kader dari kalangan intelektual atau akademisi, mungkin masih bisa ditolerir. Namun ini yang dikarbit adalah para artis, yang dari segi kapabilitas, kredibilitas, dan komptensi keilmuwan dan keahlihan sebagai wakil rakyat masih sangat diragukan. Demi ambisi memperoleh suara sebanyak-banyak, parpol ramai-ramai dan tak sungkan-sungkan merekrut artis untuk menjadi caleg. Yang diandalkan caleg artis ini hanya aspek popularitas semata, tanpa mempertimbangkan aspek kompetensinya.

Sulit diharapakan
Jika praktik pancelegan di tubuh parpol masih diwarnai dengan politik oligarki, nepotisme, politik uang, dan karbitan, maka caleg-caleg tersebut -jika sudah terpilih menjadi wakil rakyat- akan sangat sulit diharapkan bisa menjadi wakil rakyat dan berjuang untuk rakyat.
Praktik politik pencelagen semacam itu, sangat tidak kondusif bagi proses pendidikan politik rakyat yang sehat dan rasional, dan bahkan lebih dari itu akan menghambat proses kehidupan demokratisasi, baik itu untuk internal partainya sendiri maupun dalam pembangunan demokrasi daerah. Dengan demikian, lalu apa jadinya, caleg yang dihasilkan dari praktik politik pencalegan semacam itu?. Praktik semacam itu hanya akan melahirkan karakter kekuasaan yang otoriter. Caleg semacam itu tidak berpihak pada kepentingan rakyat, tapi pada kepentingan elit atau kelompok tertentu.
Bahkan bagi caleg yang hanya bermodalkan uang, patut kita curigai. Karena bukan tidak mungkin, jika terpilih nanti akan berusaha untuk mengembalikan uang yang telah dikeluarkan pada masa pencalegan. Dan bukan tidak mungkin juga, lembaga wakil rakyat nanti akan kembali diwarnai praktik korupsi seperti sekarang ini.
Itulah potret pengingkaran demokrasi dari elit-elit politik kita. Proses rekruitmen politik yang diharapkan menjadi milik rakyat, tapi dalam kenyataanya sudah dibajak oleh praktik oligarki (elit) partai yang sangat pragmatis. Dengan kata lain, Keputusan politik kelembagaan parpol direduksi sedemikian rupa menjadi keputusan politik yang bersifat personal. Mekanisme kelembagaan parpol dikalahkan oleh otoritas kekuasaan sang ketuanya atau orang yang memiliki pengaruh dan kharisma kuat. Ini yang kemudian menghasilkan caleg-caleg “karbitan” dan instan.
Karena itu, sebagai pemilik suara, masyarakat dituntut untuk lebih kritis, jeli dan rasional terhadap parpol-parpol –baik baru maupun lama- dalam proses pencalegan ini. Parpol-parpol yang masih menggunakan cara-cara karbitan atau instan dan apalagi menggunakan politik uang, sudah selayaknya tidak dipilih. Masyarakat jangan sampai kembali menjadi korban politik dari perilaku parpol-parpol dalam merekrut caleg-calegnya. Wakil rakyat hasil pemilu 2004 lalu, setidaknya bisa dijadikan pelajaran politik berharga bagi masyarakat untuk tidak kembali memilih caleg atau parpol yang sering bermasalah di Pemilu 2009 mendatang.
Pemilu 2009 mendatang diharapkan menjadi momentum bagi Parpol untuk membangun budaya politik yang sehat, rasional, dan elegan, bukan sebaliknya menciptakan pendistorsian dan pembusukan terhadap proses demokrasi.

Sabtu, 30 Agustus 2008

Parameter Calon Pemenang Pilgub

Sumber : Opini Metropolis Jawa Pos, 16 Juni 2008



Pemilihan gubernur (Pilgub) Jatim akan segera digear 23 juli 2008. ini adalah momentum bersejarah bagi proeses demokrasi di Jatim. karena ini adalah kali pertama Pilgub dilaksanakan secara langsung. Dalam hal ini warga Jatim memiliki hak politik yang lebih otonom dalam menentukan pilihan politiknya yang sesuai dengan hatinya nuraninya.
Saat ini, setidaknya sudah ada lima pasangan yang dipastikan akan running dalam Pilgub mendatang. Pasangan Soenaryo-Ali Maschan Musa yang dicalonkan Partai Golkar, Achmady-Soehartono dicalonkan PKB, Soekarwo-Saefullah Yusuf dicalonkan koalisi PAN, Demokrat dan PKS, dan Khofifah Indar Parawansah-Moejiono yang dicalonkan koalisi PPP dan parpol-parpol non parlemen.
Untuk melihat peluang parpol dan pasangan cagub-cawagub dalam Pilgub mendatang, setidaknya ada enam parameter yang mungkin bisa dipakai untuk membaca dan menganalisisnya. Paramater itu di antaranya adalah mesin politik, figur atau popularitas, resistensi, basis dukungan, citra, dan dukungan dana.
Pertama, mesin politik. Parpol sebagai mesin politik setidaknya memiliki peranan politik cukup signifikan dalam mendulang suara. Dengan catatan kondisi mesin politik itu dalam kondisi baik dan sehat. Jika mesin politik parpol dalam kondisi fit dan prima (baca: tidak ada konflik internal) maka akan dapat berjalan efektif. Dan efektifitas mesin politik ini akan berpengaruh pada pendulangan suara.
Kedua, Figur calon/popularitas. Meskinpun memiliki mesin politik yang kuat dan jaringan struktural yang luas, tidak menjamin akan memenangkan dalam pertarungan politik di Pilkada. faktor lain yang tak kalah penting adalah figur-personal yang dicalonkan Parpol. Apakah orang yang dicalonkan itu layak jual (marketable) atau tidak?. Salah satunya adalah calon atau figur itu banyak dikenal masyarakat; tokoh masyarakat, figur itu kharismatik. Bagaimanapun juga, Pilkada langsung adalah memilih orang bukan memiliki Parpol. Masyarakat akan lebih banyak melihat figur calon, daripada latar belakang Parpol yang mencalonkannya. Figuritas calon merupakan faktor yang paling mudah dilihat dan dinilai secara langsung oleh masyarakat. Dan yang jelas track record dari calon juga ikut berpengaruh.
Ketiga, Resistensi. Parameter lain yang bisa dipakai untuk membaca peluang calon adalah tingkat resistensi, terutama resistensi si calon terhadap masyarakat. Jika tingkat resistensinya tinggi atau positif maka peluangnya sangat kecil. Logikanya, bagaimana mau menjaring suara kepada masyarakat, jika dirinya ditolak masyarakat. Akan tetapi sebaliknya, jika tingkat resistensinya rendah, maka peluang untuk meraup suara akan cukup tinggi. Artinya si calon itu diterima baik oleh masyarakat.
Keempat, Basis dukungan. Dalam hal ini adalah basis dukungan yang sifatnya “tetap” dan “loyal”. Perlu di catat bahwa dalam pemilihan langsung yang paling diandalkan adalah suara atau basis dukungan masyarakat. Kemenangan politik Pilkada akhirnya ditentukan oleh banyaknya dukungan suara masyarakat.
Karena itu, strategi politik yang harus dilakukan Parpol adalah bagaimana memberdayakan segala sumber daya (sosial, politik, ekonomi dll) yang ada untuk satu tujuan yakni meraih suara sebanyak-banyaknya.
Kelima, dana. Dana atau uang dalam proses politik pemilihan langsung juga memiliki peranan yang cukup signifikan. Uang bagaikan roda kendaran. kendaran tidak akan jalan tanpa adanya uang. dalam sebuah mesin (politik), uang ibaratnya oli yang siap melancarkan bergeraknya mesin. Tapi uang bukanlah segalanya dalam memenangkan Pilkada. Jika dananya cukup besar, setidaknya bisa digunakan untuk menjalankan mesin politiknya.
Setidaknya dengan dukung dana cukup besar bisa dijadikan semacam “oli politik” untuk menggerakkan mesin politik mulai dari pusat sampai ke tingkat desa bahkan RT/RW. Dengan dana yang cukup besar ini, diharapkan pasangan calon akan mudah untuk melakukan konsolidasi dan mobilisasi massa dengan cukup efektif dan produktif.
Keenam, Citra calon. Jika citra calon positif atau baik di mata masyarakat, maka ini akan mendukung perolehan suara. Tetapi jika citra calon itu negatif maka akan sangat sulit menang di Pilkada.
Selama ini masing-masing parpol menyatakan dan mengklaim bahwa dirinya optimis bakal meraup dukungan suara cukup signifikan dan memenangkan Pilkada nanti. Dalam politik hitungan matematis tidak selalu benar. Masing-masing Parpol (atau pasangan calon) memiliki kelebihan dan kekurangan dan karenannya juga memiliki peluang yang relatif sama. Perolehan suara pemilu legeslatif sering kali diklaim parpol sebagai modal politik yang pasti, padahal perolehan suara pemilu legeslatif tidak simetris dengan Pilkada, apalagi dilakukan secara langsung. Di Pilkada pemilih cenderung lebih melihat faktor figur personal. Suara partai tidak identik dengan suara calon kepala daerahnya.

Popularitas calon lebih menentukan
Tesis politik yang sebelumnya di kampanyekan parpol-parpol besar seperti Golkar, PDI-P dan PKB yang mengatakan bahwa dengan mesin politik yang besar dan pengalaman politik lumayan mapan akan optimis memenangkan Pilkada langsung.
Kebesaran parpol tidak sebanding dengan perolehen suara pasangan calonnya. Dan realitas politik menunjukkan, beberapa Pilkada di daerah tidak sedikit yang dimenangkan oleh partai-partai kecil atau menengah. Sebut saja di Jabar dan Sumut. Dengan kata lain, aspek figur dan popularitas calon lebih menentukan di banding kebesaran parpol.
Lalu apa yang bisa kita baca dari fenomena dan realitas politik semacam ini. Hal ini menunjukan bahwa pertama, mesin politik parpol tidak menjamin bisa memenangkan pemilihan secara langsung. Karena, di pemilihan langsung, masyarkaat akan lebih melihat dan menilai figur-personal dan citra seseorang yang dicalonkan parpol, daripada latar belakang parpolnya.
Kedua, ini menunjukkan bahwa aspek figuritas dan popularitas calon lebih menentukkan daripada mesin politik. Masyarakat pemilih tidak terlalu mempertanyakan dari mana pasangan capres-cawapres itu berasal. Masyarakat pemilih kita masih melihat figur dan sosok seorang calon.
Ketiga, pelajaran politik yang terpenting dalam Pilkada ini adalah, hak dan pilihan politik masyarakat kita semakin otonom. Mereka tidak mau dan tidak bisa dipaksa-paksa dan dipengaruhi oleh para pengurus dan elit parpol untuk memilih sesuai dengan kehendak parpol dan elitnya. Masyarakat pemilih kita sudah mulai cerdas untuk memilih pemimpinnya sesuai dengan kehendaknya sendiri.

Kampanye, Uang, dan Kekuasaan

Sumber : Opini Radar Surabaya, 4 Agustus 2008


Kampanye, uang, dan kekuasaan. Ketiga komponen politik pentin yang mewarnai Pemilihan Gubernur (Pilgub) 23 Juli lalu. Pada massa kampanye lalu, hampir semua pasangan cagub-cawagub ramai-ramai mengobral uang untuk menarik suuara pemilih. Sebut saja misalnya pasangan Khofifah-Mujiono yang diusung PPP dan 11 parpol non parlemen pasca Pilgub mengaku telah menghabiskan dana kampanye sebesar Rp 7 milyar sedangkan pasangan Soenaryo-Ali Maschan Musa (Salam) mengaku menghabiskan Rp 8,6 milyar.
Selain dua pasangan tersebut, pasangan Soekarwo-Saefulloh Yusuf (Karsa), sebelum Pilgub di gelar mengaku telah menghabiskan sekitar 5 milyar. Dua pasangan lainnya, yakni Sutjipto-Ridwan Hisyam (SR) dan Achmady-Suhartono (Acshan), juga diprediksi telah menghabiskan dana untuk kemenanan Pilgub bisa mencapai puluan milyar. Yang jelas, uang yang beredar dalam Pilgub 2008 ini mencapai angka puluan triliun. Sebuah angkan yang sangat fantastis.
Berdasarkan hitung cepat (quick account) yang dilakukan beberapa lembaga survey nasional dan lokal menunjukkan pasangan Karsa yang diusung PD,PAN, dan PKS dan pasangan Ka-Ji yang diusung PPP dan 11 partai nonparlemen untuk sementara mempeorleh suara terbanyak.
Sebut saja saja misalnya, hasil hitung cepat yang dilakukan Lembaga Survey Indonesia (LSI) Jakarta, pasangan Karsa memperoleh 26,58 persen, disusul peringkat dua Pasangan Ka-Ji dengan 24,83 persen suara. Sedangkan di urutan ketiga sampai kelima ditempati pasangan SR yang diusung PDI-P dengan 21,27 persen, Salam yang diusung Golkar dengan 18,17 persen dan Acshan) yang diusung PKB dengan 7,75 persen. Dengan komposisi suara seperti ini, kemungkinan besar Pilgub jatim akan dilanjutan ke putaran dua, karena tak ada satu pasangan calon yang memperoleh 30 persen lebih.
Pada kampanye putaran pertama, pasangan cagub-cawagub ramai-ramai obrol uang untuk meraih dukungan suara emilih. Pada babak final (baca: pilgub putaran dua) nanti, dipastikan, dua pasangan peroleh suara terbanyak yang masuk putaran dua akan all out untuk memenangkan pertarurangan politik di Pilgub ini. Karena perolehan suara kedua pasangan tersebut tidak terlampau jauh. Kedua pasangan akan bersaing cangat ketat untuk meraih dukungan suara terbanyak. Dan dengan kondisi seperti itu, dua pasangan cagub-cawagub terebut dipastikan akan berjuang habis-habisan, termasuk dalam mengobral untuk kampanye putaran kedua nanti.
Uang tersebut digunakan untuk kampanye dalam bentuk iklan di berbagai media massa dan elektronika mulai pusat sampai daerah. Iklan media ini yang diperkirakan mencapai ratusan milyar rupiah. Apalagi disiarkan pada prime time. Selain kampanye lewat media, para cagub dan cawagub juga berkampanye lewat baliho, reklame, brosur yang bentuk sangat besar dan tentunya dipastikan anggaran yang dikelarkan juga sangat besar. Bahkan ada tim sukses pasangan cagub-cawagub yang mengaku pada awal kampanye telah menghabiskan uang sebesar Rp 15 milyar. Dengan masa kampanye dua minggu dipastikan uang yang beredar dalam Pilgub ini bisa mencapai angka triliunan.
Selain kampanye dalam bentuk iklan di media, reklame, baliho dan sebagainya. Para cagub-cawagub juga mengobral uang dan barang pada saat menemui masyarakat. Ada yang memberikan satu paket sembako, uang ampop, paket alat dapur. Bahkan ada bentuk kampanye dalam bentuk jalan sehat dengan diiming-imingi berbagai hadiah yang menarik, mulai sepeda motor, TV, radio, kulkas sampai sepeda mini, dan sebagainya. Dan anggaran untuk kebutuhan ini, tidaklah sedikit. Bisa mencapai puluhan milyaran rupiah.
Semua itu dikorbankan untuk satu tujuan yakni meraih kekuasaan. Ramai-ramainya para cagub-cawagub mengobral uang dalam kampanye Pilgub ini, bukannya menimbulkan respon positif dari masyarakat. Justru menimbulkan penilaian negatif bahawa hajatan politik tersebut identik dengan uang. Dengan kata lain, para cagub-cawagub sudah dengan nyata dan jelas melakukan praktik money politic.

Politik Uang
Para cagub-cawagub sangat begitu vulgar mengumbar dan mengobral uang dalam masa kampanye kemarin. Bagi-bagi uang menjadi kegiatan rutin para cagub-cawagub dan tim suksesnya dalam mencari dukungan pemilih. Padahal praktik ini jelas telah melanggar aturan hukum yang ada. Uang menjadi bagian terpenting dan faktor dominan dalam meraih kekuasaan.
Dalam aturan UU Pemilu No. 12/2003 sudah sangat jelas larangan politik uang. Ini dipertegas lagi dalam PP PP No. 6 Tahun 2005 pasal 64 tentang penyelenggaraan Pilkada; (1) “Pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memperngaruhi pemilih. (2) Pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD.
Sehingga dengan melihat kampanye cagub-cawagub saat ini, hampir semua pasangan cagub-cawagub telah melanggar ketentuan UU tersebut. Namun sangat disesalkan, selama ini pihak KPU dan Panwaslu sama sekali tidak bertindak bahkan cenderung membiarkan. Kalaupun ada tindakan, itu baru sebatas peringatan, tapi tindaklanjutnya sama sekali nihil.
Praktik politik uang ini sungguh sangat ironis. Di atas panggung para cagub-cawagub begitu keras dan lantang meneriakan kampanye anti KKN. Namun pada saat yang sama justru semua itu dilakukan. Sehingga nampak inkonsistensi antara ucapan dan tindakan. Jargon-jargon anti KKN, demi rakyat, dan jargon manis lainnya akhirnya hanyalah omong kosong belaka. Ia hanyalah jargon untuk menarik simpati masyarakat yang isinya kosong.
Kampanye yang diwarnai dengan politik uang yang begitu vulgar dan tanpa dosa ini bukannya akan memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat, tapi justru yang terjadi adalah praktik pembodohan politik yang begitu masif. Cagub-cawagub dan Parpol yang mengandalkan uang dalam meraih kursi kekuasaanya, sudah dipastikan akan menjadi rezim korup jika mereka nantinya berkuasa atau memegang kekuasaan. Bahkan perilaku korupnya dipastikan akan lebih korup di bandingkan dengan saat kampanye.