Senin, 01 September 2008

Mengkritisi Pencalegan Parpol

Sumber : Opini Radar Surabaya, 2 September 2008


Saat ini tahapan Pemilihan Umum (pemilu) 2009 memasuki masa pendaftaran calon anggota legislatif atau pencalegan yang dilakukan oleh Parpol. Pada tahapan ini, adalah salah satu tahapan yang paling ditunggu-tunggu oleh para kader atau elit-elit di internal Parpol. Para bakal caleg sudah barang tentu berkeinginan agar dirinya bisa ditempatkan para deretan urutan atas atau nomor urut topi. Dengan berada pada urutan teratas, berahap dapat terpilih menjadi anggota legislatif mendatang.
Meskinpun dalam Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu legislatif, berlaku ketentuan caleg terpilih adalah mereka yang memperoleh 30 persen suara dari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Namun jika tak ada satupun caleg parpol yang memperoleh suara minimal 30 persen, yang berlaku adalah nomor urut. Melihat pengalaman Pemilu 204, sangat sedikit sekali caleg yang memperoleh batas minimal 25 persen yang saat itu diberlakukan.
Saat ini, tidak sedikit proses pencalegan di interal parpol di berbagai daerah diwarnai dengan aksi protes dan bahkan tindak kekerasan yang dilakukan kader dan simpatisan yang kecewa terhadap penyusunan daftar caleg karena dinilai tidak aspiratif, tidak adil, diskriminaitf, bahkan diwarnai praktik politik “karbitan” dan bernuansa nepotisme. Hanya caleg-caleg yang memiliki kedekatan dengan pusat kekuasaan atau elit elit-elit kekuasaan di Parpol yang bisa berada dari daftar urutan atas. Bahkan tidak sedikit, pencalegan ini diwarnai dengan praktik politik uang. Caleg yang memiliki uang banyak akan bebas memilih Daerah Pemilihan yang diinginkan dan nomor urut atas alias jadi.
Bahkan tidak sedikit proses pencalegan ini diwarnai dengan politik oligarki, yakni hanya elit-elit tertentu saja yang menentukan penetapan caleg terdaftar. Bahkan sampai pada penentuan nomor urut. Proses pencelagan ini tak melalui proses dan mekanisme pelembagaan demokrasi di tubuh parpol. Aspirasi kader dan simpatisan parpol seringkali dikebiri. Karena itu, sangat wajar jika proses pencalegan ini sering diwarnai aksi protes dari kader dan simpatisannya sendiri.
Sebut saja misalnya, proses pencalegan di tubuh partai Demokrat Surabaya, sebanyak 19 Pengurus Anak Cabang (PAC) di tingkat Kecamatan di Surabaya mengajukan aksi protes di DPC. Aksi ini menyusul kebijakan DPC Partai Demokrat Kota Surabaya dalam penyusunan daftar caleg dinilai tidak adil. Aroma nepotisme sangat kental dalam penentuan nomor urut caleg PD untuk DPRD Kota Surabaya. Menurut Ketua PAV Rungkut, Tavar, Orang-orang baru yang di Demokrat yang belum berjuang membesarkan partai, diberi nomor urut jadi, karena mereka dekat dengan ketua DPC. Sedangkan kami yang di PAC-PAC yang berkeringat sejak tahun 2002 dan punya massa dalam pemenangan Pak SBY, ditempatkan di nomor urut sepatu (Radar Surabaya, 25/08/2008).
Masalah yang terjadi di tubuh partai Demokrat juga terjadi di parpol-parpol lainnya di berbagai daerah, baik parpol lama maupun parpol baru. Bahkan ada fenomena baru di berbagai parpol dalam pencalegan ini, yakni praktik politik “karbitan” atau politik instan. Dan yang paling mengkhawatirkan dan patut disesalkan, caleg yang dikarbit adalah mereka yang tak memiliki kapabilitas, kredibilitas dan kompetensi sebagai wakil rakyat. Jika yang dikarbit adalah caleg non kader dari kalangan intelektual atau akademisi, mungkin masih bisa ditolerir. Namun ini yang dikarbit adalah para artis, yang dari segi kapabilitas, kredibilitas, dan komptensi keilmuwan dan keahlihan sebagai wakil rakyat masih sangat diragukan. Demi ambisi memperoleh suara sebanyak-banyak, parpol ramai-ramai dan tak sungkan-sungkan merekrut artis untuk menjadi caleg. Yang diandalkan caleg artis ini hanya aspek popularitas semata, tanpa mempertimbangkan aspek kompetensinya.

Sulit diharapakan
Jika praktik pancelegan di tubuh parpol masih diwarnai dengan politik oligarki, nepotisme, politik uang, dan karbitan, maka caleg-caleg tersebut -jika sudah terpilih menjadi wakil rakyat- akan sangat sulit diharapkan bisa menjadi wakil rakyat dan berjuang untuk rakyat.
Praktik politik pencelagen semacam itu, sangat tidak kondusif bagi proses pendidikan politik rakyat yang sehat dan rasional, dan bahkan lebih dari itu akan menghambat proses kehidupan demokratisasi, baik itu untuk internal partainya sendiri maupun dalam pembangunan demokrasi daerah. Dengan demikian, lalu apa jadinya, caleg yang dihasilkan dari praktik politik pencalegan semacam itu?. Praktik semacam itu hanya akan melahirkan karakter kekuasaan yang otoriter. Caleg semacam itu tidak berpihak pada kepentingan rakyat, tapi pada kepentingan elit atau kelompok tertentu.
Bahkan bagi caleg yang hanya bermodalkan uang, patut kita curigai. Karena bukan tidak mungkin, jika terpilih nanti akan berusaha untuk mengembalikan uang yang telah dikeluarkan pada masa pencalegan. Dan bukan tidak mungkin juga, lembaga wakil rakyat nanti akan kembali diwarnai praktik korupsi seperti sekarang ini.
Itulah potret pengingkaran demokrasi dari elit-elit politik kita. Proses rekruitmen politik yang diharapkan menjadi milik rakyat, tapi dalam kenyataanya sudah dibajak oleh praktik oligarki (elit) partai yang sangat pragmatis. Dengan kata lain, Keputusan politik kelembagaan parpol direduksi sedemikian rupa menjadi keputusan politik yang bersifat personal. Mekanisme kelembagaan parpol dikalahkan oleh otoritas kekuasaan sang ketuanya atau orang yang memiliki pengaruh dan kharisma kuat. Ini yang kemudian menghasilkan caleg-caleg “karbitan” dan instan.
Karena itu, sebagai pemilik suara, masyarakat dituntut untuk lebih kritis, jeli dan rasional terhadap parpol-parpol –baik baru maupun lama- dalam proses pencalegan ini. Parpol-parpol yang masih menggunakan cara-cara karbitan atau instan dan apalagi menggunakan politik uang, sudah selayaknya tidak dipilih. Masyarakat jangan sampai kembali menjadi korban politik dari perilaku parpol-parpol dalam merekrut caleg-calegnya. Wakil rakyat hasil pemilu 2004 lalu, setidaknya bisa dijadikan pelajaran politik berharga bagi masyarakat untuk tidak kembali memilih caleg atau parpol yang sering bermasalah di Pemilu 2009 mendatang.
Pemilu 2009 mendatang diharapkan menjadi momentum bagi Parpol untuk membangun budaya politik yang sehat, rasional, dan elegan, bukan sebaliknya menciptakan pendistorsian dan pembusukan terhadap proses demokrasi.

Tidak ada komentar: