Selasa, 21 Oktober 2008

Menolak Caleg Bermasalah

Saat ini tahapan Pemilu 2009 memasuki masa penetapan Daftar Calon Sementara (DCS) anggota DPR/DPRD propinsi, Kabupaten/kota dan DPD. Pihak KPU sudah mempublikasikan daftar calon anggota legeslatif tersebut melalui media, baik media massa maupun elektronika. Dan saat ini masyarakat bisa melihat dan menilai para calon anggota legislatif tersebut berdasarkan daera pemilihnya masing-masing.
Ada ribuan caleg yang diajukan Parpol. Masa pencalegan ini merupakan titik awal bagi masyarakat untuk melihat dan menilai wajah-wajah calon legislatif yang akan duduk di Parlemen pada 2009. Masyarakat mulai sekarang harus jeli dan kritis terhadap nama-nama caleg yang dicalonkan Parpol. Karena tidak sedikit parpol yang mencalonkan seseorang bukan karena kapabilitas, kredibilitas, dan kompetensinya, tapi lebih karena popularitas semata. Bahkan yang paling memprihatinkan kita, ada beberapa Parpol yang mencalonkan seseorang yang pernah atau sedang tersengkut kasus hukum (baca: pidana). Ini yang perlu diwaspadai, agar masyarakat tak menjadi korban politik Parpol.
Dalam masa pengumuman DCS tersebut, tidak sedikit elemen masyarakat yang mulai mempertanyakan keberadaan para calon anggota legislatif tersebut. Bahkan tidak sedikit kader Parpol yang mempersoalkan dan bahkan memprotes beberapa calon yang tertera dalam DCS. Sebagian besar protes dari kader parpol terkait penyusunan daftar caleg. Misalnya munculnya calon “karbitan” parpol yang muncul tiba-tiba dan ditaruh di nomor urut topi alias jadi, muncul aroma praktik politik uang atau KKN dalam penentuan nomor urut calon, orang yang tak pernah berkeringat dan berjasa pada partai, tapi mendapat “tempat” dalam daftar calon dan berbagai alasan lainnya .
Sementara, elemen masyarakat -seperti LSM- lebih menyoriti dan mengkritisi beberapa caleg yang bermasalah, terutama terkait dengan track record yang dianggap tercela. Berbagai elemen masyarakat, seperti Koalisi Masyarakat Anti Politisi Buruk menyoroti masih dicalonkannya beberapa orang atau anggota dewan yang pernah/sedang tersangkut kasus-kasus hukum dan susila. Misalnya korupsi, kekerasan terhadap perempuan, pencurian, dan tindak pidana yang lainnya.
Pihak Parpol berapologi, bahwa pencalonan terhadap seseorang yang pernah di pidana atau sedang tersangkut kasus hukum dengan ancaman hukuman kurang dari lima tahun dan belum berkekuatan hukum tetap dari pengadilan dinilai tidak masalah. Secara hukum, seseorang yang masih dalam proses hukum dan belum mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap dari pengadilan atau tidak pernah dihukum kurang dari lima tahun, boleh dan sah-sah saja dicalonkan.
Dalam konteks ini, parpol cenderung mencari celah politik dan hukum sebagaimana yang disebutkan dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif. Dalam pasal 50 ayat 1 point G memang disebutkan; syarat menjadi anggota DPR/DPR propinsi, kabupaten/kota adalah Bakal calon anggota DPR/DPRD propinsi, kab/kota harus memenuhi persyaratakan; tidak dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum yang diancam hukuman pidana penjara selama 5 tahun atau lebih.
Parpol boleh saja berapologi dan berkelit dari aturan hukum yang ada, namun secara etis dan moral, seseorang yang sedang tersangkut kasus hukum atau pernah di hukum pidana penjara –meskinpun kurang dari lima tahun, tetap saja calon tersebut sudah tercela secara moral dan sosial. Dan karenanya seseorang yang sudah terkena kasus hukum sudah masuk kategori politisi tercela. Dan politsi tercela sudah sangat tidak layak lagi dicalonkan, apalagi dipilih.
Bagi parpol, mungkin politisi tercela tersebut sangat populer dan memiliki uang banyak serta berpotensi memberi keuntungan politik dan materi bahkan memberi suara terbanyak, sehingga begitu mudah lolos seleksi dan verifikasi internal partainya. Namun politisi tercela seperti itu sekali lagi sangat tidak layak dan haram untuk dicalonkan.

Tolak Politisi Bermasalah
Saat ini pihak KPU memberikan waktu sekitar dua minggu bagi Parpol dan masyarakat untuk menilai dan mengkritisi para calon politisi parlemen. Peran penting dan strategis dalam menyeleksi para caleg ini sebenarnya ada di Parpol. Karena Parpol merupakan pintu awal para caleh dicalonkan. Seharusnya parpol lebih selektif dalam melakukan proses rekruitmen; mulai dari penjaringan, penyaringan sampai pada penetapan caleg. Ini yang cenderung kurang diperhatikan Parpol. Parpol lebih melihat dan mempertimbangkan aspek popularitas dan uang. Tidak melihat dan mempertimangan aspek kapasitas, kapabilitas, dan kredibilitas (moral dan sosial) caleg. Sehingga tidak salah jika proses rekruitmen caleg banyak diwarnai protes dan praktik KKN.
Mumpung masih dalam DCS, pihak Parpol dituntut mempertimbangkan kembali untuk tidak mencalonkan calon politisi yang bermasalah atau tercela. Dengan kata lain, Parpol harus mencoret para politisi bermasalah dan digantikan dengan yang tidak bermasalah. Kita semua sepakat bahwa Pemilu 2009 nanti harus diselamatkan dari para politisi yang bermasalah atau tercela. Kita sudah kecolongan pada Pemilu 2004 lalu, tidak sedikit para politisi bermasalah dan tercela duduk sebagai wakil rakyat. Dan kita bisa melihat sendiri, mereka yang bermasalah dan tercela, sampai saat ini masih bermasalah dan terus bermasalah.
Jika Parpol bersikeras mempertahankan para politisi bermasalah dan tercela, maka alat kontrol terakhir dan paling efektif adalah kontrol dari masyarakat atau pemilih. Masyarakat pemilih harus lebih selektif dan rasional dalam menentukan hak pilihnya pada pemilu 2009 nanti. Para calon politisi dari Parpol yang bermasalah dan tercela sudah selayaknya tidak dipilih. Masyarakat harus tegas menolak para calon politisi yang bermasalah dan tercela. Kampanye tolak politisi busuk yang disuarakan Koalisi Masyarakat Anti Politik Busuk merupakan langkah yang bisa membantu menyelamatkan lembaga wakil rakyat dari para politisi bermasalah dan tercela.
Jika dibiarkan dan melenggang ke parlemen, para politisi bermasalah dan tercela tidak saja akan menjadi beban sosial-politik dan ekonomi bagi lembaga parlemen, tapi juga bagi mayarakat. Jangan sampai masyarakat menjadi korban politik kedua kalinya dari para politisi dan calon politisi yang bermasalah, tercela dan tak bernurani.