Kamis, 06 November 2008

Menjaga Konsistensi KPK

Sumber : Opini Radar Surabaya, 6 November 2008

Sikap berani kembali ditunjukkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani kasus korupsi di Indoensia, terutama terkait dengan kasus korupsi penarikan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp 100 milyar yang melibatkan para petinggi Bank Indonesia. Setelah publik menunggu, akhirnya KPK menetapkan mantan deputi gubernur BI yang juga sekaligus besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Aulia Pohan sebagai tersangka. Aulia menyusul petinggi BI yang lainnya yang sudah menjadi pesakitan yakni, mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdulllah (sudah divonis pengadilan Tipikor selama lima tahun), Oey Hoey Tiong, dan Rusli Simanjuntak.
Penetapan Aulia Pohan sebagai tersangka bisa dibilang cukup ”terlambat”. Mengapa baru kali ini dia ditetapkan sebagai tersangkan, tidak berbarengan dengan ketiga terdakwa lainnya. Seharusnya Aulia Pohan sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak proses peradilan Burhanudiin, Oey Tiong, Rusli Simanjuntak berjalan. Karena berdasarkan fakta-fakta hukum dipersidangan, baik yang muncul dari para saksi dan penunutut umum, menyebut nama Aulia Pohan beberapa kali. Bahkan menurut Indonesia Corruption Wacth, nama Aulia Pohan disebut 114 kali.
Pihak KPK beralasan, bahwa KPK tidak mau gegabah dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Sebagaiamana yang dikatakan Ketua KPK Antasari Ashzar, bahwa penetapkan Aulia lebih didasarkan pada bukti-bukti hukum yang kuat untuk dilakukan penyidikan lebih lanjut. Bukan karena desakan publik atau asumsi yang kadang sulit dipertanggungjawabkan. KPK bekerja berdasar pada profesionalisme hukum.
Terlepas dari semua, langkah hukum KPK ini patut diapresiasi. Ini menunjukkan bahwa supremasi hukum masih berjalan, bukan lagi supremasi politik. Ini mengingat tersangka korupsi yang dihadapi KPK adalah bukan sembarangan. Dia (Aulia Pohan) adalah besan dari Presiden SBY. Jika ada “kemauan politik” dari SBY, bisa saja nasib hukum Aulia tidak seperti sekarang, jadi tersangka. Bahkan SBY sendiri, sebagai presiden menegaskan bahwa hukum harus ditegakkan kepada siapa pun. Ini sebagai komitmen awal dari SBY sendiri yang menjadi penegakkan hukum dan pemberantasan korupsi menjadi agenda utama dalam pemerintahannya, tidak akan intervensi dan menyerahkan besannya itu sepenuhnya kepada proses bukum. Terlepas dari “nada miring” dari publik yang menyebut sikap politik SBY untuk mencari simpatik publik jelang pemilu 2009. Namun, sikap politik SBY ini patut juga diaparesiasi.
Dalam konteks penegakkan hukum, penetapan Aulia Pohan tersebut menunjukkan KPK tidak melakukan tindakan diskriminatif atau “pandang bulu” sebagaimana yang sebelumnya dilontarkan sebagian orang. Hukum dalam konteks ini menjadi supreme dan otonom. Hukum berjalan sesuai dengan relnya. Tidak ada intervensi politik dari manapun dan siapapun. Baik dari istana maupun dari publik yang selama ini bersuara keras terhadap kasus korupsi BI ini.
Sikap tegas dan tak pandang bulu KPK sudah saatnya diikuti oleh para penegak hukum lainnya, terutama kejaksaan yang selama ini dianggap lamban dan kurang produktif dalam “menjaring” para tersangka korupsi untuk duduk di kursi pesakitan. Ada ratusan bahkan ribuan pejabat, mulai tinggi daerah sampai pusat, yang tersangkut kasus dugaan korupsi. Dan sebagian besar sudah ditangani kejaksaan, namun tidak sedikit sebagian dari para tersangka lolos dari jerakan kejaksaan.

Menjaga Konsistensi.
Setelah dijadikan tersangka, KPK akan aktif untuk melakukan menyidikan lebh lanjut minggu. Inilah ujian selanjtnya yang akan dihadapi KPK, apakah akan konsisten untuk membawa kasus Aulia ini sampai ke Pengadilan Khusus Tipikor. Dan Aulia sepertinya akan bernasib sama seperti keempat koleganyanya yang lain. Kecuali KPK mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan Perkara (SP3). Ini sangat sulit dan dalam sejarah KPK belum pernah ada kasus tindak pidana korupsi yang di SP3. Dengan kata lain, KPK bisa bersikap konsisten terhadap kasus Aulia dan para tersangka lainnya.
Selanjutnya, KPK diharapkan akan bekerja secara profesional dan konsisten. Tidak terpengaruh terhadap desakan publik atau tekanan politik dari manapun dan siapapun. Kini setelah menetapkan Aulia sebagai tersangka, gebrakan hukum lain dari KPK akan ditunggu publik, terutama terkait dengan calon tersangka lain yang berasal dari DPR. Saat ini baru dua orang anggota DPR RI yang ditetapkan sebagai tersangka, yakni Hamka Yandu, Anthoni Zedra Abidin.
Dalam persidangan Tipikor, fakta dan bukti-bukti hukum menunjukkan bahwa aliran dana BI sebesar Rp 35,5 milyar tidak saja dinikmati oleh kedua anggota dewan tersebut, tapi juga ke beberapa anggota dewan lainnya. Ini akan menjadi ujian hukum bagi KPK, apakah berani menyeret anggota dewan yang lainnya yang ikut menikmati uang haram tersebut menjadi tersangka?. Sampai sekarang sebagian anggota dewan tersebut masih bebas bebas berkeliaran. Belum tersentuh hukum.
Dengan logika sederhana, jika kepada Aulia (yang ada kaitannya dengan istana) saja bisa bersikap tegas, tentunya KPK bisa bersikap lebih tegas dan berani berhadapan dengan anggota dewan. Jangan sampai KPK mengkeret berhadapan dengan anggota dewan yang sebelumnya punya “jasa politik” atas terpilihnya Antasari dkk sebagai anggota KPK. Dan saya yakin, KPK bisa bersikap tegas dan lebih berani kepada anggota dewan yang lainnya yang belum dijadikan tersangka. Dan saya yakin, KPK tidak akan menggadaikan kasus hukum BI ini dengan jasa politik anggota dewan. Terlalu murah untuk dilakukan.
Kini, masyarakat tidak saja menunggu ketegasan para penegak hukum, termasuk KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi di negeri ini, tetapi lebih dari itu bagaimana penegakkan hukum bisa melahirkan keadilan hukum bagi masyarakat. Karena banyak kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara disidik dan dibawah persidangan, tapi sangat sedikit putusan hukumnya belum memenuhi rasa keadilan. Tidak sedikit kasus korupsi divonis ringan bahkan ketika ditangani hakim Pengadlan Negeri divonis bebas. Karena itu, bagi masyarakat, penegakkan hukum penting, tetapi jauh lebih penting penegakkan hukum bisa melahirkan keadilan hukum bagi masyarakat. Wallahu ‘alam.

Tidak ada komentar: