Selasa, 24 Maret 2009

Kampanye, Uang, dan Kekuasaan

Sumber : Opini Surabaya Pagi, 24 Maret 2009


Kampanye, uang, dan kekuasaan. Ketiga komponen politik penting ini akan mewarnai hajatan politik lima tahunan negeri ini. Mulai 16 Maret sampai 5 April 2009, tahapan Pemilu akan memasuki tahap kampanye massal. Setiap Parpol diberikan kesempatan dua kali untuk mengadakan kampanye terbuka dan pengerahan massa. Kampanye massal ini tentu saja akan tidak saja menyedot massa yang cukup besar, tapi juga dana kampanye sangat besar.
Meskinpun uang bukan satu-satunya faktor penentu di dalam pemenangan Pemilu, namun uang tetap faktor utama yang diperlukan dalam menjalankan proses kampanye dan meraih dukungan pemilih (Jaconson, 1980:33). Parpol dan para calegnya sebelumnya sudah berkampanye secara terbatas sejak Juli 2008 dan tentu saja telah menghabiskan uang cukup besar untuk sosialisasi ke masyarakat pemilih. Di Kampanye massal, ini diprediksi dana kampanye akan mengalir lebih banyak dibanding sebelumnya.
Potensi politik uang juga semakin besar. Ini mengingat Mahkamah Konsititusi (MK) membatalkan penetapan caleg dengan nomer urut dan digantikan dengan sistem suara terbanyak. Sistem ini memberi ruang bagi para caleg yang berkantong tebal untuk memanfaatkan modal kapitalnya untuk meraih suara pemilih sebanyak-banyaknya. Uang milyaran rupiah akan disebar kepada khalayak pemilih dengan harapan mendapat suara banyak dan meraih kursi politik di parlemen.. .
Uang tersebut digunakan untuk kampanye dalam bentuk iklan di berbagai media massa dan elektronika. Iklan media ini diperkirakan mencapai ratusan milyar rupiah. Apalagi disiarkan pada prime time. Selain kampanye lewat media, Parpol dan para calegnya juga berkampanye lewat baliho, reklame, brosur yang bentuk sangat besar dan tentunya dipastikan anggaran yang dikelarkan juga sangat besar. Dengan kampanye assal selama 21 hari, uang yang beredar dalam Pemilu Pilgub ini bisa mencapai angka triliunan.
Selain kampanye dalam bentuk iklan di media, reklame, baliho dan sebagainya. Para caleg Parpol juga mengobral uang dan barang pada saat menemui masyarakat. Ada yang memberikan satu paket sembako, uang ampop, paket alat dapur. Bahkan ada bentuk kampanye dalam bentuk jalan sehat dengan diiming-imingi berbagai hadiah yang menarik, mulai sepeda motor, TV, radio, kulkas sampai sepeda mini, dan sebagainya. Dan anggaran untuk kebutuhan ini, tidaklah sedikit. Bisa mencapai puluhan milyaran rupiah.
Semua itu dikorbankan untuk satu tujuan yakni meraih kekuasaan. Ramai-ramainya para caleg Parpol mengobral uang dalam kampanye Pemilu ini, bukannya menimbulkan respon positif dari masyarakat. Justru menimbulkan penilaian negatif bahawa hajatan politik tersebut identik dengan uang. Dengan kata lain, para caleg parpol sudah dengan nyata dan jelas melakukan praktik money politic.

Politik Uang
Para caleg parpol sangat begitu vulgar mengumbar dan mengobral uang dalam masa kampanye. Bagi-bagi uang menjadi kegiatan rutin para caleg dan tim suksesnya dalam mencari dukungan suara pemilih. Padahal praktik ini jelas telah melanggar aturan hukum yang ada. Uang menjadi bagian terpenting dan faktor dominan dalam meraih kekuasaan.
Dalam aturan UU Pemilu No. 10/2008 tentang Pemilu DPR, DPRD dan DPD sudah sangat jelas larangan politik uang. Pasal 274 UU Pileg menyatakan; “Pelaksana kampanye yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung ataupun tidak langsung agar tidak menggunakan hak pilihnya untuk memilih, atau memilih peserta pemilu tetentu, atau menggunakan haknya untuk memilih dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 24 bulan dan denda paling sedikit Rp 6.000.000 dan paling banyak Rp 24.000.000”
Di tahun 2004, banyak praktek dan modus politik uang yang terjadi di Pemilu 1999 kembali terjadi. Rentang waktu politik uang rezim Pemilu terbagi kedalam dua masa, yakni mas pelaksanaan kampanye sebagaimana KPU sudah tetapkan jadwalnya dan masa pencoblosan suara. Sebagaimana di atur dalam UU, politik uang tidak sebatas pembeiran uang, namun juga maeri yang terkait dengan upaya membujuk calon pemilih untuk memilih calon tertentu (Buku Panduan Pemantauan Dana Kampanye, ICW, 2009). Dan praktek politik uang sebagaimana yang terjadi di Pemilu 2004 bukan tidak mungkin akan terjadi kembali di Pemilu 2009 ini. Bahkan kuantitas dan kualitasnya akan semakin tinggi.
Masyarakat pemilih harus berfikir money politic adalah racun bagi dirinya dan bangsa ini. Para caleg yang mengandalkan politik uang nantinya jika terpilih akan berperilaku lebih ganas bak predator yang bisa menghisap uang rakyat lebih banyak. Jika sudah menjadi anggota dewan, dalam pikirannya akan muncul bagaimana uang ratusan juta yang telah dikeluarkan bisa balik, bahkan kalau perlu bisa lebih. Para caleg model ini akan “menghalalkan segala cara” dalam meraih keuntungan politik dan ekonomi ketika sudah duduk menjadi wakil rakyat. Karena itu, ambil uangnya, jangan pilih orangnya.
Kampanye yang diwarnai dengan politik uang yang begitu vulgar dan tanpa dosa ini bukannya akan memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat, tapi justru yang terjadi adalah praktik pembodohan politik yang begitu masif. Parpol dan caleg yang mengandalkan uang dalam meraih kursi kekuasaanya, sudah dipastikan akan menjadi rezim korup jika mereka nantinya berkuasa atau memegang kekuasaan. Bahkan perilaku korupnya dipastikan akan lebih korup di bandingkan dengan saat kampanye.
Karena itu, dalam konteks ini masyarakat pemilih dituntut untuk berfikir lebih rasional dan cerdas. Pemilih jangan sampai tergiur dengan imbalan materi yang diberikan para caleg dan Parpol. Awalnya mungkin berkah politik bagi pemilih, namun kedepannya akan menjadi bencana politik bagi pemilih dan bangsa ini.

Rabu, 11 Maret 2009

Korupsi dan Keshalehan Formal

Dimuat di Opini Radar Surabaya Januari 2009

Dugaan praktik korupsi di lingkungan Departmen Agama (Depag) kembali mencuat ke publik. Ini menyusul laporan Indonesia Corruption Wacth (ICW) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait pengelolaan Dana Alokasi Ummat (DAU) yag diduga berindikasi korupsi.
Dalam laporannya ke KPK, ICW menyebut indikasi penyelewengan DAU mencapai Rp 1,3, triliun dalam kurun waktu 2004-2006. Dana sebesar itu tak pernah dilaporkan ke DPR. ICW menyebut ada dana yang mengalir ke menteri agama dalam tiga bentuk, yakni tunjangan fungsional sebesar Rp 10 juta, tunjangan Idul Fitri sebesar Rp 25 juta, dan biaya taktis perjalanan dinas Menag ke Arab Saudi sebesar Rp USD ribu
Selain itu, ICW juga menyebut ada praktik kotor berupa pemberian uang perjalanan kepada anggota DPR dan transpor pembahasan Biaya Perjalanan Penyelenggataan Ibadah Haji (BPIH) yang mencapai Rp 500 milyar (Radar Surabaya, 28/12/2008). Kasus ini saat ini sedang diselidiki oleh KPK, apakah indikasi dan unsur pidana atau tidak.
Kasus ini sungguh sangat ironis, karena terjadi di institusi agama sekaliber Depag yang diberi tugas negara sebagai penjaga moralitas bangsa. Namun demikian, untuk membuktikan kebenaran dugaan praktik pungli tersebut, perlu adanya penyelidikan dan investigasi dari KPK. Laporan ICW–yang berisi data dan informasi- yang masuk ke KPK tersebut setidaknya bisa dijadikan modal dan pintu awal bagi aparat penegak hukum kita untuk masuk melakukan menyelidikan dan investigasi secara mendalam. Pertama, apakah benar telah terjadi praktik korupsi. Kedua, jika dalam proses penyelidikan dan investigasi tersebut ada indikasi kuat dan mengarah ke tindak pidana korupsi, maka pihak penegak hukum bisa melanjutkan ke proses penyidikan.
Kasus korupsi yang terjadi di tubuh Depag, bukan kali ini saja terjadi. Beberapa tahun yang lalu, KPK pernah berhasil membongkar kasus yang sama pada era Said Agil H. Munawar. Setelah melakukan proses penyelidikan dan penyidikan di tubuh Depag, KPK menemukan adanya dugaan korupsi di lembaga “penjaga moral ummat” tersebut senilai Rp 680 milyar. Kasus ini akhirnya menyeret mantan Menteri Agama, Said Agil Husein Al Munawar ke pengadilan. Dengan melihat fakta-fakta ini, publik mulai menilai institusi agama seperti Depag ini ternyata tak stiriil juga dari praktik korupsi.

Keshalehan formal
Kasus dugaan praktik korupsi ini sungguh sangat ironis dan tragis. Jika korupsi menimpa departemen pariwisata misalnya, mungkin masyarakat masih menganggap “wajar”, karena terjadi di instiusi yang “jauh” dari religiusitas atau banyak orang yang tak tahu dan faham agama. Akan tetapi jika ini terjadi di institusi agama seperti Depag, (jika ini benar terjadi) wah ini sungguh sangat keterlaluan. Institusi yang selama ini dikenal publik tahu dan faham agama dan fasih berkothbah anti korupsi justru tersangkut dugaan korupsi.
Bagi orang awam, mungkin akan muncul pertanyaan bagaimana mungkin kasus “haram” tersebut terjadi di Institusi agama?. Apa yang salah dengan institusi agama?. Apakah institusi agama, seperti Depag, saat ini sedang mengalami degradasi pemahaman agama?. Seharusnya dengan semakin tinggi tingkat pemahaman agama atau religuisitas seseorang, akan semakin rendah atau setidaknya akan dapat menekan bahkan menghilangkan praktik haram tersebut. Lalu buat apa mereka belajar agama puluhan tahun, jika tidak mampu menahan hawa nafsu untuk melakukan praktik haram.
Singkatnya, saya melihat, tingkat keshalehan masyarakat kita, termasuk para pejabat dan anak buahnya di Depag, masih sebatas keshalehan formal, yakni keshalehan pada tingkat kognitif dan status keagamaannya. Keshalehan hanya ada di tempat-tempat ibadah atau majelis taklim. Belum sampai pada keshalehan substansial, yakni keshalehan yang mendalam yang tak kenal ruang dan waktu. Tidak hanya diyakini, dan dipercaya secara nalar, tapi juga diaktualisasikan dalam setiap perilaku dan tindakan hidupnya. Keshalehan substansial ini salah satunya mewujud pada sikap moral dan sosial seseorang kepada orang lain dan lingkungan sosial lainnya. Sikap peduli, empati, dan anti korupsi misalnya adalah salah satu wujud dari keshalehan substansial dan sosial tersebut. Keshalehan ini nihil di institusi agama seperti Depag, yang tumbuh-sumbur justru keshalehan formal yang sifatnya fatamorganis.
Karena itu, semua pihak, terutama Depag sebagai lembaga yang diamanahi menjaga dan memperbaiki moralitas masyarakat harus membenahi aspek kelembagaan dan aparatusnya. Depag tidak saja dituntut untuk membangun kelembagaan yang anti korupsi, tapi yang terpenting juga membangun mentalitas dan integritas moral para aparatusnya. Keshalehan formal harus diaktualisasikan pada keshalehan sosial yang substansial, bukan artifisial.

Otoda dan Kinerja Keuangan Daerah

Dimuat di Jurnal Balitbangda Pemprop Jatim, 2009


Kebijakan otonomi daerah sebagai wujud dari tutuntan reformasi telah berjalan hampir satu dekade. Namun kebijakan ini belum mampu memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Rendahnya kesejahteraan masyarakat ini tak lepas dari kinerja dan kinerja keuangan pemerintahan daerah. Karenanya, ke depan Pemprop dan kabupaten/kota perlu untuk memperbaiki dan menata kembali menajemen pemerintahan dan pengelolaan keuangan daerahnya, yakni dengan komitmen dan konsisten pada prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik.

Kata Kunci : Otonomi Daerah, Kinerja Keuangan Daerah, dan Kesejahteraan Masyarakat
PENDAHULUAN
Era reformasi telah menghasilkan dua Undang-Undang yang mengatur penyelenggaraan otonomi daerah. Pertama adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengusung semangat demokratisasi pemerintahan daerah serta menjadikan desentralisasi sebagai instrumen demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan. Kedua adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sejatinya merupakan perbaikan dari UU Nomor 22 Tahun 1999. UU No Nomor 32 Tahun 2004 berupaya mengawinkan semangat demokrasi dengan prinsip efisiensi dan efektivitas pelayanan publik dalam pemerintahan daerah (Kausar AS, 24 Agustus 2006).
Otonomi daerah pada dasarnya adalah otonomisasi masyarakat karena pengertian normatif tentang daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom. Berdasarkan pengertian tersebut, maka wajar bila otonomi daerah berarti bagaimana mendekatkan kebijakan dengan apirasi masyarakat di tingkat daerah. Dengan kata lain, aspirasi masyarakat akan mudah ditangkap dan dikonversi oleh pembuat kebijakan menjadi sebuah kebijakan yang berpihak pada kepentingan masyarakat, baik terkait dengan kebijakan anggaran maupun non anggaran.
Otonomi daerah telah memberikan kewenangan cukup besar bagi pemerintahan daerah untuk merancang dan melaksanakan kebijakan dan program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan daerah. Dalam wewenang Otonomi Daerah, melekat pula wewenang dan tanggung jawab untuk secara aktif dan langsung mengupayakan penanggulangan berbagai masalah di daerah, termasuk masalah penanggulangan kemiskinan dan pengangguran di daerah. Sebab salah satu tujuan Otonomi Daerah adalah untuk menciptakan sistem pelayanan publik yang lebih baik, efektif dan efisien yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan serta kemandirian masyarakat.
Kebijakan Otonomi daerah yang dituangkan dalam UU No.32 Tahun 2004 dan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, telah menjadi tonggak baru dalam tradisi pemerintahan di negeri ini. Pemerintah pusat tidak hanya memberikan kewenangan secara administratif pemerintahan, tapi juga desentralisasi kekuasaan dan pelaksanaan pembiayaan pemerintah daerah, yang semuanya dibebankan kepada Angaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun pelimpahan kewenangan adminitratif dan anggaran yang cukup besar ini memunculkan banyak permasalahan di kemudian hari. Penyebabnya, sistem akuntabilitas publik yang lemah dan representasi politik yang buruk. Penyalahgunaan kekuasaan dalam bentuk korupsi menyebar ke daerah-daerah seiring dengan bergulirnya otonomi daerah.
Menurut Peneliti ICW, Fahmi Badoh, (MTI, 2005:3); mengatakan Implementasi Otoda terjadi di tengah ketidaksiapan daerah, baik dari sisi birokrasi pemerintahan maupun masyarakatnya. Kewenangan yang cukup besar yang dilimpahkan pada pemerintah daerah justru menyuburkan praktik korupsi anggaran dan kebijakan di daerah. Proses perencanaan anggaran menjadi penuh manipulasi dan proyek-proyek daerah dimonopoli segelintir kroni kekuasaan, baikdi legislatif maupun eksekutif. Kebijakan daerah pun diarahkan untuk memberikan keuntungan pada segelintir pengusaha yang menikmati rente ekonomi dan kekuasaan yang korupsi.telah mengalami pereduksian dan distorsi sedemikian rupa oleh para elit daerah, sehingga kini banyak melahirkan “raja-raja kecil” di daerah. Lebih menyakitkan lagi adalah, perilaku para anggota parlemen (DPRD), yang seharusnya menjaga lembaga pengawas bagi jalannya pemerintahan, malah banyak dari mereka terlibat, menjadi agen dan bahkan juga menjadi pelak korupsi munculnya berbagai kasus korupsi yang melibatkan pejabat eksekutif dan legislatif di berbagai daerah di Jatim menunjukkan akan hal itu.
Sebagai peraturan pelaksana kedua UU tersebut, pemerintah pusat mengeluarkan PP. Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah dan PP. Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah. Kedua perangkat regulasi tersebut telah membawa perubahan yang cukup mendasar dalam pola manajemen keuangan pemerintahan daerah. Dalam kedua regulasi tersebut, diatur beberapa hal baru, di antaranya; Kebijakan anggaran surplus/defisit, Perubahan sistem pembukuan dari single entry ke double entry, Unfied Budget, Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting), dan Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah. Dengan adanya beberapa perubahan tersebut, menuntut pemerintahan daerah untuk belajar cepat. Pemerintahan daerah dipaksa untuk mengubah menajemen keuangannya secara mendasar. Orientasi perubahan yang sangat signifikan ini ujung-ujungnya adalah pada upaya mewujudkan akuntabilitas Publik (MTI, 2005:14).
Pembangunan sistem anggaran pemerintah daerah berbasis kinerja ini merupakan salah satu tuntutan dari pembentukan pemerintahan daerah yang baik dan bersih (good and clean governance). Dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik itu akan dijamin pula adanya akuntabilitas, transparansi, partisipasi, keterbukaan dan penegakan the rule of law (Healy and Robinson, 1992). Dengan terbentuknya pemerintahan yang bersih diharapkan dapat memberikan pelayanan dasar masyarakat yang berkualitas. Ini sejalan dengan semangat dari otonomi daerah, yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembuatan dan manajemen pengelolaan keuangan daerah yang berpihak pada kepentingan masyarakat (pro poor budgetig).
Anggaran berbasis kinerja merupakan suatu sistem penganggaran yang disusun berdasarkan pertimbangan beban kerja dan unit biaya dari setiap kegiatan atau juga bisa menegaskan antara pengeluaran dengan hasil (output) yang diharapkan. Sehingga pencapaian alokasi biaya atas input yang telah ditetapkan menjadi indikator tersendiri dalam anggaran kinerja. Sistem penyusunan anggaran belanja di daerah yang meggunakan pendekatan kinerja setidaknya harus membuat fungsi belanja, standar pelayanan (minimem), perkiraan biaya (LBH, 2004). Menurut Winarso (MTI, 2005:15), dalam sistem penganggaran berbasis kinerja ini lebih mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (outcome) dan perencanaan alokasi biaya (input) yang ditetapkan.
Dengan menggunakan sistem manajemen keuangan daerah yang baru, diharapkan dapat meningkatkan kinerja APBD yang pada akhirnya dapat berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Persoalan terkait dengan pelayanan dasar; kesehatan dan pendidikan, kemiskinan dan pengangguran, dan berbagai persoalan lainnya bisa diselesaikan dengan kinerja birokrasi dan keuangan daerah yang maksimal. Namun, kewenangan yang cukup besar yang dimiliki pemerintahan daerah, persoalan riil masyarakat tersebut saat ini dirasakan berjalan di tempat, tidak perkembangan positif ke arah perubahan yang lebih baik. .
Sejak pertama kali diterapkan pada tahun 2003, manajemen pengelolaan dan pelaksanaan anggaran berbasis kinerja (Performance Based Budget) sebagai sebuah sistem baru yang secara resmi diatur dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 dan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara hingga saat ini telah banyak diadopsi oleh pemerintahan daerah baik di tingkat Propinsi hingga ditingkat Kabupaten / Kota.
Hingga memasuki tahun keenam ini, seharusnya proses penyusunan APBD di di kabupaten/kota dan propinsi mengalami kemajuan yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Indikator kemajuan yang seharusnya terlihat adalah bagaimana seharusnya Pemerintahan Daerah (Propinsi, kab/kota dan DPRD) membuka ruang publik, untuk menjamin transparansi, partisipasi dan akuntabilitas kebijakan publik dalam hal proses penyusunan anggaran, karena jika ditinjau dari sisi pendapatan PAD (Pendapatan Asli Daerah) sebesar 75% yang berasal dari pajak, retribusi dan pendapatan lainnya yang sah secara langsung merupakan sumber yang diperoleh dari uang masyarakat.

RUMUSAN MASALAH
Kebijakan otonomi dearah ternyata tidak serta merta dapat memberikan kontribusi positif terhadap kinerja keuangan dearah, terutama APBD Pemerintah Propinsi Jawa Timur. Idealnya kebijakan otonomi daerah dapat mendorong kinerja keuangan pemprop semakin lebih baik dan maksimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berangkat dari latar ini, ada beberapa permasalahan yang terkait dengan otonomi daerah dan kinerja keuangan daerah kita.
1. Bagaimana kinerja keuangan daerah di era otonomi daerah sekarang ini?
2. Mengapa Otonomi Daerah belum mampu memberikan kontribusi pada peningkaan kinerja keuangan daerah, terutama pemerintah Propinsi Jawa Timur?
3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja keuangan daerah Propinsi Jawa Timur tidak maksimal sehingga berdampak pada rendahnya kualitas kesejahteraan masyarakat?
4. Upaya apa yang harus dilakukan pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif) dalam meningkatkan kinerja keuangan daerah (APBD) sehingga berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat?

KAJIAN INI BERTUJUAN :
1. Untuk mengkaji kinerja keuangan daerah di era otonomi daerah.
2. Untuk mengkaji sejauhmana kebijakan Otonomi daerah mampu memberikan kontribusi positif terhadap kinerja keuangan daerah (baca: APBD)
3. Untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya kinerja keuangan daerah yang kemudian berdampak pada rendahnya kualitas kesejahteraan masyarakat
4. Menentukan solusi apa yang harus dilakkan pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif) dalam rangka meningkatkan kinerja keuangan daerah sehingga berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian kualitatif dan analisa kualitatif dengan metode kajian deskriptif. Penggalaian Bahan dan data dalam penelitian ini diperolah dari APBD Jatim, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kajian literatur, informasi media massa dan sumber-sumber lain yang mendukung. Fokus kajiannya pada kebijakan otonomi daerah dan kinerja keuangan daerah, lebih khususnya lagi kinerja APBD Propinsi Jawa Timur dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat mealui program pembangunan. Data-data yang telah diperoleh dikumpulkan, kemudian diseleksi dan dianalisis secara kualitatif dengan berpedoman pada kerangka pemikiran yang telah disajikan guna memberikan gambaran yang jelas dari fenomena yang diteliti. Yang menjadi fokus dari analisa kualitatif ini sesungguhnya pada penunjukkan makna deskripsi, penjernihan dan penempatan data pada konteksnya masing-masing (Sanapiah Faisal, 1989:269)..

PEMBAHASAN
Otonomi Daerah dan Kesejahetraan Masyarakat
Paket Undang-Undang Otonomi daerah, yakni UU Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 yang kemudian dirubah menjadi UU No. 32 dan 33 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan perimabangan keuangan pusat daerah merupakan tonggak dicanangkannya otonomi daerah sebagai hasil tuntutan reformasi dan demokratisasi yang terjadi di Indonesia. Inti dari kedua regulasi tersebut adalah pemberian kewenangan dan taggung jawab yang lebih besar kepada pemerintahan daerah untuk secara lebih mandiri meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayahnya melalui prioritas pilihan pembangunan secara otonom.
Tuntutan ini secara implisit merupakan tantangan bagi pemerinatah daerah untuk menata kembali manajemennya secara lebih baik, mulai dari perumusan perencanaan sampai tata kelola administratif. Tuntutan inilah yang kemudian diistilahkan sebagai good governance, suatu pemerintahan yang dikelola secara transparans, akuntabel, dan bervisi.dalam konteks reformasi, semua hal itu menjadi agenda nasional yang diamanatkan kepada penyelenggara pemerintahan (Winarso, dalam MTI, 2005:13).
Ujung dari diberlakukannya kebijakan otonomi daerah ini adalah kesejahteraan masyarakat. Munculnya berbagai persoalan di daerah baik ditingkat elit daerah maupun masyarakatnya, seperti masalah korupsi, penyimpangan anggaran, Perda retributif, sampai pada masalah buruknya pelayanan dasar masyarakat; kesehatan dan pendidikan, angka kemiskinan dan pengangguran semakin melambung, dan berbagai persoalan daerah lainnya menunjukkan ada yang salah dalam implementasi kebijakan otonomi daerah. Dan merebaknya persoalaan tersebut tak dapat dilepaskan dari kerja dan kinerja pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif) dalam memenaj keuangan daerah, yakni APBD.

Performance Based Budgeting
Upaya menciptakan kinerja pemerintahan yang baik khususnya di bidang manajemen keuangan telah diupayakan pemerintah dengan dikelurkannya seperangkat regulasi. PP. 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan pertanggungjawaban Keuangan Daerah dan PP. 108 tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah, merupakan tonggak reformasi dalam perubahan pola menajemen keuangan pemerintahan daerah.
Penganggaran berbasis kinerja pada dasarnya merupakan pola penganggaran yang sangat komprehensif. Ia merupakan suatu sistem penganggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (outcomes) dari perencanaan alokasi biaya (input) yang ditetapkan. Definisi ini mengandung konsekwensi bahwa setiap alokasi dana harus dapat diukur capaian output/outcomes yang hendak dicapai dan input yang telah ditetapkan. Dengan penerapan anggaran berbasis kinerja ini berarti tolak ukur keberhasilan tidak lagi hanya diukur dari tingkat pecapaian penyerapan dana seperti yang terjadi selama ini, tapi ditentukan dari target kinerja yang terukur.
Dari sisi pemberantasan korupsi, anggaran berbasis kinerja akan mendorong penerapan prinsip-prinsip good governance dalam proses penganggaran. Hal itu akan mendorong terjadinya transparansi dengan menjadikan APBD sebagai produk hukum (dokumen publik) lewat peraturan daerah (Perda), dan penerapan tiga elemen dalam penilaian anggaran kinerja; yaitu standart analisa biaya (SAB), tolak ukur kinerja, dan standar biaya (Fahmi, dalam MTI, 2005:6).
Menurut R. Herlambang, dkk (2004:22) dalam bukunya “Anggaran Berbasis Kebutuhan Dasar Rakyat Miskin”, mengatakan anggaran berbasis kinerja setidaknya harus memenuhi langkah-langkah ; sasaran atau tujuan yang diharapakan memuat fungsi belanja, standar pelayanan yang diharapkan dan perkiaraan biaya satuan komponen kegiatan, dan prosentase jumlah pendapatan APBD yang membiayai pengeluaran administrasi umum, operasi dan pemeliharaan, serta belanja publik. Untuk mengukur kinerja keuangan Pemerintah Daerah dikembangkan standart analisa belanja, tolak ukur kinerja, dan standart biaya. Tak cukup dengan itu, dalam penyusunan rancangan anggaran, pemerintah bersama-sama DPRD harus menyusun arah dan kebijakan umum APBD, yang akan digunakan pemerintah daerah dalam menyusun strategi dan prioritas APBD.
Namun, sistem pengelolaan anggaran berbasis kinerja ini belum sepenuhnya diimplementasikan di daerah. Bahkan seringkali mengalami distorsi karena berbagai kepentingan, termasuk kepentingan politik dan ekonomi elit aderah. Dalam penganggaran di daerah, misalnya seringkali indikator disusun secara serampangan, tidak jelas tahap kemajuannya, atau sekedar plagiat dengan APBD kota/kabupaten tetangga, dan juga copy paste dari tahun-tahun sebelumnya. Ini celaka, karena pemikiran serius dan mendalam soal anggaran hanya berdasarkan teks-teks dokumen yang sama sekali tidak menjelaskan relevansi dengan strategi melawan kemiskinan, apalagi berperspektif hak azazi manusia (LBH, 2004:23).

Kinerja APBD Pemprop Jatim
Merancang suatu program seperitnya jauh lebih mudah daripada mengawal agar program tersebut tidak mengalami kemacetan atau penyimpangan yang kemudian bermuara pada sebuah kegagalan program. Begitu juga mengalokasi anggaran program jauh lebih mudah daripada mengawal agar anggaran program tersebut tidak mengalami kebocoran atau penyimpangan di lapangan. Pernyataan tersebut rasanya cukup pantas ditujukan untuk melihat kinerja keuangan di lingkungan Pemerintah Propinsi Jawa Timur.
Seperti kita ketahui, hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap terhadap realisasi APBD Jatim 2007 diberi status tidak wajar. Dalam rincian auditnya, terngkap banyak penyimpangan anggaran yang dilakukan pejabat Pemprop. Total ada 25 anggaran senilai Rp 2,505 triliun yang pemakaiannya tidak beres. Salah satu yang diungkap BPK yang berindikasi menyimpang adalah dana bantuan sosial (bansos). BPK menyebut ada dua kesalahan yang terjadi dalam realisasi bansos. Pertama, BPK menemukan penyimpangan senilai Rp 24,6 milyar. Sebab, dana bansos tersebut ternyata digunakan untuk membiayai SKPD (satuan kerja perangkat daerah). Kesalahan kedua, terdapat dana bansos senilai Rp 248,8 juta yang belum dibuat laporan pertanggungjawaban sampai akhir masa anggaran.
BPK juga mengungkapkan sejumlah dana yang salah penempatan pos anggaran. Di antaranya, belanja tak terduga senilai Rp 15,5 milyar dan dana bantuan rehab gedung sekolah. Selain anggaran di eksekutif, BPK juga menyorot indikasi adanya penyimpangan di lembaga legislatif. Lembaga pengawas keuangan itu menemukan, penggunaan belanja operasional pimpinan DPRD Jatim senilai Rp 233,3 juta tidak didukung bukti-bukti kongkrit. Bukan hanya itu, realisasi anggaran untuk pimpinan dewan senilai Rp 46,6 juta dinyatakan tidak wajar karena ditengarai merupakan anggaran ganda.
Selain adanya indikasi penyimpangan dan kebocoran atas realisasi APBD, Pemprop Jatim juga dinilai tidak becus dalam mengelola APBD 2008 kemarin. Dalam rapat koordinasi akhir masa anggaran 2008 Desember lalu, terungkap tidak ada satupun daerah (pemkab/pemkot) yang mampu merealisasikan serapan anggaran di atas 80 persen. Pemprop Jatim sendiri mengalami hal serupa. Secara keseluruhan jumlah anggaran pemerintah untuk wilayah Jatim mencapai Rp 60,09 triliun. Hingga masa akhir anggaran, anggaran yang sudah digunakan untuk kegiatan pemerintahan dan kemasyarakatan/pembangnan baru mencapai Rp 41,84 triliun atau 69,6 persen.
Rinciannya, dana APBN untuk Jatim selama 2008 dialokasikan Rp 20,535 triliun, namun yang terserap hanya Rp 14,928 triliun atau 72,6 persen. Kondisi tak jauh beda terjadi pada penggunaan dana yang bersumber dari anggaran daerah (kabupaten/kota). Di antara total dana sebesar Rp 32,22 triliun, yang terserap Rp 21,66 triliun. Demikian juga serapan untuk anggaran di APBD Jatim. Total anggaran yang disiapkan mencapai Rp 7,31 triliun, yang terserap hanya Rp 5,23 triliun atau 71,79 persen (lihat tabel).
Tingkat Serapan Anggaran Pembangunan Jatim 2008
Sumber Pagu (Triliun) Terserap (Triliun) Prosentase
APBN Rp 20,553 Rp 14,928 72,63 persen
Propinsi Rp 7,314 Rp 5,251 71,79 persen
Kabupaten/Kota Rp 32,225 Rp 21,667 67,24 persen
Catatan : Sistem penggunaan anggaran saat ini berbasis kinerja ((Performance Based Budget). Serapan yang minim menunjukkan kinerja yang rendah pula.
Sumber : Bahan Rapat Evaluasi serapan APBN-APBD di Jatim 2008

Birokrasi Pemprop melalui SKPD-SKPD-nya pada awalnya berlomba-lomnba menambah anggaran pada saat penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) tahunan. Setiap tahun anggaran baru, mereka berlomba-lomba tambah anggaran karena alasan kebutuhan yang semakin meningkat, namun ketika anggaran bertambah, ternyata tak mampu merealisasikannya. Dengan kata lain, kinerja pengelolaan (baca:serapan) APBD Pemprop bisa dibilang buruk.
Dan yang paling ironis, serapan yang paling seret adalah pada belanja tak langsung atau belanja publik, sementara belanja rutin bisa “diobral” dengan mudah. Karena rendahnya serapan ABPD terdapat pada belanja publik, tentunya saja sangat merugikan masyarakat Jatim. Akibat anggaran yang tak terserap, banyak proyek pembangunan yang terkait dengan kepentingan masyarakat semakin terbengkalai. Dengan kata lain, Pemprop sangat tidak adil dalam menggunakan uang rakyat ini. Untuk kepentingan sendiri (baca: aparatur birokrasi) sangat begitu mudah diserap, sementara untuk masyarakat sangat begitu sulit.
Pemprop dan DPRD Jatim berapologi bahwa rendahnya serapan APBD ini terkait dengan panjangnya prosedur yang harus dilalui sebelum merealisasikan anggaran. Selain itu, juga karena adanya rasa ketakutan para pejabat Pemprop untuk memegang proyek, lantaran KPK yang kerap dan gencar melakukan pemeriksaan terhadap para pejabat negara yang memegang proyek.
Alasan Pemprop tersebut sangat apologis (bela diri). Karena sebenarnya kasus rendahnya serapan APBD ini bisa dihindari dan diantisipasi jika ; pertama Pemprop dan jajarannya memiliki perencanaan dan pelaksanaan proyek atau program yang baik, terukur dan bisa dipertangungjawabkan. Kedua, jika alasannya rasa takut, ini juga sangat tak beralasan. Karena jika memang para pejabat bersih dan memiliki komitmen moral yang tinggi, maka tidak sulit untuk menjadi Pimpro atau merealisaikan proyek atau program pembangunan untuk masyarakat. Mungkin karena selama ini “tradisi” yang berkembang di lingkungan Pemprop, proyek dan program pembangunan tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Misalnya sering mengalami kebocoran atau penyimpangan.
Jika memang dikerjakan sesuai prosedur dan peraturan perundang-undangan yang ada, mengapa harus takut bahkan paranoid?. Dengan melihat realitas yang ada, ini menunjukkan bahwa kredibilitas moral dan profesional para Pimpro patut dipertanyakan. Memiliki alokasi anggaran yang jelas, justru Pemprop tak mampu membelanjakannya secara optimal. Ini berarti Pemprop gagal dalam melaksanakan program-program publik yang sebelumnya sudah direncanakan.

Konservatisme APBD
Meskipun telah melalui pembahasan dan bahkan perdebatan di forum DPRD, namun paradigma lama terhadap politik penganggaran daerah kita masih belum berubah alias konservatif. Dalam artian, APBD kita masih menempatkan belanja aparatur birokrasi sebagai menjadi panglima, sedangkan belanja untuk kepentingan masyarakat melalui belanja langsung sebagai prajurit. Sebut saja misalnya, pada penyusunan APBD Jatim 2008 Jatim yang diproyeksikan berkekuatan Rp 5,20 triliun lebih banyak melayani kebutuhan birokrasi daripada kebutuhan masyarakat. Ini nampak pada komposisi yang sampai pembahasan akhir ini masih jomplang, yakni sebesar 3,50 triliun atau sekitar 65% untuk belanja tak langsung atau belanja rutin dan sisanya sebesar Rp 2,09 triliun atau 35% untuk belanja langsung atau pembangunan.
APBD merupakan instrumen pemerintah dalam menjalankan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Rendahnya kinerja APBD- yakni seluruh proses mulai dari penyusunan, pembahasan, pelaksanaan dan evaluasi APBD selama jangka waktu tertentu- berdampak pada rendahnya kualitas kesejahteraan masyarakat.
Kita bisa melihat APBD Jatim 2008. Pertama, dilihat dari segi pendapatan, meskinpun mengalami kenaikan sebesar 1,33% (lihat tabel). Namun kenaikkan ini dinilai tidak masuk akal. Seharusnya kenaikkan bisa lebih besar dari itu. Ini mengingat sumber-sumber pendapatan seperti pajak Kendaraan bermotor juga mengalami kenaikkan dan juga potensi-potensi income juga mengalami kenaikkan. Apalagi Jatim di kenal sebagai salah satu Propinsi ”kaya potensi devisa”, tapi mengalami income yang masuk justru tidak signifikan. Bahkan angka Pendapatan sebelum di bahas di DPRD menunjukkan turun, karena mendapat sorotan keras, pihak eksekutif langsung merevisinya. Dengan kata lain, muncul dugaan ada sesuatu (baca: income) yang disembunyikan atau ada dugaan terjadi murk down dalam pengelolaan pendapatan daerah.
Proyeksi Pendapatan, Belanja dan Defisit RAPBD 2008
Uraian Jumlah Bertambah/Berkurang
2007 Proyeksi 2008 Rp (%)
Total Pendapatan Rp 5,13 T Rp 5,20 T 68,31 M 1,33 %
PAD Rp 3,55 T Rp 3,64 T 86,86M 2,46%
DanaPerimbangan Rp 1,56 T Rp 1,72 T 155,23 M 9,92%
Lain-2 Pendapatan Rp 14,19 M Rp 14,14 M (50 M) (0,35%)
Belanja Daerah Rp 5,74 T Rp 5,59 T (140,9 M) (2,46%)
Belanja Langsung Rp 3,29 T Rp 3,50 T 216,94 M 6,59%
Belanja Tak Langsung Rp 2,44 T Rp 2,09 T (357,84 M) (14,62%)
Defisit Rp 606,61 M* Rp 396 milyar (210,61 M) (34,72%)
*angka defisit setelah PAK 2007 Sumber:RAPBD Jatim 2008

Kedua, besarnya alokasi belanja tak langsung atau belanja rutin sebesar 3,5 triliun, sebagian besar dihabiskan untuk kebutuhan birokrasi. Padahal dilihat dari kerja dan kinerjanya (baca: dinas pendapatan) masih sangat lemah. Ini bisa dilihat dari kenaikkan pendapatan 2008 yang sangat minimalis. Kerja dan kinerjanya Dinas pendapatan rendah, tapi menyerap anggarannya paling besar. Dengan kata lain, wajah birokrasi kita lebih peran sebagai penyedot anggaran daripada penghasil devisa. Apalagi sedotannya banyak yang tidak jelas alias banyak penyimpangan.
Ketiga, jika kita lihat RAPBD 2008 ini, jumlah belanja daerah (sebesar Rp 5,59 triliun) lebih besar dari jumlah pendapatan (sebesar Rp 5,20 triliun) atau mengalami defisit sebesar Rp 396 milyar. Dengan kata lain, RAPBD kita bagaikan besar pasak daripada tiang. Angka defisit ini bahkan lebih besar dari tahun 2007 lalu yang hanya sekitar 312 milyar (sebelum PAK, setelah PAK mencapai Rp 606,61 milyar). Dan yang paling mengecewakan, sebagian besar pembengkakan anggaran tersebut dikarenakan belanja birokrasi Pemprop yang begitu besar. Sementara belanja untuk kepentingan masyarakat lewat sangat kecil. Defisit anggaran sepertinya sudah menjadi “tradisi tahunan” politik anggaran daerah. Seringkali elit daerah berapologi, bahkan pembengkakan belanja daerah karena kebutuhan eksekutif semakin besar. Apologi ini sebenarnya cara elit daerah atau birokrasi untuk menutup-nutupi perilaku boros yang selama ini dilakukan. Meskinpun ada sumber pembiayaannya, defisit anggaran tetap saja sangat membebani APBD dan yang jelas membebani masyarakat, karena masyarakat akhirnya yang jadi sasarannya.

Lemahnya Kontrol Budjeting DPRD
Dalam beberapa hasil penelitian yang dilakukan kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang konsens terhadap politik anggaran daerah, menunjukkan bahwa eksekutif lebih berkuasa atas pemenuhan anggaran. Karena dinas-dinas pemerintah lebih banyak mengajukan draft-draft usulan anggaran, program pembanguan sekaligus biaya rutin mereka. Sebagai pekerjaan tahunan, proses evaluasi dan pengawasan juga sebenarnya lebih banyak dimainkan anggota DPRD. Sehinga naik-turunnya angka-angka anggaran juga lebih banyak disusun dari hasil rumusan dinas pemerintah sendiri. Namun, jangan lupa, bahwa ada politik bargainng (tawar-menawar) anggaran antara ekskutif dan legislatif, yang celakanya tawar-menawar tersebut bukan didasarkan pada kebutuhan dasar rakyat, melainkan pada kepentingan masing-masing individu pemain-pemain politik di eksekutif maupun DPRD (LBH Surabaya, 2004).
Praktik politik anggaran ini telah menegasikan hak-hak sosial-politik, dan ekonomi masyarakat sebagai pemberi mandat. Kebutuhan dan kepentingan masyarakat yang seharusnya menjadi acuan utama dalam setiap pembahasan program dan anggaran pembangunan, namun pada kenyataannya, telah dibajak oleh praktik politik “elitis” yang hanya menguntungkan segelintir orang. Anggaran daerah yang diwujudkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) lebih merepresentaiskan kepentingan elit daerah dari kepentingan masyarakat secara umum.
Selama ini fungsi-fungsi kontrol kelembagaan legeslatif terhadap eksekutif dinilai masyarakat masih jauh dari harapan, terutama pengawasan kebijakan yang ditelorkan eksekutif. Tidak sedikit, fungsi kontrol kebijakan dan budjeting DPRD atas eksekutif berjalan stagnan. DPRD seringkali mudah didikte dan dipengaruhi pihak eksekutif. Sebagaimana dijelaskan lebih lanjut dalam buku Anggaran Berbasis Kebutuhan Dasar Rakyat Miskin, selain kekuatan eksekutif yang begitu dominan, terdapat pula kekuatan modal yang juga sangat dominan menentukan arah penetuan kebijakan, terutama terkait dengan upaya meloloskan proyek-proyek kecil/menengah yang sarat korupsi atau mega proyek yang sarat penggusuran rakyat miskin (LBH Surabaya, 2004).

Maksimalisasi Kinerja Keuangan Daerah
Untuk mewujudkan performance dan struktur APBD yang berpihak pada masyarakat (APBD pro rakyat) itu, ada dua langkah strategis yang harus dilakukan. Pertama, memperkuat dan memaksimal fungsi budgeting DPRD. Secara kelembagaan, DPRD jangan hanya menjadi alat “stempel” untuk mengesahkan perda APBD. Tapi DPRD harus mulai mengkritisi dan mencermati secara jeli draft APBD yang diberikan eksekutif. DPRD Dan tidak hanya dukumen RAPBD saja, tapi juga disertai dengan RASK (Rincian Anggaran Santuan Kerja). Di RASK inilah akan bisa dilihat apakah anggaran di murk up atau tidak, duplikasi program dan kegiatan yang berdampak pada pembengkakan anggaran, program dan kegiatan dengan alokasi anggarannya sudah disusun berdasarkan anggaran berbasis kinerja atau belum. Dan masih banyak lagi anggaran atau program mengandung/mengundang potensi menyimpang.
Fungsi budjeting DPRD ini harus dilakukan secara konsisten sejak awal perencanaan pembahasan sampai pada pengesahan. DPRD dituntut bagaimana mengkonversi aspirasi masyarakat menjadi bagian dari arah dan kebijakan APBD. Dengan kata lain, aspirasi masyarakat harus menjadi landasan utama dalam menyusun arah dan kebijakan APBD. Lebih spesifik, DPRD dituntut untuk lebih cermat dan teliti dalam membahas usulan anggaran dari setiap SKPD. Jangan sampai muncul praktik “dagang sapi” antara DPRD dengan eksekutif yang berdampak pada hilangnya hak-hak ekonomi masyarakat.
Kedua, selain memaksimalkan fungsi budjeting (penganggaran), yang lebih penting lagi adalah fungsi kontrol budjeting DPRD. Fungsi ini dilakukan pasca pengesahan APBD. Dalam konteks ini, bagaimana DPRD mampu mengawal APBD yang disahkan tersebut dapat diimplementasikan dengan baik dan tepat sasaran, tidak mengalami penyimpangan dan kebocoran di lapangan. Karena praktik penyimpangan dan kebocoran anggaran tidak saja terjadi pada saat perencanaan dan penyusunan anggaran, tapi juga pada saat implementasinya.
Agar penyusunan APBD benar-benar berpihak pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat, mengandalkan fungsi budjeting dan kontrol budjeting pada lembaga DPRD saya pikir tidak cukup. Apalagi selama ini image DPRD dimata publik masih mengecewakan. Karena itu, perlu ada keterbukaan dan partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan dan implementasi APBD. Ini perlu dilakukan untuk mengimbangi fungsi budjeting dan kontrol DPRD yang masih lemah. Dengan kata lain, proses penyusunan APBD harus mengikutsertakan partisipasi luas masyarakat. Pihak DPRD dan eksekutif harus memberikan ruang partisipasi publik yang sebesar-besarnya, agar APBD yang dihasilkan benar-benar memenuhi kepentingan dan keadilan masyarakat.
Namun demikian, pengawasan formal dari DPRD atas anggaran daerah, tidaklah cukup. Apalagi, kerja dan kinerja budjeting dan kontrol budjeting DPRD dinilai masih mengecewakan. Karena itu, sangat dibutuhkan peran aktif masyarakat dalam mengawasi proses penyunsunan APBD. Tidak saja mengawasi kerja dan kinerja DPRD, tapi juga eksekutif. Jangan sampai terjadi kongkalikong dan konspirasi yang sifatnya elitis dan monopolistis antara legislatif dan ekskeutif dalam membahas APBD.
Dalam konteks ini, pihak DPRD dan eksekutif harus memberikan ruang publik yang sebesa-besarnya untuk ikut berpartisipasi dalam proses penganggaran daerah (APBD) mulai dari perencanaan, pembahasan, pelaksanaan sampai pada pengawasan. Sehingga masyarakat merasa memiliki (sense of belonging). Dan hak-hak sosial-politik, dan ekonomi diakui dan dijamin dalam setiap pembuatan kebijakan daerah, terutama dalam kebijakan anggaran dan pembangunan daerah.
Gerakan pengawasan anggaran daerah agar memiliki kontribusi yang jelas dan terukur, perlu ditindaklanjuti dengan upaya advokasi anggaran. Gerakan advokasi ini harus didorong agar memiliki kekuatan untuk mempengaruhi proses-proses penyusunan APBD yang dilakukan eksekutif dan legislatif agar berpihak pada kepentingan masyarakat dan tidak terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Karena itu, kedepan, Pemprop perlu untuk memperbaiki dan menata kembali menajemen pengelolaan keuangan daerahnya. Gubernur tidak saja pandai dalam merancang program dan kegiatan beserta alokasi anggarannya, tapi juga harus mempersiapkan orang-orang yang kredibel dan profesional dalam menggunakan dan merealisaskan uang rakyat tersebut. Jika tidak, maka program dan anggaran jelas, tapi tak mampu dieksekusi, lantaran kredibilitas (moral) eksekutor dipertanyakan atau yang lebih parah uang rakyat jadi “bancaan”, karena program dan kegiatan yang dilakukan hanya asal-asalan; asal terserap dan memenuhi target.

SIMPULAN.
Dalam kajian ini dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Kebijakan otonomi daerah sebagai wujud dari gerakan reformasi yang telah berjalan hampir satu dekade ini belum mampu memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
2. Otonomi daerah telah memberikan kewenangan yang cukup besar bagi pemerintahan daerah (eksekutif danlegislatif) untuk mengelola pemerintahannya, khususnya pada pengelolaan keuangan daerah (baca: APBD) untuk pembangunan. Namun kewenangan yang besar tersebut tidak mampu dijalankan secara maksimal sehingga melahirkan berbagai macam problem anggaran daerah. Salah satunya, kinerja APBD dengan menganut sistem baru ”based budgeting performance” dinilai masih mengecewakan.
3. Rendahnya kinerja keuangan daerah tersebut berdampak pada rendahnya kualitas kesejahteraan masyarakat.
4. Pemprop dan kabupaten/kota perlu untuk memperbaiki dan menata kembali menajemen pemerintahan dan pengelolaan keuangan daerahnya, yakni dengan komitmen dan konsisten pada prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Kepala daerah tidak saja pandai dalam merancang sistem birokrasi pemerintahan dan keuangan daerah yang baik dan kredibel, tapi juga harus mempersiapkan orang-orang yang kredibel dan profesional dalam menggunakan dan merealisaskan uang rakyat tersebut.

DAFTA PUSTAKA

Buku Panduan Aksi Akar Rumput Melakukan Kontrol terhadap Anggaran Daerah (APBD), 2002, Pokja 30 (Lembaga untuk Advokasi Kebijakan), Samarinda.

Buku Panduan Pengawasan Keungan daerah Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), Januari 2005, Jakarta.

Faisal, Sanapiah, 1989, Metode Penelitian Kualitatif, Rajawali, Jakarta.

Herlambang, dkk, 2004, Anggaran Berbasis Kebutuhan Dasar Rakyat Miskin, LBH Surabaya.

Kausar A.S., Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Di Era Desentralisasi dan Kontribusi DPRD terhadap Palaksanaan Tata Pemerintahan Yang Baik, Paparan pada Acara Diskusi dalam Rangkaian Acara Rapat Kerja Nasional ADKASI, di Pelalawan, Riau pada tanggal 24 Agustus 2006.

Winarso, 2005, Menggagas Sistem Monitoring Keuangan Daerah, dalam Buku PanduanPengawaan Keungan daerah Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), Jakarta

Zuhdi, Fahmi Badoh, 2005, Potret Korupsi Daerah Pasca Otonomi, dalam Buku Panduan Pengawaan Keungan daerah Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), Jakarta

Undang-Undang 22 tahun 1999 Pemerintah Daerah
Undang-Undang 32 2004 tentang Pemerintah Daerah
Undang-Undang 33 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah
PP. No. 108 tahun 2000 tentang Tata Cara pertanggungjawaban Kepala Daerah
PP. No. 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah