Selasa, 02 September 2008

Pilgub Jatim dan Oligakhi Parpol

Sumber : Majalaj Teropong Balitbangda Jatim Mei-Juli 2008


Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur secara langsung yang akan digelar 23 Juli 2008 mendatang diharapkan dapat berjalan aman dan demokratis. Kedaulatan rakyat benar-benar terwujud dalam proses Pilgub, bukan kedaulatan elit partai. Ini penting untuk menciptakan kepercayaan masyarakat terhadap hasil Pilkada nantinya. Dalam arti, gubernur dan wakil gubernur terpilih nantinya merupakan representasi dan cerminan aspirasi rakyat, bukan representasi dan aspirasi kelompok tertentu, apalagi personal elit politik.
Kekhawatiran terhadap hasil Pilgub ini menjadi wajar tatkala proses rekrutmen politik Parpol lebih diwarnai oleh praktik oligarki partai yang begitu masif. Ini jelas terlihat dalam praktik politik rekrutmen calon gubernur dan wakil gubenrur Jatim. Dalam proses rekrutmen calon kepala daerah ini justru yang lebih kuat adalah kekuasaan dan kedaulatan (elit) partai bukan kedaulatan rakyat. Ini tercermin dari adanya konflik di internal beberapa parpol dalam melakukan proses rekrutmen calon. Beberapa pengurus cabang sampai tingkat anak cabang partai melakukan aksi protes terhadap keputusan partainya (baca: elit partai) yang menetapkan calon kepala daerah secara sepihak, tanpa mengikutsertakan partisipasi politik konstituen.

Rekrutmen calon
Sebut saja misalnya proses rekutmen bakal calon gubernur di internal PDI-P. Seperti di ketahui, dalam konvensi internal PDI-P Jatim yang telah dilaksankaan pada pertengahan 2007 lalu, di mana Soekarwo telah mengantongi dukungan terbanyak di lingkungan PDI-P, yakni 22 Dewan Pimpinan Cabang (DPC) dibanding Soetjipto, yang didukung 11 DPC. Namun, kemenangan di tingkat konvensi ini tidak menjamin Soekarwo menjadi Cagub definitif dari PDI-P. Pihak DPD PDI-P Jatim justru mengajukan dua nama yang ikut konvensi –Soekarwo dan Sotjipto- ke DPP PDI-P untuk mendapatkan rekomendasi dari DPP, terutama Megawati. Dan terbukti, akhirnya DPP PDI-P memutuskan Soetjipto sebagai cagub dari PDI-P untuk Pilgub Jatim 2008
Dengan merujuk hasil konvensi PDI-P Jatim, sebenarnya pihak DPP PDI-P tidak terlalu sulit untuk menetapkan atau memberikan surat keputusan kepada DPD PDI-P Jatim terkait siapa Cagubnya. Karena hasil konvensi di tingkat daerah jelas pemenangnya. Molornya surat rekomendasi atau keputusan atas cagub PDI-P definitif ini sempat menimbulkan tanda tanya besar. Ada apa dengan molornya surat keputusan DPP ini? Ada dugaan politik tarik menarik kepentingan di lingkungan elit PDI-P baik di tingkat propinsi maupun pusat. Ada sebagian menginginkan cagub PDI-P berasal dari kader sendiri, sebagian yang lain menginginkan diluar kader.
PDI-P Kota Surabaya, melalui ketuanya, Muhammad Saleh Mukadar, pasca konvensi sempat mengancam akan mematikan mesin politiknya jika akhirnya DPP PDI-P memberikan rekomendasinya jatuh ke tangan Soekarwo. Dia mengatakan, diri dan pengurus “akan tidur nyenyak”.
Selain di PDI-P, Praktik oligarkis juga terjadi di Partai Demokrat. Di tengah penjaringan bakal calon yang dilakukan tingkat cabang, DPP PD secara mengejutkan memutuskan pasangan Soekarwo-Saefulloh Yusuf sebagai cagub dan cawagub dari PD. Bahkan DPP PD mengacam akan menjatuhkan sanksi kepada DPC-DPC yang mbalelo dan menentang keputusan DPP atas pasangan Pak De Karwo-Gus Ipul (Kompas Jatim, 7/2/2008).
Keputusan sepihak DPP PD ini langsung direaksi negatif oleh DPC-DPC tingkat kab/kota. Hal ini ditunjukkan oleh Forum DPC PD se-Jatim, melalui ketua umumnya, RM. Boedhi, menolak tegas Soekarwo menjadi bakal calon dari PD. Selain penentuannya tidak sesuai mekanisme internal partai, Soekarwo dinilai tidak punya sejarah apa pun dengan PD. Menurut Boedhi, saat ini sudah ada 30 DPC yang mulai merapatkan barisan dan menyuarakan penolakan atas Seokarwo. Menurutnya, DPC-DPC hanya dijadikan sebagai kendaran politik oleh partai, tanpa pernah diajak musyawarah atau urun rembug. PD seharusnya memilih tokoh yang memiliki hubungan sejarah berdirinya PD untuk dijadikan sebagai bakal cagub dari PD, diantaranya adalahAnggota dewan pembina PD; Hayono Isman, Haris Sudarno (mantan Pangdam V Brawijaya), dan wakil ketua DPP PD Anas Urbaningrum. Namun suara protes pengurus di bawah tak menyurutkan DPP PD untuk tetap mencalonkan duet Soekarwo-Saefullaoh Yusuf (Pak de Karwo-Gus Ipul).
Hal sama juga bisa merembet dan terjadi di PKB. Munculnya nama Achmady-Soehartono tak lepas dari peran dan pengaruh kuat politik Ketua Dewan Syuro’ DPP PKB, Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Bahkan munculmya Achmady-Soehartono ini diwarnai konflik intenal PKB, yakni antar kubu Gus Dur/Ali Masykur Musa dengan Muhaimin Iskandar. Konflik internal PKB yang tak berkesudahan ini, tentunya akan berpengaruh pada upaya PKB Jatim dalam memangkankan Pilgub 2008 ini.
Bahkan PAN yang mengklaim dirinya sebagai partai reformasi juga tak luput dari praktik politik oligarkhis. Ini ditunjukkan dengan reaksi keras dari DPC-DPC PAN di Kota Surabaya atas pencalonan “sepihak” para elit-elitnya di tingkat wilayah dan DPP yang tiba-tiba mengusung Pak De Karwo-Gus Ipul. Pengurus di tingkat kota dan kecamatan merasa tak pernah diajak rembug bareng untuk ikut menentukan bakal cagub dan cawagub yang akan diusung partainya. Tak pernah diajak bicara, pun tak ada sosiolisasi. Bahkan duet Karo-Ipul ini sudah mendapat restu dan SK dari ketua Umumnya, Sutrisno Bachir. Sama seperti Demokrat, meskinpun di protes kader-kader PAN di tingkah bawah, DPP dan DPW PAN Jatim tetap mencalonkan Pak De Karwo-Gus ipul.

Oligarki Partai
Kasus di atas menunjukkan bahwa praktik oligarki partai masih mewarnai proses rekrutmen politik dalam Pilkada di Jawa Timur. Kekuasaan partai (baca: elit partai) sangat begitu besar sehingga bisa secara sewenang-wenang melakukan pembonsaian politik terhadap aspiraasi dan kedaulatan rakyat (baca: konstituen). Kedaulatan rakyat yang diharapkan muncul dalam proses Pilkada ini, namun dalam realitasnya justru tereduksi oleh praktik oligarki (elit) partai yang begitu masif. Sehingga rakyat hanya dijadikan sebagai alat legitimasi politk saja. Rakyat bukan jadi sukjek politik, namun terus menjadi objek politik yang mudah dimonopoli dan dipermainkan oleh kekuasaan (elit) partai.
Keputusan politik partai dalam rekutmen calon di Pilkada ini lebih tergantung pada ‘selera’ dan otoritas elit politik tertentu dalam partai, terutama elit politik di pusat. Kalau di PKB selera dan otoritas politik ada di tangan Gus Dur. Sedangkan di PDI-P ada di tangan Megawati. Semua keputusan politik, termasuk penentuan calon gubernur dan wakil gubernur dalam Pilakda ini sangat ditentukan oleh kemauan politik Gus Dur dan Megawati. Dengan kata lain, otoritas personal elit partai lebih dominan daripada otoritas kelembagaan partai yang demokratis.

Peningkaran demokrasi
Proses suksesi kepala daerah yang diharapkan oleh 37 juta masyarakat Jatim sebagai wujud demokratisasi daerah, berpotensi hanya menjadi mimpi politik saja. Calon-calon gubernur dan wakil gubernur tidak lahir dari proses politik dan mekanisme yang demokratis, namun hanya sekedar memenuhi pesanan dan kemauan politik dari personal elit tertentu.
Itulah potret pengingkaran demokrasi dari elit-elit politik kita. Pelaksanaan Pilkada langsung yang diharapkan menjadi milik rakyat, tapi dalam kenyataanya sudah dibajak oleh praktik oligarki (elit) partai yang sangat pragmatis. Dengan kata lain, Keputusan politik kelembagaan parpol direduksi sedemikian rupa menjadi keputusan politik yang bersifat personal. Mekanisme kelembagaan parpol dikalahkan oleh otoritas kekuasaan sang ketuanya atau orang yang memiliki pengaruh dan kharisma kuat. Ini yang kemudian menghasilkan calon kepala daerah atau pemimpin “karbitan” dan instan.
Tentu, perilaku dan praktek politik ini tidak kondusif dan mematikan proses demokratisasi di internal Parpol. Aspirasi kader-kader partai dan masyarakat hanya menjadi slogan politik yang kemudian dimatikan oleh otoritas personal partai yang ‘otoriter’. PKB maupun PDI-P sebagai partai besar (pemenang dan runner up pemilu) seharusnya memiliki tanggung jawab moral dan politik terhadap konstituensnya.
Setiap Parpol -termasuk PKB dan PDI-P- seharusnya tidak terjebak dan menjebakkan diri pada pemunculan nama calon “karbitan” hasil pesanan dan kemauan politik elit tertentu dengan mengorbankan proses-proses politik dan kelembagaan partai yang semestinya harus dilalui dan lakukan. Pilgub ini seharusnya dijadikan momentum bagi Parpol untuk membangun budaya politik yang sehat, rasional, dan elegan, bukan sebaliknya menciptakan pendistorsian dan pembusukan terhadap demokrasi.
Biarlah proses demokratisasi berkembang secara wajar dan alami di lingkungan internal partai, tanpa adanya intervensi politik yang terlalu berlebihan dari seseorang atau kelompok secara dominan (baca: Gus Dur atau Megawati). Setiap Parpol tentunya secara kelembagaan memiliki hak politik dan otonomi sendiri dalam mengambil sebuah keputusan politiknya. Proses-proses kelembagaan ini yang seharusnya ditumbuh kembangkan di lingkungan parpol, bukan malah disumbat oleh otoritas kekuasaan yang sifatnya personal.
Pengalaman buruk Pilgub 2003 diharapkan tidak (akan) terjadi pada Pilgub 2008. Apalagi Pilgub 2008 akan dilaksanakan secara langsung. Parpol harus bertidak tegas dan berkomitmen untuk menjadikan Pilgub 2008 sebagai Pilgub yang demokratis dan menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Salah satunya dengan memilih cagub-cawagub yang sesuai dengan aspirasi masyarakat (baca: konstituen), bukan aspirasi dan kemauan elit tertentu seperti yang terjadi pada Pilgub 2003. Pemimpin Jatim ke depan bukan lahir dari proses yang instan, tapi ia lahir dari rahim rakyat. Dan mulai saat ini masyarakat Jatim harus terus mewaspadai munculnya cagub “karbitan” atau instan yang diproduksi Parpol.
Praktik politik “karbitan” model oligarkhis semacam itu, sangat tidak kondusif bagi proses pendidikan politik rakyat yang sehat dan rasional, dan bahkan lebih dari itu akan menghambat proses kehidupan demokratisasi, baik itu untuk internal partainya sendiri maupun dalam pembangunan demokrasi daerah. Dengan demikian, lalu apa jadinya, calon gubernur atau pemimpin yang dihasilkan dari praktik politik “karbitan” semacam itu?. Praktik semacam itu hanya akan melahirkan karakter kekuasaan yang otoriter. Calon pemimpin semacam itu tidak berpihak pada kepentingan rakyat, tapi pada kepentingan elit atau kelompok tertentu.
Pilgub 2008 mendatang diharapkan menjadi momentum bagi Parpol untuk membangun budaya politik yang sehat, rasional, dan elegan, bukan sebaliknya menciptakan pendistorsian dan pembusukan terhadap demokrasi. Jika praktek politik karbitan ini masih berlanjut pada Pilgub 2008 mendatang, maka ‘pesta demokrasi’ Pilgub nanti sangat tak layak disebut hajatan politik rakyat Jatim, melainkan hajatan kenikmatan dari elit parpol.

Tidak ada komentar: