Sabtu, 30 Agustus 2008

Parameter Calon Pemenang Pilgub

Sumber : Opini Metropolis Jawa Pos, 16 Juni 2008



Pemilihan gubernur (Pilgub) Jatim akan segera digear 23 juli 2008. ini adalah momentum bersejarah bagi proeses demokrasi di Jatim. karena ini adalah kali pertama Pilgub dilaksanakan secara langsung. Dalam hal ini warga Jatim memiliki hak politik yang lebih otonom dalam menentukan pilihan politiknya yang sesuai dengan hatinya nuraninya.
Saat ini, setidaknya sudah ada lima pasangan yang dipastikan akan running dalam Pilgub mendatang. Pasangan Soenaryo-Ali Maschan Musa yang dicalonkan Partai Golkar, Achmady-Soehartono dicalonkan PKB, Soekarwo-Saefullah Yusuf dicalonkan koalisi PAN, Demokrat dan PKS, dan Khofifah Indar Parawansah-Moejiono yang dicalonkan koalisi PPP dan parpol-parpol non parlemen.
Untuk melihat peluang parpol dan pasangan cagub-cawagub dalam Pilgub mendatang, setidaknya ada enam parameter yang mungkin bisa dipakai untuk membaca dan menganalisisnya. Paramater itu di antaranya adalah mesin politik, figur atau popularitas, resistensi, basis dukungan, citra, dan dukungan dana.
Pertama, mesin politik. Parpol sebagai mesin politik setidaknya memiliki peranan politik cukup signifikan dalam mendulang suara. Dengan catatan kondisi mesin politik itu dalam kondisi baik dan sehat. Jika mesin politik parpol dalam kondisi fit dan prima (baca: tidak ada konflik internal) maka akan dapat berjalan efektif. Dan efektifitas mesin politik ini akan berpengaruh pada pendulangan suara.
Kedua, Figur calon/popularitas. Meskinpun memiliki mesin politik yang kuat dan jaringan struktural yang luas, tidak menjamin akan memenangkan dalam pertarungan politik di Pilkada. faktor lain yang tak kalah penting adalah figur-personal yang dicalonkan Parpol. Apakah orang yang dicalonkan itu layak jual (marketable) atau tidak?. Salah satunya adalah calon atau figur itu banyak dikenal masyarakat; tokoh masyarakat, figur itu kharismatik. Bagaimanapun juga, Pilkada langsung adalah memilih orang bukan memiliki Parpol. Masyarakat akan lebih banyak melihat figur calon, daripada latar belakang Parpol yang mencalonkannya. Figuritas calon merupakan faktor yang paling mudah dilihat dan dinilai secara langsung oleh masyarakat. Dan yang jelas track record dari calon juga ikut berpengaruh.
Ketiga, Resistensi. Parameter lain yang bisa dipakai untuk membaca peluang calon adalah tingkat resistensi, terutama resistensi si calon terhadap masyarakat. Jika tingkat resistensinya tinggi atau positif maka peluangnya sangat kecil. Logikanya, bagaimana mau menjaring suara kepada masyarakat, jika dirinya ditolak masyarakat. Akan tetapi sebaliknya, jika tingkat resistensinya rendah, maka peluang untuk meraup suara akan cukup tinggi. Artinya si calon itu diterima baik oleh masyarakat.
Keempat, Basis dukungan. Dalam hal ini adalah basis dukungan yang sifatnya “tetap” dan “loyal”. Perlu di catat bahwa dalam pemilihan langsung yang paling diandalkan adalah suara atau basis dukungan masyarakat. Kemenangan politik Pilkada akhirnya ditentukan oleh banyaknya dukungan suara masyarakat.
Karena itu, strategi politik yang harus dilakukan Parpol adalah bagaimana memberdayakan segala sumber daya (sosial, politik, ekonomi dll) yang ada untuk satu tujuan yakni meraih suara sebanyak-banyaknya.
Kelima, dana. Dana atau uang dalam proses politik pemilihan langsung juga memiliki peranan yang cukup signifikan. Uang bagaikan roda kendaran. kendaran tidak akan jalan tanpa adanya uang. dalam sebuah mesin (politik), uang ibaratnya oli yang siap melancarkan bergeraknya mesin. Tapi uang bukanlah segalanya dalam memenangkan Pilkada. Jika dananya cukup besar, setidaknya bisa digunakan untuk menjalankan mesin politiknya.
Setidaknya dengan dukung dana cukup besar bisa dijadikan semacam “oli politik” untuk menggerakkan mesin politik mulai dari pusat sampai ke tingkat desa bahkan RT/RW. Dengan dana yang cukup besar ini, diharapkan pasangan calon akan mudah untuk melakukan konsolidasi dan mobilisasi massa dengan cukup efektif dan produktif.
Keenam, Citra calon. Jika citra calon positif atau baik di mata masyarakat, maka ini akan mendukung perolehan suara. Tetapi jika citra calon itu negatif maka akan sangat sulit menang di Pilkada.
Selama ini masing-masing parpol menyatakan dan mengklaim bahwa dirinya optimis bakal meraup dukungan suara cukup signifikan dan memenangkan Pilkada nanti. Dalam politik hitungan matematis tidak selalu benar. Masing-masing Parpol (atau pasangan calon) memiliki kelebihan dan kekurangan dan karenannya juga memiliki peluang yang relatif sama. Perolehan suara pemilu legeslatif sering kali diklaim parpol sebagai modal politik yang pasti, padahal perolehan suara pemilu legeslatif tidak simetris dengan Pilkada, apalagi dilakukan secara langsung. Di Pilkada pemilih cenderung lebih melihat faktor figur personal. Suara partai tidak identik dengan suara calon kepala daerahnya.

Popularitas calon lebih menentukan
Tesis politik yang sebelumnya di kampanyekan parpol-parpol besar seperti Golkar, PDI-P dan PKB yang mengatakan bahwa dengan mesin politik yang besar dan pengalaman politik lumayan mapan akan optimis memenangkan Pilkada langsung.
Kebesaran parpol tidak sebanding dengan perolehen suara pasangan calonnya. Dan realitas politik menunjukkan, beberapa Pilkada di daerah tidak sedikit yang dimenangkan oleh partai-partai kecil atau menengah. Sebut saja di Jabar dan Sumut. Dengan kata lain, aspek figur dan popularitas calon lebih menentukan di banding kebesaran parpol.
Lalu apa yang bisa kita baca dari fenomena dan realitas politik semacam ini. Hal ini menunjukan bahwa pertama, mesin politik parpol tidak menjamin bisa memenangkan pemilihan secara langsung. Karena, di pemilihan langsung, masyarkaat akan lebih melihat dan menilai figur-personal dan citra seseorang yang dicalonkan parpol, daripada latar belakang parpolnya.
Kedua, ini menunjukkan bahwa aspek figuritas dan popularitas calon lebih menentukkan daripada mesin politik. Masyarakat pemilih tidak terlalu mempertanyakan dari mana pasangan capres-cawapres itu berasal. Masyarakat pemilih kita masih melihat figur dan sosok seorang calon.
Ketiga, pelajaran politik yang terpenting dalam Pilkada ini adalah, hak dan pilihan politik masyarakat kita semakin otonom. Mereka tidak mau dan tidak bisa dipaksa-paksa dan dipengaruhi oleh para pengurus dan elit parpol untuk memilih sesuai dengan kehendak parpol dan elitnya. Masyarakat pemilih kita sudah mulai cerdas untuk memilih pemimpinnya sesuai dengan kehendaknya sendiri.

Tidak ada komentar: