Rabu, 01 Desember 2010

Perda Bermasalah dan Kinerja Legislasi Daerah

Sumber : Opini KOMPAS Jatim, Selasa 1 Desember 2010

Berdasarkan kajian dan evaluasi yang dilakukan Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), sampai Juli 2010 dari 9.714 Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), terdapat 3.091 perda atau 32 persen yang direkomendasikan untuk dibatalkan atau direvisi. Perda-perda tersebut lebih banyak berorientasi pada penggemukkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Perda Ini sangat memberatkan pelaku usaha sehingga menjadi kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah. Perda-perda tersebut menimbulkan ekonomi biaya tinggi (hight cost economic). Perda tersebut tidak saja memberatkan kalangan pelaku usaha, tapi juga sangat memberatkan masyarakat.
Sedangkan terhadap Raperda, menurut kementrian Keuangan terdapat 2.566 Raperda PDRD. Dari jumlah itu, sebanyak 1.727 Raperda atau 67 persen yang direkomendasikan untuk ditolak atau direvisi. Perda tersebut kebanyakan diperuntukkan bagi sektor perhubungan, industri dan perdagangan, pekerjaan umum, budaya dan pariwisata, serta kesehatan. Perda-perda itu banyak dikeluarkan oleh Provinsi Jawa Timur, Sulawesi Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Kalimantan Timur.
Selain menghambat iklim usaha, juga bermasalah secara yuridis. Artinya Perda-perda yang dibuat pemeritah daerah bersama DPRD bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada serta menimbulkan tumpang tindih dan kerancuan. Dalam kaidah normatif, Perda yang dibuat oleh Pemda tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, jika bertentangan, maka peraturan tersebut (baca: Perda) dinilai cacat dan batal demi hukum alias tidak bisa diterbitkan apalagi diberlakukan.
Dijelaskan perda yang menjadi sasaran teguran tersebut meliputi berbagai bidang mulai dari pengaturan organisasi pemerintahan daerah, kehutanan, sampai masalah keuangan. Otonomi daerah (Otoda) yang diharapkan dapat mendekatkan aspirasi dengan kebijakan, dan lebih dari itu tingkat kesejahteraan masyarakat semakin meningkat, namun justru sebaliknya, yang semakin sejahtera para elit-elit daerah.
Perda merupakan manifestasi kebijakan Pemda dalam menjalankan proses pembangunan di daerahnya. program pembangunannya. Salah satu parameter yang dapat dipakai untuk mengukur keberhasilan otonomi daerah dan tingkat kesejahteraan masyarakat yakni dengan melihat Perda yang telah dihasilkankan oleh Pemda. Perda merupakan instrumen sekaligus pedoman yuridis bagi Pemda dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan daerah yang goal-nya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Masyarakat Jadi “Sapi Perah”
Masyarakat selama ini hanya dijadikan “sapi perahan” Pemda melalui penarikan-penarikan baik itu dalam bentuk pajak, retribusi, maupun pungutan. Semua penarikan itu diformalkan dan dilegalkan dalam bentuk Perda. Dengan begitu Pemda dianggap memiliki payung hukum yang kuat untuk “menguras” uang rakyat. Dari sejumlah Perda tersebut bahkan cenderung “asal-asalan”, asal tarik dan asal comot, yang penting bagaimana dengan tarik dan comot itu bisa menaikkan PAD. Dan yang lebih ironis lagi, kenaikkan PAD yang terjadi setiap tahun dianggap sebagai sebuah prestasi oleh sebagian elit Pemda. Pejabat yang berewenang dinilai kreatif dalam menggali potensi daerah yang ada. Dan benar, para pejabat kita di era Otoda ini memang “kreatif dan inovatif” memeras rakyatnya melalui penarikan berbagai pajak dan retribusi dengan dalih dan alasan eufemistik yang dibuat-buat; “demi PAD” dan kesejahteraan masyarakat”.

Rendahnya Kinerja Legislasi Daerah
Masih banyak Perda-perda bermasalah yang diproduksi pemerintah daerah, termasuk di Jawa Timur, menunjukkan bahwa kinerja legislasi daerah sangat lemah. Para elit daerah lebih suka dan gemar membuat perda-perda yang berorientasi pada penggemukkan penerimaan PAD. Dalam pandangan mereka, membuat Perda yang bersifat retributif lebih gampang dibanding dengan perda-perda lainnya, terutama yang terkait dengan kepentingan masyarakat riil. Selain itu, yang paling riil bagi elit daerah adalah ada kentungan materiil yang bisa didapat dari pembahasan Raperda retributif tersebut. Di kalangan elit daerah (baca: eksekutif-DPRD), Perda retributif ini masuk dalam kategori “perda basah”. Dalam proses-proses pembahasan, Perda-perda ini bisa mendatangkan keuntungan ekonomis bagi mereka. Karena itu, cukup beralasan, jika mereka sangat semangat dalam proses pembahasannya.
Selain itu, salah satu kelemahan mendasar mengapa selalu muncul perda-perda bermasalah di daerah adalah lemahnya SDM, baik di eksekutif maupun di DPRD. Kapasitas dan kompetensi mereka terkait dengan fungsi legislasi sangat rendah. Sehingga yang muncul adalah produk legislasi “asal jadi” dan “asal dapat komisi”. Mereka tidak mempertimbangkan apakah perda yang dibuat tersebut akan bermasalah atau tidak, baik secara ekonomik, yuridis, maupun sosiologis?. Kegiatan supporting, seperti studi banding yang selama ini diklaim anggota dewan dalam rangka pembahasan Raperda, pun tak mampu memperbaiki kinerja legislasi daerah. bahkan cenderung dimanfaatkan anggota dewan untuk nglencer.
Kerena itu, untuk menyelesaikan persoalan ini, yang paling utama dibenahi adalah SDM, terutama di pihak DPRD yang nilai sangat rendah. Sebagian besar kader partai yang masuk gedung dewan memiliki kapasitas legislasi pas-pasn bahkan nihil. Kedua, perlu ada pembenahan kelembagaan legislasi di internal DPRD maupun eksekutif. Di DPRD yang harus di benahi adalah kelembagaan badan legislasi. Baleg tak sekedar membuat, tapi juga mengevaluasi semua produk legislasi daerah yang dihasilkan.
Otonomi daerah yang diharapkan dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat, justru sebaliknya hanya mensejahterakan kebutuhan elit-elit daerah. Masyarakat hanya mendapatkan pepesan kosong dari berbagai kebijakan pembangunan yang selama ini di jalankan oleh Pemda. Karena itu, sudah saatnya DPRD bersama Pemprop Jatim mengkaji ulang –kalau perlu di cabut- semua Perda yang telah dibuat, terutama Perda yang bermasalah, baik secara ekonomik, yuridis, maupun sosiologis.

Kamis, 25 Februari 2010

Reklame Bakal Cawali dan Estetika Kota

Sumber : Opini KOMPAS Jatim, 14 Januari 2010


Akhir–akhir ini kita menyaksikan betapa jalur hijau dan taman kota terus bertambah dan berbenah. Ada kebanggaan dan kebahagiaan di hati penulis melihat bekas SPBU telah menjadi taman yang cantik dan estetis, serta diikuti dengan pembangunan air mancur yang cukup membuat mata sejuk di tengah teriknya Kota Surabaya. Wajah kota ini bagaikan iklan; “bikin hidup lebih hidup”
Akan tetapi di tengah usaha keras menata kota ini agar lebih cantik dan indah, ada pihak-pihak tertentu yang berusaha menggantinya dengan reklame politik. Wajah kota ini menjadi rusak dengan hadirnya reklame politik yang dipasang oleh para kandidat calon walikota 2010-2015 secara sembarangan dan semrawut.
Maraknya reklame politik tersebut seiring dengan semakin dekatnya Pemilihan Walikota (Pilwali) Kota Surabaya yang akan di gelar 2010. Para kandidat tak henti-hentinya memperkenalkan diri dan berkampanye melalui berbagai macam media. Salah satu media sosialisasi dan kampanye yang paling marak di kota ini adalah media luar ruangan. Ribuan poster, brosur, spanduk, plamfet, dan sejenisnya menghiasi wajah Kota Surabaya. Namun yang paling disayangkan adalah, ribuan media kampanye tersebut ditempel dan dipasang sembarangan, semrawut, dan yang jelas tak beretika. Bahkan antar kandidat dan tim sukses saling rebutan lahan strategis (Kompas Jatim, 24/12/2009).
Tak hanya ribuan poster atau sejenisnya, wajah Surabaya juga dilumuri ratusan dan mungkin ribuan reklame foto dan gambar para kandidat yang terpampang sembarangan, semrawut dan tak beretika. Reklame kandidat –baik dalam ukuran kecil sedang dan bahkan jumbo- bertebaran di jalan-jalan protokol, kampung-kampung dan sebagainya.
Ratusan reklame tersebut tentu saja merusak tata dan estetika kota. Wajah kota semakin semrawut dan ambural. Apalagi reklame-reklame para kandidat tersebut tidak dipungut retribusi atau pajak. Kesemrawutan reklame dan alat peraga para kandidat ini tidak saja melanggar Peraturan Daerah (Perda) No. 8 tahun 2006 tentang penyelenggaran reklame, tapi juga melanggar UU. Pemerintahan Daerah No. 32 tahun 2008 pasal 77 Ayat 6 mengatakan : “Pemasangan alat peraga kampanye sebagaimana yang dimaksud pada pasal ayat (5) oleh pasangan calon dilaksanakan dengan mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Meskinpun aturan main dan regulasinya sudah jelas, namun para kandidat sepertinya tidak mau tahu, yang penting terpasang dan bisa dijangkau masyarakat luas dengan harapan bisa dikenal dan dipilih nantinya. Seorang warga kota ketika bersuara di stasiun radio swasta di Surabaya ini dengan sinisnya mengatakan; “belum menjadi walikota atau pejabat pubik saja sudah melanggar aturan, apalagi nanti jika sudah menjadi walikota atau pejabat publik”. Dan yang paling ironis lagi, selain pelanggarnya adalah salah satu kandidat “incumbent”, juga pelanggaran tersebut sepertinya dibiarkan begitu saja oleh Satpol PP. Tidak ada teguran apalagi tindakan tegas.
Sosialisasi atau kampanye para kandidat yang diharapkan dapat memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarkaat, tapi pada kenyataannya justru membodohi masyarakat dan merusak tata kota ini. Sebagian besar sosialisasi dan kampanye para kandidat dan tim sukses, terutama yang melalui media luar ruangan (reklame, poster, brosur, spanduk, plamfet dll) lebih banyak tebar pesona dan banyak umbar janji-janji. Tak ada visi dan misi, program dan rencana aksi yang dapat diketahui oleh masyarakat pemilih. Pendek kata, sosialisasi dan kampanye para kandidat dan tim suksesnya yang beredar sekarang ini miskin pendidikan politik yang mencerahkan bagi masyarakat.

Perlu Penertiban
Alat peraga sosialisasi dalam bentuk apapun saat ini sudah sangat meresahkan warga kota dan melanggar Perda dan UU yang ada. Sosialisasi atau kampanye melalui berbagai alat peraga dari para kandidat atau tim sukses bukannya mendapat simpatik dari masyarakat, namun justru antipati dan sinisme. Penulis yakin sebagian besar warga kota tidak simpatik terhadap para kandidat dan tim suksesnya yang sembarangan memasang berbagai alat peraga sosialisasi dan kampanye yang merusak estetika kota ini.
Demi ambisi meraih kursi kekuasaan, mereka para kandidat sudah menggunakan politik Machavelli, yakni politik menghalalkan segala cara. Berbagai cara dan modus operandi dilakukan para kandidat dan tim suksesnya untuk meraih suara terbanyak dan kekuasaan, meskinpun dengan menghalalkan segala cara. Bahkan ada sebagian menggunakan cara-cara hukum rimba.
Wajah kota ini sudah berubah menjadi hutan reklame akibat ulah para kandidat dan tim suksenya yang tak beretika. Keindahan kota yang sudah tata oleh Dinas Pertamaman dan Tata Kota akhirnya mubadzir, dirusak oleh oknum-oknum politisi yang tak bertanggungjawab.
Karena itu, wajah kota ini harus kita selamatkan dari kesemrawutan berbagai alat perada para kandidat. Perlu ada tindakan tegas, terutama dari Satpol PP. Alat-alat perada yang jelas-jelas melanggar Perda kota dan UU, harus dicabut atau diturunkan. Jika Satpol PP Pemkot tidak tegas dan bahkan terus membiarkan berbagai pelanggaran, maka bukan tidak mungkin Kota Surabaya yang indah dengan penataan tamannya akan berubah menjadi hutan reklame. Wajah kota semakin semrawut dan sulit untuk dikenali kembali jati dirinya. Bersosialisasi dan berkampanyelah dengan cara-cara yang sehat, taat aturan, dan beretika.

Century dan Ujian Politik SBY-Budiono

Sumber :Opini Radar Surabaya, 6 Februari 2010

Penyelidikan kasus skandal Bank Century melalui Pansus Angket DPR terus menggelinding bak bola salju. Bahkan bola salju tersebut menggelinding -pelan tapi pasti- masuk pintu istana. Ini menyusul pernyataan tertulis yang cukup mengejutkan anggota Pansus sendiri dan publik yang dikemukakan mantan Kabareskrim Susno Duaji. Pernyataan tertulis Susno tersebut disampaikan salah satu anggota Pansus dari PKS, Andi Rahmat, yang mengatakan, penyelidikan kasus Century pada akhir November 2008 yang dilakukan polisi dihentikan, lantaran ada salah satu anggota Komite Kebijakan Sistem Keuangan (KKSK), yakni Gubernur Bank Indonesia, Budiono akan menjadi calon wakil presiden.
Pernyataan tertulis Susno tersebut, mengindikasikan ada “kejanggalan” dalam penanganan secara hukum atas kasus bailout Century senilai Rp 6,7 triliun Sampai saat ini baru Robert Tantular yang telah dinyatakan bersalah dan divonis pengadilan selama 5 tahun. Namun, pihak-pihak lain yang diduga kuat melakukan pelanggaran hukum atas bailout Century ini belum tersentuh hukum. Jalur politik telah dilakukan Pansus dengan menghadirkan pihak-pihak tertentu yang terkait –baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dari perjalanan atas pemeriksaan saksi-saksi dan tenaga ahli di Pansus Hak Angket DPR tentang Century, meskinpun terdapat dialetika intelektual –baik di antara anggota Pansus sendiri maupun para saksi dan tenaga ahli-, namun dari semua perdebatan yang muncul mulai mengerucut adanya indikasi pelanggaran hukum atas kebijakan bailout tersebut. Dan orang-orang yang diduga melakukan pelanggaran hukum, yakni membuat kebijakan bailout atas Bank Century dengan melanggar hukum adalah mereka yang berada di lingkaran SBY. Sebut saja misalnya, Menteri kesayangan SBY, Sri Mulyani dan Budiono yang saat ini menjadi wakil presiden.

Aksi Demo
Kasus Century ini telah menyedot perhatian luas masyarakat. Aksi unjuk rasa berbagai elemen mahasiswa dan masyarakat terjadi di berbagai kota besar menuntut agar kasus Century ini diselesaikan secara tuntas dan menyeret pihak-pihak tertentu yang terlibat dalam pelanggaran hukum Century ini agar di bawa ke meja hijau.
Aksi demo mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya tersebut sekaligus memanfaatkan momentum 100 hari pemerintahan SBY-Budiono. Para pengunjuk rasa menilai pemerintahan SBY-Budiono di anggap gagal dalam membawa rakyat Indonesia sejahtera. Kasus korupsi masih menjadi praktik harian di birokrasi pemerintahan, kasus kriminalisasi KPK, fasilitas mewah para koruptor di penjara, dan persoalan ekonomi seiring denan diberlakukannya ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA).
Seiring dengan semakn menggelindingnya kasus Century sampai ke pintu istana, ada sebagian pihak yang berupaya melakukan pemakzulan. Bahkan hasil Survei Indobarometer, menunjukkan kasus Century ini akan berpotensi melengserkan posisi Budiono sebagai wakil presiden.
Kinerja pemerintahan SBY sebenarnya sudah lima tahun 100 hari dinilai tidak mampu memberikan perubahan dan perbaikan kesejahteraan masyarakat, terutama dalam bidang ekonomi. Asa masyarakat akan lahirnya kebijakan yang pro rakyat, justru yang terjadi sebaliknya. Berlakunya ACFTA akan mengancam ekonomi Indonesia, terutama industri-industri kecil-menengah. Produk-produk China akan membanjiri pasar domestik dengan harga 20% lebih murah dari produk dalam negeri. Produk dalam negeri tidak akan laku bahkan jadi “sampah”. Industri terancam gulung tikar, ancaman PHK massal terjadi di mana-mana, jika terjadi PHK massal maka akan melahirkan pengangguran. Dan jika penganguran merebak, akan berpotensi menimbulkan kriminalitas massal.

Ujian Politik
Di tengah berbagai persoalan bangsa dan masyarakat yang semakin rumit dan sorotan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan SBY-Budiono yang dinilai “gagal”, wacana pemakzulan semakin kencang di telinga publik. Wacana ini membuat kuping SBY merah. Sebagai responnya, SBY mengumpulkan para pejabat lembaga tinggi negara untuk membuat pagar politik agar pemakzulan tidak menjadi bola liar. Dalam statmentnya, SBY menyatakan bahwa sistem pemerinthaan kita adalah presidensial. Setiap lembaga tinggi negara tidak bisa saling menjatuhkan.
Wacana pemakzulan masih sekedar wacana dan masih sangat jauh untuk berakhir pada “pinalti politik”. Segala kritik dan kecaman publik seharusnya di respon secara positif oleh SBY-Budiono. Kritik publik direspon bukan dengan statmen politik yang “bersayap”, tapi dengan kerja dan kinerja yang nyata. Politik pencitraan dan defensif sudah harus diakhiri dan diganti dengan politik kerja, kerja dan kerja.
Akhirnya, masyarakat menunggu dan sangat berharap pemerintahan SBY-Budiono ini tidak hanya memberikan asa-asa yang tak ada wujud kongkritnya. Dan saya kira masyarakat tidak ingin kondisi kegaduhan –ini terus berlarut-larut tanpa dan kejelasan dan ketegasan dalam menyelesaikannya. Menggunakan istilah mantan Megawati Sukarno Putri, pemerintahan SBY-Budiono sudah saatnya menghilangkan praktik politik tebar pesona, yang dibutuhkan masyarakat kini adalah tebar bukti. Kasus Century ini menjadi ujian politik serius bagi pemerintahan SBY-Budiono. Apakah SBY akan melindungi orang-orang lingkaran kekuasaanya yang diduga kuat tersangkut skandal Century, dengan konsekwensi resistensi gelombang aksi ujuk rasa masyarakat semakin membesar. Atau menyerahkan ke proses hukum?. Sebagai komtmen atas pemberantasan korupsi, SBY dituntut untuk bersikap tegas dan berani mengambil keputusan di saat sulit. Dan inilah karakter sejati dari seorang pemimpin.

Selasa, 19 Januari 2010

Evaluasi Kinerja Legislasi DPRD Jatim 2009

Opini Bhirawa, 11 Januari 2010


Mengawali 2010, soroton publik atas kinerja DPRD Jatim tak pernah berhenti. Salah satu kinerja DPRD Jatim yang paling disorot masyarakat dan media akhir-akhir ini kegiatan Kunjungan Kerja (Kunker), baik dalam negeri maupun ke luar negeri. Sebut saja misalnya, anggota DPRD baru hasil Pemilu 2009, baru menjabat empat bulan sebaga wakil rakyat, langsung disorot habis-habisan oleh masyarakat, lantasan “kebiasaan buruk” warisan DPRD periode sebelumnya masih saja “ditradisikan” dan dilanjutkan.
Dengan hadirnya wajah-wajah baru wakil rakyat kita, seharunya dapat memberikan semangat dan tradisi politik baru dalam kerja dan kinerja kedewanan, termasuk dalam hal kegiatan klasiknya, yakni Kunker. Dengan kata lain, ada perubahan dan perbaikan dalam kerja dan kinerja DPRD yang baru, namun kenyataanya, baru empat bulan menjabat, bukannya merubah mentalitas dan kebiasaan buruk Kunker “sia-sia”, justru anggota dewan yang baru terlibat dalam kebiasaan buruk anggota dewan “incumbent”. Ini yang kemudian citra DPRD di mata publik, bukan semakin membaik, justru semakin memburuk akibat ulah dan tingkah polah anggota DPRD sendiri.
Soroton negatif atas kinerja Kunker DPRD Jatim ini, bukanlah hal yang baru, dua periode sebelumnya, DPRD Jatim juga setiap tahun sering disorot masyarakat dan media, namun kecaman, cacian dan bahkan sampai pada tindakan hukum atas Kunker DPRD oleh kelompok civil society (baca: class action), tidak membuat jera atau setidaknya DPRD melakukan perubahan dan perbaikan dalam kegiatan Kunkernya. Justru yang terjadi pada setiap Kunker, kecaman bukannya semakin surut, malah semakin keras. Ini karena, selama dua periode Pemilu langsung, tak memberi efek perubahan dan perbaikan pada kinerja DPRD Jatim, terutama pada aspek kegiatan Kunker.
Penjelasan tersebut cukup beralasan, karena selama ini, anggaran DPRD setiap tahun mengalami kenaikan cukup signifikan, namun kerja dan kinerja masih jauh dari harapan. Sebut saja misalnya, anggaran Kunker, setiap tahun anggaran Kunker DPRD selalu mengalami kenaikan, namun kerja dan kinernya masih sangat memprihantinkan. Selama ini, DPRD mengatakan anggaran DPRD naik (termasuk anggaran Kunkernya), dalam rangka untuk meningkatkan kerja dan kinerja DPRD secara institutional dan personal, namun realitasnya, maih jauh dari harapan (lihat tabel).

ANGGARAN KUNKER DPRD JATIM (2004-2009)
TAHUN ANGG. Kunker
2004 32,71 M
2005 35,24 M
2006 41,79 M
2007* 32,24 M
2008 35,77 M
2008 35,77 M
2009 41,05 M
*Belum termasuk PAK Sumber : data Parliament Wacth Jatim di oleh dari berbagai sumber

Dengan kata lain, anggaran DPRD (termasuk Kunker), bergeraknya bagaikan deret ukur, sementara kerja dan kinerja bagaikan deret hitung. Peningkatan anggaran DPRD setiap tahun bergerak lebih cepat daripada kerja dan kinerja yang dihasilkan. Image publik bahwa Kunker hanya mengabiskan uang rakyat semakin menampakkan wujud riilnya

Kinjer Legislasi rendah
Selama ini DPRD mengatakan bahwa kegiatan Kunker dilakukan dalam rangka pembahasan Raperda. Namun lagi-lagi, ini hanya omong kosong. Kita bisa lihat kinerja DPRD di bidang legislasi. Sebut saja misalnya, pada tahun 2008, DPRD hanya mampu mengesahkan 13 Perda. Bandingkan dengan target penyelesaian yang mereka patok tahun tersebut, yakni 38 perda. Di antara 13 perda yang disahkan itu, hanya tiga yang merupakan hasil inisiatif wakil rakyat. Sisanya adalah perda bikinan Pemprov yang tinggal dibahas di dewan. Dari 38 Perda tersebut sebenarnya sebagian besar adalah Raperda perubahan dari perda yang sudah ada, inipun tak mampu diselesaikan dengan baik oleh DPRD. Kondisi ini sungguh sangat ironi, dikasih anggaran besar, tapi hasilnya tak maksimal.
Pada tahun 2009 ini, DPRD periode lalu juga mewariskan 21 perda kepada DPRD baru hasil pemilu 2009. Dan ini akan menjadi beban politik baru bagi DPRD yang baru. Dari 21 perda tersebut, 15 di antaranya usulan eksekutif, tidak tersentuh. Kondisi semakin memprihantikan; dari semua Perda yang masuk Prolegda, sekitar 70% adalah Perda inisiatif dari eksekutif, sementara 30% adalah inisiatif dari DPRD. Kondisi ini menunjukkan bahwa daya kreativitas intelektual DPRD dalam melahirkan sebuah gagasan regulatif untuk kepentingan masyarakat sangat minim.
Hipotesa DPRD; semakin besar anggaran kunker, maka akan semakin baik kerja dan kinerjanya, ternyata salah besar. Jstru yang terjadi, semakin besar anggaran Kunker, kerja dan kinerja DPRD tidak terlalu memuaskan, baik secara kuantitif maupun kualitatif. Dengan kaa lan, besarnya anggaran Kunker DPRD tak berkorelasi positif terhadap kerja dan kinerjanya, baik untuk kepentingan internal dewan maupun lebih luas bagi kepentingan masyarakat.

Kinerja Legislasi DPRD Jatim 2009

Sumber : Opibi Bhirawa, 11 Januari 2010

Mengawali 2010, soroton publik atas kinerja DPRD Jatim tak pernah berhenti. Salah satu kinerja DPRD Jatim yang paling disorot masyarakat dan media akhir-akhir ini kegiatan Kunjungan Kerja (Kunker), baik dalam negeri maupun ke luar negeri. Sebut saja misalnya, anggota DPRD baru hasil Pemilu 2009, baru menjabat empat bulan sebaga wakil rakyat, langsung disorot habis-habisan oleh masyarakat, lantasan “kebiasaan buruk” warisan DPRD periode sebelumnya masih saja “ditradisikan” dan dilanjutkan.
Dengan hadirnya wajah-wajah baru wakil rakyat kita, seharunya dapat memberikan semangat dan tradisi politik baru dalam kerja dan kinerja kedewanan, termasuk dalam hal kegiatan klasiknya, yakni Kunker. Dengan kata lain, ada perubahan dan perbaikan dalam kerja dan kinerja DPRD yang baru, namun kenyataanya, baru empat bulan menjabat, bukannya merubah mentalitas dan kebiasaan buruk Kunker “sia-sia”, justru anggota dewan yang baru terlibat dalam kebiasaan buruk anggota dewan “incumbent”. Ini yang kemudian citra DPRD di mata publik, bukan semakin membaik, justru semakin memburuk akibat ulah dan tingkah polah anggota DPRD sendiri.
Soroton negatif atas kinerja Kunker DPRD Jatim ini, bukanlah hal yang baru, dua periode sebelumnya, DPRD Jatim juga setiap tahun sering disorot masyarakat dan media, namun kecaman, cacian dan bahkan sampai pada tindakan hukum atas Kunker DPRD oleh kelompok civil society (baca: class action), tidak membuat jera atau setidaknya DPRD melakukan perubahan dan perbaikan dalam kegiatan Kunkernya. Justru yang terjadi pada setiap Kunker, kecaman bukannya semakin surut, malah semakin keras. Ini karena, selama dua periode Pemilu langsung, tak memberi efek perubahan dan perbaikan pada kinerja DPRD Jatim, terutama pada aspek kegiatan Kunker.
Penjelasan tersebut cukup beralasan, karena selama ini, anggaran DPRD setiap tahun mengalami kenaikan cukup signifikan, namun kerja dan kinerja masih jauh dari harapan. Sebut saja misalnya, anggaran Kunker, setiap tahun anggaran Kunker DPRD selalu mengalami kenaikan, namun kerja dan kinernya masih sangat memprihantinkan. Selama ini, DPRD mengatakan anggaran DPRD naik (termasuk anggaran Kunkernya), dalam rangka untuk meningkatkan kerja dan kinerja DPRD secara institutional dan personal, namun realitasnya, maih jauh dari harapan (lihat tabel).

ANGGARAN KUNKER DPRD JATIM (2004-2009)
TAHUN ANGG. Kunker
2004 32,71 M
2005 35,24 M
2006 41,79 M
2007* 32,24 M
2008 35,77 M
2008 35,77 M
2009 41,05 M
*Belum termasuk PAK Sumber : data Parliament Wacth Jatim di oleh dari berbagai sumber

Dengan kata lain, anggaran DPRD (termasuk Kunker), bergeraknya bagaikan deret ukur, sementara kerja dan kinerja bagaikan deret hitung. Peningkatan anggaran DPRD setiap tahun bergerak lebih cepat daripada kerja dan kinerja yang dihasilkan. Image publik bahwa Kunker hanya mengabiskan uang rakyat semakin menampakkan wujud riilnya

Kinjer Legislasi rendah
Selama ini DPRD mengatakan bahwa kegiatan Kunker dilakukan dalam rangka pembahasan Raperda. Namun lagi-lagi, ini hanya omong kosong. Kita bisa lihat kinerja DPRD di bidang legislasi. Sebut saja misalnya, pada tahun 2008, DPRD hanya mampu mengesahkan 13 Perda. Bandingkan dengan target penyelesaian yang mereka patok tahun tersebut, yakni 38 perda. Di antara 13 perda yang disahkan itu, hanya tiga yang merupakan hasil inisiatif wakil rakyat. Sisanya adalah perda bikinan Pemprov yang tinggal dibahas di dewan. Dari 38 Perda tersebut sebenarnya sebagian besar adalah Raperda perubahan dari perda yang sudah ada, inipun tak mampu diselesaikan dengan baik oleh DPRD. Kondisi ini sungguh sangat ironi, dikasih anggaran besar, tapi hasilnya tak maksimal.
Pada tahun 2009 ini, DPRD periode lalu juga mewariskan 21 perda kepada DPRD baru hasil pemilu 2009. Dan ini akan menjadi beban politik baru bagi DPRD yang baru. Dari 21 perda tersebut, 15 di antaranya usulan eksekutif, tidak tersentuh. Kondisi semakin memprihantikan; dari semua Perda yang masuk Prolegda, sekitar 70% adalah Perda inisiatif dari eksekutif, sementara 30% adalah inisiatif dari DPRD. Kondisi ini menunjukkan bahwa daya kreativitas intelektual DPRD dalam melahirkan sebuah gagasan regulatif untuk kepentingan masyarakat sangat minim.
Hipotesa DPRD; semakin besar anggaran kunker, maka akan semakin baik kerja dan kinerjanya, ternyata salah besar. Jstru yang terjadi, semakin besar anggaran Kunker, kerja dan kinerja DPRD tidak terlalu memuaskan, baik secara kuantitif maupun kualitatif. Dengan kaa lan, besarnya anggaran Kunker DPRD tak berkorelasi positif terhadap kerja dan kinerjanya, baik untuk kepentingan internal dewan maupun lebih luas bagi kepentingan masyarakat.

Kinerja Legislasi DPRD Jatim 2009

Sumber : Opibi Bhirawa, 11 Januari 2010

Mengawali 2010, soroton publik atas kinerja DPRD Jatim tak pernah berhenti. Salah satu kinerja DPRD Jatim yang paling disorot masyarakat dan media akhir-akhir ini kegiatan Kunjungan Kerja (Kunker), baik dalam negeri maupun ke luar negeri. Sebut saja misalnya, anggota DPRD baru hasil Pemilu 2009, baru menjabat empat bulan sebaga wakil rakyat, langsung disorot habis-habisan oleh masyarakat, lantasan “kebiasaan buruk” warisan DPRD periode sebelumnya masih saja “ditradisikan” dan dilanjutkan.
Dengan hadirnya wajah-wajah baru wakil rakyat kita, seharunya dapat memberikan semangat dan tradisi politik baru dalam kerja dan kinerja kedewanan, termasuk dalam hal kegiatan klasiknya, yakni Kunker. Dengan kata lain, ada perubahan dan perbaikan dalam kerja dan kinerja DPRD yang baru, namun kenyataanya, baru empat bulan menjabat, bukannya merubah mentalitas dan kebiasaan buruk Kunker “sia-sia”, justru anggota dewan yang baru terlibat dalam kebiasaan buruk anggota dewan “incumbent”. Ini yang kemudian citra DPRD di mata publik, bukan semakin membaik, justru semakin memburuk akibat ulah dan tingkah polah anggota DPRD sendiri.
Soroton negatif atas kinerja Kunker DPRD Jatim ini, bukanlah hal yang baru, dua periode sebelumnya, DPRD Jatim juga setiap tahun sering disorot masyarakat dan media, namun kecaman, cacian dan bahkan sampai pada tindakan hukum atas Kunker DPRD oleh kelompok civil society (baca: class action), tidak membuat jera atau setidaknya DPRD melakukan perubahan dan perbaikan dalam kegiatan Kunkernya. Justru yang terjadi pada setiap Kunker, kecaman bukannya semakin surut, malah semakin keras. Ini karena, selama dua periode Pemilu langsung, tak memberi efek perubahan dan perbaikan pada kinerja DPRD Jatim, terutama pada aspek kegiatan Kunker.
Penjelasan tersebut cukup beralasan, karena selama ini, anggaran DPRD setiap tahun mengalami kenaikan cukup signifikan, namun kerja dan kinerja masih jauh dari harapan. Sebut saja misalnya, anggaran Kunker, setiap tahun anggaran Kunker DPRD selalu mengalami kenaikan, namun kerja dan kinernya masih sangat memprihantinkan. Selama ini, DPRD mengatakan anggaran DPRD naik (termasuk anggaran Kunkernya), dalam rangka untuk meningkatkan kerja dan kinerja DPRD secara institutional dan personal, namun realitasnya, maih jauh dari harapan (lihat tabel).

ANGGARAN KUNKER DPRD JATIM (2004-2009)
TAHUN ANGG. Kunker
2004 32,71 M
2005 35,24 M
2006 41,79 M
2007* 32,24 M
2008 35,77 M
2008 35,77 M
2009 41,05 M
*Belum termasuk PAK Sumber : data Parliament Wacth Jatim di oleh dari berbagai sumber

Dengan kata lain, anggaran DPRD (termasuk Kunker), bergeraknya bagaikan deret ukur, sementara kerja dan kinerja bagaikan deret hitung. Peningkatan anggaran DPRD setiap tahun bergerak lebih cepat daripada kerja dan kinerja yang dihasilkan. Image publik bahwa Kunker hanya mengabiskan uang rakyat semakin menampakkan wujud riilnya

Kinjer Legislasi rendah
Selama ini DPRD mengatakan bahwa kegiatan Kunker dilakukan dalam rangka pembahasan Raperda. Namun lagi-lagi, ini hanya omong kosong. Kita bisa lihat kinerja DPRD di bidang legislasi. Sebut saja misalnya, pada tahun 2008, DPRD hanya mampu mengesahkan 13 Perda. Bandingkan dengan target penyelesaian yang mereka patok tahun tersebut, yakni 38 perda. Di antara 13 perda yang disahkan itu, hanya tiga yang merupakan hasil inisiatif wakil rakyat. Sisanya adalah perda bikinan Pemprov yang tinggal dibahas di dewan. Dari 38 Perda tersebut sebenarnya sebagian besar adalah Raperda perubahan dari perda yang sudah ada, inipun tak mampu diselesaikan dengan baik oleh DPRD. Kondisi ini sungguh sangat ironi, dikasih anggaran besar, tapi hasilnya tak maksimal.
Pada tahun 2009 ini, DPRD periode lalu juga mewariskan 21 perda kepada DPRD baru hasil pemilu 2009. Dan ini akan menjadi beban politik baru bagi DPRD yang baru. Dari 21 perda tersebut, 15 di antaranya usulan eksekutif, tidak tersentuh. Kondisi semakin memprihantikan; dari semua Perda yang masuk Prolegda, sekitar 70% adalah Perda inisiatif dari eksekutif, sementara 30% adalah inisiatif dari DPRD. Kondisi ini menunjukkan bahwa daya kreativitas intelektual DPRD dalam melahirkan sebuah gagasan regulatif untuk kepentingan masyarakat sangat minim.
Hipotesa DPRD; semakin besar anggaran kunker, maka akan semakin baik kerja dan kinerjanya, ternyata salah besar. Jstru yang terjadi, semakin besar anggaran Kunker, kerja dan kinerja DPRD tidak terlalu memuaskan, baik secara kuantitif maupun kualitatif. Dengan kaa lan, besarnya anggaran Kunker DPRD tak berkorelasi positif terhadap kerja dan kinerjanya, baik untuk kepentingan internal dewan maupun lebih luas bagi kepentingan masyarakat.

Reklame Kandidat Cawali dan Estetika Kota

Sumber : Opini KOMPAS Jatim, 20 Januari 2010

Akhir–akhir ini kita menyaksikan betapa jalur hijau dan taman kota terus bertambah dan berbenah. Ada kebanggaan dan kebahagiaan di hati penulis melihat bekas SPBU telah menjadi taman yang cantik dan estetis, serta diikuti dengan pembangunan air mancur yang cukup membuat mata sejuk di tengah teriknya Kota Surabaya. Wajah kota ini bagaikan iklan; “bikin hidup lebih hidup”
Akan tetapi di tengah usaha keras menata kota ini agar lebih cantik dan indah, ada pihak-pihak tertentu yang berusaha menggantinya dengan reklame politik. Wajah kota ini menjadi rusak dengan hadirnya reklame politik yang dipasang oleh para kandidat calon walikota 2010-2015 secara sembarangan dan semrawut.
Maraknya reklame politik tersebut seiring dengan semakin dekatnya Pemilihan Walikota (Pilwali) Kota Surabaya yang akan di gelar 2010. Para kandidat tak henti-hentinya memperkenalkan diri dan berkampanye melalui berbagai macam media. Salah satu media sosialisasi dan kampanye yang paling marak di kota ini adalah media luar ruangan. Ribuan poster, brosur, spanduk, plamfet, dan sejenisnya menghiasi wajah Kota Surabaya. Namun yang paling disayangkan adalah, ribuan media kampanye tersebut ditempel dan dipasang sembarangan, semrawut, dan yang jelas tak beretika. Bahkan antar kandidat dan tim sukses saling rebutan lahan strategis (Kompas Jatim, 24/12/2009).
Tak hanya ribuan poster atau sejenisnya, wajah Surabaya juga dilumuri ratusan dan mungkin ribuan reklame foto dan gambar para kandidat yang terpampang sembarangan, semrawut dan tak beretika. Reklame kandidat –baik dalam ukuran kecil sedang dan bahkan jumbo- bertebaran di jalan-jalan protokol, kampung-kampung dan sebagainya.
Ratusan reklame tersebut tentu saja merusak tata dan estetika kota. Wajah kota semakin semrawut dan ambural. Apalagi reklame-reklame para kandidat tersebut tidak dipungut retribusi atau pajak. Kesemrawutan reklame dan alat peraga para kandidat ini tidak saja melanggar Peraturan Daerah (Perda) No. 8 tahun 2006 tentang penyelenggaran reklame, tapi juga melanggar UU. Pemerintahan Daerah No. 32 tahun 2008 pasal 77 Ayat 6 mengatakan : “Pemasangan alat peraga kampanye sebagaimana yang dimaksud pada pasal ayat (5) oleh pasangan calon dilaksanakan dengan mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Meskinpun aturan main dan regulasinya sudah jelas, namun para kandidat sepertinya tidak mau tahu, yang penting terpasang dan bisa dijangkau masyarakat luas dengan harapan bisa dikenal dan dipilih nantinya. Seorang warga kota ketika bersuara di stasiun radio swasta di Surabaya ini dengan sinisnya mengatakan; “belum menjadi walikota atau pejabat pubik saja sudah melanggar aturan, apalagi nanti jika sudah menjadi walikota atau pejabat publik”. Dan yang paling ironis lagi, selain pelanggarnya adalah salah satu kandidat “incumbent”, juga pelanggaran tersebut sepertinya dibiarkan begitu saja oleh Satpol PP. Tidak ada teguran apalagi tindakan tegas.
Sosialisasi atau kampanye para kandidat yang diharapkan dapat memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarkaat, tapi pada kenyataannya justru membodohi masyarakat dan merusak tata kota ini. Sebagian besar sosialisasi dan kampanye para kandidat dan tim sukses, terutama yang melalui media luar ruangan (reklame, poster, brosur, spanduk, plamfet dll) lebih banyak tebar pesona dan banyak umbar janji-janji. Tak ada visi dan misi, program dan rencana aksi yang dapat diketahui oleh masyarakat pemilih. Pendek kata, sosialisasi dan kampanye para kandidat dan tim suksesnya yang beredar sekarang ini miskin pendidikan politik yang mencerahkan bagi masyarakat.

Perlu Penertiban
Alat peraga sosialisasi dalam bentuk apapun saat ini sudah sangat meresahkan warga kota dan melanggar Perda dan UU yang ada. Sosialisasi atau kampanye melalui berbagai alat peraga dari para kandidat atau tim sukses bukannya mendapat simpatik dari masyarakat, namun justru antipati dan sinisme. Penulis yakin sebagian besar warga kota tidak simpatik terhadap para kandidat dan tim suksesnya yang sembarangan memasang berbagai alat peraga sosialisasi dan kampanye yang merusak estetika kota ini.
Demi ambisi meraih kursi kekuasaan, mereka para kandidat sudah menggunakan politik Machavelli, yakni politik menghalalkan segala cara. Berbagai cara dan modus operandi dilakukan para kandidat dan tim suksesnya untuk meraih suara terbanyak dan kekuasaan, meskinpun dengan menghalalkan segala cara. Bahkan ada sebagian menggunakan cara-cara hukum rimba.
Wajah kota ini sudah berubah menjadi hutan reklame akibat ulah para kandidat dan tim suksenya yang tak beretika. Keindahan kota yang sudah tata oleh Dinas Pertamaman dan Tata Kota akhirnya mubadzir, dirusak oleh oknum-oknum politisi yang tak bertanggungjawab.
Karena itu, wajah kota ini harus kita selamatkan dari kesemrawutan berbagai alat perada para kandidat. Perlu ada tindakan tegas, terutama dari Satpol PP. Alat-alat perada yang jelas-jelas melanggar Perda kota dan UU, harus dicabut atau diturunkan. Jika Satpol PP Pemkot tidak tegas dan bahkan terus membiarkan berbagai pelanggaran, maka bukan tidak mungkin Kota Surabaya yang indah dengan penataan tamannya akan berubah menjadi hutan reklame. Wajah kota semakin semrawut dan sulit untuk dikenali kembali jati dirinya. Bersosialisasi dan berkampanyelah dengan cara-cara yang sehat, taat aturan, dan beretika.