Kamis, 31 Desember 2009

Nasib Pasien Mskin

Opini Bhirawa, 2 Oktober 2009


Sudah jatuh tertimpa tangga. Demikian pepatah yang pas ditujukan untuk keluarga miksin yang dibelit kasus kesehatan di Indonesia. Sudah miskin tak punya uang, mendapat pelayanan kesehatan yang buruk lagi. Inilah yang menimpa masyarakat miskin di Indonesia. Kisah tragis dialami Suharni dan Santi berikut dua bayi mereka yang masih tertahan di Rumah Sakit BErsalin Sofa Marwa, Jl. Bina Warga, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Suharni tertahan sejak dua minggu lalu. Mereka tidak sanggung bayar biaya persalinan sebesar Rp 5 juta lebih (Surya, 9/9/2009).
Masyarakat miskin menjadi korban kedua kalinya, sudah miskin dan dimiskinkan oleh kebijakan rumah sakit yang tidak adil, di tambah lagi pelayanan kesehatan yang mengecewakan. Kondisi ini yang memunculkan anekdot sosial; orang miskin di larang sakit.
Kejadian yang menimpa Bu Suharni dan kawan-kawan yang senasib merupakan potret buruknya pelayanan kesehatan dari rumah sakit terhadap pasien dari keluarga miksin. Perlakuan dan pelayanan kesehatan sungguh sangat mengecewakan dan tidak manusiwi. Para pasien Gakin ”dipaksa” untuk melunasi biaya persalinannya. Tidak tak kalah manusiawi, pihak rumah sakit teganya “menahan” ibu dan bayinya yang tak mampu melunasi biaya persalinannya..
Buruknya pelayanan kesehatan dari rumah sakit juga pernah dialami oleh anak-anak jalanan dari keluarga miskin dampingan Yayasan Arek Lintang (Arek). Menurut Direkturnya, Yuliati Umrah, pihaknya menemukan 37 kasus masyarakat miskin yang bermasalah dalam mendapatkan pelayanan kesehatan di dua rumah sakit di Surabaya, yakni di RSUD Dr. Soewandi dan Dr. Soetomo. Masyarakat miskin mengalami kesulitan dalam mengakses jaminan kesehatan. Menurutnya, satu Maskin meninggal dunia akibat keterlambatan dan diskriminasi saat mendapatkan pelayanan kesehatan.
Kasus di atas semakin menunjukkan kepada publik, praktik-praktik diskriminasi di institusi kesehatan mulai dari rumah sakit sampai puskesmas masih sering terjadi dan dirasakan Maskin. Akses kesehatan bagi masyarakat miskin kita masih sangat terbatas. Dan persoalan klasik yang dihadapi oleh masyarkat miskin adalah masalah uang. Persoalan uang ini sering kali menjadi “pembeda” dalam pelayanan kesehatan antara orang miskin dengan orang kaya.
Selama ini pemerintah telah membuat program Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) untuk Msyarakat (Miskin). Program masih ini belum menyentuh secara riil masyarakat misikin. Keluarga miskin masih kesulitan mendapat pelayanan gratis. Saat ini beberapa kab/kota akan mengeluarkan kartu kesehatan untuk keluarga Gakin (green card). Inipun masih menimbulkan masalah dilapangan, karena terjadi diskriminasi. Tidak sedikit Gakin yang belum mendapatkan kartu kesehatan tersebut. Apalagi bagi Gakin yang tidak memiliki KTP sangat kesulitan mendapatkannya. Padahal mereka juga sangat membutuhkan kartu kesehatan untuk mendapatkan layanan kesehatan secara gratis. Prosedur yang telalu rumit dan mbulet inilah yang menyebabkan banyaknya Gakin tidak bisa mendapatkan akses jaminan kesehatan yang baik dan layak.
Satu persoalan lagi, meskinpun ada pelayanan gratis bagi Gakin, namun bukan berati persoalan kesehatan bagi Gakin selesai. Gakin masih menghadapi persoalan perlakuan dari petugas rumah sakit atau puskesmas. Secara psikologis, sangat berbeda pelayanan yang diterima oleh Gakin ketika berobat atau periksa misalnya. Pelayanan hanya ala kadarnya. Bahkan ada cemoohan dari sebagian masyarakat yang mengatakan ada uang anda sehat, tak ada uang anda sekarat.
Selain itu, masih juga kita lihat Puskemas – sebagai institusi kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat- tidak ada dokter jaganya. Ketika masyarakat membutuhkan, dokter puskesmas tidak di tempat. Dan ini akan sangat berdampak pada kualitas pelayanan kesehatan. Belum lagi kalau misalnya muncul pungutan-pungutan yang tidak jelas alias pungli. Sudah miskin, dimiskinkan lagi oleh pelayanan yang mengecewakan.

Lemahnya Fungsi Sosial
Kasus memilukan dan mamalukan tersebut seharusnya menjadi bahan koreksi dan instropeksi dari pemerintah, terutama pihak Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit. Perlakuan diskriminasi dan pelayanan yang buruk akan sangat berdampak sangat serius bagi Gakin. Memperlambat atau bahkan membiarkan pasien maskin dalam keadakan sekarat, tanpa adanya penanganan yang supercepat itu sama saja pihak rumah sakit telah melakukan pelanggaran HAM.
Selama ini tidak sedikit rumah sakit yang masih berwatak kapitalis. Mereka hanya memburu rupiah. Pihak rumah sakit atau dokter mau melayani dan menangani secara sarius pasien yang memiliki uang banyak dan mau membayar tinggi. Dan itu hanya orang-orang kaya saja yang akan mendapatkan pelayanan kesehatan yang prima dan fasilitas yang memadai. Sementara rumah sakit atau dokter cenderung enggan atau ”tidak serius” melayani dan menangani pasien dari Gakin, karena tidak menghasilkan profit. Dengan kata lain, rumah sakit atau dokter sepertinya hanya mau berbuat apabila mendatangkan keuntungan profit yang besar, akan tetapi kalau tidak mendatangkan rupiah cenderung malas berbuat.
Ini menunjukkan fungsi ekonomis-kapitalis rumah sakit lebih mengedepan daripada fungsi sosial. Fungsi-fungsi sosial dari rumah sakit atau dokter masih sangat rendah. Seharusnya pihak rumah sakit tidak melakukan diskriminasi pelayanan bagi warga, terutama warag miskin. Masyarakat miskin juga manusia yang memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pelayaan kesehatan yang layak dan manusiawi. Tidak ada alasan apapun bagi rumah sakit atau dokter untuk menolak atau memberikan pelayanan kesehatan setengah hati untuk masyarakat miskin.
Melihat kondisi di atas, sudah saatnya institusi-institusi kesehatan seperti rumah sakit (RS) atau puskesmas perlu dilakukan revitalisasi. Artinya bagaimana mengembalikan fungsi asasi dari RS atau puskesmas, terutama terkait dengan pelayanan kesehatan bagi masyarakat tanpa ada diskriminasi, terutama dalam fungsi sosialnya.

Kunker DPRD Jatim dan Nasib Maskin

opini Surabaya Pagi, 14 Desember 2009

BARU dua setengah bulan menjabat, anggota DPRD Jatim sudah mulai berulah. Sama seperti kebisaan buruk yang dilakukan anggota dewan periode sebelumnya, yakni melakukan Kunjungan Kerja (Kunker) sia-sia. Kali ini Kunker dewan berdalih pembahasan RAPBD 2010. Yang menjadi pertanyaan, mengapa hanya untuk membahas RAPBD saja harus melakukan Kunker berulang-ulang dan yang menimbulkan pertanyaan publik, mengapa Kunker tersebut dilakukan di masa injuri time pelaksanaan APBD 2009?. Muncul suudhon politik, Kunker ini sarat bernuansa penghabisan anggaran, karena jika tidak dipakai maka akan dikembalikan kas daerah.
Seperti diberitakan, 95 anggota DPRD Jatim ramai-ramai melakukan Kunker ke berbagai propinsi di Indonesia dengan dalih untuk mencari informasi pembanding dalam rangka penyusunan dan pembahasan RAPBD 2010. Kunker yang melibatkan lima komisi ini mengabiskan dana lebih dari Rp 5 miliar. Dengan kata lain, setiap fraksi akan mendapatkan dana Kunker Rp 1 miliar.

Anggaran Kunker yang menghabiskan angka Rp 5 miliar dan dilakukan dalam waktu yang cukup singkat, menurut penulis sangat tidak masuk akal. Anggaran tersebut sangat berlebih, apalagi Kunker yang dilakukan adalah Kunker dalam negeri. Selain itu, uang Rp 5 miliar tersebut langsung dibagi rata ke lima fraksi, seperti membagi-bagi permen ke anak kecil. Praktik ini semakin menguatkan dugaan publik, orientasi politik anggota dewan melakukan Kunker bukan sekedar pembahasan RAPBD 2010, tapi lebih jauh dari itu adalah bagaimana menghabiskan anggaran menjelang tutup buku APBD 2009.

Pada Kunker tahap I, 20-22 Oktober 2009, Komisi A bertolak ke Medan, B ke Gorontalo, C ke Jawa Barat, D ke DKI Jakarta, dan E ke Kalimantan Timur. Dan ternyata Kunker berulang pada tanggal 28 Oktober 2009, di mana Komisi A, C, dan E akan bertolak ke Jakarta dan Banten, Komisi B ke Semarang dan Komisi D ke Bali. Materi Kunker II hampir sama seperti Kunker tahap I, yakni dalam rangka pembahasan RAPBD 2010. Kunker berulang ini, semakin menambah deretan panjang dugaan publik; Kunker hanya menghabiskan uang rakyat.

Kegiatan Kunker tersebut, penulis menilai tidak akan banyak membawa kontribusi positif dalam proses pembahasan RAPBD 2010. Selain karena dilakukan dalam waktu yang mendesak dan dipaksakan, juga yang perlu dicermati lebih jauh adalah karena tidak adanya perubahan paradigma politik anggaran. Paradigma politik anggaran pemerintah daerah Jatim sangat konservatif, yang masih menempatkan anggaran aparatur birokrasi (baca:rutin) sebagai “panglima”, sedangkan anggaran publik/pembangunan sebagai “prajurit”. Paradigma ini sudah mentradisi puluhan tahun dan rakyat terus menjadi korban. Dengan kata lain, APBD Jatim selama ini lebih banyak melayani kebutuhan elit daerah, baik untuk eksekutif maupun legislatif daripada kebutuhan untuk masyarakat.

Fakta ini pula yang terjadi pada RAPBD 2010 Jatim. Dalam pembacaan Nota Keuangan 2010, Gubernur Soekarwo menyebutkan dari total rancangan anggaran Rp 7,376 triliun, alokasi belanja pembangunan sebesar Rp 3,753 triliun (51,1 persen) sedangkan belanja pegawai Rp 3,591 triliun (48,9 persen). Komposisi sepertinya “berpihak pada rakyat” atau meminjam jargon Pakde Karwo dalam kampanye Pilgub; “APBD untuk Rakyat”, namun jika kita kritisi dan cermati lebih dalam, anggaran pembangunan yang mencapai 51,1 persen banyak yang kembali lagi untuk kebutuhan dan kepentingan aparatur birokrasi. Dengan kata lain, RAPBD 2010 Jatim bagaikan fatamorgana, masih belum berpihak pada kepentingan masyarakat. Karena itu, penulis melihat, Kunker tidak akan berdampak pada performance RAPBD 2010 yang pro rakyat, jika paradigma politik anggarannya tidak berubah.

Bagaikan Predator
Para anggota dewan baru seharusnya bisa belajar dari “kebiasaan buruk” Kunker sia-sia yang dilakukan anggota dewan sebelumnya. Dan yang paling disesalkan, ada anggota dewan baru yang dulunya bersama penulis lantang menyuarakan “tolak kunker” (bahkan sampai melakukan gugutan class action ke pengadian), namun saat ini suara lantang tersebut nyaris tak berbunyi di gedung dewan. Jangankan bersuara keras, yang dilakukan justru “mengamini” dan terlibat dalam kegiatan Kunker. Inilah wajah asli kekuasaan; suara rakyat berubah menjadi suara elit kekuasaan yang ingin berkuasa dan menguasai. Anggota dewan sudah terjangkit penyakit “amnesia politik”; lupa diri bahwa dirinya adalah wakil rakyat yang harus mengabdi pada rakyat. Kekuasaan telah melupakan segalanya, termasuk rakyat yang diwakilinya.

Penghabisan uang rakyat sebesar Rp 5 miliar dalam waktu cukup singkat tersebut, apalagi tidak dikuti dengan hasil dan kontribusi signifikan bagi peningkatan kerja dan kinerja dewan dan peningkatan kesejahteraan rakyat, sama saja dewan melakukan predatorisasi rakyat melalui penghisapan anggaran di APBD.

Apakah anggota dewan tidak melihat dan merasakan penderitaan masyarakat miskin dan pengangguran yang saat ini sedang kesulitan mencari sesuap nasi, apalagi di tengah harga bahan pokok yang terus melambung. Banyak anak keluarga miskin yang tak bisa sekolah dan putus sekolah, keluarga miskin yang tak mampu membayar biaya kesehatan di Rumah Sakit. Apalagi ada satu kecamatan di Kabupaten Ponorogo yang dijuluki sebagai “Kampung Idiot”. Ini sungguh sangat ironis dan tragis, di saat anggota dewan ramai-ramai Kunker, pada saat yang sama ada warga satu kampung yang idiot. Dimana nurani anggota dewan…?. kampung Idiot ini bisa menjadi wujud paling telanjang dari praktik politik anggaran kita yang manupulatif dan konspiratif.

Karena itu, tidak alasan bagi anggota dewan untuk terus melanjutkan Kunker “sia-sia” tersebut. Alangkah lebih baiknya, berkosentrasi penuh pada pembahasan dan penyusunan RAPBD 2010 yang berpihak pada kepentingan masyarakat Jatim. Kunker lah ke masyarakat bawah dan rasakan penderitaannya. Di situlah hakekat Kunker sebenarnya bagi anggota dewan, bukan nglencer mengabiskan anggaran ke luar daerah.

Remaja dan Bunuh Diri

Opini Harian Bhirawa, 27 Desember 2009

Akhir-akhir ini kasus bunuh atau percobaan bunuh diri di kota-kota besar kecederungannya semakin marak dan meningkat. Dari berbagai kasus bunuh diri atau percoabaan bunuh diri tersebut, yang paling memprihantikan adalah pelakunya masih usia belia, yakni usia remaja atau produktif. Di Jakarta misalnya, dua minggu lalu dalam satu hari dengan waktu yang bebeda terdapat dua remaja melakukan aksi bunuh diri dengan melompat dari lantai VII sebuah plaza.
DI Surabaya, karena cemburu pada pacarnya, seorang mahasiswi semester akhir perguruan tinggi negeri (PTN) di Malang, Yanu Nurcahyani, 23, mencoba bunuh diri dengan minum racun tikus jenis Tymex di kamar 102 Hotel Hayam Wuruk Jl Sukarno-Hatta Trenggalek. Namun upayanya tak berhasil. Racun itu membuatnya sekarat, tidak sampai menghilangkan nyawanya. Nah, pada saat sekarat itulah dia kemungkinan berpikir betapa berartinya hidup (Bhirawa, 9/12/2009).
Kasus percobaan bunuh diri yang dilakukan kalangan remaja cukup memprihatinkan. Hanya karena menghadapi persoalan-persoalan sepele (baca: seperti putus cinta), mereka nekat mengambil jalan pintas dengan cara bunuh diri. Secara statistik, berdasarkan data yang dihimpun bagian Poli Jiwa Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Soetomo, Surabaya, menyebutkan kasus percobaan bunuh diri yang terjadi selama 2008 tercatat 21 kasus. Ironisnya, kasus percobaan bunuh diri ini banyak dilakukan oleh pelaku berusia 17 tahun hingga 27 tahun. Disusul kemudian, pelaku yang berusia 30 tahun hingga 45 tahun.
Kalangan remaja yang nekat mengakhiri hidupnya dengan jalan bunuh diri mayoritas karena terlibat masalah dengan pacar dan selebihnya karena terlibat masalah dengan orang tua dan lingkungan pergaulan. Cara paling banyak dilakukan untuk mencoba bunuh diri yakni dengan meminum Baygon, minum racun tikus, mengiris pergelangan tangan, dan selebihnya dengan cara melompat dari tempat tinggi. Sedangkan, mereka yang berusia antara 30-45 tahun yang nekat berusaha bunuh diri sebagian besar disebabkan karena masalah-masalah rumah tangga.
Kasus bunuh diri atau percobaan diri yang dilakukan seseorang, termasuk kalangan remaja dilatarbelakangi oleh permasalahan yang kompleks. Dengan kata lain, sebab seseorang melakukan bunh diri atau percoabaan bunuh diri sangat beragam, tidak saja karena faktor kejiwaan atau psikis, tapi sosiologis. Khusus untuk remaja, di antaranya kepribadian remaja yang belum matang dan terjadinnya alienasi sosial rentan mengambil jalan pintas ketika mengalami masalah.
Menurut para psikolog, remaja yang nekat mengambil jalan pintas ingin mengakhiri hidupnya memiliki kecenderungan gampang putus asa, tidak bisa melihat jalan keluar ketika menghadapi masalah, hubungan dengan keluarga kurang harmonis, dan perkembangan jiwanya kurang matang. Selain pribadi dirinya yang kurang matang, faktor lingkungan sekitar, lingkungan sekolah, keluarga, orang tua, juga turut mempengaruhi.

Kajian Sosiologis
Dalam kajian sosiologi, sosiolog tekemuka yang secara khusus membahas masalah bunh diri (suicide) ini adalah E. Durkheim, menurutnya, bunuh diri bukan disebabkan masalah kemiskinan atau sakit jiwa, namun lebih disebabkan karena renggang atau lepasnya ikatan-ikatan sosial/ikatan nilai yang kemudian menjadikan masyarakat mengalami disintegrasi. Nilai-nilai atau kesadaran kolektif (Collective Consciousness) yang menjadi panduan bermasyarakat mengalami pemudaran atau dalam teori Durkhem disebut Anomie, yakni suatu situasi di mana nilai dan norma dalam masyarakat tetap ada, namun tidak lagi berfungsi untuk menjadi standard dan pedoman dalam bertingkah laku. Masyarakat mengalami kekacauan karena tidak adanya aturan-aturan yang diakui bersama yang eksplisit ataupun implisit mengenai perilaku yang baik, atau, lebih parah lagi, terhadap aturan-aturan yang berkuasa dalam meningkatkan isolasi atau bahkan saling memangsa dan bukan kerja sama.
Dalam konteks teori Durkheim, bunuh diri adalah salah satu bentuk dari penyimpangan perilaku. Durkheim ingin menunjukkan Bagaimana bunuh diri itu terjadi atau dilakukan oleh seseorang, disebabkan oleh benturan dua kutub integrasi dan regulasi di mana kuat dan lemahnya kedua kutub itu akan menyebabkan orang melakukan bunuh diri. Dalam teori bunuh dirinya (Suicide), Durkheim membaginya menjadi tiga; 1. Anomie Suicide; yakni bunh diri yang disebabkan karena adanya kekacauan nilai dan norma dalam masyarakat (contoh kasus bunuh diri dalam kondisi masyarakat yang serba kacau), 2. Egoistic Suicide, yakni bunuh diri yang disebabkan karena kepentingan dirinya lebih berharga daripada kepentingan orang lain (contoh kasus bunuh diri karena berhutang atau ditinggal pacar), dan 3. Altruisme Suicide, yakni bunuh diri yang disebabkan karena kepentingan orang lain/masyarakat lebih berharga daripada kepentingan dirinya (contoh; kasus sekte Harakiri di Jepang)
Para penganut teori social control mengatakan bahwa munculnya perilaku menyimpang atau lebih khusus “jalan pintas” yang terjadi dalam kasus bunuh diri remaja, lebih disebabkan karena lemahnya kontrol sosial dari lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat, terutama institusi keluarga. Lembaga ini dinilai gagal dalam mengatur, mendisiplinir dan mengarahkan perilaku dan tindakan anggotanya, begitu juga dengan lembaga sosial di luar keluarga. Masyarakat cenderung memberikan “ruang gerak” kepada individu maupun kelompok untuk berperilaku menyimpang. Selain itu, semakin menjamurnya perilaku dan budaya individualistik masyarakat yang berujung pada semakin renggangnya ikatan sosial di antara kita. Hilangnya ikatan sosial ini akibat semakin longgarnya nilai atau norma dalam masyarakat. Kondis ini yang dalam teori Durkhem di sebut sebagai Anomie atau ketiadaan norma.
Secara sosiologis, menurut Guru Besar Sosiologi Unair, Soetandyo Wignjosoebroto, munculnya kasus bunuh diri lebih disebabkan karena permasalahan struktural yakni terjadinya disorganisasi kehidupan yang berimbas pada terdisintegrasinya –dalam tempo yang relatif cepat- institusi-institusi primer komunitas-komunitas lokal, dengan fungsi-fungsi yang tak segera bisa di ambil-alih dan dilanjutkan oleh isntitusi-institusi penggantinya (yang seharusnya tumbuh-kembang dalam kehidupan urban-industrial). Sementara institusi-institusi keluarga kehilangan keterandalannya, institusi-institusi sekender yang seharusnya tumbuh-kembang dalam kehidupan urban-industrial nyatanya tidak cukup terkelola dan terpelihara dengan baik untuk melaksanakan fungsi-fungsi sosialisasi dan enkulturasi.
Dengan demikian bahwa ketidakutuhan atau disorganisasi ini yang kemudian menimbulkan gagalnya keluarga dalam memerankan peranannya sebagai agen atau institusi yang dapat memberikan kebutuhan psikologis. Kemapanan secara ekonomi yang dimilki suatu keluarga tidak menjamin kebetahan anak dalam keluarga atau menjadikan akan tidak berperilaku menyimpang. Justru karena kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi –walaupun secara ekonomik terpenuhi- menjadikan anak berperilaku delinkuen, termasuk melakukan aksi bunuh diri atau percobaan bunuh diri.
Bunuh diri adalah salah satu bentuk perilaku menyimpang, karena itu dalam konteks inilah, Durkheim menekankan, pentingnya agama bagi seseorang untuk menghindarkan dari berbagai penyimpangan yang mungkin terjadi, di mana unsur-unsur esensial dari agama itu terdiri dari nilai-nilai moralitas yang bisa dijadikan daya kendali seseorang dari perilaku menyimpang (baca: bunuh diri). Bagi Durkheim, moralitas itu merupakan suatu aturan yang merupakan patokan bagi tindakan dan perilaku manusia (juga dalam berinteraksi). Konsepnya mengenai moralitas ini merujuk pada apa yang dinamakan norms (norma-norma) dan rules (aturan-aturan) yang harus dijadikan acuan dalam berinteraksi. Selain faktor kedekatan diri dengan agama, faktor sosial, seperti membangun kebersamaan dan kepedulian sosial atas sesama adalah langkah solutif untuk menekan angka bunuh diri.

APBD 2010 Jatim ; Besar Pasak daripada Tiang

Sumber : Kompas Jatim, 24 November 2009

Paradigma politik anggaran Pemerintah Propinsi Jawa Timur, dari tahun ke tahun tidak mengalami perubahan signifikan alias konservatif. Komposisi dan alokasi anggaran masih timpang, komposisi anggarannya masih sekitar 65 persen untuk belanja rutin, dan sisanya 45 persen untuk belanja publik. Dengan kata lain, APBD Jatim masih belum pro rakyat, masih lebih banyak melayani kebutuan elit daerah. Bukan APBD untuk rakyat, tapi untuk elit daerah.
Selain konservatif, APBD Jatim juga bertradisi defisit. Sebut saja misalnya, pada Rancangan APBD 2010 yang dibahas DPRD, di mana awalnya Badan Anggaran (banggar) menyebut angka defisit sebesar Rp 274,11 miliar. Namun angka tersebut mengalami pembengkakan, dari Rp 274,11 miliar menjadi Rp 388,658 miliar. Peningkatan itu hasil evaluasi badan anggaran (Banggar), atas laporan komisi-komisi DPRD Jatim. Dalam perangkaan RAPBD 2010, pendapatan diproyeksikan Rp 7,070 triliun, belanja Rp 7,344 triliun. Ada defisit sekitar Rp 274,111 miliar. Perangkaan ini berbeda dengan laporan Banggar dalam sidang paripurna, kemarin (16/11). Banggar menyebutkan pendapatan Rp 7,388 triliun, ada kenaikan sekitar Rp 318 miliar dibandingkan perangkaan. Belanja versi Banggar diproyeksikan Rp 7,777 triliun, ada kenaikan Rp 433 miliar. Imbasnya, defisit naik menjadi Rp 388,658 miliar. Anehnya, sejumlah anggota banggar justru mengaku tak tahu-menahu perubahan tersebut.
Perlu di catat, bahwa defisit 2010 ini sifatnya sementara atau hanya untuk APBD regular. Angka defisit ini biasanya akan mengalami pembengkakan sampai dua sampai tiga kali lipat ada saat Perubahan Anggaran Keuangan (PAK), sebagaimana yang terjadi pada anggaran sebelumnya.
Satu catatan penting yang harus kita cermati dan kritisi bersama adalah wajah APBD Jatim yang selalu bertradisi defisit atau besar pasak daripada tiang. Artinya beban pengeluaran lebih besar daripada pendapatan. Dan ironisnya lagi, belanja daerah tersebut lebih banyak terserap untuk kebutuhan elit daerah.
Defisit anggaran sudah menjadi tradisi tahunan APBD Jatim. Bahkan setiap tahun defisit anggaran ini terus mengalami kenaikan cukup signifikan. Sebagai catatan, pada tahun 2005, APBD Jatim mengalami defisit sebesar Rp 135,76 miliar (ini defisit sebelum PAK APBD, setelah PAK angka lebih besar lagi)). Pada tahun 2006, angka defisit naik menjadi RP 230,78 miliar. Dan angka defisit ini terus merangkak naik pada APBD tahun 2007 sebesar Rp 606,61 miliar, tahun 2008 sebesar RP 732,39 miliar, tahun 2009 sebesar Rp 790 miliar dan anggaran reguler tahun 2010 dipatok sebesar Rp Rp 388,658 miliar (lihat tabel).
Setiap tahun APBD Jatim selalu menunjukkan tingkat kenaikan pos pendapatan daerah tak sebanding dengan kenaikan pos belanja. Pendapatan daerah bergerak bagaikan deret hitung sementara belanja daerah bergerak bagaikan deret ukur. Artinya pos pendapatan tingkat kenaikannnya sangat lambat, sementara pos pengeluarkan bergerak sangat cepat. Dengan kata lain, Pemprop lebih rajin mengeluarkan uang daripada menghasilkan devisa alias boros. Dan yang paling parah, belanja daerah yang begitu besar, sebagian besar tersedot untuk belanja untuk kebutuhan elit daerah. Ini yang mengakibatkan angka defisit anggaran semakin besar.

Tabel. 2: Perkembangan Angka Defisit APBD Jatim (2005-2010)
No Tahun Anggaran Defisit
1 2005 Rp 135,76 miliar
2 2006 Rp 230,78 miliar
3 2007 Rp 606,61 miliar
4 2008 Rp 732,39 miliar
5 2009 Rp 790 miliar
6 2010 Rp 388,658 miliar *
Catatan : Defisit APBD Reguler, Biasanya akan melonjak cukup besar pada saat PAK

Elit DPRD dan eksekutif sering beralasan, salah satu penyebab belanja daerah meningkat adalah adanya beberapa proyek agenda pembangunan tahun anggaran sebelumnya yang belum terealisasi, adanya inflasi atau kenaikan kebutuhan daerah. Karena itu, pengerjaan program tersebut dimasukan kembali dalam RAPBD tahun depan. Namun alasan ini sebenarnya bukanlah alasan utama yang menyebabkan semakin besarnya defisit APBD. Justru yang mengakibatkan pembengkakan anggaran pengeluarkan karena besarnya anggaran untuk belanja elit daerah yang angkanya mencapai 65 persen lebih. Bahkan tidak sedikit yang bermasalah alias menyimpang. Contoh yang terbaru adalah kasus penyimpangan dana P2SEM yang menyeret para elit daerah. Dengan kata, justru biang kerok dari adanya defisit ini adalah tingkat inefisiensi, pemborosan, kebocoran dan penyimpangan anggaran yang begitu tinggi.

Mengapa harus defisit?
Semakin membengkaknya angka defisit ini lebih karena faktor tingkat inefisiensi dan kebocoran atau penyimpangan anggaran yang masih begitu tinggi. Jika efisiensi serius (baca: penghematan atau di pangkas masing-masing 15% setiap pos anggaran) dilakukan dan tingkat kebocoran atau penyimpangan dapat ditekan semaksimal mungkin, maka desifit anggaran bisa ditekan bahkan bisa dihilangkan. Bahkan APBD 2008 bisa juga mengalami surplus. Namun ini yang tidak dilakukan oleh para elit daerah kita. Dengan efisiensi, dalam pandangan mereka, maka secara otomatis akan mengurangi “jatahnya”.
Selain itu, tingkat kontrol budjeting dari DPRD terhadap pemanfaatan anggaran eksekutif juga sangat lemah. Terbukti banyak penyimpangan dan kebocoran anggaran yang terjadi di tahun sebelumnya tidak ada penyelesaian lebih lanjut, terutama terhadap penyelamatan anggarannya. Jika fungsi pengawasan ini dijalankan dengan baik dan serius, maka setidaknya ada puluhan milyar dari APBD yang bisa diselamatkan. Dan itu bisa digunakan untuk menutup defisit anggaran.
Akhirnya, mengapa APBD Jatim harus mengalami defisit?. Dengan kata lain, ada something wrong dalam menejemen pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah belum menerapakan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah yang baik dan akuntabel diantaranya adalah prinsip efisiensi dan transparansi dan akuntabalitas.

Minggu, 22 November 2009

Polri, noerdin M. Top dan Anggodo

Sumber : Opini Harian Bhirawa, 17 November 2009

Beberapa minggu sebelum kasus dugaan kriminalisasi pimpinan nonaktif Komisi Pembetasan Korupsi (KPK), Chandra Hamzah dan Bibi S. Rinto mencuat, jajaran kepolisian mendapat apresiasi yang cukup besar dari masyarakat lantaran prestasinya yang gemilang dalam menangkap gembong terorisme, Noerdin M. Top. Warga Malaysia ini dikenal bagaiakan belut alias susah ditangkap ketika di buru aparat Densus 88. Pengakuan dan apresiasi tidak saja datang dari masyarakat Indonesia, tapi juga datang dunia internasional. Sebut saja misanya Amerika Serikat dan Australia memberikan ancungan jempol, dan bahkan tidak itu saja, Indonesia mendapat bantuan dana dari kedua negara tersebut dalam bentuk kerjasama berantas terorisme.
Namun prestasi gemilang Polri tersebut hanya “dikenang” publik domestik dan internasional dalam sekejab mata. Dukungan publik yang luar biasa berubah menjadi cercaan, kecaman, dan bahkan hujatan. Profesionalisme Polri ketika menangkap Noerdin M Top menjadi kamuflase hukum saja, karena Polri seperti “bebek”, tak berdaya menghadapi mafioso hukum di negeri ini seperti Anggodo. Polri juga dinilai tidak becus menangap salah satu saksi kunci kasus Chandra-Bibit, Yulianto, orang yang disebut Ari Muladi yang memberikan langsung uang 5,1 milyar kepada pimpinan KPK, termasuk kepada Chandra-Bibit.
Dalam logika hukum masyarakat, penyidikan dan penahanan Chandra-Bibit oleh Polri dianggap sebagai bentuk kriminalisasi hukum. Alasan-alasan legal formal yang selama ini diangungkan Polri terbantahkan oleh berbagai fakta hukum empiris. Sebut saja misalnya yang paling telanjang adalah bukti rekaman sadapan KPK yang diperdengarkan publik Indonesia di MK, di mana disitu sangat telanjang sekali upaya kriminalisasi hukum atas kasus Chandra-Bibit yang dirancang secara sistematis oleh seorang Anggodo dan bantahan Ari Muladi sendiri.
Sebelum rekaman MK muncul, Anggodo sebelumnya juga dikenal akrab dengan para petinggi kepolisian dan kejaksanaan. Dengan kekuatan kapitalnya, Anggoda bisa mengatur dan menyelesaikan kasus-kasus hukum yang menimpa dirinya dan koleganya dengan “UUD” alias ujung-ujungnya duit. Tatanan hukum formal digadaikan begitu rupa oleh aparat hukum kita dengan tumpukan uang.
Polri dan kejaksaan boleh berdalih dan berapologi, bahwa penanganan kasus Chandra-Bibit sudah sah sesuai dengan hukum legal formal kita, namun dalam logika hukum masyarakat justru sebaliknya. Kasus Chandra-Bibit penuh dan syarat rekayasa sebagaimana yang ditunjkkan dalam rekaman MK tersebut. Bahkan publik hukum kita menilai rekaman MK tersebut bagaikan fenomena gunung es, fakta sebenarnya jauh lebih bobrok. Dengan kata lain, ada aspek hukum yang selama ini tidak terlalu diperhitungkan oleh aparat penegak hukum legal formal kita, yakni aspek keadilan hukum. Menurut Ahli Sosiologi Hukum Satjipto Raharjo, aparat penegak hukum kita masih sebatas melakukan penegakkan hukum saja alias “kepanjangan tangan” UU, tapi belum mampu menghadirkan keadilan hukum bagi masyarakat. Jutaan dukungan yang ditunjukkan para facebooker terhadap Chandra-Bibit dan sikap protesnya kepada Polri dan Kejaksanaan menunjukkan adanya nurani keadilan hukum yang tercabik-cabik. Mahfud M.D mengatakan keadilan hukum sulit nampak pada aspek legal formal hukum kita, karena aspek legal-formal dan prosedural hukum bisa diatur dan dimanipulasi sebagaimana yang dilakukan Anggodo.

Anggodo Bebas?
Logika hukum legal-formal dan prosedural yang dirancang Polri atas Anggodo sangat sulit diterima oleh akal sehat kita. Profesionalisme Polri sangat dipertanyakan. Pertama, mengapa Polri sulit menangkap dan menjebloskan Anggodo ke sel tahanan, sementara dalam kasus Chandra-Bibit sangat begitu mudah? Dan kedua, mengapa Polri juga kesulitan menangkap saksi kunci; Yulianto. Menangkap gembong terorisme seperti belut saja mampu, masak menangkap Yulianti tidak mampu, ada apa dengan Polri?.
Pertama terkait dengan sulitnya menangkap Anggodo. Menurut pakar hukum pidana, rekaman MK dan pengakuan Anggodo sendiri sebenarnya bisa dijadikan alat bukti yang bisa digunakan Polri untuk menjebloskan Angodo ke tahanan, tapi mengapa tidak dilakukan? In yang menjadi tanda tanya besar. Setelah dirasionalisasi dengan dukungan fakta empiris, ternyata ada dugaan ; sebagai pengusaha hitam dan dekat dengan jajaran aparat penegak hukum, jika Anggodo ditahan, maka dikhawatirkan akan “bernyanyi” seperti burung perkutut yang akan mengancam citra, kredibilitas dan muka jajaran Polri dan kejaksaan. Karena itu, Polri lebih aman melepas Anggodo daripada menahannya.
Kedua, terkait sulitnya menangkap Yulianto. Ini juga menimbulkan tanda tanya besar. Polri berhasil menemukan gembong terorisme Noedin M Top, tapi dalam kasus Yulianto mengapa tidak mampu? Padahal Yulianto tak sehebat Nordin M Top. Ada dua dugaan, pertama, sulitnya Polri menangkap Yulianto memang disengaja untuk menguatkan opini Polri bahwa nama Yulianto adalah fiktif sehingga semakin menguatkan dakwaan atas Chandra-Bibit. Kedua, Polri sebenarnya sudah tahu keberadaan Yulianto, namun belum mau menangkap. Bisa saja dugaan masyarakat muncul, jangan-jangan Yulianto ada dan sudah “diamankan” Polri, namun belum bisa dimunculkan. Diamankan Yulianto ini juga mungkin terkait dengan “keamanan” Polri dan kejaksaan itu sendiri. Jika Yulianto dimunculkan sejak awal dan kemudian membantah mendistribusikan uang suap kepada jajaran pimpinan KPK , maka habislah citra Polri. Dan ini semakin menguatkan adanya kriminalisasi dalam kasus Chandra-Bibit. Kondisi ini yang dihindari Polri dan Kejaksaan. Polri mungkin akan memunculkan Yulianto pada waktu yang tepat, sehingga Yulianto bisa memberikan statement yang senafas dengan pihak Polri dan Kejaksaan.
Dalam kasus lain, rekayasa hukum semakin menguat dengan pengakuan mengejutkan Wiliardi Wizard dalam kasus pembunuhan Nasrudin yang melibatkan mantan ketua KPK Antasai Azhar. Posisi Polri dan Kejaksaan semakin tersudut. Karena itu, narasi hukum yang dirancang Polri dan Kejaksaan sangat sulit diterima akal sehat hukum masyarakat dan aspek yuridis sekalipun. Dengan kata lain, ada yang bermasalah dengan Polri dan Kejaksaan. Karena itu sangat sulit kasus ini diserahkan kepada aparat hukum yang bermasalah. Dipastikan tidak akan menyelesaikan masalah, justru akan menimbulkan masalah baru dalam penegakkan hukum kita.

Kunker DPRD dan Nasib Maskin

Sumber : Opini Radar Surabaya, 23 November 2009

Baru dua setengah bulan menjabat, anggota DPRD Jatim sudah mulai berulah. Sama seperti kebisaan buruk yang dilakukan anggota dewan periode sebelumnya, yakni melakukan Kunjungan Kerja (Kunker) sia-sia. Kali ini Kunker dewan berdalih pembahasan RAPBD 2010. Yang menjadi pertanyaan, mengapa hanya untuk membahas RAPBD saja harus melakukan Kunker berulang-ulang dan yang menimbulkan pertanyaan public, mengapa Kunker tersebut dilakukan di masa injuri time pelaksanaan APBD 2009?. Muncul suudhon politik, Kunker ini sarat bernuansa penghabisan anggaran, karena jika tidak dipakai maka akan dikembalikan kas daerah.
Seperti diberitakan, 95 anggota DPRD Jatim ramai-ramai melakukan Kunker ke berbagai propinsi di Indonesia dengan dalih untuk mencari informasi pembanding dalam rangka penyusunan dan pembahasan RAPBD 2010. Kunker yang melibatkan lima komisi ini mengabiskan dana lebih dari Rp 5 milyar. Dengan kata lain, setiap fraksi akan mendapatkan dana Kunker Rp 1 milyar (Radar Surabaya, 29/10/2009).
Anggaran Kunker yang menghabiskan angka Rp 5 milyar dan dilakukan dalam waktu yang cukup singkat, menurut penulis sangat tidak masuk akal. Anggaran tersebut sangat berlebih, apalagi Kunker yang dilakukan adalah Kunker dalam negeri. Selain itu, uang Rp 5 milyar tersebut langsung dibagi rata ke lima fraksi, seperti membagi-bagi permen ke anak kecil. Praktik ini semakin menguatkan dugaan publik, orientasi politik anggota dewan melakukan Kunker bukan sekedar pembahasan RAPBD 2010, tapi lebih jauh dari itu adalah bagaimana menghabiskan anggaran menjelang tutup buku APBD 2009.
Pada Kunker tahap I 20-22 Oktober 2009, Komisi A bertolak ke Medan, B ke Gorontalo, C ke Jawa Barat, D ke DKI Jakarta, dan E ke Kalimantan Timur. Dan ternyata Kunker berulang pada tanggal 28 Oktober 2009, di mana Komisi A,C, dan E akan bertolak ke Jakarta dan Banten, Komisi B ke Semarang dan Komisi D ke Bali. Materi Kunker II hampir sama seperti Kunker tahap I, yakni dalam rangka pembahasan RAPBD 2010. Kunker berulang ini, semakin menambah deretan panjang dugaan publik; Kunker hanya menghabiskan uang rakyat.
Kegiatan Kunker tersebut, penulis menilai tidak akan banyak membawa kontribusi positif dalam proses pembahasan RAPBD 2010. Selain karena dilakukan dalam waktu yang mendesak dan dipaksakan, juga yang perlu dicermati lebih jauh adalah karena tidak adanya perubahan paradigma politik anggaran. Paradigma politik anggaran pemerintah daerah Jatim sangat konservatif, yang masih menempatkan anggaran aparatur birokrasi (baca: rutin) sebagai “panglima”, sedangkan anggaran publik/pembangunan sebagai “prajurit”. Paradigma ini sudah mentradisi puluhan tahun dan rakyat terus menjadi korban. Dengan kata lain, APBD Jatim selama ini lebih banyak melayani kebutuhan elit daerah, baik untuk eksekutif maupun legislatif daripada kebutuhan untuk masyarakat.
Fakta ini pula yang terjadi pada RAPBD 2010 Jatim. Dalam pembacaan Nota Keuangan 2010, Gubernur Soekarwo menyebutkan dari total rancangan anggaran Rp 7,376 triliun, alokasi belanja pembangunan sebesar Rp 3,753 triliun (51,1 persen) sedangkan belanja pegawai Rp 3,591 triliun (48,9 persen). Komposisi sepertinya “berpihak pada rakyat” atau meminjam jargon Pakde Karwo dalam kampanye Pilgub; “APBD untuk Rakyat”, namun jika kita kritisi dan cermati lebih dalam, anggaran pembangunan yang mencapai 51,1 persen banyak yang kembali lagi untuk kebutuhan dan kepentingan aparatur birokrasi. Dengan kata lain, RAPBD 2010 Jatim bagaikan fatamorgana, masih belum berpihak pada kepentingan masyarakat. Karena itu, penulis melihat, Kunker tidak akan berdampak pada performance RAPBD 2010 yang pro rakyat, jika paradigma politik anggarannya tidak berubah.

Bagaikan Predator
Para anggota dewan baru seharusnya bisa belajar dari “kebiasaan buruk” Kunker sia-sia yang dilakukan anggota dewan sebelumnya. Dan yang paling disesalkan, ada anggota dewan baru yang dulunya bersama penulis lantang menyuarakan “tolak kunker” (bahkan sampai melakukan gugutan class action ke pengadian), namun saat ini suara lantang tersebut nyaris tak berbunyi di gedung dewan. Jangankan bersuara keras, yang dilakukan justru “mengamini” dan terlibat dalam kegiatan Kunker. Inilah wajah asli kekuasaan; suara rakyat berubah menjadi suara elit kekuasaan yang ingin berkuasa dan menguasai. Anggota dewan sudah terjangkit penyakit “amnesia politik” ; lupa diri bahwa dirinya adalah wakil rakyat yang harus mengabdi pada rakyat. Kekuasaan telah melupakan segalanya, termasuk rakyat yang diwakilinya.
Penghabisan uang rakyat sebesar Rp 5 milyar dalam waktu cukup singkat tersebut, apalagi tidak dikuti dengan hasil dan kontribusi signifikan bagi peningkatan kerja dan kinerja dewan dan peningkatan kesejahteraan rakyat, sama saja dewan melakukan predatorisasi rakyat melalui penghisapan anggaran di APBD.
Apakah anggota dewan tidak melihat dan merasakan penderitaan masyarakat miskin dan pengangguran yang saat ini sedang kesulitan mencari sesuap nasi, apalagi di tengah harga bahan pokok yang terus melambung. Banyak anak keluarga miskin yang tak bisa sekolah dan putus sekolah, keluarga miskin yang tak mampu membayar biaya kesehatan di Rumah Sakit. Apalagi ada satu kecamatan di Kabupaten Ponorogo yang dijuluki sebagai “Kampung Idiot”. Ini sungguh sangat ironis dan tragis, di saat anggota dewan ramai-ramai Kunker, pada saat yang sama ada warga satu kampung yang idiot. Dimana nurani anggota dewan…?. kampung Idiot ini bisa menjadi wujud paling telanjang dari praktik politik anggaran kita yang manupulatif dan konspiratif.
Karena itu, tidak alasan bagi anggota dewan untuk terus melanjutkan Kunker “sia-sia” tersebut. Alangkah lebih baiknya, berkosentrasi penuh pada pembahasan dan penyusunan RAPBD 2010 yang berpihak pada kepentingan masyarakat Jatim. Kunker lah ke masyarakat bawah dan rasakan penderitaannya. Di situlah hakekat Kunker sebenarnya bagi anggota dewan, bukan nglencer mengabiskan anggaran ke luar daerah.

Rabu, 26 Agustus 2009

Menyelamatkan Uang Rakyat Di P2SEM

Sumber Opini ; KOMPAS Jatim, 7 Agustus 2009

Oleh : Umar Sholahudin
Koordinator Parliament Wacth Jatim, Dosen Sosiologi Hukum Unmuh Surabaya

Membuat atau merancang program penanggulangan kemiskinan itu jauh lebih mudah daripada mengawal agar program tidak mengalami penyimpangan yang kemudian bermuara pada sebuah kegagalan program. Ungkapan tersebut sangat pas untuk menjelaskan munculnya berbagai kasus penyimpangan dalam program pengentasan kemiskinan, termasuk Program Pemberdayaan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) yang saat ini sedang disidik oleh Kejaksaan Tinggi Jatim.
Per konsep, P2SEM ini sangat baik. Program ini merupakan intervensi kebijkakan Pemprop Jatim atas munculnya krisis ekonomi global yang berdampak pada kondisi sosial-ekonomi masyarakat di Jatim. Program ini bertujuan untuk membantu kelompok masyarakat miskin untuk bangkit dari kemiskinan yang lebih parah. Program ini meliputi tiga kegiatan, yakni; penciptaan lapangan kerja, peningkatan daya beli masyarakat, dan penanganan masalah sosial (Kompas Jatim, 27/7/2009).
Namun dalam implementasi di lapangan, proyek P2SEM ini jangankan dapat meringankan beban sosial ekonomi hidup masyarakat miskin, justru program tersebut mengalami penyimpangan yang luar biasa. Penyimpangan tidak saja pada tingkat programnya, tapi juga pada anggarannya. Dan penyimpangan ini sudah mengarah kuat pada kasus korupsi. Anggaran P2SEM ini di lapangan menjadi “bacaan” para elit daerah, baik di eksekutif maupun di DPRD, mulai level staf sampai top manager.
Pada APBD 2008, P2SEM ini dianggarkan kurang lebih Rp 400 milyar dalam bentuk hibah. Meskinpun dana hibah, Pemprop tidak begitu saja memberikan uang tersebut dalam bentuk “cash and carry”. Kelompok masyarakat –baik ormas maupun LSM atau lembaga lainnya- yang ingin mendapatkan dana tersebut harus membuat dan mengajukan proposal kegiatan ke Pemrop Jatim. Dan tidak hanya itu, proposal tersebut harus mendapatkan rekomendasi dari DPRD, terutama ketuanya.
Dari anggaran Rp 400 milyar tersebut, sampai kasus ini disidik pihak Kejati Jatim, sudah sekitar Rp 200 milyar lebih yang dicairkan dan sekitar Rp 126 milyar lebih berindikasi kuat menyimpang (baca: korupsi).
Berdasarkan penyidikan Kejati ada beberapa modus penyimpangan dalam proyek P2SEM ini yang kemudian bermuara pada kasus korupsi, diantaranya adalah, Pertama, Sebagian besar lembaga (bisa LSM, Ormas, atau kelompok masyarakat lainnya) yang mengajukan dan mendapatkan dana P2SEM ini adalah fiktif. Ketika pihak Kejati memverifikasi lembaga penerima, ternyata tidak ada. Nama lembaga dan alamatnya sulit dilacak atau nihil. Kalaupun lembaganya tidak fiktif, lembaga tersebut lahir dalam waktu yang sangat singkat, yakni ketika P2SEM ini akan digulirkan. Tidak sedikit lembaga penerima dana tersebut lahir satu minggu sebelum proyek P2SEM ini digulirkan. Dengan kata lain, lembaga yang dibentuk memang sengaja dibuat untuk “menampung” aliran dana proyek P2SEM ini.
Ketiga, sebagian besar kegiatan yang dilakukan lembaga penerima dana P2SEM ini juga fiktif. Secara formal mereka mengajukan proposal kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan besaran anggarannya, namun setelah dana cair, anggaran tersebut tidak digunakan untuk kegiatan yang telah direncanakan, tapi justru dijadikan “bacaaan”. Dan salah satu oknum yang menskenario bancaan ini adalah Pudjiarto, seorang staf PNS di kesekretariatan DPRD yang sekaligus orang kepercayaannya Ketua DPRD Jatim, Fatkhurrasjid yang kini menjadi tersangka.
Keempat, memotong 10-20 persen dari total dana yang cair ke lembaga penerima. Sebagai pihak pengepul proposal dan yang mengusahakan rekomendasi (baca: ttd) dari ketua DPRD, dalam penyidikan, Pudjiarto mengakui mendapat fee sebesar 10-20 persen dari total dana yang dicairkan. Dalam pengakuannya, Pudjiarto bersama koordinator pengumpulan proposal dari daerah, Mualimin, mendapatkan total kompensasi sebesar Rp 4 milyar lebih, sedangkan Fathorrasjid sebesar Rp 7 milyar lebih.
Berdasarkan penyidikan Kejati, potensi kerugian uang rakyat/Negara dalam kasus korupsi P2SEM ini mencapai 126 milyar lebih. Angka ini akan berpotensi lebih besar lagi, karena masih ada beberapa lembaga penerima dan oknum yang menerima cipratan yang belum disidik lebih lanjut. Diperkirakan, potensi kerugian akibat korupsi dana P2SEM ini mencapai Rp 200 milyar.

Menyelamatkan Uang Rakyat
Saat ini, pihak Kejati Jatim telah menetapkan tiga tersangka dan sudah masuk tahanan, diantaranya; Pudjiarto, Fathorrasjid dan Mualimin. Tidak menutup kemungkinan, tersangka akan bertambah, baik dari pihak anggota DPRD maupun dari pihak eksekutif. Untuk menghindari adanya perlakuan diskriminatif, pihak Kejati harus bersikap adil dan jangan tebang pilih. Tidak saja anggota dewan dan staf DPRD saja yang disidik dan dijadikan tersangka, beberapa elit di eksekutifpun sangat layak dijadikan tersangka, diantaranya adalah kepala Bappemas, kepala Biro Keuangan Pemprop Jatim, kepala Bappeprop. Ketiga lembaga birokrasi ini mendapatkan jatah dana dan ikut mendistribusikannya.
Akibat adanya penyimpangan dana P2SEM ini, masyarakat, terutama masyarakat miskin sangat dirugikan. Harapan masyarakat miskin untuk mendapatkan program pemberdayaan social-ekonomi untuk meringankan beban hidupnya, akhirnya sirna. Anggaran program dijadikan “bancaan” oknum dan elit-elit daerah yang tidak bertanggungjawab. Akhirnya kondisi dan nasib masyarakat miskin akan tetap miskin bahkan semakin miskin, karena ulah serakah dan koruptif para pejabat dan kroni-kroninya.
Saat ini pihak Kejati Jatim sedang terus menyidik kasus korupsi di proyek P2SEM yang diduga merugikan negara sekitar Rp 200 milyar lebih. Karena itu, pihak Kejati didorong untuk bersikap tegas dengan mengusut tuntas pihak-pihak terkait yang diduga terlibat dalam praktik penyimpangan proyek P2SEM ini. Selain menindak tegas pelaunya, yang tak kalah penting adalah menyelamatkan uang rakyat yang ada dalam proyek P2SEM ini. Pihak Kejati harus mengusut tuntas hilangnya uang ratusan milyar dalam proyek P2SEM ini. Jika dimungkinkan perlu adanya penyitaan asset pihak terkait yang sekarang sedang disilik, terutama para tersangka.

Ironi, Pesta Dangdutan DPRD Malang

Sumber Opini Radar Surabaya, 22 Agustus 2009


Oleh : Umar Sholahudin
Mahasiswa S-2 Sosiologi FISIP Unair, dan Koordinator Parliament Wacth Jatim

Ironis dan Memalukan..!. Mungkin dua kata tersebut yang paling pantas dialamatkan kepada oknum-oknum anggota DPRD Kabupaten Malang yang mengadakan pesta joget dangdutan di ruangan rapat paripurna 11 Agustus 2009 lalu. Ruangan sidang paripurna “terhormat” yang seharusnya digunakan untuk kegiatan rapat-rapat resmi kedewanan yang membahas persoalaan rakyat, justru digunakan untuk pesta dangdutan. Apalagi para penyanyinya terlihat memakai pakaian seronok.
Para anggoa dewan berapologi, bahwa acara dangdutan di ruang siding DPRD adalah dalam rangka peringatan Agustusan. Dan tidak hanya itu, diduga juga bersamaan dengan hari ulang tahun ketua DPRD Kabupaten Malang, Suhadi. Sehingga sah-sah saja mengadakan pesta dangdutan di DPRD.
Bahkan yang lebih memalukan lagi pada saat pesta dangdutan tersebut ada terjadi keributan antara salah satu oknum anggota DPRD dengan wartawan yang meliput acara. Dan oknum anggota DPRD tersebut diduga sedang mabuk. Luar biasa memalukan…!. Sudah dangdutan dengan mendatangkan para penyanyi seronok, ditambah lagi mabuk.
Atas kejadian tersebut, kecaman muncul dari berbagai pihak, salah satunya MUI Kabupaten Malang yang menyesalkan perilaku anggota dewan yang memalukan dan keterlaluan itu. Mereka sangat tidak pantas menjadi wakil rakyat, dan berharap partai induknya bisa memberikan sanksi yang tegas, yakni dikeluarkan dari DPRD.
Kejadian memalukan tersebut tidak saja menjatuhkan citra DPRD secara institusional, tapi juga para anggota dewannya. Perilaku oknum DPRD tersebut sama saja melecehkan dirinya sendiri dan institusinya. Secara politis, kejadian ini akan menjadikan masyarakat semakin muak dengan perilaku anggota dewan yang sering berulah dan berbuat masalah, baik yang bersifat eti, moral dan kriminal/pidana.

Image bermasalah
Kasus pesta dangdutan di ruang sidang paripurna DPRD Kabupaten Malang tersebut semakin menambah daftar panjang perilaku anggota dewan yang memalukan di depan rakyatnya. Selama ini kita sering dipertontonkan dengan berbagai perilaku memalukan yang dilakukan anggota dewan, baik yang terkait dengan masalah etis, moral, maupun criminal/pidana. Kasus Kunker bermasalah, mesum, dan kasus korupsi sering mewarnai perjalanan politik anggota dewan di gedung wakil rakyat tersebut.
Jika kondisinya demikian, apa yang bisa diharapkan dari wakil rakyat tersebut. Bagaimana akan siap bekerja untuk rakyat, jika dirinya sendiri sering bermasalah dan menjadi sumber masalah. Inilah yang menjadikan anggota dewan tidak mampu dan maksimal dalam bekerja. Mereka disibukkan dengan “keinginan dan kesenanganna sendiri”. Kata psikolog, anggota dewan seperti itu sudah terjangkiti “pengakit” autisme politik. Mereka enjoy menimati kesenangannya sendiri sebagai anggota dewan dengan gaji besar dan fasilitas mewah. Mereka tidak mau peduli dengan lingkungan sekitarnya, apalagi dengan rakyatnya.
Mengapa anggota dewan sering bermasalah dan membuat masalah. Salah satunya tak lepas dari lemahnya kontrol social-politik, baik internal partainya mauoun internal institusi DPRD-nya. Pertama, Selama ini kontrol dari induk partainya sangat lemah, partai sepertinya tidak mampu berbuat dan bertindak tegas atas kadernya yang sering bermasalah di dewan. Kontrol berjalan hanya pada kontribusi financial kepada partai, sedangkan yang lainnya nol. Kontrusi financial ke partai pun kadang tak terkontrol, karena tidak tahu asal muasal uang yang didapat kadernya sebagai anggota dewan.
Kedua, lemahnya kontrol internal DPRD yang perankan oleh Badan Kehormatan (BK) DPRD. BK DPRD selama ini tidak berfungsi sama sekali alias mandul. Lembaga internal dewan yang seharusnya mampu berperan dalam memonitoring dan mendisiplinkan perilaku setiap anggota dewan dan melakukan tindakan tegas atas pelanggaran etika kedewanan, namun sampai saat ini tidak ada tindakan apapun apalagi sanksi yang tegas. Bagi DPRD yang sudah ada BK-nya saja, perilaku anggota dewan sering tak terkontrol, apalagi bagi DPRD yang tak memiliki BK, dipastikan perilaku anggota dewannya semakin liar dan tak terkontrol.

Sikap tegas partai
Kasus DPRD Malang sudah jelas masuk pelanggaran etika-moral kedewanan. Dan karenanya perlu ada tindakan tegas dari BK DPRD dan partainya. DPRD harus berani menindak anggotanya dengan member sanksi peringatan keras, dan kalau bisa merekomendasikan kepada partainya untuk dipecat sebagai anggota dewan. Dan reklendasi ini tentu saja perlu disambut positif oleh induk partainya, sikap dan sanksi tegas dari partainya sangat ditunggu masyarakat, yakni penarikan kadernya dari DPRD. Jika ini tidak dilakukan dan terus dibiakan, maka tidak bisa dibayangkan bagaimana kondisi DPRD masih dihuni oleh oknum-oknum anggota dewan yang bermasalah.
Kedepan, perlu ada penguatan institusi BK sebagai lembaga control internal DPRD dan peran fraksi di DPRD juga perlu ditingkatkan dan diperketat untuk memantau kader-kadernya masing-masing. Hal ini dilakukan untuk menjaga kehormatan anggota dewan secara personal dan insitusional. Sehingga label lembaga yang terhormat, tidak berubah semakin parah, yakni semakin tidk terhormat. Semoga..!

Selasa, 26 Mei 2009

Pemilu 2009 dan Golput

Opini Radar Surabaya, 25 Mei 2009


Prediksi beberapa pengamat politik dan lembaga survey naisonal bahwa angka golput pada Pemiu 2009 akan meningkat dibanding Pemilu 2004 dan sebelumnya menjadi kenyataan. Berdasarkan perhitungan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya di Pileg lalu sebesar 49.677.076 suara atau 29,01 persen. Jika ditambah dengan sura yang tidak sah sebesar 17.488.581 suara, maka jumlah suara total yang yang hilang lebih dari 67 juta suara. Dengan tambahan angka ini, jumlah golput dalam pengertian yang lebih luas menjadi sekitar 30% lebih. Angka golput ini mengungguli perolehan suara tiga parpol besar, yakni Demokrat (20,85%), Golkar (14,7%), dan PDI-P (14,2%). Dengan kata lain, sebenarnya “pemenang” sejati dalam Pileg 2009 ini adalah Golput, yakni mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya karena berbagai sebab.
Angka Golput di Pemilu ini merupakan yang tertinggi dalam sejarah pemilu di Indonesia. Pada pemilu 1999, angka golput sebesar 10,5%, dilanjut pada pemilu 2004 sebesar 15,93%. Sedangkan pada Pilpres I 2004 angka Golput semakin meningkat menjadi 21,77 % dan Pilpres II melambung menjadi 23,37%. Meskinpun tingginya angka goput tidak akan mempengaruhi legitimasi pemilu, namun tingginya angka golput ini sungguh sangat memprihatikan. Dengan kata lain, kualitas Pemilu 2009 bisa semakin menurun. Bahkan Megawati menyatakan, Pemilu 2009 ini lebih buruk dibanding Pemilu 2004 lalu.
Salah satu parameter kualitas berjalannya proses demokrasi di sebuah negara (baca: pemilu) adalah tingkat partisipasi politik pemilihnya. Semakin tinggi tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu, maka pemilu tersebut dinilai berkualitas. Karena, dengan tingginya pertisipasi politik pemilih, berarti masyarakat pemilih telah memberikan kepercayaan penuh terhadap sistem dan proses demokrasi yang ada. Namun, sebaliknya jika tingkat partisipasi pemilih rendah, berarti tingkat kepercayaan politik masyarakat juga rendah.
Golput sendiri lebih sering diartikan sebagai; masyarakat pemilih yang memiliki hak pilih tapi tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT), masyarakat yang menggunakan hak pilih dengan cara tertentu mengakibatkan kertas suara tidak sah, dan masyarakat pemilih yang memiliki hak pilih tapi dengan sengaja tidak menggunakannya di pemilu. Secara alami, golput akan menunjukkan eksistensinya seiring ketidakpercayaan masyarakat terhadap peserta dan sistem pemilu dalam membawa perubahan dan perbaikan negara dan kesejahteraan masyarakat.

Tiga Alasan
Setidaknya ada tiga alasan mengapa masyarakat tidak memilih alias golput. Pertama, alasan idiologis. Alasan idiologis ini terkait dengan ketidakpercayaan yang terhadap sistem demokrasi dan pemilu yang berlangsung. Dalam anggapan mereka pemilu hanya sekedar seremonial demokrasi prosedural semata. Pemilu dinilai tidak bisa memberikan kemanfaatan apapun bagi masyarakat, justru realitasnya kondisi masyarakat tidak ada perubahan, bahkan semakin terpuruk. Bagi mereka, ada atau tidak adanya pemilu dinilai sami mawon. Pemilu hanya melanggengngkan status quo dan para politisi yang haus akan kekuasan.
Kedua, alasan teknis. Ini terkait dengan kinerja KPU yang dinilai ambural dan tidak professional. Banyak pemilih yang gagal masuk dalam DPT dan tidak menerima kartu pemilih. Belum lagi rentetan kerumitan teknis di seputar distribusi logistik Pemilu di sejumlah daerah sehingga mendorong terjadinya pencontrengan ulang yang menjadi pemilu semakin ambural. Ini masih ditambah dengan minimnya antisipasi KPU terhadap kemungkinan permasalahn yang akan muncul, baik sebelum, saat dan pasca pemilu.
Ketiga alasan pragmatis dan apatis. Bagi mereka, Pemilu dinilai tidak memberikan kemanfaatan apapun bagi dirinya. Masyarakat hanya dijadikan objek dan legitimasi politik saja saat pemilu. Pasca pemilu rakyat ditinggalkan bahkan sampah politik. Habis manis sepah dibuang. Dan bahkan dalam kadar tertentu seringkali suara rakyat dicampakkan begitu saja. Apatisme dan pesisme masyarakat semakin memuncak ketika melihat tingkah polah para wakil rakyat yang mengecewakan dan bahkan memuakkan. Apatisme masyarakat ini memang beralasan. Selama hamper satu periode ini, masyarakat dipertontonkan dengan berbagai bentuk keserakahan. Keserakahan akan kekuasaan, kerakusan akan uang, dan ketamakan akan fasilitas. Selama lima tahun para politisi (DPR/D) telah menjadi lembaga wakil rakyat yang autisme. Mereka asyik dengan dirinya sendiri. Cercaan dan kecaman terus dilontarkan, tetapi mereka seakan tuli. Mereka menganggap sepi semua keluhan publik. Buktinya, kasus demi kasus korupsi dan lainnya terus terjadi dan bersambung bagaikan cerita sebuah sinetron.
Karenanya cukup rasional ketika masyarakat memilih untuk tidak memilih dalam pemilu. Mestinya para elit politik bisa introspeksi terhadap perilaku dan kinerjanya selama ini. Apa yang telah mereka lakukan dan berikan kepada masyarakat. Sampai saat ini masyarakat belum merasakan nilai kemanfaatan dari hak suara yang digunakannya. Harapan masyarakat, dengan menggunakan hak suaranya dalam pemilu, tingkat kesejahteraannya semakin meningkat, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Kehidupan sosial-ekonomi masyarakat semakin terpuruk dan menderita. Keterpurukan dan penderitaan rakyat ini justru tak lepas dari perilaku dan berbagai kebijakan pemerintahan yang terus merugikan masyarakat.

Golput Produktif
Fenomena golput yang kecenderungannya jumlah semakin meningkat dari pemilu ke pemilu, akan lebih produktif bila dikelola dan dikembangkan lebih lanjut pasca Pemilu. Artinya, golput bisa dimanfaatkan dan dikembangkan menjadi sebuah gerakan ekstra parlementer yang lebih produktif. Gerakan ini bisa menjadi kontrol politik dan kekuatan penyeimbang terhadap pihak penguasa. Jika ini dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan, maka akan memberi pendidikan politik bagi masyarakat. Citra golput sebagai bentuk pembangkangan politik an sich kepada pemerintahan secara perlahan akan terkikis dengan sendirinya.
Hal tersebut yang sudah diinisiai dan dipraktikkan oleh “pejuang” Golput Fajrul Rahman. Dia secara konsisten memperjuangkan goput dalam setiap pemilu, karena pemilu dianggap tidak mampu memberikan asa baru bagi perubahan dan perbaikan negeri ini. Bagi Fajrul, perlu ada perubahan ang “revolusioner” dalam sistem pemilu kita. Sistem pemilu yang berlaku dinilai hanya melanggengkan kekuatan staus quo yang serakah terhadap kekuasaan. Dengan kata lain, akhirnya komunitas dan gerakan golput bisa memberikan kontribusi positif dan konstruktif bagi perkembangan demokratisasi di negeri ini.

Selasa, 24 Maret 2009

Kampanye, Uang, dan Kekuasaan

Sumber : Opini Surabaya Pagi, 24 Maret 2009


Kampanye, uang, dan kekuasaan. Ketiga komponen politik penting ini akan mewarnai hajatan politik lima tahunan negeri ini. Mulai 16 Maret sampai 5 April 2009, tahapan Pemilu akan memasuki tahap kampanye massal. Setiap Parpol diberikan kesempatan dua kali untuk mengadakan kampanye terbuka dan pengerahan massa. Kampanye massal ini tentu saja akan tidak saja menyedot massa yang cukup besar, tapi juga dana kampanye sangat besar.
Meskinpun uang bukan satu-satunya faktor penentu di dalam pemenangan Pemilu, namun uang tetap faktor utama yang diperlukan dalam menjalankan proses kampanye dan meraih dukungan pemilih (Jaconson, 1980:33). Parpol dan para calegnya sebelumnya sudah berkampanye secara terbatas sejak Juli 2008 dan tentu saja telah menghabiskan uang cukup besar untuk sosialisasi ke masyarakat pemilih. Di Kampanye massal, ini diprediksi dana kampanye akan mengalir lebih banyak dibanding sebelumnya.
Potensi politik uang juga semakin besar. Ini mengingat Mahkamah Konsititusi (MK) membatalkan penetapan caleg dengan nomer urut dan digantikan dengan sistem suara terbanyak. Sistem ini memberi ruang bagi para caleg yang berkantong tebal untuk memanfaatkan modal kapitalnya untuk meraih suara pemilih sebanyak-banyaknya. Uang milyaran rupiah akan disebar kepada khalayak pemilih dengan harapan mendapat suara banyak dan meraih kursi politik di parlemen.. .
Uang tersebut digunakan untuk kampanye dalam bentuk iklan di berbagai media massa dan elektronika. Iklan media ini diperkirakan mencapai ratusan milyar rupiah. Apalagi disiarkan pada prime time. Selain kampanye lewat media, Parpol dan para calegnya juga berkampanye lewat baliho, reklame, brosur yang bentuk sangat besar dan tentunya dipastikan anggaran yang dikelarkan juga sangat besar. Dengan kampanye assal selama 21 hari, uang yang beredar dalam Pemilu Pilgub ini bisa mencapai angka triliunan.
Selain kampanye dalam bentuk iklan di media, reklame, baliho dan sebagainya. Para caleg Parpol juga mengobral uang dan barang pada saat menemui masyarakat. Ada yang memberikan satu paket sembako, uang ampop, paket alat dapur. Bahkan ada bentuk kampanye dalam bentuk jalan sehat dengan diiming-imingi berbagai hadiah yang menarik, mulai sepeda motor, TV, radio, kulkas sampai sepeda mini, dan sebagainya. Dan anggaran untuk kebutuhan ini, tidaklah sedikit. Bisa mencapai puluhan milyaran rupiah.
Semua itu dikorbankan untuk satu tujuan yakni meraih kekuasaan. Ramai-ramainya para caleg Parpol mengobral uang dalam kampanye Pemilu ini, bukannya menimbulkan respon positif dari masyarakat. Justru menimbulkan penilaian negatif bahawa hajatan politik tersebut identik dengan uang. Dengan kata lain, para caleg parpol sudah dengan nyata dan jelas melakukan praktik money politic.

Politik Uang
Para caleg parpol sangat begitu vulgar mengumbar dan mengobral uang dalam masa kampanye. Bagi-bagi uang menjadi kegiatan rutin para caleg dan tim suksesnya dalam mencari dukungan suara pemilih. Padahal praktik ini jelas telah melanggar aturan hukum yang ada. Uang menjadi bagian terpenting dan faktor dominan dalam meraih kekuasaan.
Dalam aturan UU Pemilu No. 10/2008 tentang Pemilu DPR, DPRD dan DPD sudah sangat jelas larangan politik uang. Pasal 274 UU Pileg menyatakan; “Pelaksana kampanye yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung ataupun tidak langsung agar tidak menggunakan hak pilihnya untuk memilih, atau memilih peserta pemilu tetentu, atau menggunakan haknya untuk memilih dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 24 bulan dan denda paling sedikit Rp 6.000.000 dan paling banyak Rp 24.000.000”
Di tahun 2004, banyak praktek dan modus politik uang yang terjadi di Pemilu 1999 kembali terjadi. Rentang waktu politik uang rezim Pemilu terbagi kedalam dua masa, yakni mas pelaksanaan kampanye sebagaimana KPU sudah tetapkan jadwalnya dan masa pencoblosan suara. Sebagaimana di atur dalam UU, politik uang tidak sebatas pembeiran uang, namun juga maeri yang terkait dengan upaya membujuk calon pemilih untuk memilih calon tertentu (Buku Panduan Pemantauan Dana Kampanye, ICW, 2009). Dan praktek politik uang sebagaimana yang terjadi di Pemilu 2004 bukan tidak mungkin akan terjadi kembali di Pemilu 2009 ini. Bahkan kuantitas dan kualitasnya akan semakin tinggi.
Masyarakat pemilih harus berfikir money politic adalah racun bagi dirinya dan bangsa ini. Para caleg yang mengandalkan politik uang nantinya jika terpilih akan berperilaku lebih ganas bak predator yang bisa menghisap uang rakyat lebih banyak. Jika sudah menjadi anggota dewan, dalam pikirannya akan muncul bagaimana uang ratusan juta yang telah dikeluarkan bisa balik, bahkan kalau perlu bisa lebih. Para caleg model ini akan “menghalalkan segala cara” dalam meraih keuntungan politik dan ekonomi ketika sudah duduk menjadi wakil rakyat. Karena itu, ambil uangnya, jangan pilih orangnya.
Kampanye yang diwarnai dengan politik uang yang begitu vulgar dan tanpa dosa ini bukannya akan memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat, tapi justru yang terjadi adalah praktik pembodohan politik yang begitu masif. Parpol dan caleg yang mengandalkan uang dalam meraih kursi kekuasaanya, sudah dipastikan akan menjadi rezim korup jika mereka nantinya berkuasa atau memegang kekuasaan. Bahkan perilaku korupnya dipastikan akan lebih korup di bandingkan dengan saat kampanye.
Karena itu, dalam konteks ini masyarakat pemilih dituntut untuk berfikir lebih rasional dan cerdas. Pemilih jangan sampai tergiur dengan imbalan materi yang diberikan para caleg dan Parpol. Awalnya mungkin berkah politik bagi pemilih, namun kedepannya akan menjadi bencana politik bagi pemilih dan bangsa ini.

Rabu, 11 Maret 2009

Korupsi dan Keshalehan Formal

Dimuat di Opini Radar Surabaya Januari 2009

Dugaan praktik korupsi di lingkungan Departmen Agama (Depag) kembali mencuat ke publik. Ini menyusul laporan Indonesia Corruption Wacth (ICW) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait pengelolaan Dana Alokasi Ummat (DAU) yag diduga berindikasi korupsi.
Dalam laporannya ke KPK, ICW menyebut indikasi penyelewengan DAU mencapai Rp 1,3, triliun dalam kurun waktu 2004-2006. Dana sebesar itu tak pernah dilaporkan ke DPR. ICW menyebut ada dana yang mengalir ke menteri agama dalam tiga bentuk, yakni tunjangan fungsional sebesar Rp 10 juta, tunjangan Idul Fitri sebesar Rp 25 juta, dan biaya taktis perjalanan dinas Menag ke Arab Saudi sebesar Rp USD ribu
Selain itu, ICW juga menyebut ada praktik kotor berupa pemberian uang perjalanan kepada anggota DPR dan transpor pembahasan Biaya Perjalanan Penyelenggataan Ibadah Haji (BPIH) yang mencapai Rp 500 milyar (Radar Surabaya, 28/12/2008). Kasus ini saat ini sedang diselidiki oleh KPK, apakah indikasi dan unsur pidana atau tidak.
Kasus ini sungguh sangat ironis, karena terjadi di institusi agama sekaliber Depag yang diberi tugas negara sebagai penjaga moralitas bangsa. Namun demikian, untuk membuktikan kebenaran dugaan praktik pungli tersebut, perlu adanya penyelidikan dan investigasi dari KPK. Laporan ICW–yang berisi data dan informasi- yang masuk ke KPK tersebut setidaknya bisa dijadikan modal dan pintu awal bagi aparat penegak hukum kita untuk masuk melakukan menyelidikan dan investigasi secara mendalam. Pertama, apakah benar telah terjadi praktik korupsi. Kedua, jika dalam proses penyelidikan dan investigasi tersebut ada indikasi kuat dan mengarah ke tindak pidana korupsi, maka pihak penegak hukum bisa melanjutkan ke proses penyidikan.
Kasus korupsi yang terjadi di tubuh Depag, bukan kali ini saja terjadi. Beberapa tahun yang lalu, KPK pernah berhasil membongkar kasus yang sama pada era Said Agil H. Munawar. Setelah melakukan proses penyelidikan dan penyidikan di tubuh Depag, KPK menemukan adanya dugaan korupsi di lembaga “penjaga moral ummat” tersebut senilai Rp 680 milyar. Kasus ini akhirnya menyeret mantan Menteri Agama, Said Agil Husein Al Munawar ke pengadilan. Dengan melihat fakta-fakta ini, publik mulai menilai institusi agama seperti Depag ini ternyata tak stiriil juga dari praktik korupsi.

Keshalehan formal
Kasus dugaan praktik korupsi ini sungguh sangat ironis dan tragis. Jika korupsi menimpa departemen pariwisata misalnya, mungkin masyarakat masih menganggap “wajar”, karena terjadi di instiusi yang “jauh” dari religiusitas atau banyak orang yang tak tahu dan faham agama. Akan tetapi jika ini terjadi di institusi agama seperti Depag, (jika ini benar terjadi) wah ini sungguh sangat keterlaluan. Institusi yang selama ini dikenal publik tahu dan faham agama dan fasih berkothbah anti korupsi justru tersangkut dugaan korupsi.
Bagi orang awam, mungkin akan muncul pertanyaan bagaimana mungkin kasus “haram” tersebut terjadi di Institusi agama?. Apa yang salah dengan institusi agama?. Apakah institusi agama, seperti Depag, saat ini sedang mengalami degradasi pemahaman agama?. Seharusnya dengan semakin tinggi tingkat pemahaman agama atau religuisitas seseorang, akan semakin rendah atau setidaknya akan dapat menekan bahkan menghilangkan praktik haram tersebut. Lalu buat apa mereka belajar agama puluhan tahun, jika tidak mampu menahan hawa nafsu untuk melakukan praktik haram.
Singkatnya, saya melihat, tingkat keshalehan masyarakat kita, termasuk para pejabat dan anak buahnya di Depag, masih sebatas keshalehan formal, yakni keshalehan pada tingkat kognitif dan status keagamaannya. Keshalehan hanya ada di tempat-tempat ibadah atau majelis taklim. Belum sampai pada keshalehan substansial, yakni keshalehan yang mendalam yang tak kenal ruang dan waktu. Tidak hanya diyakini, dan dipercaya secara nalar, tapi juga diaktualisasikan dalam setiap perilaku dan tindakan hidupnya. Keshalehan substansial ini salah satunya mewujud pada sikap moral dan sosial seseorang kepada orang lain dan lingkungan sosial lainnya. Sikap peduli, empati, dan anti korupsi misalnya adalah salah satu wujud dari keshalehan substansial dan sosial tersebut. Keshalehan ini nihil di institusi agama seperti Depag, yang tumbuh-sumbur justru keshalehan formal yang sifatnya fatamorganis.
Karena itu, semua pihak, terutama Depag sebagai lembaga yang diamanahi menjaga dan memperbaiki moralitas masyarakat harus membenahi aspek kelembagaan dan aparatusnya. Depag tidak saja dituntut untuk membangun kelembagaan yang anti korupsi, tapi yang terpenting juga membangun mentalitas dan integritas moral para aparatusnya. Keshalehan formal harus diaktualisasikan pada keshalehan sosial yang substansial, bukan artifisial.

Otoda dan Kinerja Keuangan Daerah

Dimuat di Jurnal Balitbangda Pemprop Jatim, 2009


Kebijakan otonomi daerah sebagai wujud dari tutuntan reformasi telah berjalan hampir satu dekade. Namun kebijakan ini belum mampu memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Rendahnya kesejahteraan masyarakat ini tak lepas dari kinerja dan kinerja keuangan pemerintahan daerah. Karenanya, ke depan Pemprop dan kabupaten/kota perlu untuk memperbaiki dan menata kembali menajemen pemerintahan dan pengelolaan keuangan daerahnya, yakni dengan komitmen dan konsisten pada prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik.

Kata Kunci : Otonomi Daerah, Kinerja Keuangan Daerah, dan Kesejahteraan Masyarakat
PENDAHULUAN
Era reformasi telah menghasilkan dua Undang-Undang yang mengatur penyelenggaraan otonomi daerah. Pertama adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengusung semangat demokratisasi pemerintahan daerah serta menjadikan desentralisasi sebagai instrumen demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan. Kedua adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sejatinya merupakan perbaikan dari UU Nomor 22 Tahun 1999. UU No Nomor 32 Tahun 2004 berupaya mengawinkan semangat demokrasi dengan prinsip efisiensi dan efektivitas pelayanan publik dalam pemerintahan daerah (Kausar AS, 24 Agustus 2006).
Otonomi daerah pada dasarnya adalah otonomisasi masyarakat karena pengertian normatif tentang daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom. Berdasarkan pengertian tersebut, maka wajar bila otonomi daerah berarti bagaimana mendekatkan kebijakan dengan apirasi masyarakat di tingkat daerah. Dengan kata lain, aspirasi masyarakat akan mudah ditangkap dan dikonversi oleh pembuat kebijakan menjadi sebuah kebijakan yang berpihak pada kepentingan masyarakat, baik terkait dengan kebijakan anggaran maupun non anggaran.
Otonomi daerah telah memberikan kewenangan cukup besar bagi pemerintahan daerah untuk merancang dan melaksanakan kebijakan dan program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan daerah. Dalam wewenang Otonomi Daerah, melekat pula wewenang dan tanggung jawab untuk secara aktif dan langsung mengupayakan penanggulangan berbagai masalah di daerah, termasuk masalah penanggulangan kemiskinan dan pengangguran di daerah. Sebab salah satu tujuan Otonomi Daerah adalah untuk menciptakan sistem pelayanan publik yang lebih baik, efektif dan efisien yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan serta kemandirian masyarakat.
Kebijakan Otonomi daerah yang dituangkan dalam UU No.32 Tahun 2004 dan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, telah menjadi tonggak baru dalam tradisi pemerintahan di negeri ini. Pemerintah pusat tidak hanya memberikan kewenangan secara administratif pemerintahan, tapi juga desentralisasi kekuasaan dan pelaksanaan pembiayaan pemerintah daerah, yang semuanya dibebankan kepada Angaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun pelimpahan kewenangan adminitratif dan anggaran yang cukup besar ini memunculkan banyak permasalahan di kemudian hari. Penyebabnya, sistem akuntabilitas publik yang lemah dan representasi politik yang buruk. Penyalahgunaan kekuasaan dalam bentuk korupsi menyebar ke daerah-daerah seiring dengan bergulirnya otonomi daerah.
Menurut Peneliti ICW, Fahmi Badoh, (MTI, 2005:3); mengatakan Implementasi Otoda terjadi di tengah ketidaksiapan daerah, baik dari sisi birokrasi pemerintahan maupun masyarakatnya. Kewenangan yang cukup besar yang dilimpahkan pada pemerintah daerah justru menyuburkan praktik korupsi anggaran dan kebijakan di daerah. Proses perencanaan anggaran menjadi penuh manipulasi dan proyek-proyek daerah dimonopoli segelintir kroni kekuasaan, baikdi legislatif maupun eksekutif. Kebijakan daerah pun diarahkan untuk memberikan keuntungan pada segelintir pengusaha yang menikmati rente ekonomi dan kekuasaan yang korupsi.telah mengalami pereduksian dan distorsi sedemikian rupa oleh para elit daerah, sehingga kini banyak melahirkan “raja-raja kecil” di daerah. Lebih menyakitkan lagi adalah, perilaku para anggota parlemen (DPRD), yang seharusnya menjaga lembaga pengawas bagi jalannya pemerintahan, malah banyak dari mereka terlibat, menjadi agen dan bahkan juga menjadi pelak korupsi munculnya berbagai kasus korupsi yang melibatkan pejabat eksekutif dan legislatif di berbagai daerah di Jatim menunjukkan akan hal itu.
Sebagai peraturan pelaksana kedua UU tersebut, pemerintah pusat mengeluarkan PP. Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah dan PP. Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah. Kedua perangkat regulasi tersebut telah membawa perubahan yang cukup mendasar dalam pola manajemen keuangan pemerintahan daerah. Dalam kedua regulasi tersebut, diatur beberapa hal baru, di antaranya; Kebijakan anggaran surplus/defisit, Perubahan sistem pembukuan dari single entry ke double entry, Unfied Budget, Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting), dan Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah. Dengan adanya beberapa perubahan tersebut, menuntut pemerintahan daerah untuk belajar cepat. Pemerintahan daerah dipaksa untuk mengubah menajemen keuangannya secara mendasar. Orientasi perubahan yang sangat signifikan ini ujung-ujungnya adalah pada upaya mewujudkan akuntabilitas Publik (MTI, 2005:14).
Pembangunan sistem anggaran pemerintah daerah berbasis kinerja ini merupakan salah satu tuntutan dari pembentukan pemerintahan daerah yang baik dan bersih (good and clean governance). Dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik itu akan dijamin pula adanya akuntabilitas, transparansi, partisipasi, keterbukaan dan penegakan the rule of law (Healy and Robinson, 1992). Dengan terbentuknya pemerintahan yang bersih diharapkan dapat memberikan pelayanan dasar masyarakat yang berkualitas. Ini sejalan dengan semangat dari otonomi daerah, yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembuatan dan manajemen pengelolaan keuangan daerah yang berpihak pada kepentingan masyarakat (pro poor budgetig).
Anggaran berbasis kinerja merupakan suatu sistem penganggaran yang disusun berdasarkan pertimbangan beban kerja dan unit biaya dari setiap kegiatan atau juga bisa menegaskan antara pengeluaran dengan hasil (output) yang diharapkan. Sehingga pencapaian alokasi biaya atas input yang telah ditetapkan menjadi indikator tersendiri dalam anggaran kinerja. Sistem penyusunan anggaran belanja di daerah yang meggunakan pendekatan kinerja setidaknya harus membuat fungsi belanja, standar pelayanan (minimem), perkiraan biaya (LBH, 2004). Menurut Winarso (MTI, 2005:15), dalam sistem penganggaran berbasis kinerja ini lebih mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (outcome) dan perencanaan alokasi biaya (input) yang ditetapkan.
Dengan menggunakan sistem manajemen keuangan daerah yang baru, diharapkan dapat meningkatkan kinerja APBD yang pada akhirnya dapat berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Persoalan terkait dengan pelayanan dasar; kesehatan dan pendidikan, kemiskinan dan pengangguran, dan berbagai persoalan lainnya bisa diselesaikan dengan kinerja birokrasi dan keuangan daerah yang maksimal. Namun, kewenangan yang cukup besar yang dimiliki pemerintahan daerah, persoalan riil masyarakat tersebut saat ini dirasakan berjalan di tempat, tidak perkembangan positif ke arah perubahan yang lebih baik. .
Sejak pertama kali diterapkan pada tahun 2003, manajemen pengelolaan dan pelaksanaan anggaran berbasis kinerja (Performance Based Budget) sebagai sebuah sistem baru yang secara resmi diatur dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 dan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara hingga saat ini telah banyak diadopsi oleh pemerintahan daerah baik di tingkat Propinsi hingga ditingkat Kabupaten / Kota.
Hingga memasuki tahun keenam ini, seharusnya proses penyusunan APBD di di kabupaten/kota dan propinsi mengalami kemajuan yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Indikator kemajuan yang seharusnya terlihat adalah bagaimana seharusnya Pemerintahan Daerah (Propinsi, kab/kota dan DPRD) membuka ruang publik, untuk menjamin transparansi, partisipasi dan akuntabilitas kebijakan publik dalam hal proses penyusunan anggaran, karena jika ditinjau dari sisi pendapatan PAD (Pendapatan Asli Daerah) sebesar 75% yang berasal dari pajak, retribusi dan pendapatan lainnya yang sah secara langsung merupakan sumber yang diperoleh dari uang masyarakat.

RUMUSAN MASALAH
Kebijakan otonomi dearah ternyata tidak serta merta dapat memberikan kontribusi positif terhadap kinerja keuangan dearah, terutama APBD Pemerintah Propinsi Jawa Timur. Idealnya kebijakan otonomi daerah dapat mendorong kinerja keuangan pemprop semakin lebih baik dan maksimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berangkat dari latar ini, ada beberapa permasalahan yang terkait dengan otonomi daerah dan kinerja keuangan daerah kita.
1. Bagaimana kinerja keuangan daerah di era otonomi daerah sekarang ini?
2. Mengapa Otonomi Daerah belum mampu memberikan kontribusi pada peningkaan kinerja keuangan daerah, terutama pemerintah Propinsi Jawa Timur?
3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja keuangan daerah Propinsi Jawa Timur tidak maksimal sehingga berdampak pada rendahnya kualitas kesejahteraan masyarakat?
4. Upaya apa yang harus dilakukan pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif) dalam meningkatkan kinerja keuangan daerah (APBD) sehingga berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat?

KAJIAN INI BERTUJUAN :
1. Untuk mengkaji kinerja keuangan daerah di era otonomi daerah.
2. Untuk mengkaji sejauhmana kebijakan Otonomi daerah mampu memberikan kontribusi positif terhadap kinerja keuangan daerah (baca: APBD)
3. Untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya kinerja keuangan daerah yang kemudian berdampak pada rendahnya kualitas kesejahteraan masyarakat
4. Menentukan solusi apa yang harus dilakkan pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif) dalam rangka meningkatkan kinerja keuangan daerah sehingga berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian kualitatif dan analisa kualitatif dengan metode kajian deskriptif. Penggalaian Bahan dan data dalam penelitian ini diperolah dari APBD Jatim, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kajian literatur, informasi media massa dan sumber-sumber lain yang mendukung. Fokus kajiannya pada kebijakan otonomi daerah dan kinerja keuangan daerah, lebih khususnya lagi kinerja APBD Propinsi Jawa Timur dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat mealui program pembangunan. Data-data yang telah diperoleh dikumpulkan, kemudian diseleksi dan dianalisis secara kualitatif dengan berpedoman pada kerangka pemikiran yang telah disajikan guna memberikan gambaran yang jelas dari fenomena yang diteliti. Yang menjadi fokus dari analisa kualitatif ini sesungguhnya pada penunjukkan makna deskripsi, penjernihan dan penempatan data pada konteksnya masing-masing (Sanapiah Faisal, 1989:269)..

PEMBAHASAN
Otonomi Daerah dan Kesejahetraan Masyarakat
Paket Undang-Undang Otonomi daerah, yakni UU Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 yang kemudian dirubah menjadi UU No. 32 dan 33 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan perimabangan keuangan pusat daerah merupakan tonggak dicanangkannya otonomi daerah sebagai hasil tuntutan reformasi dan demokratisasi yang terjadi di Indonesia. Inti dari kedua regulasi tersebut adalah pemberian kewenangan dan taggung jawab yang lebih besar kepada pemerintahan daerah untuk secara lebih mandiri meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayahnya melalui prioritas pilihan pembangunan secara otonom.
Tuntutan ini secara implisit merupakan tantangan bagi pemerinatah daerah untuk menata kembali manajemennya secara lebih baik, mulai dari perumusan perencanaan sampai tata kelola administratif. Tuntutan inilah yang kemudian diistilahkan sebagai good governance, suatu pemerintahan yang dikelola secara transparans, akuntabel, dan bervisi.dalam konteks reformasi, semua hal itu menjadi agenda nasional yang diamanatkan kepada penyelenggara pemerintahan (Winarso, dalam MTI, 2005:13).
Ujung dari diberlakukannya kebijakan otonomi daerah ini adalah kesejahteraan masyarakat. Munculnya berbagai persoalan di daerah baik ditingkat elit daerah maupun masyarakatnya, seperti masalah korupsi, penyimpangan anggaran, Perda retributif, sampai pada masalah buruknya pelayanan dasar masyarakat; kesehatan dan pendidikan, angka kemiskinan dan pengangguran semakin melambung, dan berbagai persoalan daerah lainnya menunjukkan ada yang salah dalam implementasi kebijakan otonomi daerah. Dan merebaknya persoalaan tersebut tak dapat dilepaskan dari kerja dan kinerja pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif) dalam memenaj keuangan daerah, yakni APBD.

Performance Based Budgeting
Upaya menciptakan kinerja pemerintahan yang baik khususnya di bidang manajemen keuangan telah diupayakan pemerintah dengan dikelurkannya seperangkat regulasi. PP. 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan pertanggungjawaban Keuangan Daerah dan PP. 108 tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah, merupakan tonggak reformasi dalam perubahan pola menajemen keuangan pemerintahan daerah.
Penganggaran berbasis kinerja pada dasarnya merupakan pola penganggaran yang sangat komprehensif. Ia merupakan suatu sistem penganggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (outcomes) dari perencanaan alokasi biaya (input) yang ditetapkan. Definisi ini mengandung konsekwensi bahwa setiap alokasi dana harus dapat diukur capaian output/outcomes yang hendak dicapai dan input yang telah ditetapkan. Dengan penerapan anggaran berbasis kinerja ini berarti tolak ukur keberhasilan tidak lagi hanya diukur dari tingkat pecapaian penyerapan dana seperti yang terjadi selama ini, tapi ditentukan dari target kinerja yang terukur.
Dari sisi pemberantasan korupsi, anggaran berbasis kinerja akan mendorong penerapan prinsip-prinsip good governance dalam proses penganggaran. Hal itu akan mendorong terjadinya transparansi dengan menjadikan APBD sebagai produk hukum (dokumen publik) lewat peraturan daerah (Perda), dan penerapan tiga elemen dalam penilaian anggaran kinerja; yaitu standart analisa biaya (SAB), tolak ukur kinerja, dan standar biaya (Fahmi, dalam MTI, 2005:6).
Menurut R. Herlambang, dkk (2004:22) dalam bukunya “Anggaran Berbasis Kebutuhan Dasar Rakyat Miskin”, mengatakan anggaran berbasis kinerja setidaknya harus memenuhi langkah-langkah ; sasaran atau tujuan yang diharapakan memuat fungsi belanja, standar pelayanan yang diharapkan dan perkiaraan biaya satuan komponen kegiatan, dan prosentase jumlah pendapatan APBD yang membiayai pengeluaran administrasi umum, operasi dan pemeliharaan, serta belanja publik. Untuk mengukur kinerja keuangan Pemerintah Daerah dikembangkan standart analisa belanja, tolak ukur kinerja, dan standart biaya. Tak cukup dengan itu, dalam penyusunan rancangan anggaran, pemerintah bersama-sama DPRD harus menyusun arah dan kebijakan umum APBD, yang akan digunakan pemerintah daerah dalam menyusun strategi dan prioritas APBD.
Namun, sistem pengelolaan anggaran berbasis kinerja ini belum sepenuhnya diimplementasikan di daerah. Bahkan seringkali mengalami distorsi karena berbagai kepentingan, termasuk kepentingan politik dan ekonomi elit aderah. Dalam penganggaran di daerah, misalnya seringkali indikator disusun secara serampangan, tidak jelas tahap kemajuannya, atau sekedar plagiat dengan APBD kota/kabupaten tetangga, dan juga copy paste dari tahun-tahun sebelumnya. Ini celaka, karena pemikiran serius dan mendalam soal anggaran hanya berdasarkan teks-teks dokumen yang sama sekali tidak menjelaskan relevansi dengan strategi melawan kemiskinan, apalagi berperspektif hak azazi manusia (LBH, 2004:23).

Kinerja APBD Pemprop Jatim
Merancang suatu program seperitnya jauh lebih mudah daripada mengawal agar program tersebut tidak mengalami kemacetan atau penyimpangan yang kemudian bermuara pada sebuah kegagalan program. Begitu juga mengalokasi anggaran program jauh lebih mudah daripada mengawal agar anggaran program tersebut tidak mengalami kebocoran atau penyimpangan di lapangan. Pernyataan tersebut rasanya cukup pantas ditujukan untuk melihat kinerja keuangan di lingkungan Pemerintah Propinsi Jawa Timur.
Seperti kita ketahui, hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap terhadap realisasi APBD Jatim 2007 diberi status tidak wajar. Dalam rincian auditnya, terngkap banyak penyimpangan anggaran yang dilakukan pejabat Pemprop. Total ada 25 anggaran senilai Rp 2,505 triliun yang pemakaiannya tidak beres. Salah satu yang diungkap BPK yang berindikasi menyimpang adalah dana bantuan sosial (bansos). BPK menyebut ada dua kesalahan yang terjadi dalam realisasi bansos. Pertama, BPK menemukan penyimpangan senilai Rp 24,6 milyar. Sebab, dana bansos tersebut ternyata digunakan untuk membiayai SKPD (satuan kerja perangkat daerah). Kesalahan kedua, terdapat dana bansos senilai Rp 248,8 juta yang belum dibuat laporan pertanggungjawaban sampai akhir masa anggaran.
BPK juga mengungkapkan sejumlah dana yang salah penempatan pos anggaran. Di antaranya, belanja tak terduga senilai Rp 15,5 milyar dan dana bantuan rehab gedung sekolah. Selain anggaran di eksekutif, BPK juga menyorot indikasi adanya penyimpangan di lembaga legislatif. Lembaga pengawas keuangan itu menemukan, penggunaan belanja operasional pimpinan DPRD Jatim senilai Rp 233,3 juta tidak didukung bukti-bukti kongkrit. Bukan hanya itu, realisasi anggaran untuk pimpinan dewan senilai Rp 46,6 juta dinyatakan tidak wajar karena ditengarai merupakan anggaran ganda.
Selain adanya indikasi penyimpangan dan kebocoran atas realisasi APBD, Pemprop Jatim juga dinilai tidak becus dalam mengelola APBD 2008 kemarin. Dalam rapat koordinasi akhir masa anggaran 2008 Desember lalu, terungkap tidak ada satupun daerah (pemkab/pemkot) yang mampu merealisasikan serapan anggaran di atas 80 persen. Pemprop Jatim sendiri mengalami hal serupa. Secara keseluruhan jumlah anggaran pemerintah untuk wilayah Jatim mencapai Rp 60,09 triliun. Hingga masa akhir anggaran, anggaran yang sudah digunakan untuk kegiatan pemerintahan dan kemasyarakatan/pembangnan baru mencapai Rp 41,84 triliun atau 69,6 persen.
Rinciannya, dana APBN untuk Jatim selama 2008 dialokasikan Rp 20,535 triliun, namun yang terserap hanya Rp 14,928 triliun atau 72,6 persen. Kondisi tak jauh beda terjadi pada penggunaan dana yang bersumber dari anggaran daerah (kabupaten/kota). Di antara total dana sebesar Rp 32,22 triliun, yang terserap Rp 21,66 triliun. Demikian juga serapan untuk anggaran di APBD Jatim. Total anggaran yang disiapkan mencapai Rp 7,31 triliun, yang terserap hanya Rp 5,23 triliun atau 71,79 persen (lihat tabel).
Tingkat Serapan Anggaran Pembangunan Jatim 2008
Sumber Pagu (Triliun) Terserap (Triliun) Prosentase
APBN Rp 20,553 Rp 14,928 72,63 persen
Propinsi Rp 7,314 Rp 5,251 71,79 persen
Kabupaten/Kota Rp 32,225 Rp 21,667 67,24 persen
Catatan : Sistem penggunaan anggaran saat ini berbasis kinerja ((Performance Based Budget). Serapan yang minim menunjukkan kinerja yang rendah pula.
Sumber : Bahan Rapat Evaluasi serapan APBN-APBD di Jatim 2008

Birokrasi Pemprop melalui SKPD-SKPD-nya pada awalnya berlomba-lomnba menambah anggaran pada saat penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) tahunan. Setiap tahun anggaran baru, mereka berlomba-lomba tambah anggaran karena alasan kebutuhan yang semakin meningkat, namun ketika anggaran bertambah, ternyata tak mampu merealisasikannya. Dengan kata lain, kinerja pengelolaan (baca:serapan) APBD Pemprop bisa dibilang buruk.
Dan yang paling ironis, serapan yang paling seret adalah pada belanja tak langsung atau belanja publik, sementara belanja rutin bisa “diobral” dengan mudah. Karena rendahnya serapan ABPD terdapat pada belanja publik, tentunya saja sangat merugikan masyarakat Jatim. Akibat anggaran yang tak terserap, banyak proyek pembangunan yang terkait dengan kepentingan masyarakat semakin terbengkalai. Dengan kata lain, Pemprop sangat tidak adil dalam menggunakan uang rakyat ini. Untuk kepentingan sendiri (baca: aparatur birokrasi) sangat begitu mudah diserap, sementara untuk masyarakat sangat begitu sulit.
Pemprop dan DPRD Jatim berapologi bahwa rendahnya serapan APBD ini terkait dengan panjangnya prosedur yang harus dilalui sebelum merealisasikan anggaran. Selain itu, juga karena adanya rasa ketakutan para pejabat Pemprop untuk memegang proyek, lantaran KPK yang kerap dan gencar melakukan pemeriksaan terhadap para pejabat negara yang memegang proyek.
Alasan Pemprop tersebut sangat apologis (bela diri). Karena sebenarnya kasus rendahnya serapan APBD ini bisa dihindari dan diantisipasi jika ; pertama Pemprop dan jajarannya memiliki perencanaan dan pelaksanaan proyek atau program yang baik, terukur dan bisa dipertangungjawabkan. Kedua, jika alasannya rasa takut, ini juga sangat tak beralasan. Karena jika memang para pejabat bersih dan memiliki komitmen moral yang tinggi, maka tidak sulit untuk menjadi Pimpro atau merealisaikan proyek atau program pembangunan untuk masyarakat. Mungkin karena selama ini “tradisi” yang berkembang di lingkungan Pemprop, proyek dan program pembangunan tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Misalnya sering mengalami kebocoran atau penyimpangan.
Jika memang dikerjakan sesuai prosedur dan peraturan perundang-undangan yang ada, mengapa harus takut bahkan paranoid?. Dengan melihat realitas yang ada, ini menunjukkan bahwa kredibilitas moral dan profesional para Pimpro patut dipertanyakan. Memiliki alokasi anggaran yang jelas, justru Pemprop tak mampu membelanjakannya secara optimal. Ini berarti Pemprop gagal dalam melaksanakan program-program publik yang sebelumnya sudah direncanakan.

Konservatisme APBD
Meskipun telah melalui pembahasan dan bahkan perdebatan di forum DPRD, namun paradigma lama terhadap politik penganggaran daerah kita masih belum berubah alias konservatif. Dalam artian, APBD kita masih menempatkan belanja aparatur birokrasi sebagai menjadi panglima, sedangkan belanja untuk kepentingan masyarakat melalui belanja langsung sebagai prajurit. Sebut saja misalnya, pada penyusunan APBD Jatim 2008 Jatim yang diproyeksikan berkekuatan Rp 5,20 triliun lebih banyak melayani kebutuhan birokrasi daripada kebutuhan masyarakat. Ini nampak pada komposisi yang sampai pembahasan akhir ini masih jomplang, yakni sebesar 3,50 triliun atau sekitar 65% untuk belanja tak langsung atau belanja rutin dan sisanya sebesar Rp 2,09 triliun atau 35% untuk belanja langsung atau pembangunan.
APBD merupakan instrumen pemerintah dalam menjalankan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Rendahnya kinerja APBD- yakni seluruh proses mulai dari penyusunan, pembahasan, pelaksanaan dan evaluasi APBD selama jangka waktu tertentu- berdampak pada rendahnya kualitas kesejahteraan masyarakat.
Kita bisa melihat APBD Jatim 2008. Pertama, dilihat dari segi pendapatan, meskinpun mengalami kenaikan sebesar 1,33% (lihat tabel). Namun kenaikkan ini dinilai tidak masuk akal. Seharusnya kenaikkan bisa lebih besar dari itu. Ini mengingat sumber-sumber pendapatan seperti pajak Kendaraan bermotor juga mengalami kenaikkan dan juga potensi-potensi income juga mengalami kenaikkan. Apalagi Jatim di kenal sebagai salah satu Propinsi ”kaya potensi devisa”, tapi mengalami income yang masuk justru tidak signifikan. Bahkan angka Pendapatan sebelum di bahas di DPRD menunjukkan turun, karena mendapat sorotan keras, pihak eksekutif langsung merevisinya. Dengan kata lain, muncul dugaan ada sesuatu (baca: income) yang disembunyikan atau ada dugaan terjadi murk down dalam pengelolaan pendapatan daerah.
Proyeksi Pendapatan, Belanja dan Defisit RAPBD 2008
Uraian Jumlah Bertambah/Berkurang
2007 Proyeksi 2008 Rp (%)
Total Pendapatan Rp 5,13 T Rp 5,20 T 68,31 M 1,33 %
PAD Rp 3,55 T Rp 3,64 T 86,86M 2,46%
DanaPerimbangan Rp 1,56 T Rp 1,72 T 155,23 M 9,92%
Lain-2 Pendapatan Rp 14,19 M Rp 14,14 M (50 M) (0,35%)
Belanja Daerah Rp 5,74 T Rp 5,59 T (140,9 M) (2,46%)
Belanja Langsung Rp 3,29 T Rp 3,50 T 216,94 M 6,59%
Belanja Tak Langsung Rp 2,44 T Rp 2,09 T (357,84 M) (14,62%)
Defisit Rp 606,61 M* Rp 396 milyar (210,61 M) (34,72%)
*angka defisit setelah PAK 2007 Sumber:RAPBD Jatim 2008

Kedua, besarnya alokasi belanja tak langsung atau belanja rutin sebesar 3,5 triliun, sebagian besar dihabiskan untuk kebutuhan birokrasi. Padahal dilihat dari kerja dan kinerjanya (baca: dinas pendapatan) masih sangat lemah. Ini bisa dilihat dari kenaikkan pendapatan 2008 yang sangat minimalis. Kerja dan kinerjanya Dinas pendapatan rendah, tapi menyerap anggarannya paling besar. Dengan kata lain, wajah birokrasi kita lebih peran sebagai penyedot anggaran daripada penghasil devisa. Apalagi sedotannya banyak yang tidak jelas alias banyak penyimpangan.
Ketiga, jika kita lihat RAPBD 2008 ini, jumlah belanja daerah (sebesar Rp 5,59 triliun) lebih besar dari jumlah pendapatan (sebesar Rp 5,20 triliun) atau mengalami defisit sebesar Rp 396 milyar. Dengan kata lain, RAPBD kita bagaikan besar pasak daripada tiang. Angka defisit ini bahkan lebih besar dari tahun 2007 lalu yang hanya sekitar 312 milyar (sebelum PAK, setelah PAK mencapai Rp 606,61 milyar). Dan yang paling mengecewakan, sebagian besar pembengkakan anggaran tersebut dikarenakan belanja birokrasi Pemprop yang begitu besar. Sementara belanja untuk kepentingan masyarakat lewat sangat kecil. Defisit anggaran sepertinya sudah menjadi “tradisi tahunan” politik anggaran daerah. Seringkali elit daerah berapologi, bahkan pembengkakan belanja daerah karena kebutuhan eksekutif semakin besar. Apologi ini sebenarnya cara elit daerah atau birokrasi untuk menutup-nutupi perilaku boros yang selama ini dilakukan. Meskinpun ada sumber pembiayaannya, defisit anggaran tetap saja sangat membebani APBD dan yang jelas membebani masyarakat, karena masyarakat akhirnya yang jadi sasarannya.

Lemahnya Kontrol Budjeting DPRD
Dalam beberapa hasil penelitian yang dilakukan kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang konsens terhadap politik anggaran daerah, menunjukkan bahwa eksekutif lebih berkuasa atas pemenuhan anggaran. Karena dinas-dinas pemerintah lebih banyak mengajukan draft-draft usulan anggaran, program pembanguan sekaligus biaya rutin mereka. Sebagai pekerjaan tahunan, proses evaluasi dan pengawasan juga sebenarnya lebih banyak dimainkan anggota DPRD. Sehinga naik-turunnya angka-angka anggaran juga lebih banyak disusun dari hasil rumusan dinas pemerintah sendiri. Namun, jangan lupa, bahwa ada politik bargainng (tawar-menawar) anggaran antara ekskutif dan legislatif, yang celakanya tawar-menawar tersebut bukan didasarkan pada kebutuhan dasar rakyat, melainkan pada kepentingan masing-masing individu pemain-pemain politik di eksekutif maupun DPRD (LBH Surabaya, 2004).
Praktik politik anggaran ini telah menegasikan hak-hak sosial-politik, dan ekonomi masyarakat sebagai pemberi mandat. Kebutuhan dan kepentingan masyarakat yang seharusnya menjadi acuan utama dalam setiap pembahasan program dan anggaran pembangunan, namun pada kenyataannya, telah dibajak oleh praktik politik “elitis” yang hanya menguntungkan segelintir orang. Anggaran daerah yang diwujudkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) lebih merepresentaiskan kepentingan elit daerah dari kepentingan masyarakat secara umum.
Selama ini fungsi-fungsi kontrol kelembagaan legeslatif terhadap eksekutif dinilai masyarakat masih jauh dari harapan, terutama pengawasan kebijakan yang ditelorkan eksekutif. Tidak sedikit, fungsi kontrol kebijakan dan budjeting DPRD atas eksekutif berjalan stagnan. DPRD seringkali mudah didikte dan dipengaruhi pihak eksekutif. Sebagaimana dijelaskan lebih lanjut dalam buku Anggaran Berbasis Kebutuhan Dasar Rakyat Miskin, selain kekuatan eksekutif yang begitu dominan, terdapat pula kekuatan modal yang juga sangat dominan menentukan arah penetuan kebijakan, terutama terkait dengan upaya meloloskan proyek-proyek kecil/menengah yang sarat korupsi atau mega proyek yang sarat penggusuran rakyat miskin (LBH Surabaya, 2004).

Maksimalisasi Kinerja Keuangan Daerah
Untuk mewujudkan performance dan struktur APBD yang berpihak pada masyarakat (APBD pro rakyat) itu, ada dua langkah strategis yang harus dilakukan. Pertama, memperkuat dan memaksimal fungsi budgeting DPRD. Secara kelembagaan, DPRD jangan hanya menjadi alat “stempel” untuk mengesahkan perda APBD. Tapi DPRD harus mulai mengkritisi dan mencermati secara jeli draft APBD yang diberikan eksekutif. DPRD Dan tidak hanya dukumen RAPBD saja, tapi juga disertai dengan RASK (Rincian Anggaran Santuan Kerja). Di RASK inilah akan bisa dilihat apakah anggaran di murk up atau tidak, duplikasi program dan kegiatan yang berdampak pada pembengkakan anggaran, program dan kegiatan dengan alokasi anggarannya sudah disusun berdasarkan anggaran berbasis kinerja atau belum. Dan masih banyak lagi anggaran atau program mengandung/mengundang potensi menyimpang.
Fungsi budjeting DPRD ini harus dilakukan secara konsisten sejak awal perencanaan pembahasan sampai pada pengesahan. DPRD dituntut bagaimana mengkonversi aspirasi masyarakat menjadi bagian dari arah dan kebijakan APBD. Dengan kata lain, aspirasi masyarakat harus menjadi landasan utama dalam menyusun arah dan kebijakan APBD. Lebih spesifik, DPRD dituntut untuk lebih cermat dan teliti dalam membahas usulan anggaran dari setiap SKPD. Jangan sampai muncul praktik “dagang sapi” antara DPRD dengan eksekutif yang berdampak pada hilangnya hak-hak ekonomi masyarakat.
Kedua, selain memaksimalkan fungsi budjeting (penganggaran), yang lebih penting lagi adalah fungsi kontrol budjeting DPRD. Fungsi ini dilakukan pasca pengesahan APBD. Dalam konteks ini, bagaimana DPRD mampu mengawal APBD yang disahkan tersebut dapat diimplementasikan dengan baik dan tepat sasaran, tidak mengalami penyimpangan dan kebocoran di lapangan. Karena praktik penyimpangan dan kebocoran anggaran tidak saja terjadi pada saat perencanaan dan penyusunan anggaran, tapi juga pada saat implementasinya.
Agar penyusunan APBD benar-benar berpihak pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat, mengandalkan fungsi budjeting dan kontrol budjeting pada lembaga DPRD saya pikir tidak cukup. Apalagi selama ini image DPRD dimata publik masih mengecewakan. Karena itu, perlu ada keterbukaan dan partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan dan implementasi APBD. Ini perlu dilakukan untuk mengimbangi fungsi budjeting dan kontrol DPRD yang masih lemah. Dengan kata lain, proses penyusunan APBD harus mengikutsertakan partisipasi luas masyarakat. Pihak DPRD dan eksekutif harus memberikan ruang partisipasi publik yang sebesar-besarnya, agar APBD yang dihasilkan benar-benar memenuhi kepentingan dan keadilan masyarakat.
Namun demikian, pengawasan formal dari DPRD atas anggaran daerah, tidaklah cukup. Apalagi, kerja dan kinerja budjeting dan kontrol budjeting DPRD dinilai masih mengecewakan. Karena itu, sangat dibutuhkan peran aktif masyarakat dalam mengawasi proses penyunsunan APBD. Tidak saja mengawasi kerja dan kinerja DPRD, tapi juga eksekutif. Jangan sampai terjadi kongkalikong dan konspirasi yang sifatnya elitis dan monopolistis antara legislatif dan ekskeutif dalam membahas APBD.
Dalam konteks ini, pihak DPRD dan eksekutif harus memberikan ruang publik yang sebesa-besarnya untuk ikut berpartisipasi dalam proses penganggaran daerah (APBD) mulai dari perencanaan, pembahasan, pelaksanaan sampai pada pengawasan. Sehingga masyarakat merasa memiliki (sense of belonging). Dan hak-hak sosial-politik, dan ekonomi diakui dan dijamin dalam setiap pembuatan kebijakan daerah, terutama dalam kebijakan anggaran dan pembangunan daerah.
Gerakan pengawasan anggaran daerah agar memiliki kontribusi yang jelas dan terukur, perlu ditindaklanjuti dengan upaya advokasi anggaran. Gerakan advokasi ini harus didorong agar memiliki kekuatan untuk mempengaruhi proses-proses penyusunan APBD yang dilakukan eksekutif dan legislatif agar berpihak pada kepentingan masyarakat dan tidak terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Karena itu, kedepan, Pemprop perlu untuk memperbaiki dan menata kembali menajemen pengelolaan keuangan daerahnya. Gubernur tidak saja pandai dalam merancang program dan kegiatan beserta alokasi anggarannya, tapi juga harus mempersiapkan orang-orang yang kredibel dan profesional dalam menggunakan dan merealisaskan uang rakyat tersebut. Jika tidak, maka program dan anggaran jelas, tapi tak mampu dieksekusi, lantaran kredibilitas (moral) eksekutor dipertanyakan atau yang lebih parah uang rakyat jadi “bancaan”, karena program dan kegiatan yang dilakukan hanya asal-asalan; asal terserap dan memenuhi target.

SIMPULAN.
Dalam kajian ini dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Kebijakan otonomi daerah sebagai wujud dari gerakan reformasi yang telah berjalan hampir satu dekade ini belum mampu memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
2. Otonomi daerah telah memberikan kewenangan yang cukup besar bagi pemerintahan daerah (eksekutif danlegislatif) untuk mengelola pemerintahannya, khususnya pada pengelolaan keuangan daerah (baca: APBD) untuk pembangunan. Namun kewenangan yang besar tersebut tidak mampu dijalankan secara maksimal sehingga melahirkan berbagai macam problem anggaran daerah. Salah satunya, kinerja APBD dengan menganut sistem baru ”based budgeting performance” dinilai masih mengecewakan.
3. Rendahnya kinerja keuangan daerah tersebut berdampak pada rendahnya kualitas kesejahteraan masyarakat.
4. Pemprop dan kabupaten/kota perlu untuk memperbaiki dan menata kembali menajemen pemerintahan dan pengelolaan keuangan daerahnya, yakni dengan komitmen dan konsisten pada prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Kepala daerah tidak saja pandai dalam merancang sistem birokrasi pemerintahan dan keuangan daerah yang baik dan kredibel, tapi juga harus mempersiapkan orang-orang yang kredibel dan profesional dalam menggunakan dan merealisaskan uang rakyat tersebut.

DAFTA PUSTAKA

Buku Panduan Aksi Akar Rumput Melakukan Kontrol terhadap Anggaran Daerah (APBD), 2002, Pokja 30 (Lembaga untuk Advokasi Kebijakan), Samarinda.

Buku Panduan Pengawasan Keungan daerah Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), Januari 2005, Jakarta.

Faisal, Sanapiah, 1989, Metode Penelitian Kualitatif, Rajawali, Jakarta.

Herlambang, dkk, 2004, Anggaran Berbasis Kebutuhan Dasar Rakyat Miskin, LBH Surabaya.

Kausar A.S., Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Di Era Desentralisasi dan Kontribusi DPRD terhadap Palaksanaan Tata Pemerintahan Yang Baik, Paparan pada Acara Diskusi dalam Rangkaian Acara Rapat Kerja Nasional ADKASI, di Pelalawan, Riau pada tanggal 24 Agustus 2006.

Winarso, 2005, Menggagas Sistem Monitoring Keuangan Daerah, dalam Buku PanduanPengawaan Keungan daerah Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), Jakarta

Zuhdi, Fahmi Badoh, 2005, Potret Korupsi Daerah Pasca Otonomi, dalam Buku Panduan Pengawaan Keungan daerah Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), Jakarta

Undang-Undang 22 tahun 1999 Pemerintah Daerah
Undang-Undang 32 2004 tentang Pemerintah Daerah
Undang-Undang 33 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah
PP. No. 108 tahun 2000 tentang Tata Cara pertanggungjawaban Kepala Daerah
PP. No. 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah