Senin, 08 April 2013

SUDAHNYA MENGEKSEKUSI KORUPTOR

Opini Jawa Senin, 26 Maret 2012 Oleh : Umar Sholahudin Koord. Parliament Wacth Jatim dan Dosen Sosiologi Hukum Unmuh Surabaya "Kondisi proses penegakan hukum kita cuma berada dalam kemasan jika dibandingkan dengan pada zaman kolonial dan pada zaman orde lama”, kata Prof JE Sahetapy, guru besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Forum Keadilan, 2/6/l997). Kritik pedas ini sengaja dicuplik di awal tulisan ini untuk menggambarkan betapa lemahnya proses penegakan hukum yang dilakukan selama ini. lsi kutipan tersebut dapatlah difahami mengingat masih cukup beratnya tantangan yang dihadapi para penegak hukum, kompleksnya kriminalitas, serta tingginya tuntutan masyarakat atas kesigapan, kejujuran, dan profesionalitas para petugas. Penegakan hukum masih sebatas slogan dalam masyarakat hukum kita. Apalagi jika kita berbicara masalah keadilan hukum (bagi masyarakat), masih jauh dari jangkauan tangan masyarakat. Penegakan hukum kita saat ini sedang bermasalah. Bahkan juga semakin gencar dan tajam suara-suara yang mengatakan, penegakan hukum dewasa ini sudah sampai pada titik terendah, Betapa pesimistiknya masyarakat melihat kondisi penegakan hukum itu, sampai-sampai terdengar suara: di mana lagi kita akan mencari dan menemukan keadilan (Lopa, 1997) Kritik pedas tersebut memiliki relevansinya ketika kita melihat proses penegakan hukum atas kasus korupsi (gratifikasi) senilai Rp 720 juta yang melibatkan tiga tokoh penting di Pemkot Surabaya Sukamto Hadi Sekota, Asisten I Muhlas Udin, Kabag Pengelolaan Keuangan Porwito, dan Ketua DPRD Surabaya Musyafak Rouf pada Tahun 2007 lalu. Putusan MA Nomer : 1461 K/Pid.Sus/2010 yang menjatuhkan hukuman kepada Musyafak Rouf satu tahun enam bulan serta denda Rp 50.000.000,00. Meskinpun salinan putusan Mahmakah Agung (MA) yang menolak kasasi terdakwa atas nama terdakwa, tetapi hingga saat ini pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya selaku eksekutor belum mau mengeksekusi para terdakwa. Tidak ada kejelasan kapan mereka akan dieksekusi. Dengan ditolaknya kasasi para anggota dewan tersebut, seharusnya pihak Kejari Surabaya sudah bisa langsung mengeksekusi para terpidana tersebut masuk tahanan, namun sepertinya pihak Kejari “sengaja” mengolor-olor waktu. Meskipun sudah jadi terpidana sejak ada vonis pengadilan, pihak pihak kejari tidak pernah melakukan eksekusi penahanan. Saat ini Justru para terpidana dengan berbagai dalih meminta tidak dieksekusi. Para terdakwa yang sudah mendapatkan vonis hukuman dari pengadilan ini sering mangkir dari panggilan dan berusaha menghindar dari eksekusi. Sudah divonis ringan, yakni tak sampai dua tahun, susah lagi dieksekusi. Sebelumnya Kejari Surabaya menyatakan tak akan terpengaruh dengan dukungan para anggota dewan untuk melakukan penangguhan eksekusi, namun faktanya tak kunjung dieksekusi. Kejari sepertinya tak punya taring untuk mengeksekusi para terpidana yang sebagian kini masih aktif duduk di lembaga legislatif. Selama ini pihak Kejari selalu berdalih dan berkelit pada alasan prosedur dan mekanisme eksekusi. Namun alasan ini, sangat tidak bisa diterima masyarakat. Masyarakat menilai, ada sesuatu yang tidak beres dalam proses penegakan hukum atas kasus korupsi di Surabaya ini. Sikap apologis Kejari sepertinya berusaha untuk “merasionalisasi” hukum untuk kepentingan tertentu. Rasionalitas hukum mengalahkan substansialitas hukum. Dengan kata lain, proses penegakkan hukum (baca: eksekusi) adalah sesuatu yang substantif, sementara prosedur dan mekanisme adalah hal teknis. Namun dalam kasus ini, hal yang tidak substansial (baca: prosedur teknis) coba “dirasionalisasi” dan dicari celah-celahnya secara subjektif menjadi alat pembenar. Ini yang kemudian mengkaburkan substansi penegakan hukum itu sendiri. Kewenangan besar yang ada pada Kejari dalam mengeksekusi seorang terpidana, apalagi status hukumnya sudah memiliki kekuatan hukum tetap (incrach), ternyata tak membuat Kejari untuk segera bertindak tegas. Sebenarnya sudah tidak ada hambatan yuridis bagi Kejari untuk mengeksekusi. Apakah karena para terdakwa kebetulan anggota dewan, sehingga Kejari tak berani mengeksekusi. Kejari seperti macan ompong menghadapi para anggota dewan. Bahkan cenderung bersikap “toloren” terhadap para terdakwa. Lambannya tindakan hukum Kejari ini, tentunya menimbulkan tanda tanya besar dan prasangka buruk di masyarakat. Mengapa Kejari begitu sulit mengeksekusi para terdakwa yang sudah divonis pengadilan. Apakah Kejari takut kepada para terdakwa yang politisi itu atau ada intervensi politik yang menjadikan proses penegakan hukum terhadap para terdakawa tersebut berjalan lamban. Keadilan Masyarakat Lambannya Kejari Surabaya dalam mengekekusi terdakwa kasus korupsi tersebut, tentunya saja sangat melukai perasan kolektif masyarakat, terutama Surabaya. Masyarakat sebenarnya sudah gregetan dengan sikap Kejari yang tidak tegas dalam menangaani kasus ini. Kasus ini sebenarnya sudah berlangsung cukup lama. Bahkan pernah mau dilakukan proses penahan, namun tidak kunjung berhasil Para terdakwa justru bebas berkeliaran di masyarakat. Bahkan masih “diterima” sebagai anggota dewan kembali dan menerima gaji bulanan. Dan yang lebih parah lagi, sebagian dari mereka mencalonkan kembali pada Pileg 2009 ini. Sudat cacat moral dan politik, tapi masih saja diterima sebagai caleg. Ini sungguh sangat ironis. Kasus ini semakin menunjukkan nihilnya keadilan hukum bagi masyarakat. Dan menjadi potret buram bagi penegakan hukum di Indonesia, khususnya Surabaya. Kini, masyarakat tidak saja menunggu ketegasan para penegak hukum dalam melakukan pemberantasan korupsi di negeri ini, tetapi lebih dari itu bagaimana penegakan hukum bisa melahirkan keadilan hukum bagi masyarakat. Wallahu ‘alam.

Ketika Hukum Tumpul Ke Atas

(Telah dimuat di Opini harian Sindo, Kamis 28 Maret 2013) Oleh : Umar Sholahudin Dosen Sosiologi Hukum FH Unmuh Surabaya, Penulis Buku : Hukum dan Keadilan Masyarakat (2011) Penegakan hukum di negeri ini memangmasih layaknya pisau; tajam ke bawah, tumpul ke atas. Aparat penegak hukum; mulai polisi, jaksa dan hakim, sangat begitu garang ketika menangani dan menghukum pelaku kejahatan/tindak pidana dari kaum papa. Garangnya para penegak hukum sudah dimulai sejak proses penyidikkan di polisi. Sebut saja ketika ada orang miskin melakukan tindak pidana pencurian ringan –yang motifnya sering kali karena keterdesakan (baca: kemiskinan)- atau tindak pidana ringan lainnya, polisi langsung memproses hukum, bahkan kerapkali pelaku langsung ditahan. Alasan normatif “kaku” yang seringkali dipakai adalah karena alasan objektif dan alasan subjektif. Dua alasan ini yang sering pula diterapkan secara berbeda ketika menangani pelaku yang berbeda kasta. Penerapan alasan ini juga yang diterapkan pada kasus; mbah Minah, Basar-Kholil, Aal, dan kaum papa lainnya. Sementara, sebaliknya aparat penegak hukum sangat begitu lembek dan pedang hukum terasa tumpul ketika menangani atau berhadapan dengan pelaku tindak pidana yang pelakunya dari golongan kasta atas. Sebut saja misalnya kasus-kasus mega skandal pembobolan bank, pajak APBN/D, atau kasus hukum yang melibatkan anak pejabat, sebut saja misalnya kasus rasyid Rajasa. Saat ini, praktik ketidakadilan hukum yang cukup telajang adalah kasus Rasyid Rajasa yang menjadi terdakwa dalam kasus tabrak mati awal Januari 2013 lalu. Sejak awal, ketidakadilan hukum sudah mulai menguap; mulai dari proteksi pelaku ketika kecelakaan lalin terjadi; kejadiannya cenderung “ditutup-tutupi”. Mulai proses hukum (baca: penyidikan) di kepolisian, sang pelaku atau tersangka tidak ditahan dengan alasan subjektif polisi, padahal menimbulkan korban meninggal. Bagi polisi, pelaku tidak melarikan diri, tidak menghilangkan barang bukti, dan tidak melakukan perbutan yang sama. Dalam proses penyidikan di kepolisian, sangat kelihatan sekali perlakuan yang berbeda dengan kebanyakan pelaku yang lainnya dengan kasus yang sama. Perlakuan hukum yang sama juga terjadi ketika masuk ke kejaksaan, tersangka juga tidak ditahan, dengan alasan yang nyaris sama pada saat penyidikan. Pada proses hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, yang membuat heran masyarakat luas, adalah dasar hukum dan tuntutan Jaksa Penuntut umum (JPU). Rasyid dikenakan dakwaan primer Pasal 310 Ayat 4 subsider Ayat 3 Undang-Undang RI No 22 Tahun 2009 mengenai kelalaian dalam mengemudi yang menyebabkan orang lain meninggal dunia dengan dakwaan kedua Pasal 310 Ayat 2 Undang-Undang RI No 22 Tahun 2009 mengenai kelalaian yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan kendaraan. Atas dasar ini, Rasyid dituntut 8 bulan dengan masa percobaan 12 bulan.. Dan akhirnya hakim PN memvonis Rasyid bersalah dengan hukuman 5 bulan dengan masa percobaan 6 bulan. Artinya, putra Hatta Rajasa itu tidak menjalani enam bulan di penjara jika selama 12 bulan tidak melakukan pelanggaran hukum yang sama. Rasyid pun tak pernah ditahan sedikitpun. Publik langsung terperangah melihat tuntutan JPU dan vonis hakim yang super ringan tersebut. Dari tuntutan dan vonis itu, secara yuridis normatif memang tidak ada yang keliru. Namun, tuntutan dan vonis tersebut tentunya sangat menciderai rasa keadilan masyarakat. Bagaimana seandanya kasus yang sama dialami oleh selain Rasyid. Dan fakta membuktikan, dengan kasus yang sama pelakunya dihukum cukup berat. Ketidakadilan Hukum Keadilan hukum bagi kebanyakan masyarakat bagaikan sesuatu barang yang mahal, sebaliknya barang murah bagi segelintir orang (baca: elit). Keadilan hukum hanya di miliki oleh orang-orang yang memiliki kekuatan dan akses politik dan ekonomi saja. Kondisi ini sesuai dengan ilustrasi dari Donald Black (1976:21-23), ada kebenaran sebuah dalil, bahwa Downward law is greater than upward. Maksudnya, tuntutan-tuntutan atau gugatan oleh seseorang dari kelas atas atau kaya terhadap mereka yang berstatus rendah atau miskin akan cenderung dinilai serius sehingga akan memperoleh reaksi, namun tidak demikian yang sebaliknya. Kelompok atas lebih mudah mengakses keadilan, sementara kelompok marginal atau miskin sangat sulit untuk mendapatkannya (Wignjosoebroto, 2008:187). Fenomena ketidakadilan hukum ini terus terjadi dalam praktik hukum di negeri ini. Munculnya pelbagai aksi protes terhadap aparat penegak hukum di pelbagai daerah, menunjukkan sistem dan praktik hukum kita sedang bermasalah. Menurut Ahmad Ali (2005), supremasi hukum dan keadilan hukum yang menjadi dambaan masyarakat tak pernah terwujud dalam realitas riilnya, keterpurukan hukum di Indonesia malah semakin menjadi-jadi. Kepercayaan masyarakat terhadap law enforcement semakin memburuk. Gambaran ini yang disebut Satjipto Rahardjo sebagai bentuk krisis sosial yang menimpa aparat penegak hukum kita. Berbagai hal yang muncul dalam kehidupan hukum kurang dapat dijelaskan dengan baik. Keadaan ini yang kurang disadari dalam hubungannya dengan kehidupan hukum di Indonesia (Rahardjo, 2010:17). Praktik-praktik penegakkan hukum yang berlangsung, meskipun secara formal telah mendapat legitimasi hukum (yuridis-formalistik), namun legitimasi moral dan sosial sangat lemah. Ada diskriminasi perlakuan hukum antara mereka yang memiliki uang dan yang tak memiliki uang, antara mereka yang berkuasa dan yang tak punya kuasa. Keadilan bagi semua hanyalah kamuflase saja. Namun, kenyataannya, hukum terasa justru dibuat untuk menghancurkan masyarakat miskin dan menyanjung kaum elit. Penegak hukum lebih banyak mengabaikan realitas yang terjadi di masyarakat ketika menegakkan undang-undang atau peraturan. Akibatnya, penegak hukum hanya menjadi corong dari aturan. Ini tidak lain adalah dampak dari sistem pendidikan hukum yang lebih mengedepankan positivisme. Penegak hukum seperti memakai kacamata kuda (baca: berhukum dengan UU/pasal) yang sama sekali mengesampingkan fakta sosial. Inilah cara berhukum para penegek hukum tanpa nurani dan akal sehat. Karena itu, di tengah keterpurukan praktik berhukum di negara ini yang mewujud dalam berbagai realitas ketidakadilan hukum, terutama yang menimpa kelompok masyarakat miskin, sudah saatnya kita tidak sekedar memahami dan menerapkan hukum secara legalistic-positivistic, yakni cara berhukum yang berbasis pada peraturan hukum tertulis semata (rule bound), tapi perlu melakukan terobosan hukum, yang dalam istilah Satjipto Raharjo (2008), disebut sebagai penerapan hukum progresif. Dan salah satu aksi progresivitas hukum, adalah berusaha keluar dari belenggu atau penjara hukum yang bersifat positivistik dan legalistik. Dengan pendekatan yuridis-sosiologis, diharapkan –selain akan memulihkan hukum dari keterpurukannya, juga yang lebih riil, pendekatan yuridis-sosiologis diyakini mampu menghadirkan wajah keadilan hukum dan masyarakat yang lebih substantif.

Rabu, 19 September 2012

Mengkritisi Hasil Audit APBD Jatim 2011

Opini Jawa Pos, 20 Juni 2012 Oeh : Umar Sholahdin Dosen Soiologi Hukum FH Univ. Muhammadiyah Surabaya Untuk kedua kalinya pemerintah Propinsi Jawa Timur mendapatkan Laporan Hasil Pemeriksanaan (LHP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Sebagaimana kita ketahui, Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Jatim Tahun Anggaran 2011 hasilnya Opini WTP atau Unqualified Opinion. Opini tahun 2011 ini sama dengan dengan hasil LHP tahun anggaran 2010 yang juga beropini WTP.. Tentu saja, ini patut kita apresiasi. Sebab, di samping predikatnya sangat tinggi, kualifikasi penilaian seperti ini sangat jarang dijumpai untuk laporan keuangan lembaga pemerintahan. Sejak tahun 2004 sampai 2011, baru dua kali ini laporan keuangan Pemprov Jatim mendapatkan predikat sebaik itu. Ini setidakanya menjadi salah satu indikator positif, bahwa terlihat ada perbaikan dalam manajemen pengelolaan keuangan daerah Pemerintah Propinsi Jawa Timur. Catatan Kritis Namun demikian, bukan berarti laporan keuangan tersebut memiliki kesempurnaan dari semua aspek dan tanpa celah dan kritik. Laporan Hasil Pemeriksanan BPK, bukannya tanpa kelemahan. LHP BKP tersebut patut kita cermati dan kritisi secara lebih objektif dan proporsional. Ada beberapa catatan kritis atas LHPBPK tersebut yang kemudianberbuah WTP; Pertama, di dlihat dari sisi objek atau sampling yang dipakai BPK yang dinilai kurang representatif. Tidak semua laporan SKPD diaudit, hanya SKPD-SKPD “tertentu” yang berpotensi memiliki laporan baik. Atas dasar inilah LHP BPK untuk pelaksanaan ABPD propinsi Jawa Timur berbuah WTP. Dalam konteks ini, sample rumah sakit yang digunakan BPK kurang representatif untuk dijadikan penilaian secara general. Bagaimana dengan SKPD-SKPD lainnya?, atau apakah juga BPK mempertimbangkan laporan dari Inspektorat daerah atau data dari BPKP?. Kedua, Pemeriksaan BPK mengunakan metode uji petik atau sampling. Metode ini sangat berpotensi menimbulkan “politik kepentingan” dan bias pemeriksaan. Bahkan menimbulkan distorsi pemeriksaan. Bisa saja BPK menerima bahan pemeriksanaan atau SKPD atau Pemprop Jatim yang sudah disiapkan sebelumnya dalam kondisi “baik”. Perlu dicatat juga, yang diuji petik hanya sebagian kecil SKPD, Padahal ada puluhan SKPD di bawah lingkungan pemerintah propinsi. Sudah bukan rahasia lagi, setiap pemerintah daerah berkeinginan dan bahkan berambisi agar LHP BKP berbuah WTP, karena dengan WTP, akan mendapat insentif dari pemerintah pusat melalui DAK atau DAU atau bagi hasil. Praktik dugaan kongkalikong antar petugas BPK dengan pemerintah daerah sudah kerap terjadi untuk menghasilkan LHP: “WTP” Ketiga, LHP BPK tersebut lebih didasarkan pada bukti atau laporan yang bersifat formil-prosedural. Aspek materiil cenderung dikesampingkan. Dalam konteks ini, yang penting dikedepankan adalah jika semua laporan formilnya (baca: laporan keuangan) memenuhi syarat, maka sudah dianggap beres. Tidak mempertanyakan dan menyelidiki lebih lanjut, apa benar terjadi trasaksi keuangan seperti yang tertera dalam laporan formil tersebut?. jika ada dugaan penyimpangan anggaran yang nilai tidak signifikan dalam satu SKPD, dalam pandangan BPK dianggap tidak material, dan itu tidak jadi pertimbangan dalam memberikan hasil WTP. Misalnya dalam satu SKPD total anggarannya sebesar Rp 1 milyar, ada penyimpangan sebesar Rp 50-100 juta, maka penyimpangan tersebut dianggap “tidak material”. Nilainya terlalu kecil jika dibanding total anggarannya. Itu baru satu SKPD, jika terjadi penyimpangan “tidak material” terebut terjadi di banyak SKPD, maka seharusnya LHP bisa menilai sifat penyimpangannya “material”. Dalam konteks ini, BPK hanya memeriksa akspek formil-prosedural saja, tidak sampai pada aspek meterialnya. Karena itu, tentunya perlu dilanjut dengan pemeriksaan yang bersifat investigatif. Sehingga nantinya bisa diketahui jika terjadi penyimpangan, apakah laporan keuangannya itu “material atau tidak material”. Jika pemeriksaannya tidak investigatif, maka sangat mungkin hasil opini “WTP” hanya semu dan bahkan bisa menyesatkan. Audit Investigatif Sekali lagi, kita harus mencermati dan menilai laporan hasil BPK atas pelaksaaan APBD Tahun anggaran 2011 secara lebih objektif dan proporsional, sehingga kita tidak terjebak pada “kebanggaan yang berlebihan”. Hasil WTP bukan berarti laporan keuangannya “bersih”. Karena itu, ke depan perlu ada pemeriksaan yang lebih menyeluruh atas bahan-bahan laporan yang ada di lingkungan pemerintahan propinsi Jawa Timur, baik yang bersifat formil maupun materiil. APBD adalah uang rakyat, meminjam pernyataan Presiden SBY, uang berapun jumlah rupiahnya, harus dipertangungjawabkan kepada rakyat. Jangan mengatakan, jika terjadi penyimpangan anggaran yang sifatnya tidak siginfikan dari segi jumlah, kemudian dianggap “tidak material” atau dianggap biasa saja. Pengambaian seperti ini akan menimbulkan preseden buruk; penyimpangan anggaran atau korupsi yang jumlahnya kecil dianggap sesuatu yang biasa. Selain itu, BPK perlu mengubah metode pemeriksaan, yang tidak hanya menggunakan uji petik atau sampling yang kadang sarat kepentingan politik. BPK tidak hanya memeriksa aspek formil-proseduralnya saja, tapi juga aspek materialnya. BPK tidak hanya sekedar memeriksa, tapi juga harus dilanjut dengan pemeriksaan yang mendalam dan menyeluruh atau Audit Investigatif. Sehingga hasilnya akan lebih objektif dan bisa dipertangungjawabkan ke masyarakat.

Selasa, 18 September 2012

Susahnya Mengeksekusi Koruptor

Opini Jawa Pos Senin, 26 Maret 2012 "Kondisi proses penegakan hukum kita cuma berada dalam kemasan jika dibandingkan dengan pada zaman kolonial dan pada zaman orde lama”, kata Prof JE Sahetapy, guru besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Forum Keadilan, 2/6/l997). Kritik pedas ini sengaja dicuplik di awal tulisan ini untuk menggambarkan betapa lemahnya proses penegakan hukum yang dilakukan selama ini. lsi kutipan tersebut dapatlah difahami mengingat masih cukup beratnya tantangan yang dihadapi para penegak hukum, kompleksnya kriminalitas, serta tingginya tuntutan masyarakat atas kesigapan, kejujuran, dan profesionalitas para petugas. Penegakan hukum masih sebatas slogan dalam masyarakat hukum kita. Apalagi jika kita berbicara masalah keadilan hukum (bagi masyarakat), masih jauh dari jangkauan tangan masyarakat. Penegakan hukum kita saat ini sedang bermasalah. Bahkan juga semakin gencar dan tajam suara-suara yang mengatakan, penegakan hukum dewasa ini sudah sampai pada titik terendah, Betapa pesimistiknya masyarakat melihat kondisi penegakan hukum itu, sampai-sampai terdengar suara: di mana lagi kita akan mencari dan menemukan keadilan (Lopa, 1997) Kritik pedas tersebut memiliki relevansinya ketika kita melihat proses penegakan hukum atas kasus korupsi (gratifikasi) senilai Rp 720 juta yang melibatkan tiga tokoh penting di Pemkot Surabaya Sukamto Hadi Sekota, Asisten I Muhlas Udin, Kabag Pengelolaan Keuangan Porwito, dan Ketua DPRD Surabaya Musyafak Rouf pada Tahun 2007 lalu. Putusan MA Nomer : 1461 K/Pid.Sus/2010 yang menjatuhkan hukuman kepada Musyafak Rouf satu tahun enam bulan serta denda Rp 50.000.000,00. Meskinpun salinan putusan Mahmakah Agung (MA) yang menolak kasasi terdakwa atas nama terdakwa, tetapi hingga saat ini pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya selaku eksekutor belum mau mengeksekusi para terdakwa. Tidak ada kejelasan kapan mereka akan dieksekusi. Dengan ditolaknya kasasi para anggota dewan tersebut, seharusnya pihak Kejari Surabaya sudah bisa langsung mengeksekusi para terpidana tersebut masuk tahanan, namun sepertinya pihak Kejari “sengaja” mengolor-olor waktu. Meskipun sudah jadi terpidana sejak ada vonis pengadilan, pihak pihak kejari tidak pernah melakukan eksekusi penahanan. Saat ini Justru para terpidana dengan berbagai dalih meminta tidak dieksekusi. Para terdakwa yang sudah mendapatkan vonis hukuman dari pengadilan ini sering mangkir dari panggilan dan berusaha menghindar dari eksekusi. Sudah divonis ringan, yakni tak sampai dua tahun, susah lagi dieksekusi. Sebelumnya Kejari Surabaya menyatakan tak akan terpengaruh dengan dukungan para anggota dewan untuk melakukan penangguhan eksekusi, namun faktanya tak kunjung dieksekusi. Kejari sepertinya tak punya taring untuk mengeksekusi para terpidana yang sebagian kini masih aktif duduk di lembaga legislatif. Selama ini pihak Kejari selalu berdalih dan berkelit pada alasan prosedur dan mekanisme eksekusi. Namun alasan ini, sangat tidak bisa diterima masyarakat. Masyarakat menilai, ada sesuatu yang tidak beres dalam proses penegakan hukum atas kasus korupsi di Surabaya ini. Sikap apologis Kejari sepertinya berusaha untuk “merasionalisasi” hukum untuk kepentingan tertentu. Rasionalitas hukum mengalahkan substansialitas hukum. Dengan kata lain, proses penegakkan hukum (baca: eksekusi) adalah sesuatu yang substantif, sementara prosedur dan mekanisme adalah hal teknis. Namun dalam kasus ini, hal yang tidak substansial (baca: prosedur teknis) coba “dirasionalisasi” dan dicari celah-celahnya secara subjektif menjadi alat pembenar. Ini yang kemudian mengkaburkan substansi penegakan hukum itu sendiri. Kewenangan besar yang ada pada Kejari dalam mengeksekusi seorang terpidana, apalagi status hukumnya sudah memiliki kekuatan hukum tetap (incrach), ternyata tak membuat Kejari untuk segera bertindak tegas. Sebenarnya sudah tidak ada hambatan yuridis bagi Kejari untuk mengeksekusi. Apakah karena para terdakwa kebetulan anggota dewan, sehingga Kejari tak berani mengeksekusi. Kejari seperti macan ompong menghadapi para anggota dewan. Bahkan cenderung bersikap “toloren” terhadap para terdakwa. Lambannya tindakan hukum Kejari ini, tentunya menimbulkan tanda tanya besar dan prasangka buruk di masyarakat. Mengapa Kejari begitu sulit mengeksekusi para terdakwa yang sudah divonis pengadilan. Apakah Kejari takut kepada para terdakwa yang politisi itu atau ada intervensi politik yang menjadikan proses penegakan hukum terhadap para terdakawa tersebut berjalan lamban. Keadilan Masyarakat Lambannya Kejari Surabaya dalam mengekekusi terdakwa kasus korupsi tersebut, tentunya saja sangat melukai perasan kolektif masyarakat, terutama Surabaya. Masyarakat sebenarnya sudah gregetan dengan sikap Kejari yang tidak tegas dalam menangaani kasus ini. Kasus ini sebenarnya sudah berlangsung cukup lama. Bahkan pernah mau dilakukan proses penahan, namun tidak kunjung berhasil Para terdakwa justru bebas berkeliaran di masyarakat. Bahkan masih “diterima” sebagai anggota dewan kembali dan menerima gaji bulanan. Dan yang lebih parah lagi, sebagian dari mereka mencalonkan kembali pada Pileg 2009 ini. Sudat cacat moral dan politik, tapi masih saja diterima sebagai caleg. Ini sungguh sangat ironis. Kasus ini semakin menunjukkan nihilnya keadilan hukum bagi masyarakat. Dan menjadi potret buram bagi penegakan hukum di Indonesia, khususnya Surabaya. Kini, masyarakat tidak saja menunggu ketegasan para penegak hukum dalam melakukan pemberantasan korupsi di negeri ini, tetapi lebih dari itu bagaimana penegakan hukum bisa melahirkan keadilan hukum bagi masyarakat. Wallahu ‘alam.

Hukum dan Keadilan

Hukum dan keadlian

Selasa, 13 September 2011

KORUPSI DAN DALIH SAKIT PEJABAT

Sumber : Opini Suara Pembaruan 20 Juli 2011

Departemen Dalam Negeri (Depdagri) pada tahun 2006 lalu pernah me-release ada sekitar ada sekitar 1.129 pejabat daerah korup. Pejabat daerah tersebut meliputi 7 gubernur, 60 bupati/walikota, 327 anggota DPRD propinsi dan 735 anggota DPRD kab/kota di seluruh Indonesia. Mereka diduga melakukan tindak pidana korupsi antara tahun 2004-2006.
Sementara khusus untuk kepala daerah, sampai pertengahan tahun 2011 mengalami peningkatan signifikan. Berdasar hitungan Depdagri, saat ini ada sekitar 156 kepala daerah yang dijadikan tersangka korupsi, mulai tingkat propinsi sampai kabupaten/kota. Mendagri mengaku, hampir setiap pekan ia menerima permintaan izin pemeriksaan terhadap kepala daerah sebagai tersangka dan surat penonaktifan sementara kepala daerah. Jika ditambah jumlah data anggota dewan, mulai pusat sampai daerah kabupaten/kota, maka ada ribuan pejabat yang menjadi tersangka korupsi. Apa jadinya negeri yang kaya sumber daya alam dipimpin oleh para tersangka korupsi atau koruptor?. Sehingga tak salah, jika beberapa lembaga nasional maupun internasional menobatkan Indonesia sebagai salah satu Negara terkorup di Asia bahkan dunia.
Semua pejabat tersebut saat ini sedang menghadapi proses pemeriksaan dan penyidikan bahkan penahan sementara terkait kasus tindak pidana korupsi di daerah. Dan saya kira data tersebut akan terus berkembang sering dengan kasus-kasus korupsi di daerah yang sampai saat ini belum tersentuh hukum. Bahkan tidak sedikit kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat daerah bebas di tingkat penyidikan. Jika aparat hukum kita lebih tegas, terutama kepolisian dan kejaksaan sebagai pintu pertama dalam proses pemeriksaan dan penyidikan, maka jumlah pejabat yang korup akan jauh lebih besar daripada yang di release Depdagri tersebut.
Data Depdagri tersebut memang tidak jauh berbeda dengan fakta yang ada di berbagai daerah di Indonesia. Berbagai media lokal dan nasional secara rutin mengekspose kasus-kasus korupsi yang melibatkan para pejabat di daerah, mulai dari gubernur sampai bupati/walikota dan anggota DPRD propinsi dan kabupaten/kota. Dan dari berbagai kasus korupsi yang menimpa para pejabat tersebut, sebagian besar atau sekitar 90% terkait kasus korupsi atau bancaan APBD.

Sakit atau pura-pura sakit
Di tengah gencarnya proses penyelidikan, pemeriksaan dan bahkan penyidikan kasus korupsi yang melibatkan para pejabat oleh aparat penegak hukum kita, ada satu fenomena dan bahkan “kebiasaan” yang menimpa para pejabat kita baik di pusat maupun di daerah, yakni para pejabat ketika akan diperiksa, di sidik, dan bahkan dieksekusi penahanan sementara, mendadak sakit. Sakitnya para pejabat ini bisa karena memang sakit beneran, bisa juga karena sakit bohongan untuk menghindari pemeriksaan, penyidikan dan penahanan. Para pejabat kita yang tersangkut kasus dugaan korupsi mengalami ketakutan yang luas biasa ketika akan di periksa pihak kepolisian, kejaksaan, apalagi KPK. Apalagi ketika akan di eksekusi penahanan sementara.
Namun saya cermati, sebagian besar para pejabat kita yang tersangkut kasus dugaan korupsi ketika akan diperiksa, disidik dan di tahan, kemudian mendadak sakit, lebih cenderung karena dalih saja untuk menghindari proses pemeriksaan dan yang paling takut mengindari penahanan. Bahkan mereka “ramai-ramai” menolak dengan alasan sakit. Selain itu, selain sakit, dalih lain untuk meghindari dari jeratan hukum; “tidak tahu”, “lupa/tidak ingat”, “tidak kenal”, “tidak faham”. Kata “tidak” kosa kata yang sering uncul dari persidangan kasus korupsi. Kata tersebut paling ampuh dan “aman” bagi seseorang saksi atau yang diduga terlibat kasus korupsi. Mereka menghindar dengan kata-kata serba “tidak”.
Beberapa kasus pejabat kita baik yang ada di pusat maupun daerah yang ketika akan disidik dan di eksekusi penahanan mendadak sakit dan bahkan berdalih sakit adalah mantan Kabulog Wijanarko dan saudara-saudara yang tersangkut kasus korupsi sapi fiktif dengan kerugian negara di taksir Rp 40 milyaran lebih, Bupati Kutai Kertanegara, Syaukani, Kepala Bakesbang Kota Surabaya, Suyitno Miskal terkait kasus Banpol, mantan Bupati Jember Syamsul Hadisiswoyo dan juga Sekdanya terkait kasus korupsi dana APBD, mantan Kepala Bawasko Surabaya Bambang Sugiarto terkait kasus dugaan korupsi pengadaan buku pariwisata senilai Rp 144 juta.
Ada lagi Camat Taman Sidoarjo, Teddy Ruspandi, Sigit Subekti dan Anik Susdiyatun (keduanya pejabat dilingkungan Pemprop Jatim). Ketiganya tersangkut kasus dugaan korupsi mega proyek Pasar Induk Agrobisnis senilai 15 Rp milyar. Kasus korupsi dana APBD 2002-2004 yang melibatkan Bupati Magetan, Soleh Mulyono dan kasus terbaru Nazarudin yang kemudian kabur ke Sinagpura. Semua pejabat daerah tersebut mendadak sakit ketika aparat penegak hukum dari kepolisian, kejaksaan dan KPK akan melakukan pemeriksaan, penyidikan dan penahanan sementara. Dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya yang serupa.

Pemeriksaan Independen
Dari sekian banyak pejabat kita yang tersangkut kasus korupsi sebagian besar yang menolak untuk diperiksa, disidik dan ditahan dengan berdalih atau berpura-pura sakit. Dan tidak sedikit ketika aparat penyidik memberi toleransi untuk berobat, dimanfaatkan para pejabat yang bersangkutan untuk kabur ke luar negeri dengan alasan untuk berobat. Akhirnya buronannya kabur tak bisa ditangkap kembali.
Karena itu, dalam konteks ini aparat penegak hukum kita harus selektif dan ketat dalam memberikan toleransi dan kompensasi berobat bagi para pejabat kita yang tersangkut kasus korupsi agar tidak kabur. Untuk menilai oknum pejabat tersebut memang benar sakit atau berdalih sakit untuk menghindari pemeriksaan, penyidikan dan penahanan, perlu adanya pemeriksaaan medis yang objektif. Dan untuk menjaga objektivitas pemeriksaaan, pejabat yang bersangkutan harus diperiksa oleh dokter-dokter independen atau setidaknya dokter yang tidak ada hubungan kedekatan dengan pejabat yang bersangkutan. Perlu ada medical report dari dokter yang berkompetens. Jika ini tidak dilakukan, pejabat mendadak sakit ketika akan disidik atau bahkan di tahan hanya dalih semata untuk menghindari pemeriksaan atau eksekusi penahan. Dan akhirnya kabur dan tak dapat ditangkap kembali.

KAMPUNG IDIOT DAN TRAGEDI KEMISKINAN

Sumber : Opini Jawa Pos, Senin 2 Agustus 2011

Dalam beberapa kesempatan, termasuk ketika rapat paripurna dengan DPRD, Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, sering mengklaim bahwa angka kemiskinan Jawa Timur mengalami penurunan; tahun 2008 sebesar 7.202.000 jiwa atau 18,51%, sedangkan tahun tahun 2009 sebesar 6,002 jiwa atau 16,68%, atau turun sebanyak 628.690 jiwa atau 1,83% dan tahun 2010 turun menjadi 15,26%. Namun sekali lagi, perhitungan angka statistikal ini kerapkali tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Apakah pembangunan di Jatim sudah dinikmati masyarakat miskin sehingga angka kemiskinan turun?
Jika kita ingin melihat fakta empiriknya, marilah kita berkunjung ke salah satu kecamatan di Kabupaten Ponorogo yang warganya mengalami kemiskinan akut, yakni Kecamatan Karang Balong, Desa Karangpatihan, dan Kecamatan Jabon, Desa Krebet, maka kita akan menyaksikan secara kasat mata potret kemiskinan warganya yang begitu akut. Dua kecamatan tersebut dikenal sebagai ”Kampung Idiot”.
Sebuah TV swasta nasional, pernah memberitakan dan menvisualisasi bagaimana kondisi kampung idiot di Ponorogo tersebut. Sebagian besar keluarga memiliki anak mengalami keterbelakangan mental akut atau idiot secara turun-temurun, tidak saja lemah secara fisik, tapi juga mental. Mereka sejak lahir mengkonsumsi makanan gaplek atau tiwul yang jauh dari nilai gizi. Bahkan ada bebrapa keluarga yang memiliki anak idiot sudah berusia 40 tahun. Mereka juga tak mendapatkan pelayanan dasar, yakni pendidikan dan kesehatan yang layak.
Selain orang dewasa yang banyak mengalami keterbelakangan mental akut, pun demikian dengan kondisi anak-anaknya. Kehidupan anak-anak tidak saja kurang gizi, tapi juga lebih dari itu sudah mengarah pada busung lapar atau penyakit perut buncit (marasmus kwashiorkor). Kondisi mereka diperparah dengan tiadanya ketersediaan air bersih dan yang paling parah lagi tiadanya perhatian pemerintah daerah, baik propinsi maupun kabupaten. Ini terlihat dari usia kampung idiot yang sudah terjadi puluhan tahun. Kasus kampung idiot ini bisa disebut sebagai tragedi kemiskinan dan kemanusiaan yang memilukan. Propinsi Jatim yang dikenal sebagai salah satu daerah lumbung padi nasional dan memiliki APBD Rp 10 triliun lebih, tapi kehidupan masyarakatnya serba kekurangan yang berakibat pada lahirnya status “kampung idiot”.

Kemiskinan Paripurna
Kemiskinan mereka sungguh sangat begitu lengkap dan paripurna; miskin secara ekonomi, sosial, politik, dan miskin segalanya. Kondisi kehidupan mereka bagaikan peribahasa; hidup segan mati tak mau. Mengapa kondisi ini sampai terjadi dan berlangsung bertahun-tahun?. Dimana peran pemerintah daerah (propinsi dan kabupaten) selama ini?. Dimana janji-janji politik bupati dan gubernur ketika mereka kampanye saat Pemilukada?, Janji pendidikan dan kesehatan gratis, dan slogan “ABPD untuk Rakyat” hanya omong kosong, tak ada realisasinya. Masyarakat miskin selama ini hanya menjadi alat dan komoditas politik para elit saat Pemilukada saja. Masyarakat miskin bagaikan tebu; habis manis, sepah dibuang. Mereka hanya dipakai saat Pemilukada, pasca Pemilukada mereka ditinggalkan dan bahkan dicampakkan begitu saja.
Gambaran tersebut menunjukkan bahwa pemerintah propinsi dan daerah gagal dalam memberikan pelayanan dasar kepada masyarakat. Pemerintah daerah abai dengan kondisi kemiskinan warganya. Ini mengingatkan saya pada seorang sejarawan terkenal asal Jepang, Francis Fukuyama dalam bukunya berjudul “Memperkuat Negara” (2004); salah satu ancaman terbesar bagi ummat manusia pada awal abad 21 adalah adanya gejala-gejala politik dimana negara sebagai institusi terpenting dalam masyarakat gagal dalam menjalankan perannya, yakni memberikan perlindungan dan jaminan kehidupan yang lebih baik. Gagalnya peran negara ini ditunjukkan dengan munculnya berbagai persoalan yang menyangkut kehidupan masyarakat baik sosial, ekonomi, politik dan keamanan. Di mana berbagai persoalan masyarakat tersebut tak dapat diselesaikan atau setidaknya diminimalisir.

APBD untuk Rakyat?
Munculnya kampung idiot tersebut –salah satunya- dapat dilepaskan dari kebijakan politik anggaran kita yang belum berpihak pada masyarakat. Dalam studi analisis politik anggaran disebutkan bahwa pada prinsipnya anggaran adalah uang rakyat yang pengalokasiannya harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Prinsip ini yang seharusnya muncul dalam setiap proses pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD). Namun apa yang terjadi, APBD ini justru di dalamnya lebih banyak mengakomodir kepentingan dan kebutuhan elit daerah.
Sudah menjadi “tradisi tahunan”, paradigma politik penganggaran Pemprop Jatim masih menempatkan pengeluaran rutin sebagai “panglima”, sementara belanja pembangunan untuk kepentingan maasyarakat Jatim sebagai “prajurit”. Dengan kata lain, anggaran daerah nantinya sebagian besar dibelanjakan untuk melayani kebutuhan birokrasi Pemprop, sementara sisanya untuk kebutuhan masyarakat melalui belanja pembangunan. Ini juga yang terjadi pada Perubahan APBD 2010 Jatim. Pada P-APBD 2010 disebutkan bahwa belanja daerah tahun 2010 ini yang semula dianggarakan sebesar Rp 7,826 (target murni) berubah menjadi Rp 10, 506 trilyun atau mengalami kenaikan sebesar Rp 2,584 trilyun. Rinciannya; sebesar Rp 6,334 trilyun atau sekitar 60% dialokaskan untuk belanja tidak langsung yang identik dengan belanja rutin, dan Rp 4,171 trilyun atau sekitar 40% dialokaskan untuk belanja langsung atau identik belanja publik.
Pendek kata, APBD 2010 Jatim bagaikan fatamorgana, masih belum berpihak pada kepentingan masyarakat. Dengan demikian, dimana relevansinya antara motto pembangunan Jatim “APBD untuk Rakyat” dengan performance dan realisasi APBD 2010 ini?. APBD untuk rakyat hanya omong kosong, tak ada realisasi. Dan “kampung Idiot” bisa menjadi wujud paling telanjang dari praktik politik anggaran kita yang manupulatif dan konspiratif.
Akhirnya, pada dasarnya APBD adalah uang rakyat yang di dalamnya menyangkut hajat hidup orang banyak, karena itu bagaimana anggaran tersebut bisa semaksimal mungkin dimanfaatkan untuk kepentingan dan kebutuhan rakyat, bukan untuk kesenangan dan hura-hura elit daerah. Jangan sampai lahir “kampung-kampung idiot” baru di Jatim ini.