Rabu, 26 Agustus 2009

Menyelamatkan Uang Rakyat Di P2SEM

Sumber Opini ; KOMPAS Jatim, 7 Agustus 2009

Oleh : Umar Sholahudin
Koordinator Parliament Wacth Jatim, Dosen Sosiologi Hukum Unmuh Surabaya

Membuat atau merancang program penanggulangan kemiskinan itu jauh lebih mudah daripada mengawal agar program tidak mengalami penyimpangan yang kemudian bermuara pada sebuah kegagalan program. Ungkapan tersebut sangat pas untuk menjelaskan munculnya berbagai kasus penyimpangan dalam program pengentasan kemiskinan, termasuk Program Pemberdayaan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) yang saat ini sedang disidik oleh Kejaksaan Tinggi Jatim.
Per konsep, P2SEM ini sangat baik. Program ini merupakan intervensi kebijkakan Pemprop Jatim atas munculnya krisis ekonomi global yang berdampak pada kondisi sosial-ekonomi masyarakat di Jatim. Program ini bertujuan untuk membantu kelompok masyarakat miskin untuk bangkit dari kemiskinan yang lebih parah. Program ini meliputi tiga kegiatan, yakni; penciptaan lapangan kerja, peningkatan daya beli masyarakat, dan penanganan masalah sosial (Kompas Jatim, 27/7/2009).
Namun dalam implementasi di lapangan, proyek P2SEM ini jangankan dapat meringankan beban sosial ekonomi hidup masyarakat miskin, justru program tersebut mengalami penyimpangan yang luar biasa. Penyimpangan tidak saja pada tingkat programnya, tapi juga pada anggarannya. Dan penyimpangan ini sudah mengarah kuat pada kasus korupsi. Anggaran P2SEM ini di lapangan menjadi “bacaan” para elit daerah, baik di eksekutif maupun di DPRD, mulai level staf sampai top manager.
Pada APBD 2008, P2SEM ini dianggarkan kurang lebih Rp 400 milyar dalam bentuk hibah. Meskinpun dana hibah, Pemprop tidak begitu saja memberikan uang tersebut dalam bentuk “cash and carry”. Kelompok masyarakat –baik ormas maupun LSM atau lembaga lainnya- yang ingin mendapatkan dana tersebut harus membuat dan mengajukan proposal kegiatan ke Pemrop Jatim. Dan tidak hanya itu, proposal tersebut harus mendapatkan rekomendasi dari DPRD, terutama ketuanya.
Dari anggaran Rp 400 milyar tersebut, sampai kasus ini disidik pihak Kejati Jatim, sudah sekitar Rp 200 milyar lebih yang dicairkan dan sekitar Rp 126 milyar lebih berindikasi kuat menyimpang (baca: korupsi).
Berdasarkan penyidikan Kejati ada beberapa modus penyimpangan dalam proyek P2SEM ini yang kemudian bermuara pada kasus korupsi, diantaranya adalah, Pertama, Sebagian besar lembaga (bisa LSM, Ormas, atau kelompok masyarakat lainnya) yang mengajukan dan mendapatkan dana P2SEM ini adalah fiktif. Ketika pihak Kejati memverifikasi lembaga penerima, ternyata tidak ada. Nama lembaga dan alamatnya sulit dilacak atau nihil. Kalaupun lembaganya tidak fiktif, lembaga tersebut lahir dalam waktu yang sangat singkat, yakni ketika P2SEM ini akan digulirkan. Tidak sedikit lembaga penerima dana tersebut lahir satu minggu sebelum proyek P2SEM ini digulirkan. Dengan kata lain, lembaga yang dibentuk memang sengaja dibuat untuk “menampung” aliran dana proyek P2SEM ini.
Ketiga, sebagian besar kegiatan yang dilakukan lembaga penerima dana P2SEM ini juga fiktif. Secara formal mereka mengajukan proposal kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan besaran anggarannya, namun setelah dana cair, anggaran tersebut tidak digunakan untuk kegiatan yang telah direncanakan, tapi justru dijadikan “bacaaan”. Dan salah satu oknum yang menskenario bancaan ini adalah Pudjiarto, seorang staf PNS di kesekretariatan DPRD yang sekaligus orang kepercayaannya Ketua DPRD Jatim, Fatkhurrasjid yang kini menjadi tersangka.
Keempat, memotong 10-20 persen dari total dana yang cair ke lembaga penerima. Sebagai pihak pengepul proposal dan yang mengusahakan rekomendasi (baca: ttd) dari ketua DPRD, dalam penyidikan, Pudjiarto mengakui mendapat fee sebesar 10-20 persen dari total dana yang dicairkan. Dalam pengakuannya, Pudjiarto bersama koordinator pengumpulan proposal dari daerah, Mualimin, mendapatkan total kompensasi sebesar Rp 4 milyar lebih, sedangkan Fathorrasjid sebesar Rp 7 milyar lebih.
Berdasarkan penyidikan Kejati, potensi kerugian uang rakyat/Negara dalam kasus korupsi P2SEM ini mencapai 126 milyar lebih. Angka ini akan berpotensi lebih besar lagi, karena masih ada beberapa lembaga penerima dan oknum yang menerima cipratan yang belum disidik lebih lanjut. Diperkirakan, potensi kerugian akibat korupsi dana P2SEM ini mencapai Rp 200 milyar.

Menyelamatkan Uang Rakyat
Saat ini, pihak Kejati Jatim telah menetapkan tiga tersangka dan sudah masuk tahanan, diantaranya; Pudjiarto, Fathorrasjid dan Mualimin. Tidak menutup kemungkinan, tersangka akan bertambah, baik dari pihak anggota DPRD maupun dari pihak eksekutif. Untuk menghindari adanya perlakuan diskriminatif, pihak Kejati harus bersikap adil dan jangan tebang pilih. Tidak saja anggota dewan dan staf DPRD saja yang disidik dan dijadikan tersangka, beberapa elit di eksekutifpun sangat layak dijadikan tersangka, diantaranya adalah kepala Bappemas, kepala Biro Keuangan Pemprop Jatim, kepala Bappeprop. Ketiga lembaga birokrasi ini mendapatkan jatah dana dan ikut mendistribusikannya.
Akibat adanya penyimpangan dana P2SEM ini, masyarakat, terutama masyarakat miskin sangat dirugikan. Harapan masyarakat miskin untuk mendapatkan program pemberdayaan social-ekonomi untuk meringankan beban hidupnya, akhirnya sirna. Anggaran program dijadikan “bancaan” oknum dan elit-elit daerah yang tidak bertanggungjawab. Akhirnya kondisi dan nasib masyarakat miskin akan tetap miskin bahkan semakin miskin, karena ulah serakah dan koruptif para pejabat dan kroni-kroninya.
Saat ini pihak Kejati Jatim sedang terus menyidik kasus korupsi di proyek P2SEM yang diduga merugikan negara sekitar Rp 200 milyar lebih. Karena itu, pihak Kejati didorong untuk bersikap tegas dengan mengusut tuntas pihak-pihak terkait yang diduga terlibat dalam praktik penyimpangan proyek P2SEM ini. Selain menindak tegas pelaunya, yang tak kalah penting adalah menyelamatkan uang rakyat yang ada dalam proyek P2SEM ini. Pihak Kejati harus mengusut tuntas hilangnya uang ratusan milyar dalam proyek P2SEM ini. Jika dimungkinkan perlu adanya penyitaan asset pihak terkait yang sekarang sedang disilik, terutama para tersangka.

Ironi, Pesta Dangdutan DPRD Malang

Sumber Opini Radar Surabaya, 22 Agustus 2009


Oleh : Umar Sholahudin
Mahasiswa S-2 Sosiologi FISIP Unair, dan Koordinator Parliament Wacth Jatim

Ironis dan Memalukan..!. Mungkin dua kata tersebut yang paling pantas dialamatkan kepada oknum-oknum anggota DPRD Kabupaten Malang yang mengadakan pesta joget dangdutan di ruangan rapat paripurna 11 Agustus 2009 lalu. Ruangan sidang paripurna “terhormat” yang seharusnya digunakan untuk kegiatan rapat-rapat resmi kedewanan yang membahas persoalaan rakyat, justru digunakan untuk pesta dangdutan. Apalagi para penyanyinya terlihat memakai pakaian seronok.
Para anggoa dewan berapologi, bahwa acara dangdutan di ruang siding DPRD adalah dalam rangka peringatan Agustusan. Dan tidak hanya itu, diduga juga bersamaan dengan hari ulang tahun ketua DPRD Kabupaten Malang, Suhadi. Sehingga sah-sah saja mengadakan pesta dangdutan di DPRD.
Bahkan yang lebih memalukan lagi pada saat pesta dangdutan tersebut ada terjadi keributan antara salah satu oknum anggota DPRD dengan wartawan yang meliput acara. Dan oknum anggota DPRD tersebut diduga sedang mabuk. Luar biasa memalukan…!. Sudah dangdutan dengan mendatangkan para penyanyi seronok, ditambah lagi mabuk.
Atas kejadian tersebut, kecaman muncul dari berbagai pihak, salah satunya MUI Kabupaten Malang yang menyesalkan perilaku anggota dewan yang memalukan dan keterlaluan itu. Mereka sangat tidak pantas menjadi wakil rakyat, dan berharap partai induknya bisa memberikan sanksi yang tegas, yakni dikeluarkan dari DPRD.
Kejadian memalukan tersebut tidak saja menjatuhkan citra DPRD secara institusional, tapi juga para anggota dewannya. Perilaku oknum DPRD tersebut sama saja melecehkan dirinya sendiri dan institusinya. Secara politis, kejadian ini akan menjadikan masyarakat semakin muak dengan perilaku anggota dewan yang sering berulah dan berbuat masalah, baik yang bersifat eti, moral dan kriminal/pidana.

Image bermasalah
Kasus pesta dangdutan di ruang sidang paripurna DPRD Kabupaten Malang tersebut semakin menambah daftar panjang perilaku anggota dewan yang memalukan di depan rakyatnya. Selama ini kita sering dipertontonkan dengan berbagai perilaku memalukan yang dilakukan anggota dewan, baik yang terkait dengan masalah etis, moral, maupun criminal/pidana. Kasus Kunker bermasalah, mesum, dan kasus korupsi sering mewarnai perjalanan politik anggota dewan di gedung wakil rakyat tersebut.
Jika kondisinya demikian, apa yang bisa diharapkan dari wakil rakyat tersebut. Bagaimana akan siap bekerja untuk rakyat, jika dirinya sendiri sering bermasalah dan menjadi sumber masalah. Inilah yang menjadikan anggota dewan tidak mampu dan maksimal dalam bekerja. Mereka disibukkan dengan “keinginan dan kesenanganna sendiri”. Kata psikolog, anggota dewan seperti itu sudah terjangkiti “pengakit” autisme politik. Mereka enjoy menimati kesenangannya sendiri sebagai anggota dewan dengan gaji besar dan fasilitas mewah. Mereka tidak mau peduli dengan lingkungan sekitarnya, apalagi dengan rakyatnya.
Mengapa anggota dewan sering bermasalah dan membuat masalah. Salah satunya tak lepas dari lemahnya kontrol social-politik, baik internal partainya mauoun internal institusi DPRD-nya. Pertama, Selama ini kontrol dari induk partainya sangat lemah, partai sepertinya tidak mampu berbuat dan bertindak tegas atas kadernya yang sering bermasalah di dewan. Kontrol berjalan hanya pada kontribusi financial kepada partai, sedangkan yang lainnya nol. Kontrusi financial ke partai pun kadang tak terkontrol, karena tidak tahu asal muasal uang yang didapat kadernya sebagai anggota dewan.
Kedua, lemahnya kontrol internal DPRD yang perankan oleh Badan Kehormatan (BK) DPRD. BK DPRD selama ini tidak berfungsi sama sekali alias mandul. Lembaga internal dewan yang seharusnya mampu berperan dalam memonitoring dan mendisiplinkan perilaku setiap anggota dewan dan melakukan tindakan tegas atas pelanggaran etika kedewanan, namun sampai saat ini tidak ada tindakan apapun apalagi sanksi yang tegas. Bagi DPRD yang sudah ada BK-nya saja, perilaku anggota dewan sering tak terkontrol, apalagi bagi DPRD yang tak memiliki BK, dipastikan perilaku anggota dewannya semakin liar dan tak terkontrol.

Sikap tegas partai
Kasus DPRD Malang sudah jelas masuk pelanggaran etika-moral kedewanan. Dan karenanya perlu ada tindakan tegas dari BK DPRD dan partainya. DPRD harus berani menindak anggotanya dengan member sanksi peringatan keras, dan kalau bisa merekomendasikan kepada partainya untuk dipecat sebagai anggota dewan. Dan reklendasi ini tentu saja perlu disambut positif oleh induk partainya, sikap dan sanksi tegas dari partainya sangat ditunggu masyarakat, yakni penarikan kadernya dari DPRD. Jika ini tidak dilakukan dan terus dibiakan, maka tidak bisa dibayangkan bagaimana kondisi DPRD masih dihuni oleh oknum-oknum anggota dewan yang bermasalah.
Kedepan, perlu ada penguatan institusi BK sebagai lembaga control internal DPRD dan peran fraksi di DPRD juga perlu ditingkatkan dan diperketat untuk memantau kader-kadernya masing-masing. Hal ini dilakukan untuk menjaga kehormatan anggota dewan secara personal dan insitusional. Sehingga label lembaga yang terhormat, tidak berubah semakin parah, yakni semakin tidk terhormat. Semoga..!