Selasa, 13 September 2011

KORUPSI DAN DALIH SAKIT PEJABAT

Sumber : Opini Suara Pembaruan 20 Juli 2011

Departemen Dalam Negeri (Depdagri) pada tahun 2006 lalu pernah me-release ada sekitar ada sekitar 1.129 pejabat daerah korup. Pejabat daerah tersebut meliputi 7 gubernur, 60 bupati/walikota, 327 anggota DPRD propinsi dan 735 anggota DPRD kab/kota di seluruh Indonesia. Mereka diduga melakukan tindak pidana korupsi antara tahun 2004-2006.
Sementara khusus untuk kepala daerah, sampai pertengahan tahun 2011 mengalami peningkatan signifikan. Berdasar hitungan Depdagri, saat ini ada sekitar 156 kepala daerah yang dijadikan tersangka korupsi, mulai tingkat propinsi sampai kabupaten/kota. Mendagri mengaku, hampir setiap pekan ia menerima permintaan izin pemeriksaan terhadap kepala daerah sebagai tersangka dan surat penonaktifan sementara kepala daerah. Jika ditambah jumlah data anggota dewan, mulai pusat sampai daerah kabupaten/kota, maka ada ribuan pejabat yang menjadi tersangka korupsi. Apa jadinya negeri yang kaya sumber daya alam dipimpin oleh para tersangka korupsi atau koruptor?. Sehingga tak salah, jika beberapa lembaga nasional maupun internasional menobatkan Indonesia sebagai salah satu Negara terkorup di Asia bahkan dunia.
Semua pejabat tersebut saat ini sedang menghadapi proses pemeriksaan dan penyidikan bahkan penahan sementara terkait kasus tindak pidana korupsi di daerah. Dan saya kira data tersebut akan terus berkembang sering dengan kasus-kasus korupsi di daerah yang sampai saat ini belum tersentuh hukum. Bahkan tidak sedikit kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat daerah bebas di tingkat penyidikan. Jika aparat hukum kita lebih tegas, terutama kepolisian dan kejaksaan sebagai pintu pertama dalam proses pemeriksaan dan penyidikan, maka jumlah pejabat yang korup akan jauh lebih besar daripada yang di release Depdagri tersebut.
Data Depdagri tersebut memang tidak jauh berbeda dengan fakta yang ada di berbagai daerah di Indonesia. Berbagai media lokal dan nasional secara rutin mengekspose kasus-kasus korupsi yang melibatkan para pejabat di daerah, mulai dari gubernur sampai bupati/walikota dan anggota DPRD propinsi dan kabupaten/kota. Dan dari berbagai kasus korupsi yang menimpa para pejabat tersebut, sebagian besar atau sekitar 90% terkait kasus korupsi atau bancaan APBD.

Sakit atau pura-pura sakit
Di tengah gencarnya proses penyelidikan, pemeriksaan dan bahkan penyidikan kasus korupsi yang melibatkan para pejabat oleh aparat penegak hukum kita, ada satu fenomena dan bahkan “kebiasaan” yang menimpa para pejabat kita baik di pusat maupun di daerah, yakni para pejabat ketika akan diperiksa, di sidik, dan bahkan dieksekusi penahanan sementara, mendadak sakit. Sakitnya para pejabat ini bisa karena memang sakit beneran, bisa juga karena sakit bohongan untuk menghindari pemeriksaan, penyidikan dan penahanan. Para pejabat kita yang tersangkut kasus dugaan korupsi mengalami ketakutan yang luas biasa ketika akan di periksa pihak kepolisian, kejaksaan, apalagi KPK. Apalagi ketika akan di eksekusi penahanan sementara.
Namun saya cermati, sebagian besar para pejabat kita yang tersangkut kasus dugaan korupsi ketika akan diperiksa, disidik dan di tahan, kemudian mendadak sakit, lebih cenderung karena dalih saja untuk menghindari proses pemeriksaan dan yang paling takut mengindari penahanan. Bahkan mereka “ramai-ramai” menolak dengan alasan sakit. Selain itu, selain sakit, dalih lain untuk meghindari dari jeratan hukum; “tidak tahu”, “lupa/tidak ingat”, “tidak kenal”, “tidak faham”. Kata “tidak” kosa kata yang sering uncul dari persidangan kasus korupsi. Kata tersebut paling ampuh dan “aman” bagi seseorang saksi atau yang diduga terlibat kasus korupsi. Mereka menghindar dengan kata-kata serba “tidak”.
Beberapa kasus pejabat kita baik yang ada di pusat maupun daerah yang ketika akan disidik dan di eksekusi penahanan mendadak sakit dan bahkan berdalih sakit adalah mantan Kabulog Wijanarko dan saudara-saudara yang tersangkut kasus korupsi sapi fiktif dengan kerugian negara di taksir Rp 40 milyaran lebih, Bupati Kutai Kertanegara, Syaukani, Kepala Bakesbang Kota Surabaya, Suyitno Miskal terkait kasus Banpol, mantan Bupati Jember Syamsul Hadisiswoyo dan juga Sekdanya terkait kasus korupsi dana APBD, mantan Kepala Bawasko Surabaya Bambang Sugiarto terkait kasus dugaan korupsi pengadaan buku pariwisata senilai Rp 144 juta.
Ada lagi Camat Taman Sidoarjo, Teddy Ruspandi, Sigit Subekti dan Anik Susdiyatun (keduanya pejabat dilingkungan Pemprop Jatim). Ketiganya tersangkut kasus dugaan korupsi mega proyek Pasar Induk Agrobisnis senilai 15 Rp milyar. Kasus korupsi dana APBD 2002-2004 yang melibatkan Bupati Magetan, Soleh Mulyono dan kasus terbaru Nazarudin yang kemudian kabur ke Sinagpura. Semua pejabat daerah tersebut mendadak sakit ketika aparat penegak hukum dari kepolisian, kejaksaan dan KPK akan melakukan pemeriksaan, penyidikan dan penahanan sementara. Dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya yang serupa.

Pemeriksaan Independen
Dari sekian banyak pejabat kita yang tersangkut kasus korupsi sebagian besar yang menolak untuk diperiksa, disidik dan ditahan dengan berdalih atau berpura-pura sakit. Dan tidak sedikit ketika aparat penyidik memberi toleransi untuk berobat, dimanfaatkan para pejabat yang bersangkutan untuk kabur ke luar negeri dengan alasan untuk berobat. Akhirnya buronannya kabur tak bisa ditangkap kembali.
Karena itu, dalam konteks ini aparat penegak hukum kita harus selektif dan ketat dalam memberikan toleransi dan kompensasi berobat bagi para pejabat kita yang tersangkut kasus korupsi agar tidak kabur. Untuk menilai oknum pejabat tersebut memang benar sakit atau berdalih sakit untuk menghindari pemeriksaan, penyidikan dan penahanan, perlu adanya pemeriksaaan medis yang objektif. Dan untuk menjaga objektivitas pemeriksaaan, pejabat yang bersangkutan harus diperiksa oleh dokter-dokter independen atau setidaknya dokter yang tidak ada hubungan kedekatan dengan pejabat yang bersangkutan. Perlu ada medical report dari dokter yang berkompetens. Jika ini tidak dilakukan, pejabat mendadak sakit ketika akan disidik atau bahkan di tahan hanya dalih semata untuk menghindari pemeriksaan atau eksekusi penahan. Dan akhirnya kabur dan tak dapat ditangkap kembali.

KAMPUNG IDIOT DAN TRAGEDI KEMISKINAN

Sumber : Opini Jawa Pos, Senin 2 Agustus 2011

Dalam beberapa kesempatan, termasuk ketika rapat paripurna dengan DPRD, Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, sering mengklaim bahwa angka kemiskinan Jawa Timur mengalami penurunan; tahun 2008 sebesar 7.202.000 jiwa atau 18,51%, sedangkan tahun tahun 2009 sebesar 6,002 jiwa atau 16,68%, atau turun sebanyak 628.690 jiwa atau 1,83% dan tahun 2010 turun menjadi 15,26%. Namun sekali lagi, perhitungan angka statistikal ini kerapkali tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Apakah pembangunan di Jatim sudah dinikmati masyarakat miskin sehingga angka kemiskinan turun?
Jika kita ingin melihat fakta empiriknya, marilah kita berkunjung ke salah satu kecamatan di Kabupaten Ponorogo yang warganya mengalami kemiskinan akut, yakni Kecamatan Karang Balong, Desa Karangpatihan, dan Kecamatan Jabon, Desa Krebet, maka kita akan menyaksikan secara kasat mata potret kemiskinan warganya yang begitu akut. Dua kecamatan tersebut dikenal sebagai ”Kampung Idiot”.
Sebuah TV swasta nasional, pernah memberitakan dan menvisualisasi bagaimana kondisi kampung idiot di Ponorogo tersebut. Sebagian besar keluarga memiliki anak mengalami keterbelakangan mental akut atau idiot secara turun-temurun, tidak saja lemah secara fisik, tapi juga mental. Mereka sejak lahir mengkonsumsi makanan gaplek atau tiwul yang jauh dari nilai gizi. Bahkan ada bebrapa keluarga yang memiliki anak idiot sudah berusia 40 tahun. Mereka juga tak mendapatkan pelayanan dasar, yakni pendidikan dan kesehatan yang layak.
Selain orang dewasa yang banyak mengalami keterbelakangan mental akut, pun demikian dengan kondisi anak-anaknya. Kehidupan anak-anak tidak saja kurang gizi, tapi juga lebih dari itu sudah mengarah pada busung lapar atau penyakit perut buncit (marasmus kwashiorkor). Kondisi mereka diperparah dengan tiadanya ketersediaan air bersih dan yang paling parah lagi tiadanya perhatian pemerintah daerah, baik propinsi maupun kabupaten. Ini terlihat dari usia kampung idiot yang sudah terjadi puluhan tahun. Kasus kampung idiot ini bisa disebut sebagai tragedi kemiskinan dan kemanusiaan yang memilukan. Propinsi Jatim yang dikenal sebagai salah satu daerah lumbung padi nasional dan memiliki APBD Rp 10 triliun lebih, tapi kehidupan masyarakatnya serba kekurangan yang berakibat pada lahirnya status “kampung idiot”.

Kemiskinan Paripurna
Kemiskinan mereka sungguh sangat begitu lengkap dan paripurna; miskin secara ekonomi, sosial, politik, dan miskin segalanya. Kondisi kehidupan mereka bagaikan peribahasa; hidup segan mati tak mau. Mengapa kondisi ini sampai terjadi dan berlangsung bertahun-tahun?. Dimana peran pemerintah daerah (propinsi dan kabupaten) selama ini?. Dimana janji-janji politik bupati dan gubernur ketika mereka kampanye saat Pemilukada?, Janji pendidikan dan kesehatan gratis, dan slogan “ABPD untuk Rakyat” hanya omong kosong, tak ada realisasinya. Masyarakat miskin selama ini hanya menjadi alat dan komoditas politik para elit saat Pemilukada saja. Masyarakat miskin bagaikan tebu; habis manis, sepah dibuang. Mereka hanya dipakai saat Pemilukada, pasca Pemilukada mereka ditinggalkan dan bahkan dicampakkan begitu saja.
Gambaran tersebut menunjukkan bahwa pemerintah propinsi dan daerah gagal dalam memberikan pelayanan dasar kepada masyarakat. Pemerintah daerah abai dengan kondisi kemiskinan warganya. Ini mengingatkan saya pada seorang sejarawan terkenal asal Jepang, Francis Fukuyama dalam bukunya berjudul “Memperkuat Negara” (2004); salah satu ancaman terbesar bagi ummat manusia pada awal abad 21 adalah adanya gejala-gejala politik dimana negara sebagai institusi terpenting dalam masyarakat gagal dalam menjalankan perannya, yakni memberikan perlindungan dan jaminan kehidupan yang lebih baik. Gagalnya peran negara ini ditunjukkan dengan munculnya berbagai persoalan yang menyangkut kehidupan masyarakat baik sosial, ekonomi, politik dan keamanan. Di mana berbagai persoalan masyarakat tersebut tak dapat diselesaikan atau setidaknya diminimalisir.

APBD untuk Rakyat?
Munculnya kampung idiot tersebut –salah satunya- dapat dilepaskan dari kebijakan politik anggaran kita yang belum berpihak pada masyarakat. Dalam studi analisis politik anggaran disebutkan bahwa pada prinsipnya anggaran adalah uang rakyat yang pengalokasiannya harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Prinsip ini yang seharusnya muncul dalam setiap proses pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD). Namun apa yang terjadi, APBD ini justru di dalamnya lebih banyak mengakomodir kepentingan dan kebutuhan elit daerah.
Sudah menjadi “tradisi tahunan”, paradigma politik penganggaran Pemprop Jatim masih menempatkan pengeluaran rutin sebagai “panglima”, sementara belanja pembangunan untuk kepentingan maasyarakat Jatim sebagai “prajurit”. Dengan kata lain, anggaran daerah nantinya sebagian besar dibelanjakan untuk melayani kebutuhan birokrasi Pemprop, sementara sisanya untuk kebutuhan masyarakat melalui belanja pembangunan. Ini juga yang terjadi pada Perubahan APBD 2010 Jatim. Pada P-APBD 2010 disebutkan bahwa belanja daerah tahun 2010 ini yang semula dianggarakan sebesar Rp 7,826 (target murni) berubah menjadi Rp 10, 506 trilyun atau mengalami kenaikan sebesar Rp 2,584 trilyun. Rinciannya; sebesar Rp 6,334 trilyun atau sekitar 60% dialokaskan untuk belanja tidak langsung yang identik dengan belanja rutin, dan Rp 4,171 trilyun atau sekitar 40% dialokaskan untuk belanja langsung atau identik belanja publik.
Pendek kata, APBD 2010 Jatim bagaikan fatamorgana, masih belum berpihak pada kepentingan masyarakat. Dengan demikian, dimana relevansinya antara motto pembangunan Jatim “APBD untuk Rakyat” dengan performance dan realisasi APBD 2010 ini?. APBD untuk rakyat hanya omong kosong, tak ada realisasi. Dan “kampung Idiot” bisa menjadi wujud paling telanjang dari praktik politik anggaran kita yang manupulatif dan konspiratif.
Akhirnya, pada dasarnya APBD adalah uang rakyat yang di dalamnya menyangkut hajat hidup orang banyak, karena itu bagaimana anggaran tersebut bisa semaksimal mungkin dimanfaatkan untuk kepentingan dan kebutuhan rakyat, bukan untuk kesenangan dan hura-hura elit daerah. Jangan sampai lahir “kampung-kampung idiot” baru di Jatim ini.

MEROKOK MEMPERBURUK KEMISKINAN

Senin Opini Radar Surabaya, Senin 5 September 2011

Salah satu persoalan krusial yang dihadapi Indonesia saat ini adalah masalah kemiskinan. Berdasarkan data BPS 2010, saat ini angka kemiskinan Indonesia mencapai 32 juta jiwa atau sekitar 16%. Menurut Sekjen ASEAN, Surin Pitsuwan yang menjadi salah satu pembicara dalam sebuah seminar Asia Pasific Conference on Tobacco of Health (APACT) di Sydney, Australia yang berlangsung 6-9 Oktober 2010 lalu, mengatakan konsumsi tembakau, terutama rokok, memperburuk kemiskinan. Karena itu, kondisi ini harus menjadi kekhawatiran, terutama negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sebagai negara pengkonsumsi rokok ketiga terbesar di dunia setelah China dan India.
Indikasi besarnya konsumsi rokok pada kelompok masyarakat miskin juga ditegaskan oleh hasil penelitian Rijo M. John, Ph.D dari American Cancer Society AS, yang mengatakan, di India konsumsi tembako meningkatkan angka kemiskinan 1,6%di desa dan 0,8% di daerah perkotaan serta menambah sekitar 15 juta orang miskin di India. Penelitian lain yang terkait, dari lembaga Demografi UI, menurut Abdilah Hasan; uang untuk rokok sembilan kali pengeluaran pendidikan dan 15 kali pengeluaran kesehatan. Data dan faka ini semakin menguatkan, masyarakat miskin sebagai kelompok terbesar dalam konsumsi rokok. Dan konsumsi rokok di kalangan masyarakat miskin semakin memperburuk kemiskinan mereka.

Konsumsi Rokok Kaum Miskin
Secara kasat mata, jika kita melihat kehidupan masyarakat miskin, maka kita tidak terlalu sulit menemukan para kepala keluarga miskin (Gakin) mengkonsumsi rokok. Bahkan di kalangan masyarakat miskin, rokok dianggap sebagai “obat stress” dari himpitan kemiskinan. Kepala keluarga miskin lebih mengutamakan kebutuhan “hisap asap” daripada memberikan konsumsi gizi yang baik bagi anak-anaknya. Karena itu, tak heran jika keluarga miskin identik dengan gizi buruk. Bagaimana mau memperbaiki kesehatan anak dan Gakin, jika salah satu anggotanya masih menjadi perokok aktif.
Menurut Sekjen KOMNAS Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, dari angka kematian balita sebesar 162.000 per tahun sesuai data Unicief 2006, konsumsi rokok pada Gakin telah menyumbang 32.400 kematian setiap tahun atau hampir 90 kematian balita per hari. Hal ini ditegaskan dengan Survey tahun 1999-2003 yang menemukan, pada lebih dari 175.000 Gakin perkotaan di Indonesia yang di survey, tiga dari empat keluarga (73,8%) adalah perokok aktif.
Studi sejenis tahun 2002-2003 pada lebih dari 360.000 rumah tangga miskin perkotaan dan pedesaan membuktikan, kematian bayi dan balita lebih tinggi pada keluarga yang dengan orangtua merokok daripada tidak merokok. Kerugian yang diderita anak akibat merokok tidak hanya permasalaan malnutrisi. Ketika mereka meranjak remaja, kembali rokok menjadi suatu pokok persoalan yang mendera mereka kerena mereka menjadi target sasaran iklan rokok.
Perilaku merokok pada sebuah keluarga miskin mengakibatkan gizi buruk pada anak karena orang tua lebih mengutamakan membeli rokok dibandingkan dengan membeli beras, telor, ikan, dan makanan bergizi lainnya. Belanja rokok telah menggeser kebutuhan terhadap makanan bergizi yang esensial untuk tumbuh kembang anak balita.
Tingginya angka balita yang bergizi buruk tentunya akan berpotensi meningkatkan angka kematian balita. Dalam hal angka kematian bayi, Indonesia (31/1.000 kelahiran) hanya lebih baik dibandingkan dengan Kamboja (97/1.000) dan Laos (82/1.000). Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, kita masih tertinggal. Singapura dan Malaysia memiliki angka kematian bayi amat rendah, masing-masing 3 dan 7 per 1.000 kelahiran. Ini menunjukkan besarnya perhatian negara itu terhadap masalah gizi dan kesehatan yang dihadapi anak-anak.

Sinergi dengan Program Kesehatan
Melihat fakta di atas, sudah saatnya program penanggulangan kemiskinan harus disinergikan dengan pengurangan konsumsi rokok pada kelurga miskin. Program penyadaran kepada Maskinn untuk berhenti merokok harus terus digalakan dan dikampanyekan. Memang tidak memudah merubah kebiasaan merokok di kalangan masyarakat miskin. Apalagi bagi perokok dari Gakin yang menganggap rokok dianggap sebagai alat penghilang stress. Menghilangkan konsumsi rokok pada keluarga miskin tentu saja tidak sekedar melalui panyadaran dan kampanye yang massif.
Dalam kajian sosiologi hukum, merubah kebiasaan buruk masyarakat tidak sekedar dilakukan melalui pidato dan kampanye. Tapi harus diperkuat dengan adanya regulasi. Dalam konteks ini, merubah kebiasaan merokok dan mengurangi angka kemiskinan harus didukung dengan kebijakan yang memungkinkan Gakin bisa berhenti merokok. Salah satunya dengan tidak memberikan kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) atau Jamkesda.
Kebijakan tersebut sudah dilakukan DKI Jakarta, di mana Dinas Kesehatan DKI Jakarta telah memasukan satu syarat tambahan bagi Gakin penerima kartu Jamkesda. Kartu Jamkesda hanya diberikan kepada Gakin non perokok. Pemberian kartu Jamkesda bagi Gakin perokok hanya akan memperburuk kualitas kemiskinan mereka. Tambahan syarat ini cukup beralasan, karena semakin meningkatnya Gakin yang kepala rumah tangganya adalah perokok. Karena itu, kebijakan Dinas Kesehatan DKI Jakarta tersebut patut didukung dan perlu diadopsi oleh propinsi lain di Indonesia.

Tepat sasaran
Pemerintah Propinsi di Indonesia, saya pikir perlu mengadopsi kebijakan DKI Jakarta. Sehingga pemanfaatan kartu Jamkesda akan lebih tepat sasaran dan lebih produktif. Pemberian kartu Jamkesda yang diberikan kepada Gakin tanpa persyaratan non perokok akan kontraproduktif dengan upaya pemerintah dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas kesehatan dan kehidupan Gakin.
Peningkatan kualitas kesehatan, terutama perbaikan gizi buruk Gakin melalui pemanfaatan kartu Jamkesda harus didukung dengan kesadaran para orang tua untuk tidak menghancurkannya, yakni dengan mengkonsumsi rokok. Para orang tua Gakin perlu diberikan pemahaman yang baik bahwa konsumsi rokok yang tinggi akan berakibat buruk pada kesehatan anak dan keluarganya. Jamkesmas yang diberikan Gakin akan sia-sia belaka, jika masih ada para orang tua Gakin yang menjadi perokok aktif.

BURUKNYA POLITIK ANGGARAN DAERAH

Sumber : Opini KORAN JAKARTA, 9 Agustus 2011

BURUKNYA POLITIK ANGGARAN DAERAH

Sumber : Opini KORAN JAKARTA, 9 Agustus 2011

REMISI DAN KEADILAN MASYARAKAT

Sumber : Opini REPUBLIKA Rabu 7 September 2011

Di tengah gencar-gencarnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memburu dan memenjarakan para koruptor, pemerintah SBY-Budiono, melalui Kementrian Hukum dan HAM justru melakukan tindakan hukum yang berkebalikan, yakni dengan mudahnya memberikan remisi (keringan hukuman) dan grasi (pengampunan) kepada para koruptor kelas kakap. Ada kesan publik; para koruptor ditahan untuk dilepaskan.
Setelah mendapat remisi pada peringatan Proklamsi Kemerdekaan RI ke 66 lalu, kini para koruptor kembali mendapatkan remisi pada perayaan Hari Raya Idul Fitri 1432 H ini. pada Lebaran kali ini, Kementrian Hukum dan HAM member pengurangan masa tahanan kepada 44.652 narapidana. Sebanyak 235 diantaranya adaah koruptor. Pemberian remisi ini membuat delapan koruptor langsung dianyatakan bebas. Salah satunya adalah Indra Warman Siregar, mantan Asisten Menteri Sekretaris Negara yang dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi pengerukan Sungai Mahakam yang merugikan Negara sebesar Rp 21 milyar. Publik menilai perlakuan hukum ini sangat kontraproduktif dengan spirit pemberantasan korupsi.
Kita semua sepakat bahwa korupsi adalah tindakan kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime). Dan karenanya tidak cukup diselesaikan dengan menggunakan regulasi dan lembaga-lembaga yang biasa atau konvensional, melainkan harus diselesaikan dengan menggunakan tindakan hukum yang luar biasa (extra judicial action). KPK beserta senjata regulasinya yang dimiliki dimaksudkan untuk melakukan tindakan hukum yang luar biasa dengan harapan dapat menekan angka korupsi pada titik yang paling rendah.
Namun, kerja keras KPK selama ini, harus dibayar amat murah oleh Pemerintah dengan mengobral remisi dan grasi kepada koruptor. Dengan remisi dan grasi dan bahkan asimilasi, para koruptor yang telah mengkorupsi uang negara ratusan milyar rupiah bisa menghirup udara bebas. Dengan remisi, para koruptor mendapatkan waktu pembebasan lebih cepat.
Para koruptor kelas kakap sangat begitu mudahnya mendapatkan remisi, grasi atau asimilasi. Namun bagi para narapidana dari kelas sosial bawah, yang kebanyakan adalah mereka dari kelompok miskin, akan sangat kesulitan untuk mendapatkannya. Narapidana miskin harus melalui prosedur yang jlimet, panjang, lama, dan yang pasti harus menyediakan uang “pembebasan” bersyarat yang jumlahnya tidak sedikit. Inilah sebuah paradoks perlakuan hukum yang paling telanjang di negeri yang namanya ; Indonesia.
Selama ini alasan pemerintah dalam pemberian grasi dan remisi kepada para koruptor didasarkan pada UU No. 12/1995 tentang remisi dan UU No. 22/2000 tentang Remisi dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2006 tentang perubahan atas PP No. 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Selain alasan yuridis, Pemerintah juga berlindung bahwa pemberian grasi kepada koruptor, karena alasan kemanusiaan. Namun alasan ini sangat absurd, karena para koruptor juga melakukan tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Apakah korupsi itu bukan tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan?
Praktik korupsi di negeri ini sudah taraf yang sangat memprihatinkan, bahkan para penggiat anti korupsi menilai; negeri ini sedang darurat korupsi. Sebuah kondisi yang sudah sangat mendesak untuk dilakukan tindakan-tindakan hukum yang luar biasa. Praktik korupsi sudah berjalan begitu sistemik dan massif. Meskinpun ratusan regulasi dan puluan lembaga terkait pemberantasan korupsi dibentuk, praktik korupsi di negeri ini tidak menunjukkan tanda-tanda surut.
Di negeri ini sepertinya tidak ada institusi yang stiriil dari korupsi. Hampir semua lembaga negara baik itu di pusat dan di daerah berwajah korup. Praktik haram tersebut sudah menjalar ke berbagai lembaga negara; mulai eksekutif, legislatif, yudikatif, imigrasi, pajak, bea cukai, dan sebagainya. Dan bahkan saat ini praktik korupsi ini sudah merembet ke tiga institusi penting penegak hukum kita, yakni lembaga kepolisian, kejaksaan, dan peradilan. Institusi yang diharapkan menjadi penegak hukum dan pemberantas korupsi, justru tak stiril dari tindak kejahatan korupsi, dan bahkan menjadi bagian dari pelaku korupsi. Jika kondisinya demikian, bagaimana mau memberantas korupsi, jika para penegak hukumnya tersangkut kasus korupsi?.
Akibat korupsi yang dilakukan para pejabat negeri ini –yang berkolaborasi dengan para pengusaha, puluhan juta masyarakat kita hidup dalam kemiskinan, jutaan anak balita terkena gizi buruk, jutaan anak putus sekolah, puluhan juta masyarakat miskin tidak mendapatkan akses kesehatan yang murah dan layak, dan berbagai potret buram lainnya. Semua itu akibat anggaran pembangunan ang dikorupsi oleh para pemangku jabatan dan kekuasaan di negeri ini. Pendek kata, korupsi adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan, karena itu sangat tidak layak para koruptor kelas kakap mendapatkan remisi, asimilasi apalagi grasi. Perlakuan hukum tersebut juga sangat menciderai rasa keadilan masyarakat.
Meskinpun secara yuridis sah, namun tindakan pemerintah yang memberikan remisi dan grasi tersebut sangat menciderai semangat kolektif bangsa ini dalam memberantas korupsi. Pemerintah sangat tidak menghargai kerja keras KPK dalam memburu, menyidik, menuntut, dan kemudian menjebloskan para koruptor tersebut ke penjara. Komitmen pemerintah SBY-Budiono dalam pemberantasan korupsi patut dipertanyakan. Pidato berbusa-busa SBY di setiap kesempatan, akhirnya hanya “lips service” belaka. Karena faktanya nihil.

Langkah hukum Progresif
Pakar hukum Pidana Universitas Hasanuddin, Ahmad Ali (2002:48) mengatakan bahwa secara universal, jika kita ingin keluar dari situasi keterpurukan hukum, maka jawabannya adalah membebaskan diri dari belenggu positivism. Mengapa demikian, karena dengan hanya mengandalkan teori dan pemahaman hukum secara legalistik-positivistik yang hanya berbasis pada peraturan tertulis (rule bound) belaka, maka kita tidak akan pernah mampu untuk menangkap kebenaran dan keadilan.
Dalam pemikiran Pakar sosiologi hukum Undip, Satjipto Raharjo (2008:147), dalam suasana terimpit oleh karut-marut kehidupan berhukum kita (praktik-praktik korup) yang menggerogoti bangsa, mengapa kita tidak berani mencari jalan lain?. Di sinilah kita memilih pengadilan progresif dengan hakim-hakim partisan. Hakim seperti itu tidak datang dengan semangat kosong, tetapi penuh determinasi, komitmen, dan dare (keberanian) untuk mengalahkan korupsi. Jika hakim-hakim liberal “tidak berhasil” memberantas korupsi, kini saatnya memilih “hakim partisan dan progresif”. Inilah pilihan Indonesia bangun dari keterpurukan hukum.
Di tengah keterpurukan praktik berhukum di negara Indonesia yang mewujud dalam berbagai realitas ketidakadilan hukum, terutama yang menimpa kelompok masyarakat lemah atau miskin, sudah saatnya kita tidak sekedar memahami dan menerapkan hukum secara legalistic-positivistic ; yang berbasis pada peraturan hukum tertulis semata (rule bound), tapi dengan melakukan terobososan hukum, yang dalam istilah Satjipto Raharjo, disebut sebagai penerapan hukum progresif. Dan salah satu aksi progresivitas hukum, adalah berusaha keluar dari belenggu atau penjara hukum yang bersifat positivistik dan legalistik. Dengan pendekatan yuridis sosiologis, diharapkan –selain akan memulihkan hukum dari keterpurukannya, juga yang lebih riil, pendekatan yuridis sosiologis diyakini mampu menghadirkan wajah keadilan hukum dan masyarakat yang lebih substantif. Pemberian remisi dan grasi dalam konteks hukum progresif sungguh sangat menciderai rasa keadilan masyarakat dan agenda pembertantasan korupsi.

MENYOAL PROFESIONALISME POLISI

Sumber : Opini Jawa Pos Kamis 14 September 2011

Apa jadinya jika penegakkan hukum berhadapan dengan orang-orang yang memiliki akses politik kekuasaan di negeri ini?, maka mudah di jawab, penegakkan hukum akan lumpuh ketika berhadapan dengan elit-elit kekuasaan. Para penagak hukum, terutama polisi sangat begitu gamang dalam menegakkan hukum tanpa diskriminasi terhadap para elit-elit politik negeri ini yang tersangkut kasus hukum.
Ini juga yang terjadi pada polisi ketika menangani kasus hukum yang menimpa elit-elit partai penguasa, yakni Andi Nurpati dalam kasus pidana pemalasuan surat Mahkamah Konsitusi. Setelah melalui penyidikan dan konfrontasi dengan berbagai saksi-saksi, termasuk Andi Nurpati, pihak kepolisian sampai saat ini baru menetapkan dua tersangka, yakni mantan juru panggil MK, Masyhuri Hasan dan Mantan Panitera MK, Zainal Arifiin Husein. Penetapan ini pun tak stiril dari tanda tanya publik. Mengapa polisi lebih keras menetapkan tersangka pada para operator alias kelas teri seperti Masyhuri Hasan, sementara atas penetapan Zainal juga menimbulkan tanda tanya publik, mengapa Zainal yang menjadi korban pemalsuan tanda tangan dijadikan tersangka, dan mengapa aktor intelektualisnya yang selama ini sudah disebut-sebut, baik dalam pemeriksaan dikepolisianmaupun di Panja Mafia Pemilu DPR, yakni Andi Nurpati masih belum juga ditetapkan sebagai tersangka. Padahal, data dan bukti-bukti materiil sudah lebih dari cukup untuk menetapkan Andi Nurpati dijadikan sebagai tersangka.
Dengan dan dan bukti-bukti meteriil yang cukup lengkap, seharusnya pihak kepolisian sudah dapat menetapkan seseorang menjadi tersangka, termasuk kepada diri Andi Nurpati. Tapi mengapa ini tidak terjadi?. Kasus hukum pemalsuan surat MK menunjukkan secara telanjang, bagaimana penegakkan hukum mengalami kelumpuhan alias tak berdaya ketika berhadapan dengan orang-orang kuat atau yang memiliki akses dan kekuatan politik-kekuasaan.
Dugaan publik sangat masuk akal, jika lumpuhnya penegakkan hukum atas Andi Nurpati yang juga petinggi Demokrat ini dikaitkan dengan adanya faktor politik-kekuasaan. Independensi dan profesionalitas polisi menjadi lumpuh-layu ketika berhadapan dengan tembok kekuasaan. Ada dugaan tekanan politik, yang menjadikan polisi tidak bisa bersikap independen dan professional.

Kasus Wisnu; Bintek DPRD Surabaya
Penanganan kasus hukum Andi Nurpati sangat mirip dengan yang terjadi pada kasus hukum dugaan korupsi Bimbingan Teknis (Bintek) DPRD Kota Surabaya, yang juga diduga melibatkan Ketua DPRD Wisnu Wardhana (WW) yang juga petinggi demokrat Surabaya. Kasus dugaan penyimpangan dana Bintek tersebut mencapai Rp 3,7 milyar.
Beberapa dugaan penyimpangan dana Bintek DPRD diantaranya adalah; Pertama, proses penunjukkan langsung kepada penyelenggaran Bintek yang lebih banyak dilakukan oleh seorang diri WW. Bahkan sarat KKN. Kedua, penyelenggarn Bintek yang hanya formalitas belaka, hanya sekedar menghabiskan anggaran APBD. Ketiga, masalah waktu dan jadwal pelaksanaan Bintek yang sarat manipulasi, baik terkait dengan waktu, jadwal, materi, anggaran, peserta, dsb. Keempat, banyak peserta Binteks (baca: aleg) yang menerima dana Binteks dan tanda tangan kehadiran, namun orangnya tidak ada di lokasi alias “peserta fiktif”. Tanda tangan dan menerima uang, tapi orangnya tidak kelihatan sama sekali di acara Bintek. Dan berbagai bentuk penyimpangan lainnya yang sangat merugikan keuangan daerah.

Ada Apa dengan Polisi
Saat ini kasus dugaan korupsi Bintek sudah ditangani pihak Polrestabes Surabaya. Salah satu anggota dewan yang sudah diperiksa polisi, Musyafa Rouf, mengatakan bahwa dirinya sudah memberi keterangan sejelas-jelasnya dan memberikam bukti-bukti materiil/hukum yang cukup lengkap kepada pihak penyidik. Bahkan menurutnya, pihak penyidik sudah memiliki bukti materiil yang jauh lebih lengkap dari dirinya.
Dengan data dan bukti-bukti materiil yang cukup lengkap yang dimiliki polisi, tinggal pihak kepolisian serius atau tidak menuntaskan kasus ini menjadi terang benderang. Salah satunya dengan segera menetapkan tersangkanya. Namun, yang membuat publik bertanya; sudah puluhan saksi diperiksa, tapi belum ada satupun oknum anggota dewan atau dari pihak Sekwan, eksekutif, maupun penyelenggaran Bintek yang dijadikan tersangka. Ada apa dengan polisi?
Secara yuridis-normatif, seseorang bisa dijadikan sebagai tersangka tindak pidana jika pihak penyidik sudah memiliki sedikitnya dua alat bukti. dan terkait dengan kasus Bintek ini, polisi sebenarnya sudah memiliki lebih dari dua alat bukti, selain saksi juga bukti materiil yang cukup banyak dimiliki pihak penyidiki. Namun yang membuat publik heran, mengapa pihak penyidik sampai saat ini belum menetapkan seorang tersangka. Apakah kebetulan Ketua DPRD-nya –yang berpotensi menjadi tersangka- berasal dari the ruling partai saat ini atau memiliki beking politik dan hukum dari pihak-pihak tertentu yang memiliki kekuatan politik dan akses ke pusat kekuasaan, sehingga pihak penyidik tidak berani atau takut untuk mengusut dan menetapkannya sebagai tersangka?
Perlakuan hukum polisi ini sangat berbeda, ketika polisi menangani kasus pidana yang melibatkan orang-orang kecil, marginal atau miskin. Lihat saja kasus pencurian sarung bekas seharga Rp 3000 yang dilakukan seorang pembantu rumah tanggah, bu Amirah (40), di Dusun Sokon Desa Temberu, Kecamatan Barumarmar, Kabupaten Pamekasan, Pulau Madura. Pihak kepolisian begitu cepat dank keras mengusut dan menindak kasus pencurian ringan tersebut. Bahkan pelakunya sampai langsung dijebloskan ke penjara. Padahal Bu Amirah, terpaksa mencuri sarung karena terdesak kebutuhan untuk membiayai anaknya yang masih sekolah SD. Di mana rasa keadilan hukum bagi masyarakat; hukum seperti pisau; tumpul ke atas,tajam ke bawah.
Kasus hukum Andi Nurpati dan WW, akan menjadi ujian hukum dan pertaruhan serius bagi pihak kepolisian, apakah akan bertindak adil, independen, dan profesional atau terjebak atau bahkan menjebakan diri dalam kubangan politik-hukum kepentingan. Kita berharap pihak kepolisian bisa bersikap dan bertindak independen dan professional dalam menanani kedua kasus tersebut. Kita tunggu saja, apakah kasus ini akan berakhir di meja hijau atau “86” alias damai di tengah proses hukum?