Sabtu, 30 Agustus 2008

Parameter Calon Pemenang Pilgub

Sumber : Opini Metropolis Jawa Pos, 16 Juni 2008



Pemilihan gubernur (Pilgub) Jatim akan segera digear 23 juli 2008. ini adalah momentum bersejarah bagi proeses demokrasi di Jatim. karena ini adalah kali pertama Pilgub dilaksanakan secara langsung. Dalam hal ini warga Jatim memiliki hak politik yang lebih otonom dalam menentukan pilihan politiknya yang sesuai dengan hatinya nuraninya.
Saat ini, setidaknya sudah ada lima pasangan yang dipastikan akan running dalam Pilgub mendatang. Pasangan Soenaryo-Ali Maschan Musa yang dicalonkan Partai Golkar, Achmady-Soehartono dicalonkan PKB, Soekarwo-Saefullah Yusuf dicalonkan koalisi PAN, Demokrat dan PKS, dan Khofifah Indar Parawansah-Moejiono yang dicalonkan koalisi PPP dan parpol-parpol non parlemen.
Untuk melihat peluang parpol dan pasangan cagub-cawagub dalam Pilgub mendatang, setidaknya ada enam parameter yang mungkin bisa dipakai untuk membaca dan menganalisisnya. Paramater itu di antaranya adalah mesin politik, figur atau popularitas, resistensi, basis dukungan, citra, dan dukungan dana.
Pertama, mesin politik. Parpol sebagai mesin politik setidaknya memiliki peranan politik cukup signifikan dalam mendulang suara. Dengan catatan kondisi mesin politik itu dalam kondisi baik dan sehat. Jika mesin politik parpol dalam kondisi fit dan prima (baca: tidak ada konflik internal) maka akan dapat berjalan efektif. Dan efektifitas mesin politik ini akan berpengaruh pada pendulangan suara.
Kedua, Figur calon/popularitas. Meskinpun memiliki mesin politik yang kuat dan jaringan struktural yang luas, tidak menjamin akan memenangkan dalam pertarungan politik di Pilkada. faktor lain yang tak kalah penting adalah figur-personal yang dicalonkan Parpol. Apakah orang yang dicalonkan itu layak jual (marketable) atau tidak?. Salah satunya adalah calon atau figur itu banyak dikenal masyarakat; tokoh masyarakat, figur itu kharismatik. Bagaimanapun juga, Pilkada langsung adalah memilih orang bukan memiliki Parpol. Masyarakat akan lebih banyak melihat figur calon, daripada latar belakang Parpol yang mencalonkannya. Figuritas calon merupakan faktor yang paling mudah dilihat dan dinilai secara langsung oleh masyarakat. Dan yang jelas track record dari calon juga ikut berpengaruh.
Ketiga, Resistensi. Parameter lain yang bisa dipakai untuk membaca peluang calon adalah tingkat resistensi, terutama resistensi si calon terhadap masyarakat. Jika tingkat resistensinya tinggi atau positif maka peluangnya sangat kecil. Logikanya, bagaimana mau menjaring suara kepada masyarakat, jika dirinya ditolak masyarakat. Akan tetapi sebaliknya, jika tingkat resistensinya rendah, maka peluang untuk meraup suara akan cukup tinggi. Artinya si calon itu diterima baik oleh masyarakat.
Keempat, Basis dukungan. Dalam hal ini adalah basis dukungan yang sifatnya “tetap” dan “loyal”. Perlu di catat bahwa dalam pemilihan langsung yang paling diandalkan adalah suara atau basis dukungan masyarakat. Kemenangan politik Pilkada akhirnya ditentukan oleh banyaknya dukungan suara masyarakat.
Karena itu, strategi politik yang harus dilakukan Parpol adalah bagaimana memberdayakan segala sumber daya (sosial, politik, ekonomi dll) yang ada untuk satu tujuan yakni meraih suara sebanyak-banyaknya.
Kelima, dana. Dana atau uang dalam proses politik pemilihan langsung juga memiliki peranan yang cukup signifikan. Uang bagaikan roda kendaran. kendaran tidak akan jalan tanpa adanya uang. dalam sebuah mesin (politik), uang ibaratnya oli yang siap melancarkan bergeraknya mesin. Tapi uang bukanlah segalanya dalam memenangkan Pilkada. Jika dananya cukup besar, setidaknya bisa digunakan untuk menjalankan mesin politiknya.
Setidaknya dengan dukung dana cukup besar bisa dijadikan semacam “oli politik” untuk menggerakkan mesin politik mulai dari pusat sampai ke tingkat desa bahkan RT/RW. Dengan dana yang cukup besar ini, diharapkan pasangan calon akan mudah untuk melakukan konsolidasi dan mobilisasi massa dengan cukup efektif dan produktif.
Keenam, Citra calon. Jika citra calon positif atau baik di mata masyarakat, maka ini akan mendukung perolehan suara. Tetapi jika citra calon itu negatif maka akan sangat sulit menang di Pilkada.
Selama ini masing-masing parpol menyatakan dan mengklaim bahwa dirinya optimis bakal meraup dukungan suara cukup signifikan dan memenangkan Pilkada nanti. Dalam politik hitungan matematis tidak selalu benar. Masing-masing Parpol (atau pasangan calon) memiliki kelebihan dan kekurangan dan karenannya juga memiliki peluang yang relatif sama. Perolehan suara pemilu legeslatif sering kali diklaim parpol sebagai modal politik yang pasti, padahal perolehan suara pemilu legeslatif tidak simetris dengan Pilkada, apalagi dilakukan secara langsung. Di Pilkada pemilih cenderung lebih melihat faktor figur personal. Suara partai tidak identik dengan suara calon kepala daerahnya.

Popularitas calon lebih menentukan
Tesis politik yang sebelumnya di kampanyekan parpol-parpol besar seperti Golkar, PDI-P dan PKB yang mengatakan bahwa dengan mesin politik yang besar dan pengalaman politik lumayan mapan akan optimis memenangkan Pilkada langsung.
Kebesaran parpol tidak sebanding dengan perolehen suara pasangan calonnya. Dan realitas politik menunjukkan, beberapa Pilkada di daerah tidak sedikit yang dimenangkan oleh partai-partai kecil atau menengah. Sebut saja di Jabar dan Sumut. Dengan kata lain, aspek figur dan popularitas calon lebih menentukan di banding kebesaran parpol.
Lalu apa yang bisa kita baca dari fenomena dan realitas politik semacam ini. Hal ini menunjukan bahwa pertama, mesin politik parpol tidak menjamin bisa memenangkan pemilihan secara langsung. Karena, di pemilihan langsung, masyarkaat akan lebih melihat dan menilai figur-personal dan citra seseorang yang dicalonkan parpol, daripada latar belakang parpolnya.
Kedua, ini menunjukkan bahwa aspek figuritas dan popularitas calon lebih menentukkan daripada mesin politik. Masyarakat pemilih tidak terlalu mempertanyakan dari mana pasangan capres-cawapres itu berasal. Masyarakat pemilih kita masih melihat figur dan sosok seorang calon.
Ketiga, pelajaran politik yang terpenting dalam Pilkada ini adalah, hak dan pilihan politik masyarakat kita semakin otonom. Mereka tidak mau dan tidak bisa dipaksa-paksa dan dipengaruhi oleh para pengurus dan elit parpol untuk memilih sesuai dengan kehendak parpol dan elitnya. Masyarakat pemilih kita sudah mulai cerdas untuk memilih pemimpinnya sesuai dengan kehendaknya sendiri.

Kampanye, Uang, dan Kekuasaan

Sumber : Opini Radar Surabaya, 4 Agustus 2008


Kampanye, uang, dan kekuasaan. Ketiga komponen politik pentin yang mewarnai Pemilihan Gubernur (Pilgub) 23 Juli lalu. Pada massa kampanye lalu, hampir semua pasangan cagub-cawagub ramai-ramai mengobral uang untuk menarik suuara pemilih. Sebut saja misalnya pasangan Khofifah-Mujiono yang diusung PPP dan 11 parpol non parlemen pasca Pilgub mengaku telah menghabiskan dana kampanye sebesar Rp 7 milyar sedangkan pasangan Soenaryo-Ali Maschan Musa (Salam) mengaku menghabiskan Rp 8,6 milyar.
Selain dua pasangan tersebut, pasangan Soekarwo-Saefulloh Yusuf (Karsa), sebelum Pilgub di gelar mengaku telah menghabiskan sekitar 5 milyar. Dua pasangan lainnya, yakni Sutjipto-Ridwan Hisyam (SR) dan Achmady-Suhartono (Acshan), juga diprediksi telah menghabiskan dana untuk kemenanan Pilgub bisa mencapai puluan milyar. Yang jelas, uang yang beredar dalam Pilgub 2008 ini mencapai angka puluan triliun. Sebuah angkan yang sangat fantastis.
Berdasarkan hitung cepat (quick account) yang dilakukan beberapa lembaga survey nasional dan lokal menunjukkan pasangan Karsa yang diusung PD,PAN, dan PKS dan pasangan Ka-Ji yang diusung PPP dan 11 partai nonparlemen untuk sementara mempeorleh suara terbanyak.
Sebut saja saja misalnya, hasil hitung cepat yang dilakukan Lembaga Survey Indonesia (LSI) Jakarta, pasangan Karsa memperoleh 26,58 persen, disusul peringkat dua Pasangan Ka-Ji dengan 24,83 persen suara. Sedangkan di urutan ketiga sampai kelima ditempati pasangan SR yang diusung PDI-P dengan 21,27 persen, Salam yang diusung Golkar dengan 18,17 persen dan Acshan) yang diusung PKB dengan 7,75 persen. Dengan komposisi suara seperti ini, kemungkinan besar Pilgub jatim akan dilanjutan ke putaran dua, karena tak ada satu pasangan calon yang memperoleh 30 persen lebih.
Pada kampanye putaran pertama, pasangan cagub-cawagub ramai-ramai obrol uang untuk meraih dukungan suara emilih. Pada babak final (baca: pilgub putaran dua) nanti, dipastikan, dua pasangan peroleh suara terbanyak yang masuk putaran dua akan all out untuk memenangkan pertarurangan politik di Pilgub ini. Karena perolehan suara kedua pasangan tersebut tidak terlampau jauh. Kedua pasangan akan bersaing cangat ketat untuk meraih dukungan suara terbanyak. Dan dengan kondisi seperti itu, dua pasangan cagub-cawagub terebut dipastikan akan berjuang habis-habisan, termasuk dalam mengobral untuk kampanye putaran kedua nanti.
Uang tersebut digunakan untuk kampanye dalam bentuk iklan di berbagai media massa dan elektronika mulai pusat sampai daerah. Iklan media ini yang diperkirakan mencapai ratusan milyar rupiah. Apalagi disiarkan pada prime time. Selain kampanye lewat media, para cagub dan cawagub juga berkampanye lewat baliho, reklame, brosur yang bentuk sangat besar dan tentunya dipastikan anggaran yang dikelarkan juga sangat besar. Bahkan ada tim sukses pasangan cagub-cawagub yang mengaku pada awal kampanye telah menghabiskan uang sebesar Rp 15 milyar. Dengan masa kampanye dua minggu dipastikan uang yang beredar dalam Pilgub ini bisa mencapai angka triliunan.
Selain kampanye dalam bentuk iklan di media, reklame, baliho dan sebagainya. Para cagub-cawagub juga mengobral uang dan barang pada saat menemui masyarakat. Ada yang memberikan satu paket sembako, uang ampop, paket alat dapur. Bahkan ada bentuk kampanye dalam bentuk jalan sehat dengan diiming-imingi berbagai hadiah yang menarik, mulai sepeda motor, TV, radio, kulkas sampai sepeda mini, dan sebagainya. Dan anggaran untuk kebutuhan ini, tidaklah sedikit. Bisa mencapai puluhan milyaran rupiah.
Semua itu dikorbankan untuk satu tujuan yakni meraih kekuasaan. Ramai-ramainya para cagub-cawagub mengobral uang dalam kampanye Pilgub ini, bukannya menimbulkan respon positif dari masyarakat. Justru menimbulkan penilaian negatif bahawa hajatan politik tersebut identik dengan uang. Dengan kata lain, para cagub-cawagub sudah dengan nyata dan jelas melakukan praktik money politic.

Politik Uang
Para cagub-cawagub sangat begitu vulgar mengumbar dan mengobral uang dalam masa kampanye kemarin. Bagi-bagi uang menjadi kegiatan rutin para cagub-cawagub dan tim suksesnya dalam mencari dukungan pemilih. Padahal praktik ini jelas telah melanggar aturan hukum yang ada. Uang menjadi bagian terpenting dan faktor dominan dalam meraih kekuasaan.
Dalam aturan UU Pemilu No. 12/2003 sudah sangat jelas larangan politik uang. Ini dipertegas lagi dalam PP PP No. 6 Tahun 2005 pasal 64 tentang penyelenggaraan Pilkada; (1) “Pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memperngaruhi pemilih. (2) Pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD.
Sehingga dengan melihat kampanye cagub-cawagub saat ini, hampir semua pasangan cagub-cawagub telah melanggar ketentuan UU tersebut. Namun sangat disesalkan, selama ini pihak KPU dan Panwaslu sama sekali tidak bertindak bahkan cenderung membiarkan. Kalaupun ada tindakan, itu baru sebatas peringatan, tapi tindaklanjutnya sama sekali nihil.
Praktik politik uang ini sungguh sangat ironis. Di atas panggung para cagub-cawagub begitu keras dan lantang meneriakan kampanye anti KKN. Namun pada saat yang sama justru semua itu dilakukan. Sehingga nampak inkonsistensi antara ucapan dan tindakan. Jargon-jargon anti KKN, demi rakyat, dan jargon manis lainnya akhirnya hanyalah omong kosong belaka. Ia hanyalah jargon untuk menarik simpati masyarakat yang isinya kosong.
Kampanye yang diwarnai dengan politik uang yang begitu vulgar dan tanpa dosa ini bukannya akan memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat, tapi justru yang terjadi adalah praktik pembodohan politik yang begitu masif. Cagub-cawagub dan Parpol yang mengandalkan uang dalam meraih kursi kekuasaanya, sudah dipastikan akan menjadi rezim korup jika mereka nantinya berkuasa atau memegang kekuasaan. Bahkan perilaku korupnya dipastikan akan lebih korup di bandingkan dengan saat kampanye.

Yang Muda, Yang Memimpin

Sumber Opini Radar Surabaya, 19 Agustus 2008

Sudah satu dekade pemerintahan reformasi ini berjalan. Selama itu pula kita sudah melakukan pergantian kepemimpinan nasional sebanyak empat kali (Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono). Selama itu pula kita belum dapat menghadirkan perubahan dan perbaikan yang berarti, justru kondisi bangsa semakin terpuruk dan bahkan berada pada tepian jurang yang sangat menjermuskan.
Berbagai persoalan bangsa terjadi silih berganti, tak kenal waktu dan tempat diantaranya adalah pertama, masalah nasionalisme dan kemandirian ekonomi bangsa. Para elit dan pemimpin bangsa ini sudah tak malu lagi menjual harga diri dan asset bangsa lain dengan harga murah. Mantan Ketua MPR Amien Rais, menyebut ada sekitar asset bangsa ang berupa 41 BUMN cukup sehat yang telah dan akan dijual ke pihak asing. Beberapa diantaranya adalah Krakatau Stiil, Indosat, telkomsel dan sebagainya. Menggadaikan asset BUMN sama saja dengan menggadaikan bangsa ini. Praktik ini tidak saja akan menghansurkan martabat bangsa juga akan menghancurkan rakyat indonesia.
Kedua, masalah korupsi yang sudah menggurita sedemikian rupa. Sebuah harian nasional beberapa hari lalu merelease, praktik korupsi sudah terjadi dari Sabang sampai Merauke. Begitu juga dengan aktor pelakunya sudah meluasnya dan merata di jajaran pejabat negara ini, baik secara vertikal maupun horizontal. Bahkan sampai masuk institusi-institusi penegak hukum kita. Dengan kata lain, korupsi saat ini sudah tak kenal tempat dan orang. Akibat korupsi ini, negara dan rakyat ini dirugikan ratusan triliun rupiah.
Adapun dampak berantai dari korupsi di antaranya; pertama, rendahnya kualitas pelayanan publik; Kedua, timbulnya ekoniomi biaya tingggi; Ketiga, berkurangnya penerimaan negara; Keempat, runtuhnya lembaga dan nilai-nilai demokrasi; Kelima, membahayakan kelangsungan pembangunan dan supremasi hukum; Keenam, meningkatnya kemiskinan dan kesengsaraan rakyat; Ketujuh, bertambahnya masalah sosial dan kriminal; Kedelapan, Adanya mata rantai antara korupsi dengan bentuk-bentuk lain dari kejahatan, khususnya kejahatan terorganisir dan kejahatan ekonomi. Pendek kata, penyakit korupsi di Indonesia ini dalam kondisi sekarat. Bangsa ini sulit bangkit dan maju karena korupsi yang begitu parah.
Ketiga, masalah kemiskinan. Berdasarkan data BPS 2007, angka kemiskinan nasional kita sudah mencapai 19 persen. Bahkan Wiranto mengutip hitungan Bank Dunia, menyebut angka kemiskinan nasional sudah mencapai angka 40 persen. Ini menyusul kebijakan pemerintah yang tiga kali menaikkan harga BBM. Angka kemiskinan ini berdampingan dengan angka penganghuran yang mencapai 10 persen. Negeri ini kaya, tapi rakyatnya kere.
Keempat, pelayanan Pendidikan yang dinilai masih memprihantikan. Ini yang kemudian menimbulkan biaya pendidikan sangat mahal yang tak mudah diakses rakyat miskin. Selain itu juga, akibat pelayanan kesehatan yang mengecewakan, setiap tahun masyarakat sering kena musibah kesehatan yang akut. Kelima, masalah integrasi bangsa. Masih ini juga menghantui republik ini. Sebagian daerah sudah ada muncul benih-benih sparatisme. Dan munculnya ini tak lepas ketidakadilan sosial, ekonomi dan politik dari pemerintah pusat. Dan masih banyak lagi persoalan nasional lainnya.
Dari berbagai macam persolaan yang muncul tersebut, hemat saya, salah satu akar persoalan bangsa selama ini adalah masalah krisis dan lemahnya kepemimpinan nasional. Masalah ini yang kemudian memunculkan derivasi-derivasi persoalan lainnya.

Yang Muda yang memimpin
Berangkat dari ancaman nasional dan global tersebut. Dalam Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PKS di Makassar, Presiden Tifatul Sembiring melontarkan gagasan untuk dipikirkan semua elemen bangsa ini, yakni perlunya pemimpin alternatif, yakni calon pemimpin yang berusia muda. Selama ini, para pemimpin “tua” sudah terbukti gagal membawa indonesia keluar dari krisis multidimensional. Apalagi beberapa calon pemimpin “tua” yang beredar dan akan maju dalam Pemilu 2009 nanti adalah orang-orang memiliki “masalah” dengan masa lalu (baca: orde baru). Akan sangat sulit penyelesaian persoalan besar bangsa ini diserahkan kepada orang-orang yang memiliki masalah masa lalu.
Di tengah kehidupan bangsa indonesia yang carut-marut ini, kita membutuhkan orang-orang bersih, peduli dan profesional yang mampu bersikap tegas dalam melakukan perubahan dan perbaikan bangsa ini. Bangsa dan rakyat ini harus kita selamatkan dari keterpurukan yang lebih parah. Kita butuh dan mendambakan hadirnya pemimpin inovatif, kreatif, dan progresif yang berjuang secara konsisten untuk membawa indonesia keluar dari krisis multidimensional. Dan lebih dari itu orang-orang yang memiliki komitmen tinggi dan konsistensi untuk melakukan sesuatu dengan gagasan dan aksi kongkrit untuk kemajuan masyarakat, bangsa dan negara.
Mengapa kita perlu ikut memikirkan muculnya pemimpin atau capres alternatif atau muda.
Pertama, tuntutan global. Bahwa untuk menjawab tuntutan global. Dibutuhkan pemimpin yang memiliki gagasan besar, kreatif, inovatis, dan progresif. dan karakter semacam ini tidak ditemukan pada pemimpin tua, melain kaum muda. Pemimpin tua cenderung konservatif dan ini sangat menghambat kemajuan bangsa.
Kedua, tututan sejarah. kita tahu bahwa negeri ini didirikan oleh founding father, Ir. Soekarno. Dia memproklamirkan republik ini pada usia yang sangat muda yakni sekitar tiga puluhan tahun. Bahkan Ir. Soekarno pernah mengatakan, datangkan kepada saya 10 pemuda, nscaya kita akan mengguncang dunia. Kita bisa tengok kebelakang sejarah bangsa, Muhammad Fatih mampu menaklukkan Constantinopel pada usia sangat muda yakni 22 tahun. Gerakan reformasi 1998 itu juga dimotori oleh kaum muda dan mahasiswa. Dan masih banyak lagi sejarah-sejarah perubahan bangsa dan negara di dunia ini dimotori oleh kaum muda. Dengan kata lan, sejarah peradaban dan perubahan bangsa itu berpihak pada kaum muda.
Ketiga, begitu besar persoalan bangsa ini karena itu kita membutuhkan pemimpin yang tidak saja kuat secara fisik, tapi kuat secara fikiran (visioner), dan juga keyakinan (baca: bersih). Dan semua ini tak bisa diserahkan pada pemimpin tua. Para pemimpin tua dari segi fisik sudah mengalami kerapuhan, cara berfikirnyapun sudah sangat lambat bahkan cenderung konservatif.
Karena itu, sudah saatnya calon pemimpin muda dan alternatif untuk berani muncul dengan gagasan yang segar (fresh), program, dan aksi kongkrit untuk maju dalam pemilu 2009 mendatang. Bangkitlah negeriku, harapan itu masih ada bersama pemimpin muda.

Caleg Artis; Cermin Lemahnya Pengkaderan Parpol

Sumber : Opini Bhirawa, 26 Agustus 2008
Saat ini tahapan Pemilu 2009 memasuki masa pendaftaran nama-nama calon legislatif atau pencalegan dari partai politik. Masa pencalegan ini merupakan titik awal bagi masyarakat untuk melihat dan menilai wajah-wajah calon legislatif yang akan duduk di parlemen pada 2009. Masyarakat mulai sekarang harus jeli dan kritis terhadap nama-nama caleg yang dicalonkan parpol. Karena tidak sedikit parpol yang mencalonkan seseorang bukan karena kapabilitas, kredibilitas, dan kompetensinya, tapi lebih karena popularitas semata. Bahkan tidak sedikit caleg-caleg yang dicalonkan hasil “politik karbitan” parpol. Ini yang perlu diwaspadai, agar masyarakat tak menjadi korban politik dua kali..
Berbagai cara dilakukan parpol untuk meraih suara sebanyak-sebanyak pada Pemilu 2009 dengan harapan akan meraih kursi yang maksimal. Salah satunya merekrut para artis papan atas. Hampir sebagain besar Parpol-parpol besar seperti Golkar, PDI-P, PKB, PPP, PAN ramai-ramai merekrut artis dengan asa akan mendapatkan suara yang sebanyak-banyaknya. Bahkan PAN merupakan parpol yag mengajukan caleg dari artis yang porsinya lebih banyak dari parpol-parpol yang lainnya. Sehingga ada yang memplesetkan PAN dengan singkatan “Partai Artis Nasional”.
Sebut saja misalnya, PAN merekrut 33 artis, PPP dengan 10 artis, partai Golkar dengan 10 artis. Bahkan tidak saja partai-partai yang sudah mapan, parpol-parpol baru pun tak ketinggalan berloma-lomba menggaet para artis. Sebagain besar para artis tersebut tak melalui proses kelembagaan parpol yang semestinya. Sebut saja proses pengkaderan dari bawah. Ini menunjukkan sekali lagi, fungsi parpol sebagai tempat pengakaderan sangat lemah. Dan apa jadinya demokrasi indonesia kedepan jika, kondisi internal parpol seperti itu.
Salah satu yang pertimbangan paling menonjol parpol-parpol mengajukan para artis menjadi caleg adalah popularitas artis. Popularitas ini dinilai memiliki daya tarik untuk meraih suara sebanyak-banyaknya. Karena popularitas ini, bagi parpol tidak perlu mensosialisasikan atau memperkenalkan caleg artis ke masyarakat, karena masyarakat sudah mengenal. Bahkan tak hanya aspek popularitas, tapi juga ketampanan dan kecantikan artis yang bersangkutan. Apakah kesejahteraan rakyat bisa diwujudkan dengan popularitas, ketampanan atau kecantikan seorang wakil rakyat...?
Dalam konteks ini, penulis bukan anti politisi atau caleg arts, namun yang sangat disayangkan, parpol-parpol tersebut menggunakan cara-cara instan atau karbitan dalan merekrut caleg-calegnya. Para caleg-caleg artis hanya “dikarbit” satu atau bulan bulan atau mungkin hanya di “brifing” sesaat lalu dicalonkan, tanpa melalui jenjang pengkaderan di internal partai atau tanpa ikut berkeringat dalam membesarkan partai. Menyerobot ke panggung politik hanya modal dengan popularitas semata. Apa jadinya lembaga parlemen nanti, jika dibanjiri para anggota parlemen yang mengandalkan popularitas semata?. Bukan tidak mungkin lembaga parlemen 2009, selain akan dibanjiri isu atau masalah klasik, korupsi, juga masalah isu-isu keartisan caleg artis sebagaimana yang pernah dialamai caleg artis dalam kehidupan sehari-harinya daripada isu-isu perjuangan aspirasi rakyat.
Masyarakat masih menilai caleg artis hanya mengandalkan popularitas semata, sangat miskin kapabalitas dan kompetensi yang memadai sebagai seorang wakil rakyat. Selama ini para artis dikenal publik karena aktivitas keartisannya. Banyak main sinetron atau film, dan bahkan dikenal publik karena isu-isu miring dunia keartisan. Saya khawatir caleg artis hanya akan menjadi ornamen politik parlemen yang tidak memiliki kontribusi signifikan bagi perjuangan kesejahteraan rakyat.
Dan selama ini (baca: Pemilu 2004), para anggota DPR dari kalangan artis, peran politik dan kontribusi terhadap perjuangan rakyat di Parlemen sangat minim. Suara-suara dan gagasan politik untuk advokasi kepentingan rakyat di parlemen sangat sunyi, nyairs tak terdengar. Bahkan ada anggota DPR lebih dikenal masyarakat karena hubungan percintaannya dengan sasama artis, bukan karena prestasinya memperjuangkan kepentingan rakyat. Periode 2004-2009 setidaknya ada tujuh anggota DPR yang berlatar belakang artis. Secara umum, mereka dinilai belum menunjukkan kinerja menonjol di bidang legislasi, pengawasan apalagi budjeting. Ibarat film, mereka masih seperti “pemain figuran”, belum menjadi pemeran utama.
Bahkan Pusat Studi hukum dan Kebijakan (PSHK), sebuah lembaga nonpemerintah yang selama ini melakukan pemantauan terhadap kinerja parlemen, menilai sampai saat ini ada atau tidak ada artis di DPR kondisinya sama saja. Keberadaanya belum memberi pengaruh signifikan. Kinerjanya tidak menonjol. Justru yang lebih menonjol sepak terjang keartisannya.

Lemahnya Pengkaderan parpol
Fenomena Parpol ramai-ramai merekrut artis jadi politisi merupakan langkah-langkah politik instan atau karbitan yang hanya mengejar popularitas. Penulis menilai, cara ini lebih karena nihilnya proses pengkaderan di internal parpol. Selain itu, parpol sudah kehilangan akal dan strategi pengkaderan atau perekrutan yang berkualitas, pada saat yang sama ambisi untuk meraih suara dan kursi parlemen semakin besar, dalam kondisi semacam ini, parpol ramai-ramai menggunakan cara-cara instan dan karbitan, yakni merekrut para artis jadi caleg dengan asa dapat mendongkrak suara parpol.
Perlu diingat bahwa pengkaderan di dalam partai akan sangat dipengaruhi oleh sistem perekrutan anggotanya, termasuk dalam perekrutan calon anggota legislatif. Semakin banyak jumah calon anggota legislatif yang “tidak berkeringat” atau produk karbitan di dalam parpol mengisyaratkan proses pengakaderan di internal parpol tidak berjalan dengan baik atau bahkan gagal.
Dalam ajaran Islam menyebutkan barang siapa memberikan suatu urusan kepada orang yang tidak tahu atau faham dengan urusan itu atau tidak memiliki kapabilitas dan kompentensi yang memadai, maka tunggulah kehancurannya. Karena itu, mulai saat ini masyarakat harus terus didorong untuk mencermati dan mengkritisi tahapan pencalegan ini.
Masyarakat hars terus diberi pemahaman yang jelas dan didorong untuk berfikir rasional dan cerdas dalam menentukan hak pilihnya nanti di Pemilu 2009. Jangan sampai pilihan politiknya menjadi bumerang bagi dirinya sendiri dan bangsa ini. Mulai sekarang waspadai caleg-caleg hasil “politik karbitan” parpol. Dan jika praktik ini terus dibiarkan, tidak menutup kemungkinan akan berpotesi membuat kuburan politik bagi rakyat dan demokrasi Indonesai ke depan.

Rabu, 27 Agustus 2008

Politik Murk Down RAPBD Surabaya 2009

Sumber opini KOMPAS Jatim, 5 Agustus 2008
Beberapa hari lalu, Pemerintah Kota Surabaya mulai mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2009 kepada pihak DPRD. Dalam pengajuan anggaran yang tertuang dalam rancangan kebijakan umum anggaran (KUA) dan prioritas plafon anggaran sementara (PPAS), disebutkan bahwa kekuatan APBD untuk tahun 2009 nanti sebesar Rp 2,8 triliun atau persisnya Rp 2.831.583.176.151.
Angka tersebut lebih kecil di banding kekuatan APBD 2008, yakni sebesar Rp 3 triliun atau persisnya Rp 3.025.360.210.903. Dengan demikian, terjadi penunurnan yang cukup drastis, yakni sekitar Rp 230 milyar. Penunuran anggaran 2009 langsung mematik reaksi keras dari pihak anggota DPRD, yang menilai penurunan tersebut tidak masuk akal, padahal potensi pendapatan di Kota Buaya ini sangat besar.
Menurut Sekretaris Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) DPRD Kota Surabaya, Zaenab Maltufah mengatakan, angka APBD 2009 yang diajukan pemkot tidak rasional. Tidak ada pertimbangan mendasar untuk menurunkan APBD. Justru kami melihat potensi harusnya naik. Kalau turun tidak rasional. Pertimbangannya apa? Kalau diturunkan juga menimbulkan tanda tanya, ada apa?,”katanya. Menurut dia, tidak ada ceritanya APBD turun kecuali ada force major. Selain itu, jika ada pengecualian lain, misalnya dinyatakan ada hal-hal yang membuat APBD tidak bisa ditingkatkan.
Penurunan anggaran 2009 yang mencapai Rp 230 milyar, selain menimbulkan tanda tanya besar di kalangan anggota dewan, juga masyarakat. Masyarakat akan menilai penurunan anggaran tersebut tidak masuk akal. Padahal potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di semua sektor di Surabaya sangat besar. Dan ini baru pertama kali, APBD Surabaya mengalami penurunan. Padahal pada anggaran tahun-tahun sebelumnya, grafiknya selalu naik. Karena itu, munculnya penurunan anggaran tersebut patut dicurigai.
Alasan Pemkot, melalui Kepla Badan Perencaan Pembangunan Kota (Bappeko) Tri Rismaharini yang mengatakan, APBD 2009 lebih kecil dibandingkan 2008 itu karena menurunnya jumlah proyek -pada 2008, APBD sangat besar karena banyak proyek yang dianggarkan pada 2007 tidak tergarap, kemudian dimasukkan pada 2008- pun tak bisa dijadikan apologi.
Masyarakat akan menduga dan bahkan ber-suudhon penurunan anggaran 2009 tersebut ada praktik politik murk dwon, yakni pihak Pemkot Surabaya dengan “sengaja” mengajukan anggaran lebih kecil dari potensi yang sebenarnya sehingga diharapkan ada sisa uang yang masuk ke kantong pribadi. Walikota Surabaya sendiri mencanangkan visi dan misi kota Buaya ini sebagai kota jasa dan perdagangan. Ini mengingat usaha di bidang jasa, industri dan perdagangan tumbuh pesat di Kota Surabaya ini. Dengan tumbuh pesatnya usaha tersebut tentunya akan berdampak pada peningkatan pendapatan daerah melalui pajak dan retribusi.
Sebut saja misalnya, Kota Surabaya memiliki potensi pendapatan pajak dari sektor parkir yang sangat besar, yakni bisa mencapai Rp 21,44 miliar. Namun Dinas Pajak sebagai instansi pengelola dan pemungut pajak parkir sepertinya hanya mendapatkan pepesan kosong saja. Pajak parkir yang masuk setiap tahunnya masih di bawah Rp 10 milyar. Sehingga ada dugaan kebocoran sekitar Rp 11 milyar lebih. Sebuah angka yang cukup besar. Bahkan jika kita lihat jumlah kendaran bermotor bernopol Surabaya setiap tahunnya terus mengalami kenaikan. Seharusnya pendapatan pajak parkirpun juga terus mengalami kenaikan. Kenyataannya, kenaikkan pajak parkir tidak terlalu signifikan. Menurut pakar transportasi ITS, Hitapriya Suprayitna, memperkirakan jumlah kendaraan sepeda motor bernomor polisi Surabaya sekitar 700.000 unit. Untuk kendaraan roda empat tidak termasuk truk sekitar 91.000 unit. Kendaraan dari luar kota yang masuk Surabaya sekitar 20 persennya (Kompas, 2/10/2007). Data ini mungkin jauh lebih kecil dari data yang riil. Dan karenanya potensi pajak parkirpun jauh lebih besar.
Dalam semua laporan tahunan pencapaian pendapatan pajak parkir ini masih jauh di bawah potensi yang ada. Pertanyaannya, kemana uang puluhan milyar rupiah tersebut melayang selama ini?. Siapa yang sebenarnya diuntungkan dengan menguapnya potensi pajak parkir ini? Bahkan bukan tidak mungkin setoran pajak parkir yang masuk kantong pribadi-pribadi lebih besar dari yang masuk ke kas daerah.
Dan ada dugaan menguapnya potensi pajak dan retribusi tak hanya terjadi di Dinas “basah” seperti Pajak. Namun juga terjadi di berbagai “dinas basah” lainnya. Dinas-dinas “basah” atau penghasil devisa tidak menutup kemungkinan terjadi murk down atau kebocoran dengan harapan para oknum birokrasi kecipratan untungnya. Selain sektor pajak, Surabaya juga dikenal sebagai “kota Reklame”. Ada ribuan reklame dalam berbagai bentuk, kecil dan besar, dan dihiasi dengan berbagai variasi mewah.
Dengan adanya ribuan reklame mewah tersebut, tentunya potensi pajak yang masuk kas daerah pun besar. Namun sektor ini pun nasibnya tak jauh beda dengan parkir. Sertiap tahun sering terjadi kebocoran dan bahkan praktik murk down. Bahkan penataan reklame ini sudah berubah dari semangat tata ruang berubah menjadi tata uang. Dengan kata lain, potensi kebocoran pajak reklame ini sangat besar. Dengan hilangnya potensi pajak-pajak tersebut otomatis akan berpengaruh pada menurunnya APBD. Karena itu, sekali lagi penurunan anggaran 2009 tersebut sangat tidak masuk akal, dan sekaligus akal-akalan Pemkot Surabaya.

Lemahnya Kinerja Dinas pajak
Saya menduga, penurunan anggaran 2009 tersebut lebih disebabkan karena maraknya praktik politik murk down. Adanya kesenjangan “disengaja” yang cukup besar antara pendapatan yang masuk Dinas Pajak dengan potensi pajak yang ada. Praktik semacam ini hampir terjadi di dinas-dinas “basah” di lingkungan Pemkot, termasuk di Dinas Pajak. Dinas Pajak dengan sengaja mengajukan laporan atau menetapkan target dan realisasi lebih kecil dari yang sebenarnya agar ada sisa dana yang masuk ke kantong pribadi-pribasdi. Apalagi Dinas Pajak, sektor parkir, dan reklame ini di kenal publik sebagai salah satu dinas dan sektor yang paling basah (baca: penghasil uang). Semakin basah suatu dinas dan sektor pajak, maka tingkat kebocoran dan praktik korupsinya akan semakin besar.
Dengan melihat realitas perolehan pendapatan daerah yang sangat minimalis ini, menunjukkan kinerja Dinas Pajak masih sangat lemah. Dinas pajak sepertinya hanya melakukan praktik 4D; datang, duduk, diam dan duit. Artinya Dinas Pajak hanya menunggu setoran pajak dari tengkulak. Tak pernah ada program yang kreatif, inovatif, dan progresif guna meningkatakan pendapatan daerah. Dengan kata lain, kinerja Dinas Pajak dalam program intensifikasi dan ekstensifikasi target perolehan PAD dari berbagai bidang dan sektor patut dipertanyakan.

Pilgub dan Agenda Reformasi Birokrasi

Sumber : Opini Harian SURYA, 21 Agustus 2008
Pemilihan Gubernur (Pilgub) yang akan diselenggarakan 23 Juli 2008 mendatang merupakan momentum politik penting bagi Jawa Timur untuk melakukan perubahan dan perbaikan bagi kondisi masyarakat Jatim. Masyarakat Jatim memiliki hak politik yang otonom untuk menentukan dan memilih pemimpin Jatim 2008-20013 secara langsung. Dan persoalan ke depan akan semakin kompleks seiring dengan proses pembangunan dan modernisasi yang terjadi selama ini. Karena itu sangat dibutuhkan seorang pemimpin yang memiliki kredibilitas, dan kapabilitas dan profesionalitas yang lebih.
Dan yang terpenting dari itu, calon pemimpin Jatim ke depan harus lahir dari ”rahim” masyarakat Jatim. Artinya pemimpin itu sudah lama berproses dengan kehidupan masyarakat. Dia tahu dan faham betul persoalan-persoalan kemasyarakatan dan merasakan betul persoalan masyarakat Jatim saat ini. Masyarakat tahu dan faham calon pemimpin itu bukan karena popularitasnya atau kharimasnya, tapi karena kredibilitasnya, kapabilitas dan profesionalitas dalam menyelesaikan persoalan-persoalan riil Jatim. Dan salah satunya persoalan Jatim yang sampai saat ini tidak tertuntaskan bahkan terbengkalai adalah masalah reformasi birokrasi
Gerak reformasi saat ini sudah berjalan satu dekade. Ada perubahan yang cukup mendasar dalam kehidupan berpolitik dan berdemokrasi kita. Namun, ada satu aspek yang belum tersentuh secara mendasar oleh arus reformasi, yakni reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi bergeraknya bagaikan kura-kura, sangat lambat. Dan bahkan ada yang menilai stagnan dan tentunya tidak produktif. Belum ada perubahan yang signifkan dalam tubuh birokrasi kita. Harapan akan lahirnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa, bebas KKN, memimjam istilah acara Metro TV; baru bisa mimpi.
Keinginan ini akan lahirnya birokrasi yang bersih dan sehat sangat logis, mengingat birokrasi di Indonesia telah mengalami distorsi yang cukup parah setelah republik ini berdiri. Baik dibawah pemerintahan Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati sampai pada Susilo Bambang Yudhoyono sekarang ini, birokrasi belum berperan dan berfungsi seperti halnya birokrasi di negara maju dan demokratis. Bahkan mantan Presiden Megawati Sukarnoputri pernah menyebut birokrasi kita sebagai birokrasi keranjang sampah.

Wajah Birokrasi
Sebagaimana dikatakan Dwight Y.King, birokrasi kita ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut: mekanisme kerja yang tidak efisien, jumlah pegawai yang berlebihan, proses pelayanan yang lamban, tidak modern atau ketinggalan jaman, sering menyalahgunakan wewenang, tidak tanggap atas keragaman kebutuhan dan kondisi daerah setempat. Strukturnya gemuk, personilnyapun gemuk. Dampak dari hal ini sudah sangat terasa dibidang anggaran. Struktur APBD hampir di semua daerah, termasuk di Jatim dengan angka berkisar 75% habis dipakai untuk belanja rutin dan melayani birokrasi, sedang sisanya sekitar 25% untuk masyarakat lewat alokasi pembangunan. Itu berarti birokrasi kita lebih berfungsi sebagai kekuatan penyerap anggaran (baca: pemborosan) ketimbang sebagai pengatur dan pelayan masyarakat
Obesitas birokrasi bagaikan orang yang gemuk dengan kolesterol tinggi. Orang yang mengidap obesitas, potensi penyakitnya lebih besar, tak mampu berlari cepat karena memang keberatan badan, dan kalau bersaing lari misalnya pasti kalah. Jangankan untuk lari, berjalan saja seperti kura-kura, sangat lambat. Dan butuh biaya besar untuk membiayai penyakit akibat obesitasnya itu. Model birokrasi semacam ini secara finansial hanya mengambur-hamburkan APBD dan lebih dari itu model birokrasi macam itu sangat tidak produktif.
Dampak negatif lanjutannya korupsi secara besar-besaran tak terelakkan lagi. Absennya fungsi kontrol yang dilakukan parlemen dan masyarakat luas juga memberikan andil yang tak kecil terhadap makin lemahnya peran birokrasi. Munculnya berbagai kasus korupsi di tubuh birokrasi yang melibatkan para pejabat yang saat ini terkuak dan diungkap pihak kepolisian dan kejaksaan dapat dikatakan sebagai “buah” warisan birokrasi orde baru yang masih tumbuh subur dalam tubuh birokrasi. Masalah korupsi ini masih menjadi virus birokrasi yang mematikan.
Sebagai catatan, dalam Laporan Akhir Tahun 2004 Indonesia Corruption Wacth (ICW) mengungkapkan kasus korupsi diberbagai daerah di Indonesia mencapai 432 kasus dan telah merugikan negara sebesar Rp 5 triliun. Dalam laporan tersebut lebih lanjut menyebutkan daerah yang paling banyak kasus korupsinya adalah DKI Jakarta (52 kasus), di susul kemudian Jawa Timur (43 kasus), Jawa Tengah (43 kasus), Jawa Barat (41 kasus) dan Sumatera Selatan (22 kasus)
Dalam laporan tersebut juga diungkapkan, di lihat dari sisi aktor pelaku korupsi, dari sekian banyak kasus korupsi di daerah lebih banyak menyeret kepala daerah (84 kasus), DPRD (125 kasus), aparat pemda (54 kasus) dan kepala dinas (25 kasus). Dengan kata lain, aktor utama pelaku korupsi di daerah, yaitu para elit daerah yang memegang kekuasaan, baik itu di lembaga birokrasi pemerintahan daerah maupun DPRD. Namun data ini belum bisa dijadikan angka yang pasti, karena ini belum tentu mencerminkan realitas sebenarnya. Angka ini baru yang tercover, belum lagi yang tidak tercover, yang mana tidak menutup kemungkinan jumlahnya jauh lebih besar.
Selain itu,. Berdasarkan temuan Badan Pengawas Propinsi (Bawasprop) atas APBD 2004 terdapat penyimpangan dana sebesar Rp 15,75 miliar. Dalam temuan itu juga disebutkan sebanyak 37 instansi di lingkungan Pemprop Jatim yang melakukan penyimpangan anggaran. Adapun penyimpangan terbesar terdapat di Dinas Pendapatan, yakni sebesar Rp 10,35 miliar. Di ikuti RSU Dr. Soetomo Surabaya dengan total penyimpangan Rp 1,89 miliar dan Dinas Pekerjaan Umum sebesar Rp 427,5 juta.
Selain itu masalah dana kesehatan untuk keluarga miskin (Gakin) oleh Badan Penyelenggaran (Bapel) Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKM) Jatim juga bermasalah. Menurut Menteri Kesehatan dr. Siti Fadhilah, temuan Badan Pemeriksa Kuangan (BPK) menyebutkan telah terjadi penyimpangan dana kesehatan untuk keluaga miskin sebesar Rp 6 miliar dari total dana yang dikelola Bapel JPKM sebesar Rp 53 miliar. Secara rinci, Rp 4 miliar di gunakan untuk investasi Reksa Dana dan 2 miliar untuk fee pengurus atau manajemen. Dan kasusnya sampai saat ini belum selesai (Metropolis, 17/03/2005).
Data yang terakhir sebagaimana ditemukan oleh Badan Pengawas Pembangunan dan Keuangan (BPKP) Jatim. Dalam sebuah workshop tentang pengawasan pembangunan dan keuangan di Surabaya beberapa bulan lalu, BPKP mengungkapkan hasil audit tahun 2005 – Juli 2006 menemukan telah terjadi tindak penyelewengan terhadap keuangan Negara di sejumlah instansi milik pemerintah di Jawa Timur. Akibat penyelewengan tersebut Negara mengalami kerugian sebesar Rp 249 milyar (Metropolis, 12/9/2006).
Kondisi ini yang semestinya harus dipikirkan secara serius dan harus ditata ulang (baca:restrukturasi birokrasi) oleh cagub dan cawagub mendatang sesuai dengan kebutuhan dan kegunaannya. Reformasi birokrasi adalah kunci utama menyelesaikan berbagai persoalan pemerintahan kita dan pelayanan kepada masyarkat. Reformasi birokasi tidak hanya menyentuh dalam aspek strukturalnya saja tapi juga harus menyentuh aspek budaya (birokrasi), terutama budaya dan etos kerja birokrasi. Paradigma birokrasi yang harus diutamakan adalah birokasi siap melayani, bukan minta dilayani.

Agenda Reformasi birokrasi
Sebagaimana birokrasi yang dikonsepkan oleh Max Weber, bahwa birokrasi merupakan prasyarat bagi pembangunan ekonomi dan upaya menciptakan industri yang modern. Birokrasi yang modern memperlihatkan adalah birokrasi yang mempunyai struktur yang efektif tetapi efisien, meskipun sedikit struktur tetapi kaya fungsi. Artinya, diwujudkan birokrasi yang ramping dan sehat, dan bukan birokrasi yang gemuk (obesitas) dan berpenyakitan.
Penataan birokrasi memang sudah dilakukan seiring pelaksanaan otonomi daerah –sebagai kebijakan pemerintah pusat, namun tetap saja belum mendukung peningkatan kinerja birokrasi (efisiensi) sebagai pelayan masyarakat (public service). Birokrasi yang sekarang berkuasa masih merupakan kelanjutan dari birokrasi sebelumnya yang rancang bangun serta kulturnya tidak berubah, meski masyarakatnya menginginkan reformasi. Dominasi kultur birokrasi –pola hubungan patron-client, atasan bawahan dan hubungan paternalistik- masih cukup kental. Sebagai akibatnya, meski Jatim memiliki Perda pelayanan publiki misalnya, namun saat ini masih berupa pajangan belaka. Belum terlihat implementasinya. Pelayanan publik di Jatim masih di rasa mengecewakan. Yang terjadi hanyalah lip service belaka. Pemprop pandai membuat Perda, tapi sangat lemah ditingkat implementasinya.
Di Pemprop Jatim sendiri, saat ini kurang lebih memiliki sekitar 2100 lebih pegawai. Jika kita berpijak pada model sebuah birokrasi modern yang profesional, angka 2100 orang ini terlalu besar. Apalagi Pemprop dalam konteks otonomi daerah bukan ujung tombak pelayanan masyarakat. Ujung tombak dari otonomi daerah sebenarnya berada di Pemkab/pemkot. Karena pemkab/pemkot yang paling dekat dan tahu konisi riil masyarakat. Dalam konteks birokrasi modern, jumlah 2100 pegawai tersebut sudah terlalu obesitas apalagi juga saat ini jumlah struktur birokrasi dilingkungan Pemproppun juga besar. Sehingga nyaris nampak birokrasi pemprop Jatim sedang mengalami obesitas. Birokrasi obesitas, layaknya sebuah tubuh manusia, pasti berpenyakitan.. Birokrasi kita seperti birokrasi kura-kura. Dia hanya menjadi beban APBD dan beban masyarakat. Dengan kata lain, birokrasi semacam ini sangat sulit diharapkan menjadi pelayan masyarakat yang profesional, justru akan selalu minta dilayani.
Satu hal lain yang ikut mempengaruhi semakin lambatnya reformasi birorkasi di daerah terletak pada lahirnya berbagai macam regulasi mulai pusat sampai daerah. Sebagaimana diungkakan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Birokrasi, Taufiq Effendi, saat ada 1.850 peraturan yang tumpang tindih dan 388 jenis pelayanan dan sumber daya manusia merupakan hal terpenting yang harus diselesaikan dalam reformasi birokrasi.

Cagub reformis
Dalam sistem birokrasi modern seperti sekarang ini yang kita butuhkan adalah sistem birokrasi pemerintah yang dapat berjalan secara efektif dan efisien. Di mana di dalam sitem birokrasi tersebut memiliki sedikit struktur, tetapi memiliki banyak fungsi. Sehingga yang lebih difokuskan adalah kinerja-kinerja aparatur birokrasinya. Dalam model birokrasi semacam ini, tidak ada lagi pegawai yang males-males, tidak memiliki job description yang jelas. Dan lebih dari itu, birokrasi tidak usah memiliki pegawai yang terlalu banyak, sedikit personal atau pegawai tapi memiliki kapabilitas dan kualitas yang baik dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Pendek kata, birokrasi pemerintahan yang modern adalah birokrasi pemerintahan yang miskin struktur, tapi kaya fungsi
Karena itu, untuk menjawab tuntutan reformasi birokrasi sebagai titik awal melakukan perbaikan kinerja birokrasi dan pelayanan masyarakat adalah dengan melahirkan calon pemimpin atau gubernur yang reformis, memiliki visi dan misi yang jelas tentang reformasi birokrasi. Cagub reformis adalah sebuah keniscayaan politik di tengah persoalan birokrasi Pemprop yang semakin rumit dan tidak produktif. Cagub kedepan harus memiliki komitmen untuk melakukan reformasi birokrasi yang salah satunya ditandai dengan berani melakukan resrukturisasi birokrasi atau rasionalisasi birokrasi, baik secara institusional maupun personal.
Akhirnya, agenda reformasi birokrasi harus menjadi agenda penting bagi cagub dan cawagub dalam melakukan perbaikan dan perubahan di Jatim ini. Dan salah satu titik awal untuk melakukan perubahan dan perbaikan ini adalah dengan melakukan reformasi birokrasi secara konsisten dan berkelanjutan. Perubahan dan perbaikan kondisi masyarakat –salah satunya- akan ditentukan oleh sejauh mana agenda reformasi birokasi dilakukan dengan baik. Reformasi birokrasi akan melahirkan kinerja birokrasi yang produktif dan profesional dan pada akhirnya akan menghadirkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang paripurna