Kamis, 31 Desember 2009

Nasib Pasien Mskin

Opini Bhirawa, 2 Oktober 2009


Sudah jatuh tertimpa tangga. Demikian pepatah yang pas ditujukan untuk keluarga miksin yang dibelit kasus kesehatan di Indonesia. Sudah miskin tak punya uang, mendapat pelayanan kesehatan yang buruk lagi. Inilah yang menimpa masyarakat miskin di Indonesia. Kisah tragis dialami Suharni dan Santi berikut dua bayi mereka yang masih tertahan di Rumah Sakit BErsalin Sofa Marwa, Jl. Bina Warga, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Suharni tertahan sejak dua minggu lalu. Mereka tidak sanggung bayar biaya persalinan sebesar Rp 5 juta lebih (Surya, 9/9/2009).
Masyarakat miskin menjadi korban kedua kalinya, sudah miskin dan dimiskinkan oleh kebijakan rumah sakit yang tidak adil, di tambah lagi pelayanan kesehatan yang mengecewakan. Kondisi ini yang memunculkan anekdot sosial; orang miskin di larang sakit.
Kejadian yang menimpa Bu Suharni dan kawan-kawan yang senasib merupakan potret buruknya pelayanan kesehatan dari rumah sakit terhadap pasien dari keluarga miksin. Perlakuan dan pelayanan kesehatan sungguh sangat mengecewakan dan tidak manusiwi. Para pasien Gakin ”dipaksa” untuk melunasi biaya persalinannya. Tidak tak kalah manusiawi, pihak rumah sakit teganya “menahan” ibu dan bayinya yang tak mampu melunasi biaya persalinannya..
Buruknya pelayanan kesehatan dari rumah sakit juga pernah dialami oleh anak-anak jalanan dari keluarga miskin dampingan Yayasan Arek Lintang (Arek). Menurut Direkturnya, Yuliati Umrah, pihaknya menemukan 37 kasus masyarakat miskin yang bermasalah dalam mendapatkan pelayanan kesehatan di dua rumah sakit di Surabaya, yakni di RSUD Dr. Soewandi dan Dr. Soetomo. Masyarakat miskin mengalami kesulitan dalam mengakses jaminan kesehatan. Menurutnya, satu Maskin meninggal dunia akibat keterlambatan dan diskriminasi saat mendapatkan pelayanan kesehatan.
Kasus di atas semakin menunjukkan kepada publik, praktik-praktik diskriminasi di institusi kesehatan mulai dari rumah sakit sampai puskesmas masih sering terjadi dan dirasakan Maskin. Akses kesehatan bagi masyarakat miskin kita masih sangat terbatas. Dan persoalan klasik yang dihadapi oleh masyarkat miskin adalah masalah uang. Persoalan uang ini sering kali menjadi “pembeda” dalam pelayanan kesehatan antara orang miskin dengan orang kaya.
Selama ini pemerintah telah membuat program Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) untuk Msyarakat (Miskin). Program masih ini belum menyentuh secara riil masyarakat misikin. Keluarga miskin masih kesulitan mendapat pelayanan gratis. Saat ini beberapa kab/kota akan mengeluarkan kartu kesehatan untuk keluarga Gakin (green card). Inipun masih menimbulkan masalah dilapangan, karena terjadi diskriminasi. Tidak sedikit Gakin yang belum mendapatkan kartu kesehatan tersebut. Apalagi bagi Gakin yang tidak memiliki KTP sangat kesulitan mendapatkannya. Padahal mereka juga sangat membutuhkan kartu kesehatan untuk mendapatkan layanan kesehatan secara gratis. Prosedur yang telalu rumit dan mbulet inilah yang menyebabkan banyaknya Gakin tidak bisa mendapatkan akses jaminan kesehatan yang baik dan layak.
Satu persoalan lagi, meskinpun ada pelayanan gratis bagi Gakin, namun bukan berati persoalan kesehatan bagi Gakin selesai. Gakin masih menghadapi persoalan perlakuan dari petugas rumah sakit atau puskesmas. Secara psikologis, sangat berbeda pelayanan yang diterima oleh Gakin ketika berobat atau periksa misalnya. Pelayanan hanya ala kadarnya. Bahkan ada cemoohan dari sebagian masyarakat yang mengatakan ada uang anda sehat, tak ada uang anda sekarat.
Selain itu, masih juga kita lihat Puskemas – sebagai institusi kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat- tidak ada dokter jaganya. Ketika masyarakat membutuhkan, dokter puskesmas tidak di tempat. Dan ini akan sangat berdampak pada kualitas pelayanan kesehatan. Belum lagi kalau misalnya muncul pungutan-pungutan yang tidak jelas alias pungli. Sudah miskin, dimiskinkan lagi oleh pelayanan yang mengecewakan.

Lemahnya Fungsi Sosial
Kasus memilukan dan mamalukan tersebut seharusnya menjadi bahan koreksi dan instropeksi dari pemerintah, terutama pihak Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit. Perlakuan diskriminasi dan pelayanan yang buruk akan sangat berdampak sangat serius bagi Gakin. Memperlambat atau bahkan membiarkan pasien maskin dalam keadakan sekarat, tanpa adanya penanganan yang supercepat itu sama saja pihak rumah sakit telah melakukan pelanggaran HAM.
Selama ini tidak sedikit rumah sakit yang masih berwatak kapitalis. Mereka hanya memburu rupiah. Pihak rumah sakit atau dokter mau melayani dan menangani secara sarius pasien yang memiliki uang banyak dan mau membayar tinggi. Dan itu hanya orang-orang kaya saja yang akan mendapatkan pelayanan kesehatan yang prima dan fasilitas yang memadai. Sementara rumah sakit atau dokter cenderung enggan atau ”tidak serius” melayani dan menangani pasien dari Gakin, karena tidak menghasilkan profit. Dengan kata lain, rumah sakit atau dokter sepertinya hanya mau berbuat apabila mendatangkan keuntungan profit yang besar, akan tetapi kalau tidak mendatangkan rupiah cenderung malas berbuat.
Ini menunjukkan fungsi ekonomis-kapitalis rumah sakit lebih mengedepan daripada fungsi sosial. Fungsi-fungsi sosial dari rumah sakit atau dokter masih sangat rendah. Seharusnya pihak rumah sakit tidak melakukan diskriminasi pelayanan bagi warga, terutama warag miskin. Masyarakat miskin juga manusia yang memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pelayaan kesehatan yang layak dan manusiawi. Tidak ada alasan apapun bagi rumah sakit atau dokter untuk menolak atau memberikan pelayanan kesehatan setengah hati untuk masyarakat miskin.
Melihat kondisi di atas, sudah saatnya institusi-institusi kesehatan seperti rumah sakit (RS) atau puskesmas perlu dilakukan revitalisasi. Artinya bagaimana mengembalikan fungsi asasi dari RS atau puskesmas, terutama terkait dengan pelayanan kesehatan bagi masyarakat tanpa ada diskriminasi, terutama dalam fungsi sosialnya.

Tidak ada komentar: