Kamis, 31 Desember 2009

APBD 2010 Jatim ; Besar Pasak daripada Tiang

Sumber : Kompas Jatim, 24 November 2009

Paradigma politik anggaran Pemerintah Propinsi Jawa Timur, dari tahun ke tahun tidak mengalami perubahan signifikan alias konservatif. Komposisi dan alokasi anggaran masih timpang, komposisi anggarannya masih sekitar 65 persen untuk belanja rutin, dan sisanya 45 persen untuk belanja publik. Dengan kata lain, APBD Jatim masih belum pro rakyat, masih lebih banyak melayani kebutuan elit daerah. Bukan APBD untuk rakyat, tapi untuk elit daerah.
Selain konservatif, APBD Jatim juga bertradisi defisit. Sebut saja misalnya, pada Rancangan APBD 2010 yang dibahas DPRD, di mana awalnya Badan Anggaran (banggar) menyebut angka defisit sebesar Rp 274,11 miliar. Namun angka tersebut mengalami pembengkakan, dari Rp 274,11 miliar menjadi Rp 388,658 miliar. Peningkatan itu hasil evaluasi badan anggaran (Banggar), atas laporan komisi-komisi DPRD Jatim. Dalam perangkaan RAPBD 2010, pendapatan diproyeksikan Rp 7,070 triliun, belanja Rp 7,344 triliun. Ada defisit sekitar Rp 274,111 miliar. Perangkaan ini berbeda dengan laporan Banggar dalam sidang paripurna, kemarin (16/11). Banggar menyebutkan pendapatan Rp 7,388 triliun, ada kenaikan sekitar Rp 318 miliar dibandingkan perangkaan. Belanja versi Banggar diproyeksikan Rp 7,777 triliun, ada kenaikan Rp 433 miliar. Imbasnya, defisit naik menjadi Rp 388,658 miliar. Anehnya, sejumlah anggota banggar justru mengaku tak tahu-menahu perubahan tersebut.
Perlu di catat, bahwa defisit 2010 ini sifatnya sementara atau hanya untuk APBD regular. Angka defisit ini biasanya akan mengalami pembengkakan sampai dua sampai tiga kali lipat ada saat Perubahan Anggaran Keuangan (PAK), sebagaimana yang terjadi pada anggaran sebelumnya.
Satu catatan penting yang harus kita cermati dan kritisi bersama adalah wajah APBD Jatim yang selalu bertradisi defisit atau besar pasak daripada tiang. Artinya beban pengeluaran lebih besar daripada pendapatan. Dan ironisnya lagi, belanja daerah tersebut lebih banyak terserap untuk kebutuhan elit daerah.
Defisit anggaran sudah menjadi tradisi tahunan APBD Jatim. Bahkan setiap tahun defisit anggaran ini terus mengalami kenaikan cukup signifikan. Sebagai catatan, pada tahun 2005, APBD Jatim mengalami defisit sebesar Rp 135,76 miliar (ini defisit sebelum PAK APBD, setelah PAK angka lebih besar lagi)). Pada tahun 2006, angka defisit naik menjadi RP 230,78 miliar. Dan angka defisit ini terus merangkak naik pada APBD tahun 2007 sebesar Rp 606,61 miliar, tahun 2008 sebesar RP 732,39 miliar, tahun 2009 sebesar Rp 790 miliar dan anggaran reguler tahun 2010 dipatok sebesar Rp Rp 388,658 miliar (lihat tabel).
Setiap tahun APBD Jatim selalu menunjukkan tingkat kenaikan pos pendapatan daerah tak sebanding dengan kenaikan pos belanja. Pendapatan daerah bergerak bagaikan deret hitung sementara belanja daerah bergerak bagaikan deret ukur. Artinya pos pendapatan tingkat kenaikannnya sangat lambat, sementara pos pengeluarkan bergerak sangat cepat. Dengan kata lain, Pemprop lebih rajin mengeluarkan uang daripada menghasilkan devisa alias boros. Dan yang paling parah, belanja daerah yang begitu besar, sebagian besar tersedot untuk belanja untuk kebutuhan elit daerah. Ini yang mengakibatkan angka defisit anggaran semakin besar.

Tabel. 2: Perkembangan Angka Defisit APBD Jatim (2005-2010)
No Tahun Anggaran Defisit
1 2005 Rp 135,76 miliar
2 2006 Rp 230,78 miliar
3 2007 Rp 606,61 miliar
4 2008 Rp 732,39 miliar
5 2009 Rp 790 miliar
6 2010 Rp 388,658 miliar *
Catatan : Defisit APBD Reguler, Biasanya akan melonjak cukup besar pada saat PAK

Elit DPRD dan eksekutif sering beralasan, salah satu penyebab belanja daerah meningkat adalah adanya beberapa proyek agenda pembangunan tahun anggaran sebelumnya yang belum terealisasi, adanya inflasi atau kenaikan kebutuhan daerah. Karena itu, pengerjaan program tersebut dimasukan kembali dalam RAPBD tahun depan. Namun alasan ini sebenarnya bukanlah alasan utama yang menyebabkan semakin besarnya defisit APBD. Justru yang mengakibatkan pembengkakan anggaran pengeluarkan karena besarnya anggaran untuk belanja elit daerah yang angkanya mencapai 65 persen lebih. Bahkan tidak sedikit yang bermasalah alias menyimpang. Contoh yang terbaru adalah kasus penyimpangan dana P2SEM yang menyeret para elit daerah. Dengan kata, justru biang kerok dari adanya defisit ini adalah tingkat inefisiensi, pemborosan, kebocoran dan penyimpangan anggaran yang begitu tinggi.

Mengapa harus defisit?
Semakin membengkaknya angka defisit ini lebih karena faktor tingkat inefisiensi dan kebocoran atau penyimpangan anggaran yang masih begitu tinggi. Jika efisiensi serius (baca: penghematan atau di pangkas masing-masing 15% setiap pos anggaran) dilakukan dan tingkat kebocoran atau penyimpangan dapat ditekan semaksimal mungkin, maka desifit anggaran bisa ditekan bahkan bisa dihilangkan. Bahkan APBD 2008 bisa juga mengalami surplus. Namun ini yang tidak dilakukan oleh para elit daerah kita. Dengan efisiensi, dalam pandangan mereka, maka secara otomatis akan mengurangi “jatahnya”.
Selain itu, tingkat kontrol budjeting dari DPRD terhadap pemanfaatan anggaran eksekutif juga sangat lemah. Terbukti banyak penyimpangan dan kebocoran anggaran yang terjadi di tahun sebelumnya tidak ada penyelesaian lebih lanjut, terutama terhadap penyelamatan anggarannya. Jika fungsi pengawasan ini dijalankan dengan baik dan serius, maka setidaknya ada puluhan milyar dari APBD yang bisa diselamatkan. Dan itu bisa digunakan untuk menutup defisit anggaran.
Akhirnya, mengapa APBD Jatim harus mengalami defisit?. Dengan kata lain, ada something wrong dalam menejemen pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah belum menerapakan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah yang baik dan akuntabel diantaranya adalah prinsip efisiensi dan transparansi dan akuntabalitas.

Tidak ada komentar: