Rabu, 26 Agustus 2009

Ironi, Pesta Dangdutan DPRD Malang

Sumber Opini Radar Surabaya, 22 Agustus 2009


Oleh : Umar Sholahudin
Mahasiswa S-2 Sosiologi FISIP Unair, dan Koordinator Parliament Wacth Jatim

Ironis dan Memalukan..!. Mungkin dua kata tersebut yang paling pantas dialamatkan kepada oknum-oknum anggota DPRD Kabupaten Malang yang mengadakan pesta joget dangdutan di ruangan rapat paripurna 11 Agustus 2009 lalu. Ruangan sidang paripurna “terhormat” yang seharusnya digunakan untuk kegiatan rapat-rapat resmi kedewanan yang membahas persoalaan rakyat, justru digunakan untuk pesta dangdutan. Apalagi para penyanyinya terlihat memakai pakaian seronok.
Para anggoa dewan berapologi, bahwa acara dangdutan di ruang siding DPRD adalah dalam rangka peringatan Agustusan. Dan tidak hanya itu, diduga juga bersamaan dengan hari ulang tahun ketua DPRD Kabupaten Malang, Suhadi. Sehingga sah-sah saja mengadakan pesta dangdutan di DPRD.
Bahkan yang lebih memalukan lagi pada saat pesta dangdutan tersebut ada terjadi keributan antara salah satu oknum anggota DPRD dengan wartawan yang meliput acara. Dan oknum anggota DPRD tersebut diduga sedang mabuk. Luar biasa memalukan…!. Sudah dangdutan dengan mendatangkan para penyanyi seronok, ditambah lagi mabuk.
Atas kejadian tersebut, kecaman muncul dari berbagai pihak, salah satunya MUI Kabupaten Malang yang menyesalkan perilaku anggota dewan yang memalukan dan keterlaluan itu. Mereka sangat tidak pantas menjadi wakil rakyat, dan berharap partai induknya bisa memberikan sanksi yang tegas, yakni dikeluarkan dari DPRD.
Kejadian memalukan tersebut tidak saja menjatuhkan citra DPRD secara institusional, tapi juga para anggota dewannya. Perilaku oknum DPRD tersebut sama saja melecehkan dirinya sendiri dan institusinya. Secara politis, kejadian ini akan menjadikan masyarakat semakin muak dengan perilaku anggota dewan yang sering berulah dan berbuat masalah, baik yang bersifat eti, moral dan kriminal/pidana.

Image bermasalah
Kasus pesta dangdutan di ruang sidang paripurna DPRD Kabupaten Malang tersebut semakin menambah daftar panjang perilaku anggota dewan yang memalukan di depan rakyatnya. Selama ini kita sering dipertontonkan dengan berbagai perilaku memalukan yang dilakukan anggota dewan, baik yang terkait dengan masalah etis, moral, maupun criminal/pidana. Kasus Kunker bermasalah, mesum, dan kasus korupsi sering mewarnai perjalanan politik anggota dewan di gedung wakil rakyat tersebut.
Jika kondisinya demikian, apa yang bisa diharapkan dari wakil rakyat tersebut. Bagaimana akan siap bekerja untuk rakyat, jika dirinya sendiri sering bermasalah dan menjadi sumber masalah. Inilah yang menjadikan anggota dewan tidak mampu dan maksimal dalam bekerja. Mereka disibukkan dengan “keinginan dan kesenanganna sendiri”. Kata psikolog, anggota dewan seperti itu sudah terjangkiti “pengakit” autisme politik. Mereka enjoy menimati kesenangannya sendiri sebagai anggota dewan dengan gaji besar dan fasilitas mewah. Mereka tidak mau peduli dengan lingkungan sekitarnya, apalagi dengan rakyatnya.
Mengapa anggota dewan sering bermasalah dan membuat masalah. Salah satunya tak lepas dari lemahnya kontrol social-politik, baik internal partainya mauoun internal institusi DPRD-nya. Pertama, Selama ini kontrol dari induk partainya sangat lemah, partai sepertinya tidak mampu berbuat dan bertindak tegas atas kadernya yang sering bermasalah di dewan. Kontrol berjalan hanya pada kontribusi financial kepada partai, sedangkan yang lainnya nol. Kontrusi financial ke partai pun kadang tak terkontrol, karena tidak tahu asal muasal uang yang didapat kadernya sebagai anggota dewan.
Kedua, lemahnya kontrol internal DPRD yang perankan oleh Badan Kehormatan (BK) DPRD. BK DPRD selama ini tidak berfungsi sama sekali alias mandul. Lembaga internal dewan yang seharusnya mampu berperan dalam memonitoring dan mendisiplinkan perilaku setiap anggota dewan dan melakukan tindakan tegas atas pelanggaran etika kedewanan, namun sampai saat ini tidak ada tindakan apapun apalagi sanksi yang tegas. Bagi DPRD yang sudah ada BK-nya saja, perilaku anggota dewan sering tak terkontrol, apalagi bagi DPRD yang tak memiliki BK, dipastikan perilaku anggota dewannya semakin liar dan tak terkontrol.

Sikap tegas partai
Kasus DPRD Malang sudah jelas masuk pelanggaran etika-moral kedewanan. Dan karenanya perlu ada tindakan tegas dari BK DPRD dan partainya. DPRD harus berani menindak anggotanya dengan member sanksi peringatan keras, dan kalau bisa merekomendasikan kepada partainya untuk dipecat sebagai anggota dewan. Dan reklendasi ini tentu saja perlu disambut positif oleh induk partainya, sikap dan sanksi tegas dari partainya sangat ditunggu masyarakat, yakni penarikan kadernya dari DPRD. Jika ini tidak dilakukan dan terus dibiakan, maka tidak bisa dibayangkan bagaimana kondisi DPRD masih dihuni oleh oknum-oknum anggota dewan yang bermasalah.
Kedepan, perlu ada penguatan institusi BK sebagai lembaga control internal DPRD dan peran fraksi di DPRD juga perlu ditingkatkan dan diperketat untuk memantau kader-kadernya masing-masing. Hal ini dilakukan untuk menjaga kehormatan anggota dewan secara personal dan insitusional. Sehingga label lembaga yang terhormat, tidak berubah semakin parah, yakni semakin tidk terhormat. Semoga..!

Tidak ada komentar: