Kamis, 31 Desember 2009

Remaja dan Bunuh Diri

Opini Harian Bhirawa, 27 Desember 2009

Akhir-akhir ini kasus bunuh atau percobaan bunuh diri di kota-kota besar kecederungannya semakin marak dan meningkat. Dari berbagai kasus bunuh diri atau percoabaan bunuh diri tersebut, yang paling memprihantikan adalah pelakunya masih usia belia, yakni usia remaja atau produktif. Di Jakarta misalnya, dua minggu lalu dalam satu hari dengan waktu yang bebeda terdapat dua remaja melakukan aksi bunuh diri dengan melompat dari lantai VII sebuah plaza.
DI Surabaya, karena cemburu pada pacarnya, seorang mahasiswi semester akhir perguruan tinggi negeri (PTN) di Malang, Yanu Nurcahyani, 23, mencoba bunuh diri dengan minum racun tikus jenis Tymex di kamar 102 Hotel Hayam Wuruk Jl Sukarno-Hatta Trenggalek. Namun upayanya tak berhasil. Racun itu membuatnya sekarat, tidak sampai menghilangkan nyawanya. Nah, pada saat sekarat itulah dia kemungkinan berpikir betapa berartinya hidup (Bhirawa, 9/12/2009).
Kasus percobaan bunuh diri yang dilakukan kalangan remaja cukup memprihatinkan. Hanya karena menghadapi persoalan-persoalan sepele (baca: seperti putus cinta), mereka nekat mengambil jalan pintas dengan cara bunuh diri. Secara statistik, berdasarkan data yang dihimpun bagian Poli Jiwa Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Soetomo, Surabaya, menyebutkan kasus percobaan bunuh diri yang terjadi selama 2008 tercatat 21 kasus. Ironisnya, kasus percobaan bunuh diri ini banyak dilakukan oleh pelaku berusia 17 tahun hingga 27 tahun. Disusul kemudian, pelaku yang berusia 30 tahun hingga 45 tahun.
Kalangan remaja yang nekat mengakhiri hidupnya dengan jalan bunuh diri mayoritas karena terlibat masalah dengan pacar dan selebihnya karena terlibat masalah dengan orang tua dan lingkungan pergaulan. Cara paling banyak dilakukan untuk mencoba bunuh diri yakni dengan meminum Baygon, minum racun tikus, mengiris pergelangan tangan, dan selebihnya dengan cara melompat dari tempat tinggi. Sedangkan, mereka yang berusia antara 30-45 tahun yang nekat berusaha bunuh diri sebagian besar disebabkan karena masalah-masalah rumah tangga.
Kasus bunuh diri atau percobaan diri yang dilakukan seseorang, termasuk kalangan remaja dilatarbelakangi oleh permasalahan yang kompleks. Dengan kata lain, sebab seseorang melakukan bunh diri atau percoabaan bunuh diri sangat beragam, tidak saja karena faktor kejiwaan atau psikis, tapi sosiologis. Khusus untuk remaja, di antaranya kepribadian remaja yang belum matang dan terjadinnya alienasi sosial rentan mengambil jalan pintas ketika mengalami masalah.
Menurut para psikolog, remaja yang nekat mengambil jalan pintas ingin mengakhiri hidupnya memiliki kecenderungan gampang putus asa, tidak bisa melihat jalan keluar ketika menghadapi masalah, hubungan dengan keluarga kurang harmonis, dan perkembangan jiwanya kurang matang. Selain pribadi dirinya yang kurang matang, faktor lingkungan sekitar, lingkungan sekolah, keluarga, orang tua, juga turut mempengaruhi.

Kajian Sosiologis
Dalam kajian sosiologi, sosiolog tekemuka yang secara khusus membahas masalah bunh diri (suicide) ini adalah E. Durkheim, menurutnya, bunuh diri bukan disebabkan masalah kemiskinan atau sakit jiwa, namun lebih disebabkan karena renggang atau lepasnya ikatan-ikatan sosial/ikatan nilai yang kemudian menjadikan masyarakat mengalami disintegrasi. Nilai-nilai atau kesadaran kolektif (Collective Consciousness) yang menjadi panduan bermasyarakat mengalami pemudaran atau dalam teori Durkhem disebut Anomie, yakni suatu situasi di mana nilai dan norma dalam masyarakat tetap ada, namun tidak lagi berfungsi untuk menjadi standard dan pedoman dalam bertingkah laku. Masyarakat mengalami kekacauan karena tidak adanya aturan-aturan yang diakui bersama yang eksplisit ataupun implisit mengenai perilaku yang baik, atau, lebih parah lagi, terhadap aturan-aturan yang berkuasa dalam meningkatkan isolasi atau bahkan saling memangsa dan bukan kerja sama.
Dalam konteks teori Durkheim, bunuh diri adalah salah satu bentuk dari penyimpangan perilaku. Durkheim ingin menunjukkan Bagaimana bunuh diri itu terjadi atau dilakukan oleh seseorang, disebabkan oleh benturan dua kutub integrasi dan regulasi di mana kuat dan lemahnya kedua kutub itu akan menyebabkan orang melakukan bunuh diri. Dalam teori bunuh dirinya (Suicide), Durkheim membaginya menjadi tiga; 1. Anomie Suicide; yakni bunh diri yang disebabkan karena adanya kekacauan nilai dan norma dalam masyarakat (contoh kasus bunuh diri dalam kondisi masyarakat yang serba kacau), 2. Egoistic Suicide, yakni bunuh diri yang disebabkan karena kepentingan dirinya lebih berharga daripada kepentingan orang lain (contoh kasus bunuh diri karena berhutang atau ditinggal pacar), dan 3. Altruisme Suicide, yakni bunuh diri yang disebabkan karena kepentingan orang lain/masyarakat lebih berharga daripada kepentingan dirinya (contoh; kasus sekte Harakiri di Jepang)
Para penganut teori social control mengatakan bahwa munculnya perilaku menyimpang atau lebih khusus “jalan pintas” yang terjadi dalam kasus bunuh diri remaja, lebih disebabkan karena lemahnya kontrol sosial dari lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat, terutama institusi keluarga. Lembaga ini dinilai gagal dalam mengatur, mendisiplinir dan mengarahkan perilaku dan tindakan anggotanya, begitu juga dengan lembaga sosial di luar keluarga. Masyarakat cenderung memberikan “ruang gerak” kepada individu maupun kelompok untuk berperilaku menyimpang. Selain itu, semakin menjamurnya perilaku dan budaya individualistik masyarakat yang berujung pada semakin renggangnya ikatan sosial di antara kita. Hilangnya ikatan sosial ini akibat semakin longgarnya nilai atau norma dalam masyarakat. Kondis ini yang dalam teori Durkhem di sebut sebagai Anomie atau ketiadaan norma.
Secara sosiologis, menurut Guru Besar Sosiologi Unair, Soetandyo Wignjosoebroto, munculnya kasus bunuh diri lebih disebabkan karena permasalahan struktural yakni terjadinya disorganisasi kehidupan yang berimbas pada terdisintegrasinya –dalam tempo yang relatif cepat- institusi-institusi primer komunitas-komunitas lokal, dengan fungsi-fungsi yang tak segera bisa di ambil-alih dan dilanjutkan oleh isntitusi-institusi penggantinya (yang seharusnya tumbuh-kembang dalam kehidupan urban-industrial). Sementara institusi-institusi keluarga kehilangan keterandalannya, institusi-institusi sekender yang seharusnya tumbuh-kembang dalam kehidupan urban-industrial nyatanya tidak cukup terkelola dan terpelihara dengan baik untuk melaksanakan fungsi-fungsi sosialisasi dan enkulturasi.
Dengan demikian bahwa ketidakutuhan atau disorganisasi ini yang kemudian menimbulkan gagalnya keluarga dalam memerankan peranannya sebagai agen atau institusi yang dapat memberikan kebutuhan psikologis. Kemapanan secara ekonomi yang dimilki suatu keluarga tidak menjamin kebetahan anak dalam keluarga atau menjadikan akan tidak berperilaku menyimpang. Justru karena kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi –walaupun secara ekonomik terpenuhi- menjadikan anak berperilaku delinkuen, termasuk melakukan aksi bunuh diri atau percobaan bunuh diri.
Bunuh diri adalah salah satu bentuk perilaku menyimpang, karena itu dalam konteks inilah, Durkheim menekankan, pentingnya agama bagi seseorang untuk menghindarkan dari berbagai penyimpangan yang mungkin terjadi, di mana unsur-unsur esensial dari agama itu terdiri dari nilai-nilai moralitas yang bisa dijadikan daya kendali seseorang dari perilaku menyimpang (baca: bunuh diri). Bagi Durkheim, moralitas itu merupakan suatu aturan yang merupakan patokan bagi tindakan dan perilaku manusia (juga dalam berinteraksi). Konsepnya mengenai moralitas ini merujuk pada apa yang dinamakan norms (norma-norma) dan rules (aturan-aturan) yang harus dijadikan acuan dalam berinteraksi. Selain faktor kedekatan diri dengan agama, faktor sosial, seperti membangun kebersamaan dan kepedulian sosial atas sesama adalah langkah solutif untuk menekan angka bunuh diri.

Tidak ada komentar: