Rabu, 11 Maret 2009

Korupsi dan Keshalehan Formal

Dimuat di Opini Radar Surabaya Januari 2009

Dugaan praktik korupsi di lingkungan Departmen Agama (Depag) kembali mencuat ke publik. Ini menyusul laporan Indonesia Corruption Wacth (ICW) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait pengelolaan Dana Alokasi Ummat (DAU) yag diduga berindikasi korupsi.
Dalam laporannya ke KPK, ICW menyebut indikasi penyelewengan DAU mencapai Rp 1,3, triliun dalam kurun waktu 2004-2006. Dana sebesar itu tak pernah dilaporkan ke DPR. ICW menyebut ada dana yang mengalir ke menteri agama dalam tiga bentuk, yakni tunjangan fungsional sebesar Rp 10 juta, tunjangan Idul Fitri sebesar Rp 25 juta, dan biaya taktis perjalanan dinas Menag ke Arab Saudi sebesar Rp USD ribu
Selain itu, ICW juga menyebut ada praktik kotor berupa pemberian uang perjalanan kepada anggota DPR dan transpor pembahasan Biaya Perjalanan Penyelenggataan Ibadah Haji (BPIH) yang mencapai Rp 500 milyar (Radar Surabaya, 28/12/2008). Kasus ini saat ini sedang diselidiki oleh KPK, apakah indikasi dan unsur pidana atau tidak.
Kasus ini sungguh sangat ironis, karena terjadi di institusi agama sekaliber Depag yang diberi tugas negara sebagai penjaga moralitas bangsa. Namun demikian, untuk membuktikan kebenaran dugaan praktik pungli tersebut, perlu adanya penyelidikan dan investigasi dari KPK. Laporan ICW–yang berisi data dan informasi- yang masuk ke KPK tersebut setidaknya bisa dijadikan modal dan pintu awal bagi aparat penegak hukum kita untuk masuk melakukan menyelidikan dan investigasi secara mendalam. Pertama, apakah benar telah terjadi praktik korupsi. Kedua, jika dalam proses penyelidikan dan investigasi tersebut ada indikasi kuat dan mengarah ke tindak pidana korupsi, maka pihak penegak hukum bisa melanjutkan ke proses penyidikan.
Kasus korupsi yang terjadi di tubuh Depag, bukan kali ini saja terjadi. Beberapa tahun yang lalu, KPK pernah berhasil membongkar kasus yang sama pada era Said Agil H. Munawar. Setelah melakukan proses penyelidikan dan penyidikan di tubuh Depag, KPK menemukan adanya dugaan korupsi di lembaga “penjaga moral ummat” tersebut senilai Rp 680 milyar. Kasus ini akhirnya menyeret mantan Menteri Agama, Said Agil Husein Al Munawar ke pengadilan. Dengan melihat fakta-fakta ini, publik mulai menilai institusi agama seperti Depag ini ternyata tak stiriil juga dari praktik korupsi.

Keshalehan formal
Kasus dugaan praktik korupsi ini sungguh sangat ironis dan tragis. Jika korupsi menimpa departemen pariwisata misalnya, mungkin masyarakat masih menganggap “wajar”, karena terjadi di instiusi yang “jauh” dari religiusitas atau banyak orang yang tak tahu dan faham agama. Akan tetapi jika ini terjadi di institusi agama seperti Depag, (jika ini benar terjadi) wah ini sungguh sangat keterlaluan. Institusi yang selama ini dikenal publik tahu dan faham agama dan fasih berkothbah anti korupsi justru tersangkut dugaan korupsi.
Bagi orang awam, mungkin akan muncul pertanyaan bagaimana mungkin kasus “haram” tersebut terjadi di Institusi agama?. Apa yang salah dengan institusi agama?. Apakah institusi agama, seperti Depag, saat ini sedang mengalami degradasi pemahaman agama?. Seharusnya dengan semakin tinggi tingkat pemahaman agama atau religuisitas seseorang, akan semakin rendah atau setidaknya akan dapat menekan bahkan menghilangkan praktik haram tersebut. Lalu buat apa mereka belajar agama puluhan tahun, jika tidak mampu menahan hawa nafsu untuk melakukan praktik haram.
Singkatnya, saya melihat, tingkat keshalehan masyarakat kita, termasuk para pejabat dan anak buahnya di Depag, masih sebatas keshalehan formal, yakni keshalehan pada tingkat kognitif dan status keagamaannya. Keshalehan hanya ada di tempat-tempat ibadah atau majelis taklim. Belum sampai pada keshalehan substansial, yakni keshalehan yang mendalam yang tak kenal ruang dan waktu. Tidak hanya diyakini, dan dipercaya secara nalar, tapi juga diaktualisasikan dalam setiap perilaku dan tindakan hidupnya. Keshalehan substansial ini salah satunya mewujud pada sikap moral dan sosial seseorang kepada orang lain dan lingkungan sosial lainnya. Sikap peduli, empati, dan anti korupsi misalnya adalah salah satu wujud dari keshalehan substansial dan sosial tersebut. Keshalehan ini nihil di institusi agama seperti Depag, yang tumbuh-sumbur justru keshalehan formal yang sifatnya fatamorganis.
Karena itu, semua pihak, terutama Depag sebagai lembaga yang diamanahi menjaga dan memperbaiki moralitas masyarakat harus membenahi aspek kelembagaan dan aparatusnya. Depag tidak saja dituntut untuk membangun kelembagaan yang anti korupsi, tapi yang terpenting juga membangun mentalitas dan integritas moral para aparatusnya. Keshalehan formal harus diaktualisasikan pada keshalehan sosial yang substansial, bukan artifisial.

Tidak ada komentar: