Selasa, 24 Maret 2009

Kampanye, Uang, dan Kekuasaan

Sumber : Opini Surabaya Pagi, 24 Maret 2009


Kampanye, uang, dan kekuasaan. Ketiga komponen politik penting ini akan mewarnai hajatan politik lima tahunan negeri ini. Mulai 16 Maret sampai 5 April 2009, tahapan Pemilu akan memasuki tahap kampanye massal. Setiap Parpol diberikan kesempatan dua kali untuk mengadakan kampanye terbuka dan pengerahan massa. Kampanye massal ini tentu saja akan tidak saja menyedot massa yang cukup besar, tapi juga dana kampanye sangat besar.
Meskinpun uang bukan satu-satunya faktor penentu di dalam pemenangan Pemilu, namun uang tetap faktor utama yang diperlukan dalam menjalankan proses kampanye dan meraih dukungan pemilih (Jaconson, 1980:33). Parpol dan para calegnya sebelumnya sudah berkampanye secara terbatas sejak Juli 2008 dan tentu saja telah menghabiskan uang cukup besar untuk sosialisasi ke masyarakat pemilih. Di Kampanye massal, ini diprediksi dana kampanye akan mengalir lebih banyak dibanding sebelumnya.
Potensi politik uang juga semakin besar. Ini mengingat Mahkamah Konsititusi (MK) membatalkan penetapan caleg dengan nomer urut dan digantikan dengan sistem suara terbanyak. Sistem ini memberi ruang bagi para caleg yang berkantong tebal untuk memanfaatkan modal kapitalnya untuk meraih suara pemilih sebanyak-banyaknya. Uang milyaran rupiah akan disebar kepada khalayak pemilih dengan harapan mendapat suara banyak dan meraih kursi politik di parlemen.. .
Uang tersebut digunakan untuk kampanye dalam bentuk iklan di berbagai media massa dan elektronika. Iklan media ini diperkirakan mencapai ratusan milyar rupiah. Apalagi disiarkan pada prime time. Selain kampanye lewat media, Parpol dan para calegnya juga berkampanye lewat baliho, reklame, brosur yang bentuk sangat besar dan tentunya dipastikan anggaran yang dikelarkan juga sangat besar. Dengan kampanye assal selama 21 hari, uang yang beredar dalam Pemilu Pilgub ini bisa mencapai angka triliunan.
Selain kampanye dalam bentuk iklan di media, reklame, baliho dan sebagainya. Para caleg Parpol juga mengobral uang dan barang pada saat menemui masyarakat. Ada yang memberikan satu paket sembako, uang ampop, paket alat dapur. Bahkan ada bentuk kampanye dalam bentuk jalan sehat dengan diiming-imingi berbagai hadiah yang menarik, mulai sepeda motor, TV, radio, kulkas sampai sepeda mini, dan sebagainya. Dan anggaran untuk kebutuhan ini, tidaklah sedikit. Bisa mencapai puluhan milyaran rupiah.
Semua itu dikorbankan untuk satu tujuan yakni meraih kekuasaan. Ramai-ramainya para caleg Parpol mengobral uang dalam kampanye Pemilu ini, bukannya menimbulkan respon positif dari masyarakat. Justru menimbulkan penilaian negatif bahawa hajatan politik tersebut identik dengan uang. Dengan kata lain, para caleg parpol sudah dengan nyata dan jelas melakukan praktik money politic.

Politik Uang
Para caleg parpol sangat begitu vulgar mengumbar dan mengobral uang dalam masa kampanye. Bagi-bagi uang menjadi kegiatan rutin para caleg dan tim suksesnya dalam mencari dukungan suara pemilih. Padahal praktik ini jelas telah melanggar aturan hukum yang ada. Uang menjadi bagian terpenting dan faktor dominan dalam meraih kekuasaan.
Dalam aturan UU Pemilu No. 10/2008 tentang Pemilu DPR, DPRD dan DPD sudah sangat jelas larangan politik uang. Pasal 274 UU Pileg menyatakan; “Pelaksana kampanye yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung ataupun tidak langsung agar tidak menggunakan hak pilihnya untuk memilih, atau memilih peserta pemilu tetentu, atau menggunakan haknya untuk memilih dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 24 bulan dan denda paling sedikit Rp 6.000.000 dan paling banyak Rp 24.000.000”
Di tahun 2004, banyak praktek dan modus politik uang yang terjadi di Pemilu 1999 kembali terjadi. Rentang waktu politik uang rezim Pemilu terbagi kedalam dua masa, yakni mas pelaksanaan kampanye sebagaimana KPU sudah tetapkan jadwalnya dan masa pencoblosan suara. Sebagaimana di atur dalam UU, politik uang tidak sebatas pembeiran uang, namun juga maeri yang terkait dengan upaya membujuk calon pemilih untuk memilih calon tertentu (Buku Panduan Pemantauan Dana Kampanye, ICW, 2009). Dan praktek politik uang sebagaimana yang terjadi di Pemilu 2004 bukan tidak mungkin akan terjadi kembali di Pemilu 2009 ini. Bahkan kuantitas dan kualitasnya akan semakin tinggi.
Masyarakat pemilih harus berfikir money politic adalah racun bagi dirinya dan bangsa ini. Para caleg yang mengandalkan politik uang nantinya jika terpilih akan berperilaku lebih ganas bak predator yang bisa menghisap uang rakyat lebih banyak. Jika sudah menjadi anggota dewan, dalam pikirannya akan muncul bagaimana uang ratusan juta yang telah dikeluarkan bisa balik, bahkan kalau perlu bisa lebih. Para caleg model ini akan “menghalalkan segala cara” dalam meraih keuntungan politik dan ekonomi ketika sudah duduk menjadi wakil rakyat. Karena itu, ambil uangnya, jangan pilih orangnya.
Kampanye yang diwarnai dengan politik uang yang begitu vulgar dan tanpa dosa ini bukannya akan memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat, tapi justru yang terjadi adalah praktik pembodohan politik yang begitu masif. Parpol dan caleg yang mengandalkan uang dalam meraih kursi kekuasaanya, sudah dipastikan akan menjadi rezim korup jika mereka nantinya berkuasa atau memegang kekuasaan. Bahkan perilaku korupnya dipastikan akan lebih korup di bandingkan dengan saat kampanye.
Karena itu, dalam konteks ini masyarakat pemilih dituntut untuk berfikir lebih rasional dan cerdas. Pemilih jangan sampai tergiur dengan imbalan materi yang diberikan para caleg dan Parpol. Awalnya mungkin berkah politik bagi pemilih, namun kedepannya akan menjadi bencana politik bagi pemilih dan bangsa ini.

Tidak ada komentar: