Kamis, 31 Desember 2009

Kunker DPRD Jatim dan Nasib Maskin

opini Surabaya Pagi, 14 Desember 2009

BARU dua setengah bulan menjabat, anggota DPRD Jatim sudah mulai berulah. Sama seperti kebisaan buruk yang dilakukan anggota dewan periode sebelumnya, yakni melakukan Kunjungan Kerja (Kunker) sia-sia. Kali ini Kunker dewan berdalih pembahasan RAPBD 2010. Yang menjadi pertanyaan, mengapa hanya untuk membahas RAPBD saja harus melakukan Kunker berulang-ulang dan yang menimbulkan pertanyaan publik, mengapa Kunker tersebut dilakukan di masa injuri time pelaksanaan APBD 2009?. Muncul suudhon politik, Kunker ini sarat bernuansa penghabisan anggaran, karena jika tidak dipakai maka akan dikembalikan kas daerah.
Seperti diberitakan, 95 anggota DPRD Jatim ramai-ramai melakukan Kunker ke berbagai propinsi di Indonesia dengan dalih untuk mencari informasi pembanding dalam rangka penyusunan dan pembahasan RAPBD 2010. Kunker yang melibatkan lima komisi ini mengabiskan dana lebih dari Rp 5 miliar. Dengan kata lain, setiap fraksi akan mendapatkan dana Kunker Rp 1 miliar.

Anggaran Kunker yang menghabiskan angka Rp 5 miliar dan dilakukan dalam waktu yang cukup singkat, menurut penulis sangat tidak masuk akal. Anggaran tersebut sangat berlebih, apalagi Kunker yang dilakukan adalah Kunker dalam negeri. Selain itu, uang Rp 5 miliar tersebut langsung dibagi rata ke lima fraksi, seperti membagi-bagi permen ke anak kecil. Praktik ini semakin menguatkan dugaan publik, orientasi politik anggota dewan melakukan Kunker bukan sekedar pembahasan RAPBD 2010, tapi lebih jauh dari itu adalah bagaimana menghabiskan anggaran menjelang tutup buku APBD 2009.

Pada Kunker tahap I, 20-22 Oktober 2009, Komisi A bertolak ke Medan, B ke Gorontalo, C ke Jawa Barat, D ke DKI Jakarta, dan E ke Kalimantan Timur. Dan ternyata Kunker berulang pada tanggal 28 Oktober 2009, di mana Komisi A, C, dan E akan bertolak ke Jakarta dan Banten, Komisi B ke Semarang dan Komisi D ke Bali. Materi Kunker II hampir sama seperti Kunker tahap I, yakni dalam rangka pembahasan RAPBD 2010. Kunker berulang ini, semakin menambah deretan panjang dugaan publik; Kunker hanya menghabiskan uang rakyat.

Kegiatan Kunker tersebut, penulis menilai tidak akan banyak membawa kontribusi positif dalam proses pembahasan RAPBD 2010. Selain karena dilakukan dalam waktu yang mendesak dan dipaksakan, juga yang perlu dicermati lebih jauh adalah karena tidak adanya perubahan paradigma politik anggaran. Paradigma politik anggaran pemerintah daerah Jatim sangat konservatif, yang masih menempatkan anggaran aparatur birokrasi (baca:rutin) sebagai “panglima”, sedangkan anggaran publik/pembangunan sebagai “prajurit”. Paradigma ini sudah mentradisi puluhan tahun dan rakyat terus menjadi korban. Dengan kata lain, APBD Jatim selama ini lebih banyak melayani kebutuhan elit daerah, baik untuk eksekutif maupun legislatif daripada kebutuhan untuk masyarakat.

Fakta ini pula yang terjadi pada RAPBD 2010 Jatim. Dalam pembacaan Nota Keuangan 2010, Gubernur Soekarwo menyebutkan dari total rancangan anggaran Rp 7,376 triliun, alokasi belanja pembangunan sebesar Rp 3,753 triliun (51,1 persen) sedangkan belanja pegawai Rp 3,591 triliun (48,9 persen). Komposisi sepertinya “berpihak pada rakyat” atau meminjam jargon Pakde Karwo dalam kampanye Pilgub; “APBD untuk Rakyat”, namun jika kita kritisi dan cermati lebih dalam, anggaran pembangunan yang mencapai 51,1 persen banyak yang kembali lagi untuk kebutuhan dan kepentingan aparatur birokrasi. Dengan kata lain, RAPBD 2010 Jatim bagaikan fatamorgana, masih belum berpihak pada kepentingan masyarakat. Karena itu, penulis melihat, Kunker tidak akan berdampak pada performance RAPBD 2010 yang pro rakyat, jika paradigma politik anggarannya tidak berubah.

Bagaikan Predator
Para anggota dewan baru seharusnya bisa belajar dari “kebiasaan buruk” Kunker sia-sia yang dilakukan anggota dewan sebelumnya. Dan yang paling disesalkan, ada anggota dewan baru yang dulunya bersama penulis lantang menyuarakan “tolak kunker” (bahkan sampai melakukan gugutan class action ke pengadian), namun saat ini suara lantang tersebut nyaris tak berbunyi di gedung dewan. Jangankan bersuara keras, yang dilakukan justru “mengamini” dan terlibat dalam kegiatan Kunker. Inilah wajah asli kekuasaan; suara rakyat berubah menjadi suara elit kekuasaan yang ingin berkuasa dan menguasai. Anggota dewan sudah terjangkit penyakit “amnesia politik”; lupa diri bahwa dirinya adalah wakil rakyat yang harus mengabdi pada rakyat. Kekuasaan telah melupakan segalanya, termasuk rakyat yang diwakilinya.

Penghabisan uang rakyat sebesar Rp 5 miliar dalam waktu cukup singkat tersebut, apalagi tidak dikuti dengan hasil dan kontribusi signifikan bagi peningkatan kerja dan kinerja dewan dan peningkatan kesejahteraan rakyat, sama saja dewan melakukan predatorisasi rakyat melalui penghisapan anggaran di APBD.

Apakah anggota dewan tidak melihat dan merasakan penderitaan masyarakat miskin dan pengangguran yang saat ini sedang kesulitan mencari sesuap nasi, apalagi di tengah harga bahan pokok yang terus melambung. Banyak anak keluarga miskin yang tak bisa sekolah dan putus sekolah, keluarga miskin yang tak mampu membayar biaya kesehatan di Rumah Sakit. Apalagi ada satu kecamatan di Kabupaten Ponorogo yang dijuluki sebagai “Kampung Idiot”. Ini sungguh sangat ironis dan tragis, di saat anggota dewan ramai-ramai Kunker, pada saat yang sama ada warga satu kampung yang idiot. Dimana nurani anggota dewan…?. kampung Idiot ini bisa menjadi wujud paling telanjang dari praktik politik anggaran kita yang manupulatif dan konspiratif.

Karena itu, tidak alasan bagi anggota dewan untuk terus melanjutkan Kunker “sia-sia” tersebut. Alangkah lebih baiknya, berkosentrasi penuh pada pembahasan dan penyusunan RAPBD 2010 yang berpihak pada kepentingan masyarakat Jatim. Kunker lah ke masyarakat bawah dan rasakan penderitaannya. Di situlah hakekat Kunker sebenarnya bagi anggota dewan, bukan nglencer mengabiskan anggaran ke luar daerah.

Tidak ada komentar: