Rabu, 27 Agustus 2008

Politik Murk Down RAPBD Surabaya 2009

Sumber opini KOMPAS Jatim, 5 Agustus 2008
Beberapa hari lalu, Pemerintah Kota Surabaya mulai mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2009 kepada pihak DPRD. Dalam pengajuan anggaran yang tertuang dalam rancangan kebijakan umum anggaran (KUA) dan prioritas plafon anggaran sementara (PPAS), disebutkan bahwa kekuatan APBD untuk tahun 2009 nanti sebesar Rp 2,8 triliun atau persisnya Rp 2.831.583.176.151.
Angka tersebut lebih kecil di banding kekuatan APBD 2008, yakni sebesar Rp 3 triliun atau persisnya Rp 3.025.360.210.903. Dengan demikian, terjadi penunurnan yang cukup drastis, yakni sekitar Rp 230 milyar. Penunuran anggaran 2009 langsung mematik reaksi keras dari pihak anggota DPRD, yang menilai penurunan tersebut tidak masuk akal, padahal potensi pendapatan di Kota Buaya ini sangat besar.
Menurut Sekretaris Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) DPRD Kota Surabaya, Zaenab Maltufah mengatakan, angka APBD 2009 yang diajukan pemkot tidak rasional. Tidak ada pertimbangan mendasar untuk menurunkan APBD. Justru kami melihat potensi harusnya naik. Kalau turun tidak rasional. Pertimbangannya apa? Kalau diturunkan juga menimbulkan tanda tanya, ada apa?,”katanya. Menurut dia, tidak ada ceritanya APBD turun kecuali ada force major. Selain itu, jika ada pengecualian lain, misalnya dinyatakan ada hal-hal yang membuat APBD tidak bisa ditingkatkan.
Penurunan anggaran 2009 yang mencapai Rp 230 milyar, selain menimbulkan tanda tanya besar di kalangan anggota dewan, juga masyarakat. Masyarakat akan menilai penurunan anggaran tersebut tidak masuk akal. Padahal potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di semua sektor di Surabaya sangat besar. Dan ini baru pertama kali, APBD Surabaya mengalami penurunan. Padahal pada anggaran tahun-tahun sebelumnya, grafiknya selalu naik. Karena itu, munculnya penurunan anggaran tersebut patut dicurigai.
Alasan Pemkot, melalui Kepla Badan Perencaan Pembangunan Kota (Bappeko) Tri Rismaharini yang mengatakan, APBD 2009 lebih kecil dibandingkan 2008 itu karena menurunnya jumlah proyek -pada 2008, APBD sangat besar karena banyak proyek yang dianggarkan pada 2007 tidak tergarap, kemudian dimasukkan pada 2008- pun tak bisa dijadikan apologi.
Masyarakat akan menduga dan bahkan ber-suudhon penurunan anggaran 2009 tersebut ada praktik politik murk dwon, yakni pihak Pemkot Surabaya dengan “sengaja” mengajukan anggaran lebih kecil dari potensi yang sebenarnya sehingga diharapkan ada sisa uang yang masuk ke kantong pribadi. Walikota Surabaya sendiri mencanangkan visi dan misi kota Buaya ini sebagai kota jasa dan perdagangan. Ini mengingat usaha di bidang jasa, industri dan perdagangan tumbuh pesat di Kota Surabaya ini. Dengan tumbuh pesatnya usaha tersebut tentunya akan berdampak pada peningkatan pendapatan daerah melalui pajak dan retribusi.
Sebut saja misalnya, Kota Surabaya memiliki potensi pendapatan pajak dari sektor parkir yang sangat besar, yakni bisa mencapai Rp 21,44 miliar. Namun Dinas Pajak sebagai instansi pengelola dan pemungut pajak parkir sepertinya hanya mendapatkan pepesan kosong saja. Pajak parkir yang masuk setiap tahunnya masih di bawah Rp 10 milyar. Sehingga ada dugaan kebocoran sekitar Rp 11 milyar lebih. Sebuah angka yang cukup besar. Bahkan jika kita lihat jumlah kendaran bermotor bernopol Surabaya setiap tahunnya terus mengalami kenaikan. Seharusnya pendapatan pajak parkirpun juga terus mengalami kenaikan. Kenyataannya, kenaikkan pajak parkir tidak terlalu signifikan. Menurut pakar transportasi ITS, Hitapriya Suprayitna, memperkirakan jumlah kendaraan sepeda motor bernomor polisi Surabaya sekitar 700.000 unit. Untuk kendaraan roda empat tidak termasuk truk sekitar 91.000 unit. Kendaraan dari luar kota yang masuk Surabaya sekitar 20 persennya (Kompas, 2/10/2007). Data ini mungkin jauh lebih kecil dari data yang riil. Dan karenanya potensi pajak parkirpun jauh lebih besar.
Dalam semua laporan tahunan pencapaian pendapatan pajak parkir ini masih jauh di bawah potensi yang ada. Pertanyaannya, kemana uang puluhan milyar rupiah tersebut melayang selama ini?. Siapa yang sebenarnya diuntungkan dengan menguapnya potensi pajak parkir ini? Bahkan bukan tidak mungkin setoran pajak parkir yang masuk kantong pribadi-pribadi lebih besar dari yang masuk ke kas daerah.
Dan ada dugaan menguapnya potensi pajak dan retribusi tak hanya terjadi di Dinas “basah” seperti Pajak. Namun juga terjadi di berbagai “dinas basah” lainnya. Dinas-dinas “basah” atau penghasil devisa tidak menutup kemungkinan terjadi murk down atau kebocoran dengan harapan para oknum birokrasi kecipratan untungnya. Selain sektor pajak, Surabaya juga dikenal sebagai “kota Reklame”. Ada ribuan reklame dalam berbagai bentuk, kecil dan besar, dan dihiasi dengan berbagai variasi mewah.
Dengan adanya ribuan reklame mewah tersebut, tentunya potensi pajak yang masuk kas daerah pun besar. Namun sektor ini pun nasibnya tak jauh beda dengan parkir. Sertiap tahun sering terjadi kebocoran dan bahkan praktik murk down. Bahkan penataan reklame ini sudah berubah dari semangat tata ruang berubah menjadi tata uang. Dengan kata lain, potensi kebocoran pajak reklame ini sangat besar. Dengan hilangnya potensi pajak-pajak tersebut otomatis akan berpengaruh pada menurunnya APBD. Karena itu, sekali lagi penurunan anggaran 2009 tersebut sangat tidak masuk akal, dan sekaligus akal-akalan Pemkot Surabaya.

Lemahnya Kinerja Dinas pajak
Saya menduga, penurunan anggaran 2009 tersebut lebih disebabkan karena maraknya praktik politik murk down. Adanya kesenjangan “disengaja” yang cukup besar antara pendapatan yang masuk Dinas Pajak dengan potensi pajak yang ada. Praktik semacam ini hampir terjadi di dinas-dinas “basah” di lingkungan Pemkot, termasuk di Dinas Pajak. Dinas Pajak dengan sengaja mengajukan laporan atau menetapkan target dan realisasi lebih kecil dari yang sebenarnya agar ada sisa dana yang masuk ke kantong pribadi-pribasdi. Apalagi Dinas Pajak, sektor parkir, dan reklame ini di kenal publik sebagai salah satu dinas dan sektor yang paling basah (baca: penghasil uang). Semakin basah suatu dinas dan sektor pajak, maka tingkat kebocoran dan praktik korupsinya akan semakin besar.
Dengan melihat realitas perolehan pendapatan daerah yang sangat minimalis ini, menunjukkan kinerja Dinas Pajak masih sangat lemah. Dinas pajak sepertinya hanya melakukan praktik 4D; datang, duduk, diam dan duit. Artinya Dinas Pajak hanya menunggu setoran pajak dari tengkulak. Tak pernah ada program yang kreatif, inovatif, dan progresif guna meningkatakan pendapatan daerah. Dengan kata lain, kinerja Dinas Pajak dalam program intensifikasi dan ekstensifikasi target perolehan PAD dari berbagai bidang dan sektor patut dipertanyakan.

Tidak ada komentar: