Sabtu, 30 Agustus 2008

Caleg Artis; Cermin Lemahnya Pengkaderan Parpol

Sumber : Opini Bhirawa, 26 Agustus 2008
Saat ini tahapan Pemilu 2009 memasuki masa pendaftaran nama-nama calon legislatif atau pencalegan dari partai politik. Masa pencalegan ini merupakan titik awal bagi masyarakat untuk melihat dan menilai wajah-wajah calon legislatif yang akan duduk di parlemen pada 2009. Masyarakat mulai sekarang harus jeli dan kritis terhadap nama-nama caleg yang dicalonkan parpol. Karena tidak sedikit parpol yang mencalonkan seseorang bukan karena kapabilitas, kredibilitas, dan kompetensinya, tapi lebih karena popularitas semata. Bahkan tidak sedikit caleg-caleg yang dicalonkan hasil “politik karbitan” parpol. Ini yang perlu diwaspadai, agar masyarakat tak menjadi korban politik dua kali..
Berbagai cara dilakukan parpol untuk meraih suara sebanyak-sebanyak pada Pemilu 2009 dengan harapan akan meraih kursi yang maksimal. Salah satunya merekrut para artis papan atas. Hampir sebagain besar Parpol-parpol besar seperti Golkar, PDI-P, PKB, PPP, PAN ramai-ramai merekrut artis dengan asa akan mendapatkan suara yang sebanyak-banyaknya. Bahkan PAN merupakan parpol yag mengajukan caleg dari artis yang porsinya lebih banyak dari parpol-parpol yang lainnya. Sehingga ada yang memplesetkan PAN dengan singkatan “Partai Artis Nasional”.
Sebut saja misalnya, PAN merekrut 33 artis, PPP dengan 10 artis, partai Golkar dengan 10 artis. Bahkan tidak saja partai-partai yang sudah mapan, parpol-parpol baru pun tak ketinggalan berloma-lomba menggaet para artis. Sebagain besar para artis tersebut tak melalui proses kelembagaan parpol yang semestinya. Sebut saja proses pengkaderan dari bawah. Ini menunjukkan sekali lagi, fungsi parpol sebagai tempat pengakaderan sangat lemah. Dan apa jadinya demokrasi indonesia kedepan jika, kondisi internal parpol seperti itu.
Salah satu yang pertimbangan paling menonjol parpol-parpol mengajukan para artis menjadi caleg adalah popularitas artis. Popularitas ini dinilai memiliki daya tarik untuk meraih suara sebanyak-banyaknya. Karena popularitas ini, bagi parpol tidak perlu mensosialisasikan atau memperkenalkan caleg artis ke masyarakat, karena masyarakat sudah mengenal. Bahkan tak hanya aspek popularitas, tapi juga ketampanan dan kecantikan artis yang bersangkutan. Apakah kesejahteraan rakyat bisa diwujudkan dengan popularitas, ketampanan atau kecantikan seorang wakil rakyat...?
Dalam konteks ini, penulis bukan anti politisi atau caleg arts, namun yang sangat disayangkan, parpol-parpol tersebut menggunakan cara-cara instan atau karbitan dalan merekrut caleg-calegnya. Para caleg-caleg artis hanya “dikarbit” satu atau bulan bulan atau mungkin hanya di “brifing” sesaat lalu dicalonkan, tanpa melalui jenjang pengkaderan di internal partai atau tanpa ikut berkeringat dalam membesarkan partai. Menyerobot ke panggung politik hanya modal dengan popularitas semata. Apa jadinya lembaga parlemen nanti, jika dibanjiri para anggota parlemen yang mengandalkan popularitas semata?. Bukan tidak mungkin lembaga parlemen 2009, selain akan dibanjiri isu atau masalah klasik, korupsi, juga masalah isu-isu keartisan caleg artis sebagaimana yang pernah dialamai caleg artis dalam kehidupan sehari-harinya daripada isu-isu perjuangan aspirasi rakyat.
Masyarakat masih menilai caleg artis hanya mengandalkan popularitas semata, sangat miskin kapabalitas dan kompetensi yang memadai sebagai seorang wakil rakyat. Selama ini para artis dikenal publik karena aktivitas keartisannya. Banyak main sinetron atau film, dan bahkan dikenal publik karena isu-isu miring dunia keartisan. Saya khawatir caleg artis hanya akan menjadi ornamen politik parlemen yang tidak memiliki kontribusi signifikan bagi perjuangan kesejahteraan rakyat.
Dan selama ini (baca: Pemilu 2004), para anggota DPR dari kalangan artis, peran politik dan kontribusi terhadap perjuangan rakyat di Parlemen sangat minim. Suara-suara dan gagasan politik untuk advokasi kepentingan rakyat di parlemen sangat sunyi, nyairs tak terdengar. Bahkan ada anggota DPR lebih dikenal masyarakat karena hubungan percintaannya dengan sasama artis, bukan karena prestasinya memperjuangkan kepentingan rakyat. Periode 2004-2009 setidaknya ada tujuh anggota DPR yang berlatar belakang artis. Secara umum, mereka dinilai belum menunjukkan kinerja menonjol di bidang legislasi, pengawasan apalagi budjeting. Ibarat film, mereka masih seperti “pemain figuran”, belum menjadi pemeran utama.
Bahkan Pusat Studi hukum dan Kebijakan (PSHK), sebuah lembaga nonpemerintah yang selama ini melakukan pemantauan terhadap kinerja parlemen, menilai sampai saat ini ada atau tidak ada artis di DPR kondisinya sama saja. Keberadaanya belum memberi pengaruh signifikan. Kinerjanya tidak menonjol. Justru yang lebih menonjol sepak terjang keartisannya.

Lemahnya Pengkaderan parpol
Fenomena Parpol ramai-ramai merekrut artis jadi politisi merupakan langkah-langkah politik instan atau karbitan yang hanya mengejar popularitas. Penulis menilai, cara ini lebih karena nihilnya proses pengkaderan di internal parpol. Selain itu, parpol sudah kehilangan akal dan strategi pengkaderan atau perekrutan yang berkualitas, pada saat yang sama ambisi untuk meraih suara dan kursi parlemen semakin besar, dalam kondisi semacam ini, parpol ramai-ramai menggunakan cara-cara instan dan karbitan, yakni merekrut para artis jadi caleg dengan asa dapat mendongkrak suara parpol.
Perlu diingat bahwa pengkaderan di dalam partai akan sangat dipengaruhi oleh sistem perekrutan anggotanya, termasuk dalam perekrutan calon anggota legislatif. Semakin banyak jumah calon anggota legislatif yang “tidak berkeringat” atau produk karbitan di dalam parpol mengisyaratkan proses pengakaderan di internal parpol tidak berjalan dengan baik atau bahkan gagal.
Dalam ajaran Islam menyebutkan barang siapa memberikan suatu urusan kepada orang yang tidak tahu atau faham dengan urusan itu atau tidak memiliki kapabilitas dan kompentensi yang memadai, maka tunggulah kehancurannya. Karena itu, mulai saat ini masyarakat harus terus didorong untuk mencermati dan mengkritisi tahapan pencalegan ini.
Masyarakat hars terus diberi pemahaman yang jelas dan didorong untuk berfikir rasional dan cerdas dalam menentukan hak pilihnya nanti di Pemilu 2009. Jangan sampai pilihan politiknya menjadi bumerang bagi dirinya sendiri dan bangsa ini. Mulai sekarang waspadai caleg-caleg hasil “politik karbitan” parpol. Dan jika praktik ini terus dibiarkan, tidak menutup kemungkinan akan berpotesi membuat kuburan politik bagi rakyat dan demokrasi Indonesai ke depan.

Tidak ada komentar: