Rabu, 27 Agustus 2008

Pilgub dan Agenda Reformasi Birokrasi

Sumber : Opini Harian SURYA, 21 Agustus 2008
Pemilihan Gubernur (Pilgub) yang akan diselenggarakan 23 Juli 2008 mendatang merupakan momentum politik penting bagi Jawa Timur untuk melakukan perubahan dan perbaikan bagi kondisi masyarakat Jatim. Masyarakat Jatim memiliki hak politik yang otonom untuk menentukan dan memilih pemimpin Jatim 2008-20013 secara langsung. Dan persoalan ke depan akan semakin kompleks seiring dengan proses pembangunan dan modernisasi yang terjadi selama ini. Karena itu sangat dibutuhkan seorang pemimpin yang memiliki kredibilitas, dan kapabilitas dan profesionalitas yang lebih.
Dan yang terpenting dari itu, calon pemimpin Jatim ke depan harus lahir dari ”rahim” masyarakat Jatim. Artinya pemimpin itu sudah lama berproses dengan kehidupan masyarakat. Dia tahu dan faham betul persoalan-persoalan kemasyarakatan dan merasakan betul persoalan masyarakat Jatim saat ini. Masyarakat tahu dan faham calon pemimpin itu bukan karena popularitasnya atau kharimasnya, tapi karena kredibilitasnya, kapabilitas dan profesionalitas dalam menyelesaikan persoalan-persoalan riil Jatim. Dan salah satunya persoalan Jatim yang sampai saat ini tidak tertuntaskan bahkan terbengkalai adalah masalah reformasi birokrasi
Gerak reformasi saat ini sudah berjalan satu dekade. Ada perubahan yang cukup mendasar dalam kehidupan berpolitik dan berdemokrasi kita. Namun, ada satu aspek yang belum tersentuh secara mendasar oleh arus reformasi, yakni reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi bergeraknya bagaikan kura-kura, sangat lambat. Dan bahkan ada yang menilai stagnan dan tentunya tidak produktif. Belum ada perubahan yang signifkan dalam tubuh birokrasi kita. Harapan akan lahirnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa, bebas KKN, memimjam istilah acara Metro TV; baru bisa mimpi.
Keinginan ini akan lahirnya birokrasi yang bersih dan sehat sangat logis, mengingat birokrasi di Indonesia telah mengalami distorsi yang cukup parah setelah republik ini berdiri. Baik dibawah pemerintahan Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati sampai pada Susilo Bambang Yudhoyono sekarang ini, birokrasi belum berperan dan berfungsi seperti halnya birokrasi di negara maju dan demokratis. Bahkan mantan Presiden Megawati Sukarnoputri pernah menyebut birokrasi kita sebagai birokrasi keranjang sampah.

Wajah Birokrasi
Sebagaimana dikatakan Dwight Y.King, birokrasi kita ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut: mekanisme kerja yang tidak efisien, jumlah pegawai yang berlebihan, proses pelayanan yang lamban, tidak modern atau ketinggalan jaman, sering menyalahgunakan wewenang, tidak tanggap atas keragaman kebutuhan dan kondisi daerah setempat. Strukturnya gemuk, personilnyapun gemuk. Dampak dari hal ini sudah sangat terasa dibidang anggaran. Struktur APBD hampir di semua daerah, termasuk di Jatim dengan angka berkisar 75% habis dipakai untuk belanja rutin dan melayani birokrasi, sedang sisanya sekitar 25% untuk masyarakat lewat alokasi pembangunan. Itu berarti birokrasi kita lebih berfungsi sebagai kekuatan penyerap anggaran (baca: pemborosan) ketimbang sebagai pengatur dan pelayan masyarakat
Obesitas birokrasi bagaikan orang yang gemuk dengan kolesterol tinggi. Orang yang mengidap obesitas, potensi penyakitnya lebih besar, tak mampu berlari cepat karena memang keberatan badan, dan kalau bersaing lari misalnya pasti kalah. Jangankan untuk lari, berjalan saja seperti kura-kura, sangat lambat. Dan butuh biaya besar untuk membiayai penyakit akibat obesitasnya itu. Model birokrasi semacam ini secara finansial hanya mengambur-hamburkan APBD dan lebih dari itu model birokrasi macam itu sangat tidak produktif.
Dampak negatif lanjutannya korupsi secara besar-besaran tak terelakkan lagi. Absennya fungsi kontrol yang dilakukan parlemen dan masyarakat luas juga memberikan andil yang tak kecil terhadap makin lemahnya peran birokrasi. Munculnya berbagai kasus korupsi di tubuh birokrasi yang melibatkan para pejabat yang saat ini terkuak dan diungkap pihak kepolisian dan kejaksaan dapat dikatakan sebagai “buah” warisan birokrasi orde baru yang masih tumbuh subur dalam tubuh birokrasi. Masalah korupsi ini masih menjadi virus birokrasi yang mematikan.
Sebagai catatan, dalam Laporan Akhir Tahun 2004 Indonesia Corruption Wacth (ICW) mengungkapkan kasus korupsi diberbagai daerah di Indonesia mencapai 432 kasus dan telah merugikan negara sebesar Rp 5 triliun. Dalam laporan tersebut lebih lanjut menyebutkan daerah yang paling banyak kasus korupsinya adalah DKI Jakarta (52 kasus), di susul kemudian Jawa Timur (43 kasus), Jawa Tengah (43 kasus), Jawa Barat (41 kasus) dan Sumatera Selatan (22 kasus)
Dalam laporan tersebut juga diungkapkan, di lihat dari sisi aktor pelaku korupsi, dari sekian banyak kasus korupsi di daerah lebih banyak menyeret kepala daerah (84 kasus), DPRD (125 kasus), aparat pemda (54 kasus) dan kepala dinas (25 kasus). Dengan kata lain, aktor utama pelaku korupsi di daerah, yaitu para elit daerah yang memegang kekuasaan, baik itu di lembaga birokrasi pemerintahan daerah maupun DPRD. Namun data ini belum bisa dijadikan angka yang pasti, karena ini belum tentu mencerminkan realitas sebenarnya. Angka ini baru yang tercover, belum lagi yang tidak tercover, yang mana tidak menutup kemungkinan jumlahnya jauh lebih besar.
Selain itu,. Berdasarkan temuan Badan Pengawas Propinsi (Bawasprop) atas APBD 2004 terdapat penyimpangan dana sebesar Rp 15,75 miliar. Dalam temuan itu juga disebutkan sebanyak 37 instansi di lingkungan Pemprop Jatim yang melakukan penyimpangan anggaran. Adapun penyimpangan terbesar terdapat di Dinas Pendapatan, yakni sebesar Rp 10,35 miliar. Di ikuti RSU Dr. Soetomo Surabaya dengan total penyimpangan Rp 1,89 miliar dan Dinas Pekerjaan Umum sebesar Rp 427,5 juta.
Selain itu masalah dana kesehatan untuk keluarga miskin (Gakin) oleh Badan Penyelenggaran (Bapel) Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKM) Jatim juga bermasalah. Menurut Menteri Kesehatan dr. Siti Fadhilah, temuan Badan Pemeriksa Kuangan (BPK) menyebutkan telah terjadi penyimpangan dana kesehatan untuk keluaga miskin sebesar Rp 6 miliar dari total dana yang dikelola Bapel JPKM sebesar Rp 53 miliar. Secara rinci, Rp 4 miliar di gunakan untuk investasi Reksa Dana dan 2 miliar untuk fee pengurus atau manajemen. Dan kasusnya sampai saat ini belum selesai (Metropolis, 17/03/2005).
Data yang terakhir sebagaimana ditemukan oleh Badan Pengawas Pembangunan dan Keuangan (BPKP) Jatim. Dalam sebuah workshop tentang pengawasan pembangunan dan keuangan di Surabaya beberapa bulan lalu, BPKP mengungkapkan hasil audit tahun 2005 – Juli 2006 menemukan telah terjadi tindak penyelewengan terhadap keuangan Negara di sejumlah instansi milik pemerintah di Jawa Timur. Akibat penyelewengan tersebut Negara mengalami kerugian sebesar Rp 249 milyar (Metropolis, 12/9/2006).
Kondisi ini yang semestinya harus dipikirkan secara serius dan harus ditata ulang (baca:restrukturasi birokrasi) oleh cagub dan cawagub mendatang sesuai dengan kebutuhan dan kegunaannya. Reformasi birokrasi adalah kunci utama menyelesaikan berbagai persoalan pemerintahan kita dan pelayanan kepada masyarkat. Reformasi birokasi tidak hanya menyentuh dalam aspek strukturalnya saja tapi juga harus menyentuh aspek budaya (birokrasi), terutama budaya dan etos kerja birokrasi. Paradigma birokrasi yang harus diutamakan adalah birokasi siap melayani, bukan minta dilayani.

Agenda Reformasi birokrasi
Sebagaimana birokrasi yang dikonsepkan oleh Max Weber, bahwa birokrasi merupakan prasyarat bagi pembangunan ekonomi dan upaya menciptakan industri yang modern. Birokrasi yang modern memperlihatkan adalah birokrasi yang mempunyai struktur yang efektif tetapi efisien, meskipun sedikit struktur tetapi kaya fungsi. Artinya, diwujudkan birokrasi yang ramping dan sehat, dan bukan birokrasi yang gemuk (obesitas) dan berpenyakitan.
Penataan birokrasi memang sudah dilakukan seiring pelaksanaan otonomi daerah –sebagai kebijakan pemerintah pusat, namun tetap saja belum mendukung peningkatan kinerja birokrasi (efisiensi) sebagai pelayan masyarakat (public service). Birokrasi yang sekarang berkuasa masih merupakan kelanjutan dari birokrasi sebelumnya yang rancang bangun serta kulturnya tidak berubah, meski masyarakatnya menginginkan reformasi. Dominasi kultur birokrasi –pola hubungan patron-client, atasan bawahan dan hubungan paternalistik- masih cukup kental. Sebagai akibatnya, meski Jatim memiliki Perda pelayanan publiki misalnya, namun saat ini masih berupa pajangan belaka. Belum terlihat implementasinya. Pelayanan publik di Jatim masih di rasa mengecewakan. Yang terjadi hanyalah lip service belaka. Pemprop pandai membuat Perda, tapi sangat lemah ditingkat implementasinya.
Di Pemprop Jatim sendiri, saat ini kurang lebih memiliki sekitar 2100 lebih pegawai. Jika kita berpijak pada model sebuah birokrasi modern yang profesional, angka 2100 orang ini terlalu besar. Apalagi Pemprop dalam konteks otonomi daerah bukan ujung tombak pelayanan masyarakat. Ujung tombak dari otonomi daerah sebenarnya berada di Pemkab/pemkot. Karena pemkab/pemkot yang paling dekat dan tahu konisi riil masyarakat. Dalam konteks birokrasi modern, jumlah 2100 pegawai tersebut sudah terlalu obesitas apalagi juga saat ini jumlah struktur birokrasi dilingkungan Pemproppun juga besar. Sehingga nyaris nampak birokrasi pemprop Jatim sedang mengalami obesitas. Birokrasi obesitas, layaknya sebuah tubuh manusia, pasti berpenyakitan.. Birokrasi kita seperti birokrasi kura-kura. Dia hanya menjadi beban APBD dan beban masyarakat. Dengan kata lain, birokrasi semacam ini sangat sulit diharapkan menjadi pelayan masyarakat yang profesional, justru akan selalu minta dilayani.
Satu hal lain yang ikut mempengaruhi semakin lambatnya reformasi birorkasi di daerah terletak pada lahirnya berbagai macam regulasi mulai pusat sampai daerah. Sebagaimana diungkakan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Birokrasi, Taufiq Effendi, saat ada 1.850 peraturan yang tumpang tindih dan 388 jenis pelayanan dan sumber daya manusia merupakan hal terpenting yang harus diselesaikan dalam reformasi birokrasi.

Cagub reformis
Dalam sistem birokrasi modern seperti sekarang ini yang kita butuhkan adalah sistem birokrasi pemerintah yang dapat berjalan secara efektif dan efisien. Di mana di dalam sitem birokrasi tersebut memiliki sedikit struktur, tetapi memiliki banyak fungsi. Sehingga yang lebih difokuskan adalah kinerja-kinerja aparatur birokrasinya. Dalam model birokrasi semacam ini, tidak ada lagi pegawai yang males-males, tidak memiliki job description yang jelas. Dan lebih dari itu, birokrasi tidak usah memiliki pegawai yang terlalu banyak, sedikit personal atau pegawai tapi memiliki kapabilitas dan kualitas yang baik dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Pendek kata, birokrasi pemerintahan yang modern adalah birokrasi pemerintahan yang miskin struktur, tapi kaya fungsi
Karena itu, untuk menjawab tuntutan reformasi birokrasi sebagai titik awal melakukan perbaikan kinerja birokrasi dan pelayanan masyarakat adalah dengan melahirkan calon pemimpin atau gubernur yang reformis, memiliki visi dan misi yang jelas tentang reformasi birokrasi. Cagub reformis adalah sebuah keniscayaan politik di tengah persoalan birokrasi Pemprop yang semakin rumit dan tidak produktif. Cagub kedepan harus memiliki komitmen untuk melakukan reformasi birokrasi yang salah satunya ditandai dengan berani melakukan resrukturisasi birokrasi atau rasionalisasi birokrasi, baik secara institusional maupun personal.
Akhirnya, agenda reformasi birokrasi harus menjadi agenda penting bagi cagub dan cawagub dalam melakukan perbaikan dan perubahan di Jatim ini. Dan salah satu titik awal untuk melakukan perubahan dan perbaikan ini adalah dengan melakukan reformasi birokrasi secara konsisten dan berkelanjutan. Perubahan dan perbaikan kondisi masyarakat –salah satunya- akan ditentukan oleh sejauh mana agenda reformasi birokasi dilakukan dengan baik. Reformasi birokrasi akan melahirkan kinerja birokrasi yang produktif dan profesional dan pada akhirnya akan menghadirkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang paripurna

Tidak ada komentar: