Selasa, 13 September 2011

REMISI DAN KEADILAN MASYARAKAT

Sumber : Opini REPUBLIKA Rabu 7 September 2011

Di tengah gencar-gencarnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memburu dan memenjarakan para koruptor, pemerintah SBY-Budiono, melalui Kementrian Hukum dan HAM justru melakukan tindakan hukum yang berkebalikan, yakni dengan mudahnya memberikan remisi (keringan hukuman) dan grasi (pengampunan) kepada para koruptor kelas kakap. Ada kesan publik; para koruptor ditahan untuk dilepaskan.
Setelah mendapat remisi pada peringatan Proklamsi Kemerdekaan RI ke 66 lalu, kini para koruptor kembali mendapatkan remisi pada perayaan Hari Raya Idul Fitri 1432 H ini. pada Lebaran kali ini, Kementrian Hukum dan HAM member pengurangan masa tahanan kepada 44.652 narapidana. Sebanyak 235 diantaranya adaah koruptor. Pemberian remisi ini membuat delapan koruptor langsung dianyatakan bebas. Salah satunya adalah Indra Warman Siregar, mantan Asisten Menteri Sekretaris Negara yang dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi pengerukan Sungai Mahakam yang merugikan Negara sebesar Rp 21 milyar. Publik menilai perlakuan hukum ini sangat kontraproduktif dengan spirit pemberantasan korupsi.
Kita semua sepakat bahwa korupsi adalah tindakan kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime). Dan karenanya tidak cukup diselesaikan dengan menggunakan regulasi dan lembaga-lembaga yang biasa atau konvensional, melainkan harus diselesaikan dengan menggunakan tindakan hukum yang luar biasa (extra judicial action). KPK beserta senjata regulasinya yang dimiliki dimaksudkan untuk melakukan tindakan hukum yang luar biasa dengan harapan dapat menekan angka korupsi pada titik yang paling rendah.
Namun, kerja keras KPK selama ini, harus dibayar amat murah oleh Pemerintah dengan mengobral remisi dan grasi kepada koruptor. Dengan remisi dan grasi dan bahkan asimilasi, para koruptor yang telah mengkorupsi uang negara ratusan milyar rupiah bisa menghirup udara bebas. Dengan remisi, para koruptor mendapatkan waktu pembebasan lebih cepat.
Para koruptor kelas kakap sangat begitu mudahnya mendapatkan remisi, grasi atau asimilasi. Namun bagi para narapidana dari kelas sosial bawah, yang kebanyakan adalah mereka dari kelompok miskin, akan sangat kesulitan untuk mendapatkannya. Narapidana miskin harus melalui prosedur yang jlimet, panjang, lama, dan yang pasti harus menyediakan uang “pembebasan” bersyarat yang jumlahnya tidak sedikit. Inilah sebuah paradoks perlakuan hukum yang paling telanjang di negeri yang namanya ; Indonesia.
Selama ini alasan pemerintah dalam pemberian grasi dan remisi kepada para koruptor didasarkan pada UU No. 12/1995 tentang remisi dan UU No. 22/2000 tentang Remisi dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2006 tentang perubahan atas PP No. 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Selain alasan yuridis, Pemerintah juga berlindung bahwa pemberian grasi kepada koruptor, karena alasan kemanusiaan. Namun alasan ini sangat absurd, karena para koruptor juga melakukan tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Apakah korupsi itu bukan tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan?
Praktik korupsi di negeri ini sudah taraf yang sangat memprihatinkan, bahkan para penggiat anti korupsi menilai; negeri ini sedang darurat korupsi. Sebuah kondisi yang sudah sangat mendesak untuk dilakukan tindakan-tindakan hukum yang luar biasa. Praktik korupsi sudah berjalan begitu sistemik dan massif. Meskinpun ratusan regulasi dan puluan lembaga terkait pemberantasan korupsi dibentuk, praktik korupsi di negeri ini tidak menunjukkan tanda-tanda surut.
Di negeri ini sepertinya tidak ada institusi yang stiriil dari korupsi. Hampir semua lembaga negara baik itu di pusat dan di daerah berwajah korup. Praktik haram tersebut sudah menjalar ke berbagai lembaga negara; mulai eksekutif, legislatif, yudikatif, imigrasi, pajak, bea cukai, dan sebagainya. Dan bahkan saat ini praktik korupsi ini sudah merembet ke tiga institusi penting penegak hukum kita, yakni lembaga kepolisian, kejaksaan, dan peradilan. Institusi yang diharapkan menjadi penegak hukum dan pemberantas korupsi, justru tak stiril dari tindak kejahatan korupsi, dan bahkan menjadi bagian dari pelaku korupsi. Jika kondisinya demikian, bagaimana mau memberantas korupsi, jika para penegak hukumnya tersangkut kasus korupsi?.
Akibat korupsi yang dilakukan para pejabat negeri ini –yang berkolaborasi dengan para pengusaha, puluhan juta masyarakat kita hidup dalam kemiskinan, jutaan anak balita terkena gizi buruk, jutaan anak putus sekolah, puluhan juta masyarakat miskin tidak mendapatkan akses kesehatan yang murah dan layak, dan berbagai potret buram lainnya. Semua itu akibat anggaran pembangunan ang dikorupsi oleh para pemangku jabatan dan kekuasaan di negeri ini. Pendek kata, korupsi adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan, karena itu sangat tidak layak para koruptor kelas kakap mendapatkan remisi, asimilasi apalagi grasi. Perlakuan hukum tersebut juga sangat menciderai rasa keadilan masyarakat.
Meskinpun secara yuridis sah, namun tindakan pemerintah yang memberikan remisi dan grasi tersebut sangat menciderai semangat kolektif bangsa ini dalam memberantas korupsi. Pemerintah sangat tidak menghargai kerja keras KPK dalam memburu, menyidik, menuntut, dan kemudian menjebloskan para koruptor tersebut ke penjara. Komitmen pemerintah SBY-Budiono dalam pemberantasan korupsi patut dipertanyakan. Pidato berbusa-busa SBY di setiap kesempatan, akhirnya hanya “lips service” belaka. Karena faktanya nihil.

Langkah hukum Progresif
Pakar hukum Pidana Universitas Hasanuddin, Ahmad Ali (2002:48) mengatakan bahwa secara universal, jika kita ingin keluar dari situasi keterpurukan hukum, maka jawabannya adalah membebaskan diri dari belenggu positivism. Mengapa demikian, karena dengan hanya mengandalkan teori dan pemahaman hukum secara legalistik-positivistik yang hanya berbasis pada peraturan tertulis (rule bound) belaka, maka kita tidak akan pernah mampu untuk menangkap kebenaran dan keadilan.
Dalam pemikiran Pakar sosiologi hukum Undip, Satjipto Raharjo (2008:147), dalam suasana terimpit oleh karut-marut kehidupan berhukum kita (praktik-praktik korup) yang menggerogoti bangsa, mengapa kita tidak berani mencari jalan lain?. Di sinilah kita memilih pengadilan progresif dengan hakim-hakim partisan. Hakim seperti itu tidak datang dengan semangat kosong, tetapi penuh determinasi, komitmen, dan dare (keberanian) untuk mengalahkan korupsi. Jika hakim-hakim liberal “tidak berhasil” memberantas korupsi, kini saatnya memilih “hakim partisan dan progresif”. Inilah pilihan Indonesia bangun dari keterpurukan hukum.
Di tengah keterpurukan praktik berhukum di negara Indonesia yang mewujud dalam berbagai realitas ketidakadilan hukum, terutama yang menimpa kelompok masyarakat lemah atau miskin, sudah saatnya kita tidak sekedar memahami dan menerapkan hukum secara legalistic-positivistic ; yang berbasis pada peraturan hukum tertulis semata (rule bound), tapi dengan melakukan terobososan hukum, yang dalam istilah Satjipto Raharjo, disebut sebagai penerapan hukum progresif. Dan salah satu aksi progresivitas hukum, adalah berusaha keluar dari belenggu atau penjara hukum yang bersifat positivistik dan legalistik. Dengan pendekatan yuridis sosiologis, diharapkan –selain akan memulihkan hukum dari keterpurukannya, juga yang lebih riil, pendekatan yuridis sosiologis diyakini mampu menghadirkan wajah keadilan hukum dan masyarakat yang lebih substantif. Pemberian remisi dan grasi dalam konteks hukum progresif sungguh sangat menciderai rasa keadilan masyarakat dan agenda pembertantasan korupsi.

Tidak ada komentar: