Selasa, 13 September 2011

KORUPSI DAN DALIH SAKIT PEJABAT

Sumber : Opini Suara Pembaruan 20 Juli 2011

Departemen Dalam Negeri (Depdagri) pada tahun 2006 lalu pernah me-release ada sekitar ada sekitar 1.129 pejabat daerah korup. Pejabat daerah tersebut meliputi 7 gubernur, 60 bupati/walikota, 327 anggota DPRD propinsi dan 735 anggota DPRD kab/kota di seluruh Indonesia. Mereka diduga melakukan tindak pidana korupsi antara tahun 2004-2006.
Sementara khusus untuk kepala daerah, sampai pertengahan tahun 2011 mengalami peningkatan signifikan. Berdasar hitungan Depdagri, saat ini ada sekitar 156 kepala daerah yang dijadikan tersangka korupsi, mulai tingkat propinsi sampai kabupaten/kota. Mendagri mengaku, hampir setiap pekan ia menerima permintaan izin pemeriksaan terhadap kepala daerah sebagai tersangka dan surat penonaktifan sementara kepala daerah. Jika ditambah jumlah data anggota dewan, mulai pusat sampai daerah kabupaten/kota, maka ada ribuan pejabat yang menjadi tersangka korupsi. Apa jadinya negeri yang kaya sumber daya alam dipimpin oleh para tersangka korupsi atau koruptor?. Sehingga tak salah, jika beberapa lembaga nasional maupun internasional menobatkan Indonesia sebagai salah satu Negara terkorup di Asia bahkan dunia.
Semua pejabat tersebut saat ini sedang menghadapi proses pemeriksaan dan penyidikan bahkan penahan sementara terkait kasus tindak pidana korupsi di daerah. Dan saya kira data tersebut akan terus berkembang sering dengan kasus-kasus korupsi di daerah yang sampai saat ini belum tersentuh hukum. Bahkan tidak sedikit kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat daerah bebas di tingkat penyidikan. Jika aparat hukum kita lebih tegas, terutama kepolisian dan kejaksaan sebagai pintu pertama dalam proses pemeriksaan dan penyidikan, maka jumlah pejabat yang korup akan jauh lebih besar daripada yang di release Depdagri tersebut.
Data Depdagri tersebut memang tidak jauh berbeda dengan fakta yang ada di berbagai daerah di Indonesia. Berbagai media lokal dan nasional secara rutin mengekspose kasus-kasus korupsi yang melibatkan para pejabat di daerah, mulai dari gubernur sampai bupati/walikota dan anggota DPRD propinsi dan kabupaten/kota. Dan dari berbagai kasus korupsi yang menimpa para pejabat tersebut, sebagian besar atau sekitar 90% terkait kasus korupsi atau bancaan APBD.

Sakit atau pura-pura sakit
Di tengah gencarnya proses penyelidikan, pemeriksaan dan bahkan penyidikan kasus korupsi yang melibatkan para pejabat oleh aparat penegak hukum kita, ada satu fenomena dan bahkan “kebiasaan” yang menimpa para pejabat kita baik di pusat maupun di daerah, yakni para pejabat ketika akan diperiksa, di sidik, dan bahkan dieksekusi penahanan sementara, mendadak sakit. Sakitnya para pejabat ini bisa karena memang sakit beneran, bisa juga karena sakit bohongan untuk menghindari pemeriksaan, penyidikan dan penahanan. Para pejabat kita yang tersangkut kasus dugaan korupsi mengalami ketakutan yang luas biasa ketika akan di periksa pihak kepolisian, kejaksaan, apalagi KPK. Apalagi ketika akan di eksekusi penahanan sementara.
Namun saya cermati, sebagian besar para pejabat kita yang tersangkut kasus dugaan korupsi ketika akan diperiksa, disidik dan di tahan, kemudian mendadak sakit, lebih cenderung karena dalih saja untuk menghindari proses pemeriksaan dan yang paling takut mengindari penahanan. Bahkan mereka “ramai-ramai” menolak dengan alasan sakit. Selain itu, selain sakit, dalih lain untuk meghindari dari jeratan hukum; “tidak tahu”, “lupa/tidak ingat”, “tidak kenal”, “tidak faham”. Kata “tidak” kosa kata yang sering uncul dari persidangan kasus korupsi. Kata tersebut paling ampuh dan “aman” bagi seseorang saksi atau yang diduga terlibat kasus korupsi. Mereka menghindar dengan kata-kata serba “tidak”.
Beberapa kasus pejabat kita baik yang ada di pusat maupun daerah yang ketika akan disidik dan di eksekusi penahanan mendadak sakit dan bahkan berdalih sakit adalah mantan Kabulog Wijanarko dan saudara-saudara yang tersangkut kasus korupsi sapi fiktif dengan kerugian negara di taksir Rp 40 milyaran lebih, Bupati Kutai Kertanegara, Syaukani, Kepala Bakesbang Kota Surabaya, Suyitno Miskal terkait kasus Banpol, mantan Bupati Jember Syamsul Hadisiswoyo dan juga Sekdanya terkait kasus korupsi dana APBD, mantan Kepala Bawasko Surabaya Bambang Sugiarto terkait kasus dugaan korupsi pengadaan buku pariwisata senilai Rp 144 juta.
Ada lagi Camat Taman Sidoarjo, Teddy Ruspandi, Sigit Subekti dan Anik Susdiyatun (keduanya pejabat dilingkungan Pemprop Jatim). Ketiganya tersangkut kasus dugaan korupsi mega proyek Pasar Induk Agrobisnis senilai 15 Rp milyar. Kasus korupsi dana APBD 2002-2004 yang melibatkan Bupati Magetan, Soleh Mulyono dan kasus terbaru Nazarudin yang kemudian kabur ke Sinagpura. Semua pejabat daerah tersebut mendadak sakit ketika aparat penegak hukum dari kepolisian, kejaksaan dan KPK akan melakukan pemeriksaan, penyidikan dan penahanan sementara. Dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya yang serupa.

Pemeriksaan Independen
Dari sekian banyak pejabat kita yang tersangkut kasus korupsi sebagian besar yang menolak untuk diperiksa, disidik dan ditahan dengan berdalih atau berpura-pura sakit. Dan tidak sedikit ketika aparat penyidik memberi toleransi untuk berobat, dimanfaatkan para pejabat yang bersangkutan untuk kabur ke luar negeri dengan alasan untuk berobat. Akhirnya buronannya kabur tak bisa ditangkap kembali.
Karena itu, dalam konteks ini aparat penegak hukum kita harus selektif dan ketat dalam memberikan toleransi dan kompensasi berobat bagi para pejabat kita yang tersangkut kasus korupsi agar tidak kabur. Untuk menilai oknum pejabat tersebut memang benar sakit atau berdalih sakit untuk menghindari pemeriksaan, penyidikan dan penahanan, perlu adanya pemeriksaaan medis yang objektif. Dan untuk menjaga objektivitas pemeriksaaan, pejabat yang bersangkutan harus diperiksa oleh dokter-dokter independen atau setidaknya dokter yang tidak ada hubungan kedekatan dengan pejabat yang bersangkutan. Perlu ada medical report dari dokter yang berkompetens. Jika ini tidak dilakukan, pejabat mendadak sakit ketika akan disidik atau bahkan di tahan hanya dalih semata untuk menghindari pemeriksaan atau eksekusi penahan. Dan akhirnya kabur dan tak dapat ditangkap kembali.

Tidak ada komentar: