Selasa, 13 September 2011

MEROKOK MEMPERBURUK KEMISKINAN

Senin Opini Radar Surabaya, Senin 5 September 2011

Salah satu persoalan krusial yang dihadapi Indonesia saat ini adalah masalah kemiskinan. Berdasarkan data BPS 2010, saat ini angka kemiskinan Indonesia mencapai 32 juta jiwa atau sekitar 16%. Menurut Sekjen ASEAN, Surin Pitsuwan yang menjadi salah satu pembicara dalam sebuah seminar Asia Pasific Conference on Tobacco of Health (APACT) di Sydney, Australia yang berlangsung 6-9 Oktober 2010 lalu, mengatakan konsumsi tembakau, terutama rokok, memperburuk kemiskinan. Karena itu, kondisi ini harus menjadi kekhawatiran, terutama negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sebagai negara pengkonsumsi rokok ketiga terbesar di dunia setelah China dan India.
Indikasi besarnya konsumsi rokok pada kelompok masyarakat miskin juga ditegaskan oleh hasil penelitian Rijo M. John, Ph.D dari American Cancer Society AS, yang mengatakan, di India konsumsi tembako meningkatkan angka kemiskinan 1,6%di desa dan 0,8% di daerah perkotaan serta menambah sekitar 15 juta orang miskin di India. Penelitian lain yang terkait, dari lembaga Demografi UI, menurut Abdilah Hasan; uang untuk rokok sembilan kali pengeluaran pendidikan dan 15 kali pengeluaran kesehatan. Data dan faka ini semakin menguatkan, masyarakat miskin sebagai kelompok terbesar dalam konsumsi rokok. Dan konsumsi rokok di kalangan masyarakat miskin semakin memperburuk kemiskinan mereka.

Konsumsi Rokok Kaum Miskin
Secara kasat mata, jika kita melihat kehidupan masyarakat miskin, maka kita tidak terlalu sulit menemukan para kepala keluarga miskin (Gakin) mengkonsumsi rokok. Bahkan di kalangan masyarakat miskin, rokok dianggap sebagai “obat stress” dari himpitan kemiskinan. Kepala keluarga miskin lebih mengutamakan kebutuhan “hisap asap” daripada memberikan konsumsi gizi yang baik bagi anak-anaknya. Karena itu, tak heran jika keluarga miskin identik dengan gizi buruk. Bagaimana mau memperbaiki kesehatan anak dan Gakin, jika salah satu anggotanya masih menjadi perokok aktif.
Menurut Sekjen KOMNAS Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, dari angka kematian balita sebesar 162.000 per tahun sesuai data Unicief 2006, konsumsi rokok pada Gakin telah menyumbang 32.400 kematian setiap tahun atau hampir 90 kematian balita per hari. Hal ini ditegaskan dengan Survey tahun 1999-2003 yang menemukan, pada lebih dari 175.000 Gakin perkotaan di Indonesia yang di survey, tiga dari empat keluarga (73,8%) adalah perokok aktif.
Studi sejenis tahun 2002-2003 pada lebih dari 360.000 rumah tangga miskin perkotaan dan pedesaan membuktikan, kematian bayi dan balita lebih tinggi pada keluarga yang dengan orangtua merokok daripada tidak merokok. Kerugian yang diderita anak akibat merokok tidak hanya permasalaan malnutrisi. Ketika mereka meranjak remaja, kembali rokok menjadi suatu pokok persoalan yang mendera mereka kerena mereka menjadi target sasaran iklan rokok.
Perilaku merokok pada sebuah keluarga miskin mengakibatkan gizi buruk pada anak karena orang tua lebih mengutamakan membeli rokok dibandingkan dengan membeli beras, telor, ikan, dan makanan bergizi lainnya. Belanja rokok telah menggeser kebutuhan terhadap makanan bergizi yang esensial untuk tumbuh kembang anak balita.
Tingginya angka balita yang bergizi buruk tentunya akan berpotensi meningkatkan angka kematian balita. Dalam hal angka kematian bayi, Indonesia (31/1.000 kelahiran) hanya lebih baik dibandingkan dengan Kamboja (97/1.000) dan Laos (82/1.000). Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, kita masih tertinggal. Singapura dan Malaysia memiliki angka kematian bayi amat rendah, masing-masing 3 dan 7 per 1.000 kelahiran. Ini menunjukkan besarnya perhatian negara itu terhadap masalah gizi dan kesehatan yang dihadapi anak-anak.

Sinergi dengan Program Kesehatan
Melihat fakta di atas, sudah saatnya program penanggulangan kemiskinan harus disinergikan dengan pengurangan konsumsi rokok pada kelurga miskin. Program penyadaran kepada Maskinn untuk berhenti merokok harus terus digalakan dan dikampanyekan. Memang tidak memudah merubah kebiasaan merokok di kalangan masyarakat miskin. Apalagi bagi perokok dari Gakin yang menganggap rokok dianggap sebagai alat penghilang stress. Menghilangkan konsumsi rokok pada keluarga miskin tentu saja tidak sekedar melalui panyadaran dan kampanye yang massif.
Dalam kajian sosiologi hukum, merubah kebiasaan buruk masyarakat tidak sekedar dilakukan melalui pidato dan kampanye. Tapi harus diperkuat dengan adanya regulasi. Dalam konteks ini, merubah kebiasaan merokok dan mengurangi angka kemiskinan harus didukung dengan kebijakan yang memungkinkan Gakin bisa berhenti merokok. Salah satunya dengan tidak memberikan kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) atau Jamkesda.
Kebijakan tersebut sudah dilakukan DKI Jakarta, di mana Dinas Kesehatan DKI Jakarta telah memasukan satu syarat tambahan bagi Gakin penerima kartu Jamkesda. Kartu Jamkesda hanya diberikan kepada Gakin non perokok. Pemberian kartu Jamkesda bagi Gakin perokok hanya akan memperburuk kualitas kemiskinan mereka. Tambahan syarat ini cukup beralasan, karena semakin meningkatnya Gakin yang kepala rumah tangganya adalah perokok. Karena itu, kebijakan Dinas Kesehatan DKI Jakarta tersebut patut didukung dan perlu diadopsi oleh propinsi lain di Indonesia.

Tepat sasaran
Pemerintah Propinsi di Indonesia, saya pikir perlu mengadopsi kebijakan DKI Jakarta. Sehingga pemanfaatan kartu Jamkesda akan lebih tepat sasaran dan lebih produktif. Pemberian kartu Jamkesda yang diberikan kepada Gakin tanpa persyaratan non perokok akan kontraproduktif dengan upaya pemerintah dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas kesehatan dan kehidupan Gakin.
Peningkatan kualitas kesehatan, terutama perbaikan gizi buruk Gakin melalui pemanfaatan kartu Jamkesda harus didukung dengan kesadaran para orang tua untuk tidak menghancurkannya, yakni dengan mengkonsumsi rokok. Para orang tua Gakin perlu diberikan pemahaman yang baik bahwa konsumsi rokok yang tinggi akan berakibat buruk pada kesehatan anak dan keluarganya. Jamkesmas yang diberikan Gakin akan sia-sia belaka, jika masih ada para orang tua Gakin yang menjadi perokok aktif.

Tidak ada komentar: