Selasa, 13 September 2011

MENYOAL PROFESIONALISME POLISI

Sumber : Opini Jawa Pos Kamis 14 September 2011

Apa jadinya jika penegakkan hukum berhadapan dengan orang-orang yang memiliki akses politik kekuasaan di negeri ini?, maka mudah di jawab, penegakkan hukum akan lumpuh ketika berhadapan dengan elit-elit kekuasaan. Para penagak hukum, terutama polisi sangat begitu gamang dalam menegakkan hukum tanpa diskriminasi terhadap para elit-elit politik negeri ini yang tersangkut kasus hukum.
Ini juga yang terjadi pada polisi ketika menangani kasus hukum yang menimpa elit-elit partai penguasa, yakni Andi Nurpati dalam kasus pidana pemalasuan surat Mahkamah Konsitusi. Setelah melalui penyidikan dan konfrontasi dengan berbagai saksi-saksi, termasuk Andi Nurpati, pihak kepolisian sampai saat ini baru menetapkan dua tersangka, yakni mantan juru panggil MK, Masyhuri Hasan dan Mantan Panitera MK, Zainal Arifiin Husein. Penetapan ini pun tak stiril dari tanda tanya publik. Mengapa polisi lebih keras menetapkan tersangka pada para operator alias kelas teri seperti Masyhuri Hasan, sementara atas penetapan Zainal juga menimbulkan tanda tanya publik, mengapa Zainal yang menjadi korban pemalsuan tanda tangan dijadikan tersangka, dan mengapa aktor intelektualisnya yang selama ini sudah disebut-sebut, baik dalam pemeriksaan dikepolisianmaupun di Panja Mafia Pemilu DPR, yakni Andi Nurpati masih belum juga ditetapkan sebagai tersangka. Padahal, data dan bukti-bukti materiil sudah lebih dari cukup untuk menetapkan Andi Nurpati dijadikan sebagai tersangka.
Dengan dan dan bukti-bukti meteriil yang cukup lengkap, seharusnya pihak kepolisian sudah dapat menetapkan seseorang menjadi tersangka, termasuk kepada diri Andi Nurpati. Tapi mengapa ini tidak terjadi?. Kasus hukum pemalsuan surat MK menunjukkan secara telanjang, bagaimana penegakkan hukum mengalami kelumpuhan alias tak berdaya ketika berhadapan dengan orang-orang kuat atau yang memiliki akses dan kekuatan politik-kekuasaan.
Dugaan publik sangat masuk akal, jika lumpuhnya penegakkan hukum atas Andi Nurpati yang juga petinggi Demokrat ini dikaitkan dengan adanya faktor politik-kekuasaan. Independensi dan profesionalitas polisi menjadi lumpuh-layu ketika berhadapan dengan tembok kekuasaan. Ada dugaan tekanan politik, yang menjadikan polisi tidak bisa bersikap independen dan professional.

Kasus Wisnu; Bintek DPRD Surabaya
Penanganan kasus hukum Andi Nurpati sangat mirip dengan yang terjadi pada kasus hukum dugaan korupsi Bimbingan Teknis (Bintek) DPRD Kota Surabaya, yang juga diduga melibatkan Ketua DPRD Wisnu Wardhana (WW) yang juga petinggi demokrat Surabaya. Kasus dugaan penyimpangan dana Bintek tersebut mencapai Rp 3,7 milyar.
Beberapa dugaan penyimpangan dana Bintek DPRD diantaranya adalah; Pertama, proses penunjukkan langsung kepada penyelenggaran Bintek yang lebih banyak dilakukan oleh seorang diri WW. Bahkan sarat KKN. Kedua, penyelenggarn Bintek yang hanya formalitas belaka, hanya sekedar menghabiskan anggaran APBD. Ketiga, masalah waktu dan jadwal pelaksanaan Bintek yang sarat manipulasi, baik terkait dengan waktu, jadwal, materi, anggaran, peserta, dsb. Keempat, banyak peserta Binteks (baca: aleg) yang menerima dana Binteks dan tanda tangan kehadiran, namun orangnya tidak ada di lokasi alias “peserta fiktif”. Tanda tangan dan menerima uang, tapi orangnya tidak kelihatan sama sekali di acara Bintek. Dan berbagai bentuk penyimpangan lainnya yang sangat merugikan keuangan daerah.

Ada Apa dengan Polisi
Saat ini kasus dugaan korupsi Bintek sudah ditangani pihak Polrestabes Surabaya. Salah satu anggota dewan yang sudah diperiksa polisi, Musyafa Rouf, mengatakan bahwa dirinya sudah memberi keterangan sejelas-jelasnya dan memberikam bukti-bukti materiil/hukum yang cukup lengkap kepada pihak penyidik. Bahkan menurutnya, pihak penyidik sudah memiliki bukti materiil yang jauh lebih lengkap dari dirinya.
Dengan data dan bukti-bukti materiil yang cukup lengkap yang dimiliki polisi, tinggal pihak kepolisian serius atau tidak menuntaskan kasus ini menjadi terang benderang. Salah satunya dengan segera menetapkan tersangkanya. Namun, yang membuat publik bertanya; sudah puluhan saksi diperiksa, tapi belum ada satupun oknum anggota dewan atau dari pihak Sekwan, eksekutif, maupun penyelenggaran Bintek yang dijadikan tersangka. Ada apa dengan polisi?
Secara yuridis-normatif, seseorang bisa dijadikan sebagai tersangka tindak pidana jika pihak penyidik sudah memiliki sedikitnya dua alat bukti. dan terkait dengan kasus Bintek ini, polisi sebenarnya sudah memiliki lebih dari dua alat bukti, selain saksi juga bukti materiil yang cukup banyak dimiliki pihak penyidiki. Namun yang membuat publik heran, mengapa pihak penyidik sampai saat ini belum menetapkan seorang tersangka. Apakah kebetulan Ketua DPRD-nya –yang berpotensi menjadi tersangka- berasal dari the ruling partai saat ini atau memiliki beking politik dan hukum dari pihak-pihak tertentu yang memiliki kekuatan politik dan akses ke pusat kekuasaan, sehingga pihak penyidik tidak berani atau takut untuk mengusut dan menetapkannya sebagai tersangka?
Perlakuan hukum polisi ini sangat berbeda, ketika polisi menangani kasus pidana yang melibatkan orang-orang kecil, marginal atau miskin. Lihat saja kasus pencurian sarung bekas seharga Rp 3000 yang dilakukan seorang pembantu rumah tanggah, bu Amirah (40), di Dusun Sokon Desa Temberu, Kecamatan Barumarmar, Kabupaten Pamekasan, Pulau Madura. Pihak kepolisian begitu cepat dank keras mengusut dan menindak kasus pencurian ringan tersebut. Bahkan pelakunya sampai langsung dijebloskan ke penjara. Padahal Bu Amirah, terpaksa mencuri sarung karena terdesak kebutuhan untuk membiayai anaknya yang masih sekolah SD. Di mana rasa keadilan hukum bagi masyarakat; hukum seperti pisau; tumpul ke atas,tajam ke bawah.
Kasus hukum Andi Nurpati dan WW, akan menjadi ujian hukum dan pertaruhan serius bagi pihak kepolisian, apakah akan bertindak adil, independen, dan profesional atau terjebak atau bahkan menjebakan diri dalam kubangan politik-hukum kepentingan. Kita berharap pihak kepolisian bisa bersikap dan bertindak independen dan professional dalam menanani kedua kasus tersebut. Kita tunggu saja, apakah kasus ini akan berakhir di meja hijau atau “86” alias damai di tengah proses hukum?

Tidak ada komentar: