Selasa, 13 Januari 2009

Pemilu 2009 di Tengah Ancaman Golput

Sumber : Opini Radar Surabaya, 14 Januari 2009

Tahun 2009 ini merupakan tahun politik. Pada tahun ini ada beberapa agenda politik yang akan menentukan kondisi negeri ini lima tahun ke depan, yakni Pemilu Legislatif, DPD, dan presiden dan wakil presiden. Saat ini masing-masih paprol, caleg DPR dan DPD dan bahkan para calon presiden yang muncl di publik sudah mulai kampanye dan unjuk gigi untuk mencuri simpati masyarakat pemilih Indonesia.
Berbagai cara dilakukan para calon politisi tersebut untuk dapat meraih suara rakyat sebanyak-banyaknya. Bagi mereka yang berkantong tebal, kampanye dilakukan melalui iklan di berbagai media, baik cetak, maupun elektronik. Selain itu, ratusan bahkan ribuan pemflet, baliho, poster dengan ukuran besar terpampang di berbagai sudut-sudut kota dan kampung-kampung. Sehingga nyaris kampung dan kota ini nyaris seperti hutan reklame dan baliho politik.
Saat ini, para calon politisi yang berebut kekuasaan sudah berkampanye dengan dana yang sangat besar. Dengan harapan apa yang dilakukan ini akan mendapat simpati dan kepercayaan masyarakat untuk memilihnya pada Pemilu mendatang. Para calon politisi ini sangat bersemangat dan ambisius dalam menyambut Pemilu 2009 ini, meskinpun dengan mengeluarkan uang sebanyak mungkin.
Namun apakah antusiasme calon politisi tersebut juga diikuti dengan antusiasme masyarakat pemilih. Ternyata, antusiasme politik para calon politisi ini tak berbanding lurus dengan antusiasme masyarakat. Masyarakat tidak terlalu peduli terhadap hajatan lima tahunan tersebut. Bahkan saat ini, masyarakat sudah mulai pesimis dan apatis terhadap Pemilu 2009. Sehingga tak salah, sebagian orang menilai Pemilu 2009 ini akan terancam dengan semakin meningkatnya angka golongan putih (Golput), yakni mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu karena berbagai alasan, karena alasan idiologis, politis, teknis, maupun pragmatis.
Tanda-tanda pesimisme dan apatisme politik masyarakat terhadap Pemilu 2009 ini sudah mulai nampak, diantaranya adalah Pertama, gejala semakin merosotnya partisipasi masyarakat pada Pilkada di banyak tempat. Jumlah mereka yang tidak menggunakan hak pilih alias golput semakin membesar. Angka Golput saat ini sudha mencapai sekitar 30-40 persen. Bahkan di beberapa tempat sudah mencapai angka 50 persen.
Kedua, pesimisme masyarakat muncul karena sudah berkali-kali diadakan Pilkada atau Pemilu, ternyata tidak memberikan dampak signifikan bagi perubahan dan perbaikan kesejahteraan hidupnya. Bahkan sebagian kehidupan masyarakat kita semakn terpuruk. Angka pengangguran dan kemiskinan bukannya berkurang, justru semakin melambung. Bagi masyarakat, ada atau tidak adanya Pilkada atau Pemilu, kondisinya sama saja. Tidak ada perubahan dan perbaikan sama sekali. Jika demikian, buat apa ikut Pemilu jika tak ada perubahan dan perbaikan kesejahteraan masyarakat?.
Ketiga, apatisme dan pesisme masyarakat semakin memuncak ketika melihat tingkah polah para wakil rakyat yang mengecewakan dan bahkan memuakkan. Apatisme masyarakat ini memang beralasan. Empat tahun terakhir ini yang dipertontonkan DPR/D hanyalah deretan keserakahan. Keserakahan akan kekuasaan, kerakusan akan uang, dan ketamakan akan fasilitas.
Selama empat tahun DPR/D telah menjadi lembaga wakil rakyat yang autisme. Mereka asyik dengan dirinya sendiri. Cercaan dan kecaman terus dilontarkan, tetapi mereka seakan tuli. Mereka menganggap sepi semua keluhan publik.
Buktinya, mereka tetap pelesiran ke luar negeri menghamburkan uang negara dengan kedok studi banding.
Bukti lain, kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR terus bertambah. Pemerasan dalam proyek Pelabuhan Tanjung Api-Api di Banyuasin (Sumatra Selatan), kasus suap proyek alih fungsi hutan lindung di Pulau Bintan (Riau), dan kasus aliran dana cek perjalanan hanyalah sebagian contoh buruknya kelakuan anggota DPR yang sudah mengapung ke permukaan. Masyarakat yakin di bawah permukaan masih banyak transaksi haram.
Publik pesimistis bahwa DPR hasil Pemilu 2009 akan lebih baik. Meski ada nama sejumlah aktivis dalam daftar caleg, pertanyaan bernada keraguan tetap saja muncul. Apa yang bisa mereka perbuat? Alih-alih memberi warna pada parlemen, mereka malah terjerembap dalam arus utama yang berpusat pada satu sumbu, yakni kekuasaan dan uang.
Keempat, masyarakat percaya status quo akan berlanjut di DPR. Sebab, wajah lama masih mendominasi daftar caleg. Mereka yang tua dan uzur tetap dipertahankan di Senayan. Mereka yang tercela dan di-recall melakukan reinkarnasi menjadi caleg melalui partai lain. Mereka yang semula idealis malah menjadi kutu loncat. Politik kekerabatan dan dinasti pun tetap dipelihara. Harapan bahwa Pemilu 2009 akan lebih baik, karena menempatkan kader yang memiliki kompetensi dan kapasitas, segera sirna.

Pemilh cerdas
Saat ini, pasca keputusan Mahmakah Konstitusi (MK) yang menghapus nomor urut dan diganti suara terbanyak dalam Pemilu legislatif mendatang, setidaknya bisa menjadi semangat baru bagi masyarakat pemilih untuk melakukan perubahan dan perbaikan. Dengan sistem suara terbanyak ini, masyarakat pemilih sudah menjadi “raja politik”, yang bebas menentukan dan memilih wakil rakyat sesuai dengan hati nurani dan kemauannya. Sistem suara terbanyak ini setidaknya bisa dimanfaatkan para pemilih untuk menggunakan hak pilihnya secara cerdas dan bertanggung jawab. Kita jangan membiarkan para koruptor, petualang dan politisi busuk berkuasa di negeri ini.
Masyarakat pemilih harus menjadi pemilih yang cerdas, yakni dengan ikut berpartisipasi dalam Pemilu 2009. Pilihlah wakil rakyat atau parpol yang memiliki track record yang baik, bersih, dan terbukti peduli kepada kepentingan masyarakat. Memilih politisi bermasalah hanya akan menjadi beban sosial, politik, dan ekonomi bagi masyarakat dan negeri ini. Jangan sampai kita kembali menjadi korban kebohongan politik para politisi bermasalah.

Tidak ada komentar: