Rabu, 19 September 2012

Mengkritisi Hasil Audit APBD Jatim 2011

Opini Jawa Pos, 20 Juni 2012 Oeh : Umar Sholahdin Dosen Soiologi Hukum FH Univ. Muhammadiyah Surabaya Untuk kedua kalinya pemerintah Propinsi Jawa Timur mendapatkan Laporan Hasil Pemeriksanaan (LHP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Sebagaimana kita ketahui, Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Jatim Tahun Anggaran 2011 hasilnya Opini WTP atau Unqualified Opinion. Opini tahun 2011 ini sama dengan dengan hasil LHP tahun anggaran 2010 yang juga beropini WTP.. Tentu saja, ini patut kita apresiasi. Sebab, di samping predikatnya sangat tinggi, kualifikasi penilaian seperti ini sangat jarang dijumpai untuk laporan keuangan lembaga pemerintahan. Sejak tahun 2004 sampai 2011, baru dua kali ini laporan keuangan Pemprov Jatim mendapatkan predikat sebaik itu. Ini setidakanya menjadi salah satu indikator positif, bahwa terlihat ada perbaikan dalam manajemen pengelolaan keuangan daerah Pemerintah Propinsi Jawa Timur. Catatan Kritis Namun demikian, bukan berarti laporan keuangan tersebut memiliki kesempurnaan dari semua aspek dan tanpa celah dan kritik. Laporan Hasil Pemeriksanan BPK, bukannya tanpa kelemahan. LHP BKP tersebut patut kita cermati dan kritisi secara lebih objektif dan proporsional. Ada beberapa catatan kritis atas LHPBPK tersebut yang kemudianberbuah WTP; Pertama, di dlihat dari sisi objek atau sampling yang dipakai BPK yang dinilai kurang representatif. Tidak semua laporan SKPD diaudit, hanya SKPD-SKPD “tertentu” yang berpotensi memiliki laporan baik. Atas dasar inilah LHP BPK untuk pelaksanaan ABPD propinsi Jawa Timur berbuah WTP. Dalam konteks ini, sample rumah sakit yang digunakan BPK kurang representatif untuk dijadikan penilaian secara general. Bagaimana dengan SKPD-SKPD lainnya?, atau apakah juga BPK mempertimbangkan laporan dari Inspektorat daerah atau data dari BPKP?. Kedua, Pemeriksaan BPK mengunakan metode uji petik atau sampling. Metode ini sangat berpotensi menimbulkan “politik kepentingan” dan bias pemeriksaan. Bahkan menimbulkan distorsi pemeriksaan. Bisa saja BPK menerima bahan pemeriksanaan atau SKPD atau Pemprop Jatim yang sudah disiapkan sebelumnya dalam kondisi “baik”. Perlu dicatat juga, yang diuji petik hanya sebagian kecil SKPD, Padahal ada puluhan SKPD di bawah lingkungan pemerintah propinsi. Sudah bukan rahasia lagi, setiap pemerintah daerah berkeinginan dan bahkan berambisi agar LHP BKP berbuah WTP, karena dengan WTP, akan mendapat insentif dari pemerintah pusat melalui DAK atau DAU atau bagi hasil. Praktik dugaan kongkalikong antar petugas BPK dengan pemerintah daerah sudah kerap terjadi untuk menghasilkan LHP: “WTP” Ketiga, LHP BPK tersebut lebih didasarkan pada bukti atau laporan yang bersifat formil-prosedural. Aspek materiil cenderung dikesampingkan. Dalam konteks ini, yang penting dikedepankan adalah jika semua laporan formilnya (baca: laporan keuangan) memenuhi syarat, maka sudah dianggap beres. Tidak mempertanyakan dan menyelidiki lebih lanjut, apa benar terjadi trasaksi keuangan seperti yang tertera dalam laporan formil tersebut?. jika ada dugaan penyimpangan anggaran yang nilai tidak signifikan dalam satu SKPD, dalam pandangan BPK dianggap tidak material, dan itu tidak jadi pertimbangan dalam memberikan hasil WTP. Misalnya dalam satu SKPD total anggarannya sebesar Rp 1 milyar, ada penyimpangan sebesar Rp 50-100 juta, maka penyimpangan tersebut dianggap “tidak material”. Nilainya terlalu kecil jika dibanding total anggarannya. Itu baru satu SKPD, jika terjadi penyimpangan “tidak material” terebut terjadi di banyak SKPD, maka seharusnya LHP bisa menilai sifat penyimpangannya “material”. Dalam konteks ini, BPK hanya memeriksa akspek formil-prosedural saja, tidak sampai pada aspek meterialnya. Karena itu, tentunya perlu dilanjut dengan pemeriksaan yang bersifat investigatif. Sehingga nantinya bisa diketahui jika terjadi penyimpangan, apakah laporan keuangannya itu “material atau tidak material”. Jika pemeriksaannya tidak investigatif, maka sangat mungkin hasil opini “WTP” hanya semu dan bahkan bisa menyesatkan. Audit Investigatif Sekali lagi, kita harus mencermati dan menilai laporan hasil BPK atas pelaksaaan APBD Tahun anggaran 2011 secara lebih objektif dan proporsional, sehingga kita tidak terjebak pada “kebanggaan yang berlebihan”. Hasil WTP bukan berarti laporan keuangannya “bersih”. Karena itu, ke depan perlu ada pemeriksaan yang lebih menyeluruh atas bahan-bahan laporan yang ada di lingkungan pemerintahan propinsi Jawa Timur, baik yang bersifat formil maupun materiil. APBD adalah uang rakyat, meminjam pernyataan Presiden SBY, uang berapun jumlah rupiahnya, harus dipertangungjawabkan kepada rakyat. Jangan mengatakan, jika terjadi penyimpangan anggaran yang sifatnya tidak siginfikan dari segi jumlah, kemudian dianggap “tidak material” atau dianggap biasa saja. Pengambaian seperti ini akan menimbulkan preseden buruk; penyimpangan anggaran atau korupsi yang jumlahnya kecil dianggap sesuatu yang biasa. Selain itu, BPK perlu mengubah metode pemeriksaan, yang tidak hanya menggunakan uji petik atau sampling yang kadang sarat kepentingan politik. BPK tidak hanya memeriksa aspek formil-proseduralnya saja, tapi juga aspek materialnya. BPK tidak hanya sekedar memeriksa, tapi juga harus dilanjut dengan pemeriksaan yang mendalam dan menyeluruh atau Audit Investigatif. Sehingga hasilnya akan lebih objektif dan bisa dipertangungjawabkan ke masyarakat.

Tidak ada komentar: