Kamis, 25 Februari 2010

Reklame Bakal Cawali dan Estetika Kota

Sumber : Opini KOMPAS Jatim, 14 Januari 2010


Akhir–akhir ini kita menyaksikan betapa jalur hijau dan taman kota terus bertambah dan berbenah. Ada kebanggaan dan kebahagiaan di hati penulis melihat bekas SPBU telah menjadi taman yang cantik dan estetis, serta diikuti dengan pembangunan air mancur yang cukup membuat mata sejuk di tengah teriknya Kota Surabaya. Wajah kota ini bagaikan iklan; “bikin hidup lebih hidup”
Akan tetapi di tengah usaha keras menata kota ini agar lebih cantik dan indah, ada pihak-pihak tertentu yang berusaha menggantinya dengan reklame politik. Wajah kota ini menjadi rusak dengan hadirnya reklame politik yang dipasang oleh para kandidat calon walikota 2010-2015 secara sembarangan dan semrawut.
Maraknya reklame politik tersebut seiring dengan semakin dekatnya Pemilihan Walikota (Pilwali) Kota Surabaya yang akan di gelar 2010. Para kandidat tak henti-hentinya memperkenalkan diri dan berkampanye melalui berbagai macam media. Salah satu media sosialisasi dan kampanye yang paling marak di kota ini adalah media luar ruangan. Ribuan poster, brosur, spanduk, plamfet, dan sejenisnya menghiasi wajah Kota Surabaya. Namun yang paling disayangkan adalah, ribuan media kampanye tersebut ditempel dan dipasang sembarangan, semrawut, dan yang jelas tak beretika. Bahkan antar kandidat dan tim sukses saling rebutan lahan strategis (Kompas Jatim, 24/12/2009).
Tak hanya ribuan poster atau sejenisnya, wajah Surabaya juga dilumuri ratusan dan mungkin ribuan reklame foto dan gambar para kandidat yang terpampang sembarangan, semrawut dan tak beretika. Reklame kandidat –baik dalam ukuran kecil sedang dan bahkan jumbo- bertebaran di jalan-jalan protokol, kampung-kampung dan sebagainya.
Ratusan reklame tersebut tentu saja merusak tata dan estetika kota. Wajah kota semakin semrawut dan ambural. Apalagi reklame-reklame para kandidat tersebut tidak dipungut retribusi atau pajak. Kesemrawutan reklame dan alat peraga para kandidat ini tidak saja melanggar Peraturan Daerah (Perda) No. 8 tahun 2006 tentang penyelenggaran reklame, tapi juga melanggar UU. Pemerintahan Daerah No. 32 tahun 2008 pasal 77 Ayat 6 mengatakan : “Pemasangan alat peraga kampanye sebagaimana yang dimaksud pada pasal ayat (5) oleh pasangan calon dilaksanakan dengan mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Meskinpun aturan main dan regulasinya sudah jelas, namun para kandidat sepertinya tidak mau tahu, yang penting terpasang dan bisa dijangkau masyarakat luas dengan harapan bisa dikenal dan dipilih nantinya. Seorang warga kota ketika bersuara di stasiun radio swasta di Surabaya ini dengan sinisnya mengatakan; “belum menjadi walikota atau pejabat pubik saja sudah melanggar aturan, apalagi nanti jika sudah menjadi walikota atau pejabat publik”. Dan yang paling ironis lagi, selain pelanggarnya adalah salah satu kandidat “incumbent”, juga pelanggaran tersebut sepertinya dibiarkan begitu saja oleh Satpol PP. Tidak ada teguran apalagi tindakan tegas.
Sosialisasi atau kampanye para kandidat yang diharapkan dapat memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarkaat, tapi pada kenyataannya justru membodohi masyarakat dan merusak tata kota ini. Sebagian besar sosialisasi dan kampanye para kandidat dan tim sukses, terutama yang melalui media luar ruangan (reklame, poster, brosur, spanduk, plamfet dll) lebih banyak tebar pesona dan banyak umbar janji-janji. Tak ada visi dan misi, program dan rencana aksi yang dapat diketahui oleh masyarakat pemilih. Pendek kata, sosialisasi dan kampanye para kandidat dan tim suksesnya yang beredar sekarang ini miskin pendidikan politik yang mencerahkan bagi masyarakat.

Perlu Penertiban
Alat peraga sosialisasi dalam bentuk apapun saat ini sudah sangat meresahkan warga kota dan melanggar Perda dan UU yang ada. Sosialisasi atau kampanye melalui berbagai alat peraga dari para kandidat atau tim sukses bukannya mendapat simpatik dari masyarakat, namun justru antipati dan sinisme. Penulis yakin sebagian besar warga kota tidak simpatik terhadap para kandidat dan tim suksesnya yang sembarangan memasang berbagai alat peraga sosialisasi dan kampanye yang merusak estetika kota ini.
Demi ambisi meraih kursi kekuasaan, mereka para kandidat sudah menggunakan politik Machavelli, yakni politik menghalalkan segala cara. Berbagai cara dan modus operandi dilakukan para kandidat dan tim suksesnya untuk meraih suara terbanyak dan kekuasaan, meskinpun dengan menghalalkan segala cara. Bahkan ada sebagian menggunakan cara-cara hukum rimba.
Wajah kota ini sudah berubah menjadi hutan reklame akibat ulah para kandidat dan tim suksenya yang tak beretika. Keindahan kota yang sudah tata oleh Dinas Pertamaman dan Tata Kota akhirnya mubadzir, dirusak oleh oknum-oknum politisi yang tak bertanggungjawab.
Karena itu, wajah kota ini harus kita selamatkan dari kesemrawutan berbagai alat perada para kandidat. Perlu ada tindakan tegas, terutama dari Satpol PP. Alat-alat perada yang jelas-jelas melanggar Perda kota dan UU, harus dicabut atau diturunkan. Jika Satpol PP Pemkot tidak tegas dan bahkan terus membiarkan berbagai pelanggaran, maka bukan tidak mungkin Kota Surabaya yang indah dengan penataan tamannya akan berubah menjadi hutan reklame. Wajah kota semakin semrawut dan sulit untuk dikenali kembali jati dirinya. Bersosialisasi dan berkampanyelah dengan cara-cara yang sehat, taat aturan, dan beretika.

1 komentar:

Dloree mengatakan...

Saya sependapat dengan tulisan ini, malah mungkin kalau para kandidat mau sedikit saja berbagi kepada masyarakat atau istilah yang sering dipakai saat ini "mau peduli". Daripada dana digunakan untuk membuat reklame "yang sebenarnya masyarakat sudah tidak respek" akan hal ini. Khan masih lebih baik dibagikan kepada masyarakat yang tidak / kurang mampu. Itu saya kira malah lebih menyentuh dan saya yakin akan sangat bermanfaat bagi para kandidat maupun calon pemilih. Bagaimana pak.......?

Salam,
Khudlori