Rabu, 01 Desember 2010

Perda Bermasalah dan Kinerja Legislasi Daerah

Sumber : Opini KOMPAS Jatim, Selasa 1 Desember 2010

Berdasarkan kajian dan evaluasi yang dilakukan Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), sampai Juli 2010 dari 9.714 Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), terdapat 3.091 perda atau 32 persen yang direkomendasikan untuk dibatalkan atau direvisi. Perda-perda tersebut lebih banyak berorientasi pada penggemukkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Perda Ini sangat memberatkan pelaku usaha sehingga menjadi kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah. Perda-perda tersebut menimbulkan ekonomi biaya tinggi (hight cost economic). Perda tersebut tidak saja memberatkan kalangan pelaku usaha, tapi juga sangat memberatkan masyarakat.
Sedangkan terhadap Raperda, menurut kementrian Keuangan terdapat 2.566 Raperda PDRD. Dari jumlah itu, sebanyak 1.727 Raperda atau 67 persen yang direkomendasikan untuk ditolak atau direvisi. Perda tersebut kebanyakan diperuntukkan bagi sektor perhubungan, industri dan perdagangan, pekerjaan umum, budaya dan pariwisata, serta kesehatan. Perda-perda itu banyak dikeluarkan oleh Provinsi Jawa Timur, Sulawesi Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Kalimantan Timur.
Selain menghambat iklim usaha, juga bermasalah secara yuridis. Artinya Perda-perda yang dibuat pemeritah daerah bersama DPRD bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada serta menimbulkan tumpang tindih dan kerancuan. Dalam kaidah normatif, Perda yang dibuat oleh Pemda tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, jika bertentangan, maka peraturan tersebut (baca: Perda) dinilai cacat dan batal demi hukum alias tidak bisa diterbitkan apalagi diberlakukan.
Dijelaskan perda yang menjadi sasaran teguran tersebut meliputi berbagai bidang mulai dari pengaturan organisasi pemerintahan daerah, kehutanan, sampai masalah keuangan. Otonomi daerah (Otoda) yang diharapkan dapat mendekatkan aspirasi dengan kebijakan, dan lebih dari itu tingkat kesejahteraan masyarakat semakin meningkat, namun justru sebaliknya, yang semakin sejahtera para elit-elit daerah.
Perda merupakan manifestasi kebijakan Pemda dalam menjalankan proses pembangunan di daerahnya. program pembangunannya. Salah satu parameter yang dapat dipakai untuk mengukur keberhasilan otonomi daerah dan tingkat kesejahteraan masyarakat yakni dengan melihat Perda yang telah dihasilkankan oleh Pemda. Perda merupakan instrumen sekaligus pedoman yuridis bagi Pemda dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan daerah yang goal-nya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Masyarakat Jadi “Sapi Perah”
Masyarakat selama ini hanya dijadikan “sapi perahan” Pemda melalui penarikan-penarikan baik itu dalam bentuk pajak, retribusi, maupun pungutan. Semua penarikan itu diformalkan dan dilegalkan dalam bentuk Perda. Dengan begitu Pemda dianggap memiliki payung hukum yang kuat untuk “menguras” uang rakyat. Dari sejumlah Perda tersebut bahkan cenderung “asal-asalan”, asal tarik dan asal comot, yang penting bagaimana dengan tarik dan comot itu bisa menaikkan PAD. Dan yang lebih ironis lagi, kenaikkan PAD yang terjadi setiap tahun dianggap sebagai sebuah prestasi oleh sebagian elit Pemda. Pejabat yang berewenang dinilai kreatif dalam menggali potensi daerah yang ada. Dan benar, para pejabat kita di era Otoda ini memang “kreatif dan inovatif” memeras rakyatnya melalui penarikan berbagai pajak dan retribusi dengan dalih dan alasan eufemistik yang dibuat-buat; “demi PAD” dan kesejahteraan masyarakat”.

Rendahnya Kinerja Legislasi Daerah
Masih banyak Perda-perda bermasalah yang diproduksi pemerintah daerah, termasuk di Jawa Timur, menunjukkan bahwa kinerja legislasi daerah sangat lemah. Para elit daerah lebih suka dan gemar membuat perda-perda yang berorientasi pada penggemukkan penerimaan PAD. Dalam pandangan mereka, membuat Perda yang bersifat retributif lebih gampang dibanding dengan perda-perda lainnya, terutama yang terkait dengan kepentingan masyarakat riil. Selain itu, yang paling riil bagi elit daerah adalah ada kentungan materiil yang bisa didapat dari pembahasan Raperda retributif tersebut. Di kalangan elit daerah (baca: eksekutif-DPRD), Perda retributif ini masuk dalam kategori “perda basah”. Dalam proses-proses pembahasan, Perda-perda ini bisa mendatangkan keuntungan ekonomis bagi mereka. Karena itu, cukup beralasan, jika mereka sangat semangat dalam proses pembahasannya.
Selain itu, salah satu kelemahan mendasar mengapa selalu muncul perda-perda bermasalah di daerah adalah lemahnya SDM, baik di eksekutif maupun di DPRD. Kapasitas dan kompetensi mereka terkait dengan fungsi legislasi sangat rendah. Sehingga yang muncul adalah produk legislasi “asal jadi” dan “asal dapat komisi”. Mereka tidak mempertimbangkan apakah perda yang dibuat tersebut akan bermasalah atau tidak, baik secara ekonomik, yuridis, maupun sosiologis?. Kegiatan supporting, seperti studi banding yang selama ini diklaim anggota dewan dalam rangka pembahasan Raperda, pun tak mampu memperbaiki kinerja legislasi daerah. bahkan cenderung dimanfaatkan anggota dewan untuk nglencer.
Kerena itu, untuk menyelesaikan persoalan ini, yang paling utama dibenahi adalah SDM, terutama di pihak DPRD yang nilai sangat rendah. Sebagian besar kader partai yang masuk gedung dewan memiliki kapasitas legislasi pas-pasn bahkan nihil. Kedua, perlu ada pembenahan kelembagaan legislasi di internal DPRD maupun eksekutif. Di DPRD yang harus di benahi adalah kelembagaan badan legislasi. Baleg tak sekedar membuat, tapi juga mengevaluasi semua produk legislasi daerah yang dihasilkan.
Otonomi daerah yang diharapkan dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat, justru sebaliknya hanya mensejahterakan kebutuhan elit-elit daerah. Masyarakat hanya mendapatkan pepesan kosong dari berbagai kebijakan pembangunan yang selama ini di jalankan oleh Pemda. Karena itu, sudah saatnya DPRD bersama Pemprop Jatim mengkaji ulang –kalau perlu di cabut- semua Perda yang telah dibuat, terutama Perda yang bermasalah, baik secara ekonomik, yuridis, maupun sosiologis.