Minggu, 22 November 2009

Polri, noerdin M. Top dan Anggodo

Sumber : Opini Harian Bhirawa, 17 November 2009

Beberapa minggu sebelum kasus dugaan kriminalisasi pimpinan nonaktif Komisi Pembetasan Korupsi (KPK), Chandra Hamzah dan Bibi S. Rinto mencuat, jajaran kepolisian mendapat apresiasi yang cukup besar dari masyarakat lantaran prestasinya yang gemilang dalam menangkap gembong terorisme, Noerdin M. Top. Warga Malaysia ini dikenal bagaiakan belut alias susah ditangkap ketika di buru aparat Densus 88. Pengakuan dan apresiasi tidak saja datang dari masyarakat Indonesia, tapi juga datang dunia internasional. Sebut saja misanya Amerika Serikat dan Australia memberikan ancungan jempol, dan bahkan tidak itu saja, Indonesia mendapat bantuan dana dari kedua negara tersebut dalam bentuk kerjasama berantas terorisme.
Namun prestasi gemilang Polri tersebut hanya “dikenang” publik domestik dan internasional dalam sekejab mata. Dukungan publik yang luar biasa berubah menjadi cercaan, kecaman, dan bahkan hujatan. Profesionalisme Polri ketika menangkap Noerdin M Top menjadi kamuflase hukum saja, karena Polri seperti “bebek”, tak berdaya menghadapi mafioso hukum di negeri ini seperti Anggodo. Polri juga dinilai tidak becus menangap salah satu saksi kunci kasus Chandra-Bibit, Yulianto, orang yang disebut Ari Muladi yang memberikan langsung uang 5,1 milyar kepada pimpinan KPK, termasuk kepada Chandra-Bibit.
Dalam logika hukum masyarakat, penyidikan dan penahanan Chandra-Bibit oleh Polri dianggap sebagai bentuk kriminalisasi hukum. Alasan-alasan legal formal yang selama ini diangungkan Polri terbantahkan oleh berbagai fakta hukum empiris. Sebut saja misalnya yang paling telanjang adalah bukti rekaman sadapan KPK yang diperdengarkan publik Indonesia di MK, di mana disitu sangat telanjang sekali upaya kriminalisasi hukum atas kasus Chandra-Bibit yang dirancang secara sistematis oleh seorang Anggodo dan bantahan Ari Muladi sendiri.
Sebelum rekaman MK muncul, Anggodo sebelumnya juga dikenal akrab dengan para petinggi kepolisian dan kejaksanaan. Dengan kekuatan kapitalnya, Anggoda bisa mengatur dan menyelesaikan kasus-kasus hukum yang menimpa dirinya dan koleganya dengan “UUD” alias ujung-ujungnya duit. Tatanan hukum formal digadaikan begitu rupa oleh aparat hukum kita dengan tumpukan uang.
Polri dan kejaksaan boleh berdalih dan berapologi, bahwa penanganan kasus Chandra-Bibit sudah sah sesuai dengan hukum legal formal kita, namun dalam logika hukum masyarakat justru sebaliknya. Kasus Chandra-Bibit penuh dan syarat rekayasa sebagaimana yang ditunjkkan dalam rekaman MK tersebut. Bahkan publik hukum kita menilai rekaman MK tersebut bagaikan fenomena gunung es, fakta sebenarnya jauh lebih bobrok. Dengan kata lain, ada aspek hukum yang selama ini tidak terlalu diperhitungkan oleh aparat penegak hukum legal formal kita, yakni aspek keadilan hukum. Menurut Ahli Sosiologi Hukum Satjipto Raharjo, aparat penegak hukum kita masih sebatas melakukan penegakkan hukum saja alias “kepanjangan tangan” UU, tapi belum mampu menghadirkan keadilan hukum bagi masyarakat. Jutaan dukungan yang ditunjukkan para facebooker terhadap Chandra-Bibit dan sikap protesnya kepada Polri dan Kejaksanaan menunjukkan adanya nurani keadilan hukum yang tercabik-cabik. Mahfud M.D mengatakan keadilan hukum sulit nampak pada aspek legal formal hukum kita, karena aspek legal-formal dan prosedural hukum bisa diatur dan dimanipulasi sebagaimana yang dilakukan Anggodo.

Anggodo Bebas?
Logika hukum legal-formal dan prosedural yang dirancang Polri atas Anggodo sangat sulit diterima oleh akal sehat kita. Profesionalisme Polri sangat dipertanyakan. Pertama, mengapa Polri sulit menangkap dan menjebloskan Anggodo ke sel tahanan, sementara dalam kasus Chandra-Bibit sangat begitu mudah? Dan kedua, mengapa Polri juga kesulitan menangkap saksi kunci; Yulianto. Menangkap gembong terorisme seperti belut saja mampu, masak menangkap Yulianti tidak mampu, ada apa dengan Polri?.
Pertama terkait dengan sulitnya menangkap Anggodo. Menurut pakar hukum pidana, rekaman MK dan pengakuan Anggodo sendiri sebenarnya bisa dijadikan alat bukti yang bisa digunakan Polri untuk menjebloskan Angodo ke tahanan, tapi mengapa tidak dilakukan? In yang menjadi tanda tanya besar. Setelah dirasionalisasi dengan dukungan fakta empiris, ternyata ada dugaan ; sebagai pengusaha hitam dan dekat dengan jajaran aparat penegak hukum, jika Anggodo ditahan, maka dikhawatirkan akan “bernyanyi” seperti burung perkutut yang akan mengancam citra, kredibilitas dan muka jajaran Polri dan kejaksaan. Karena itu, Polri lebih aman melepas Anggodo daripada menahannya.
Kedua, terkait sulitnya menangkap Yulianto. Ini juga menimbulkan tanda tanya besar. Polri berhasil menemukan gembong terorisme Noedin M Top, tapi dalam kasus Yulianto mengapa tidak mampu? Padahal Yulianto tak sehebat Nordin M Top. Ada dua dugaan, pertama, sulitnya Polri menangkap Yulianto memang disengaja untuk menguatkan opini Polri bahwa nama Yulianto adalah fiktif sehingga semakin menguatkan dakwaan atas Chandra-Bibit. Kedua, Polri sebenarnya sudah tahu keberadaan Yulianto, namun belum mau menangkap. Bisa saja dugaan masyarakat muncul, jangan-jangan Yulianto ada dan sudah “diamankan” Polri, namun belum bisa dimunculkan. Diamankan Yulianto ini juga mungkin terkait dengan “keamanan” Polri dan kejaksaan itu sendiri. Jika Yulianto dimunculkan sejak awal dan kemudian membantah mendistribusikan uang suap kepada jajaran pimpinan KPK , maka habislah citra Polri. Dan ini semakin menguatkan adanya kriminalisasi dalam kasus Chandra-Bibit. Kondisi ini yang dihindari Polri dan Kejaksaan. Polri mungkin akan memunculkan Yulianto pada waktu yang tepat, sehingga Yulianto bisa memberikan statement yang senafas dengan pihak Polri dan Kejaksaan.
Dalam kasus lain, rekayasa hukum semakin menguat dengan pengakuan mengejutkan Wiliardi Wizard dalam kasus pembunuhan Nasrudin yang melibatkan mantan ketua KPK Antasai Azhar. Posisi Polri dan Kejaksaan semakin tersudut. Karena itu, narasi hukum yang dirancang Polri dan Kejaksaan sangat sulit diterima akal sehat hukum masyarakat dan aspek yuridis sekalipun. Dengan kata lain, ada yang bermasalah dengan Polri dan Kejaksaan. Karena itu sangat sulit kasus ini diserahkan kepada aparat hukum yang bermasalah. Dipastikan tidak akan menyelesaikan masalah, justru akan menimbulkan masalah baru dalam penegakkan hukum kita.

Kunker DPRD dan Nasib Maskin

Sumber : Opini Radar Surabaya, 23 November 2009

Baru dua setengah bulan menjabat, anggota DPRD Jatim sudah mulai berulah. Sama seperti kebisaan buruk yang dilakukan anggota dewan periode sebelumnya, yakni melakukan Kunjungan Kerja (Kunker) sia-sia. Kali ini Kunker dewan berdalih pembahasan RAPBD 2010. Yang menjadi pertanyaan, mengapa hanya untuk membahas RAPBD saja harus melakukan Kunker berulang-ulang dan yang menimbulkan pertanyaan public, mengapa Kunker tersebut dilakukan di masa injuri time pelaksanaan APBD 2009?. Muncul suudhon politik, Kunker ini sarat bernuansa penghabisan anggaran, karena jika tidak dipakai maka akan dikembalikan kas daerah.
Seperti diberitakan, 95 anggota DPRD Jatim ramai-ramai melakukan Kunker ke berbagai propinsi di Indonesia dengan dalih untuk mencari informasi pembanding dalam rangka penyusunan dan pembahasan RAPBD 2010. Kunker yang melibatkan lima komisi ini mengabiskan dana lebih dari Rp 5 milyar. Dengan kata lain, setiap fraksi akan mendapatkan dana Kunker Rp 1 milyar (Radar Surabaya, 29/10/2009).
Anggaran Kunker yang menghabiskan angka Rp 5 milyar dan dilakukan dalam waktu yang cukup singkat, menurut penulis sangat tidak masuk akal. Anggaran tersebut sangat berlebih, apalagi Kunker yang dilakukan adalah Kunker dalam negeri. Selain itu, uang Rp 5 milyar tersebut langsung dibagi rata ke lima fraksi, seperti membagi-bagi permen ke anak kecil. Praktik ini semakin menguatkan dugaan publik, orientasi politik anggota dewan melakukan Kunker bukan sekedar pembahasan RAPBD 2010, tapi lebih jauh dari itu adalah bagaimana menghabiskan anggaran menjelang tutup buku APBD 2009.
Pada Kunker tahap I 20-22 Oktober 2009, Komisi A bertolak ke Medan, B ke Gorontalo, C ke Jawa Barat, D ke DKI Jakarta, dan E ke Kalimantan Timur. Dan ternyata Kunker berulang pada tanggal 28 Oktober 2009, di mana Komisi A,C, dan E akan bertolak ke Jakarta dan Banten, Komisi B ke Semarang dan Komisi D ke Bali. Materi Kunker II hampir sama seperti Kunker tahap I, yakni dalam rangka pembahasan RAPBD 2010. Kunker berulang ini, semakin menambah deretan panjang dugaan publik; Kunker hanya menghabiskan uang rakyat.
Kegiatan Kunker tersebut, penulis menilai tidak akan banyak membawa kontribusi positif dalam proses pembahasan RAPBD 2010. Selain karena dilakukan dalam waktu yang mendesak dan dipaksakan, juga yang perlu dicermati lebih jauh adalah karena tidak adanya perubahan paradigma politik anggaran. Paradigma politik anggaran pemerintah daerah Jatim sangat konservatif, yang masih menempatkan anggaran aparatur birokrasi (baca: rutin) sebagai “panglima”, sedangkan anggaran publik/pembangunan sebagai “prajurit”. Paradigma ini sudah mentradisi puluhan tahun dan rakyat terus menjadi korban. Dengan kata lain, APBD Jatim selama ini lebih banyak melayani kebutuhan elit daerah, baik untuk eksekutif maupun legislatif daripada kebutuhan untuk masyarakat.
Fakta ini pula yang terjadi pada RAPBD 2010 Jatim. Dalam pembacaan Nota Keuangan 2010, Gubernur Soekarwo menyebutkan dari total rancangan anggaran Rp 7,376 triliun, alokasi belanja pembangunan sebesar Rp 3,753 triliun (51,1 persen) sedangkan belanja pegawai Rp 3,591 triliun (48,9 persen). Komposisi sepertinya “berpihak pada rakyat” atau meminjam jargon Pakde Karwo dalam kampanye Pilgub; “APBD untuk Rakyat”, namun jika kita kritisi dan cermati lebih dalam, anggaran pembangunan yang mencapai 51,1 persen banyak yang kembali lagi untuk kebutuhan dan kepentingan aparatur birokrasi. Dengan kata lain, RAPBD 2010 Jatim bagaikan fatamorgana, masih belum berpihak pada kepentingan masyarakat. Karena itu, penulis melihat, Kunker tidak akan berdampak pada performance RAPBD 2010 yang pro rakyat, jika paradigma politik anggarannya tidak berubah.

Bagaikan Predator
Para anggota dewan baru seharusnya bisa belajar dari “kebiasaan buruk” Kunker sia-sia yang dilakukan anggota dewan sebelumnya. Dan yang paling disesalkan, ada anggota dewan baru yang dulunya bersama penulis lantang menyuarakan “tolak kunker” (bahkan sampai melakukan gugutan class action ke pengadian), namun saat ini suara lantang tersebut nyaris tak berbunyi di gedung dewan. Jangankan bersuara keras, yang dilakukan justru “mengamini” dan terlibat dalam kegiatan Kunker. Inilah wajah asli kekuasaan; suara rakyat berubah menjadi suara elit kekuasaan yang ingin berkuasa dan menguasai. Anggota dewan sudah terjangkit penyakit “amnesia politik” ; lupa diri bahwa dirinya adalah wakil rakyat yang harus mengabdi pada rakyat. Kekuasaan telah melupakan segalanya, termasuk rakyat yang diwakilinya.
Penghabisan uang rakyat sebesar Rp 5 milyar dalam waktu cukup singkat tersebut, apalagi tidak dikuti dengan hasil dan kontribusi signifikan bagi peningkatan kerja dan kinerja dewan dan peningkatan kesejahteraan rakyat, sama saja dewan melakukan predatorisasi rakyat melalui penghisapan anggaran di APBD.
Apakah anggota dewan tidak melihat dan merasakan penderitaan masyarakat miskin dan pengangguran yang saat ini sedang kesulitan mencari sesuap nasi, apalagi di tengah harga bahan pokok yang terus melambung. Banyak anak keluarga miskin yang tak bisa sekolah dan putus sekolah, keluarga miskin yang tak mampu membayar biaya kesehatan di Rumah Sakit. Apalagi ada satu kecamatan di Kabupaten Ponorogo yang dijuluki sebagai “Kampung Idiot”. Ini sungguh sangat ironis dan tragis, di saat anggota dewan ramai-ramai Kunker, pada saat yang sama ada warga satu kampung yang idiot. Dimana nurani anggota dewan…?. kampung Idiot ini bisa menjadi wujud paling telanjang dari praktik politik anggaran kita yang manupulatif dan konspiratif.
Karena itu, tidak alasan bagi anggota dewan untuk terus melanjutkan Kunker “sia-sia” tersebut. Alangkah lebih baiknya, berkosentrasi penuh pada pembahasan dan penyusunan RAPBD 2010 yang berpihak pada kepentingan masyarakat Jatim. Kunker lah ke masyarakat bawah dan rasakan penderitaannya. Di situlah hakekat Kunker sebenarnya bagi anggota dewan, bukan nglencer mengabiskan anggaran ke luar daerah.