Selasa, 26 Mei 2009

Pemilu 2009 dan Golput

Opini Radar Surabaya, 25 Mei 2009


Prediksi beberapa pengamat politik dan lembaga survey naisonal bahwa angka golput pada Pemiu 2009 akan meningkat dibanding Pemilu 2004 dan sebelumnya menjadi kenyataan. Berdasarkan perhitungan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya di Pileg lalu sebesar 49.677.076 suara atau 29,01 persen. Jika ditambah dengan sura yang tidak sah sebesar 17.488.581 suara, maka jumlah suara total yang yang hilang lebih dari 67 juta suara. Dengan tambahan angka ini, jumlah golput dalam pengertian yang lebih luas menjadi sekitar 30% lebih. Angka golput ini mengungguli perolehan suara tiga parpol besar, yakni Demokrat (20,85%), Golkar (14,7%), dan PDI-P (14,2%). Dengan kata lain, sebenarnya “pemenang” sejati dalam Pileg 2009 ini adalah Golput, yakni mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya karena berbagai sebab.
Angka Golput di Pemilu ini merupakan yang tertinggi dalam sejarah pemilu di Indonesia. Pada pemilu 1999, angka golput sebesar 10,5%, dilanjut pada pemilu 2004 sebesar 15,93%. Sedangkan pada Pilpres I 2004 angka Golput semakin meningkat menjadi 21,77 % dan Pilpres II melambung menjadi 23,37%. Meskinpun tingginya angka goput tidak akan mempengaruhi legitimasi pemilu, namun tingginya angka golput ini sungguh sangat memprihatikan. Dengan kata lain, kualitas Pemilu 2009 bisa semakin menurun. Bahkan Megawati menyatakan, Pemilu 2009 ini lebih buruk dibanding Pemilu 2004 lalu.
Salah satu parameter kualitas berjalannya proses demokrasi di sebuah negara (baca: pemilu) adalah tingkat partisipasi politik pemilihnya. Semakin tinggi tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu, maka pemilu tersebut dinilai berkualitas. Karena, dengan tingginya pertisipasi politik pemilih, berarti masyarakat pemilih telah memberikan kepercayaan penuh terhadap sistem dan proses demokrasi yang ada. Namun, sebaliknya jika tingkat partisipasi pemilih rendah, berarti tingkat kepercayaan politik masyarakat juga rendah.
Golput sendiri lebih sering diartikan sebagai; masyarakat pemilih yang memiliki hak pilih tapi tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT), masyarakat yang menggunakan hak pilih dengan cara tertentu mengakibatkan kertas suara tidak sah, dan masyarakat pemilih yang memiliki hak pilih tapi dengan sengaja tidak menggunakannya di pemilu. Secara alami, golput akan menunjukkan eksistensinya seiring ketidakpercayaan masyarakat terhadap peserta dan sistem pemilu dalam membawa perubahan dan perbaikan negara dan kesejahteraan masyarakat.

Tiga Alasan
Setidaknya ada tiga alasan mengapa masyarakat tidak memilih alias golput. Pertama, alasan idiologis. Alasan idiologis ini terkait dengan ketidakpercayaan yang terhadap sistem demokrasi dan pemilu yang berlangsung. Dalam anggapan mereka pemilu hanya sekedar seremonial demokrasi prosedural semata. Pemilu dinilai tidak bisa memberikan kemanfaatan apapun bagi masyarakat, justru realitasnya kondisi masyarakat tidak ada perubahan, bahkan semakin terpuruk. Bagi mereka, ada atau tidak adanya pemilu dinilai sami mawon. Pemilu hanya melanggengngkan status quo dan para politisi yang haus akan kekuasan.
Kedua, alasan teknis. Ini terkait dengan kinerja KPU yang dinilai ambural dan tidak professional. Banyak pemilih yang gagal masuk dalam DPT dan tidak menerima kartu pemilih. Belum lagi rentetan kerumitan teknis di seputar distribusi logistik Pemilu di sejumlah daerah sehingga mendorong terjadinya pencontrengan ulang yang menjadi pemilu semakin ambural. Ini masih ditambah dengan minimnya antisipasi KPU terhadap kemungkinan permasalahn yang akan muncul, baik sebelum, saat dan pasca pemilu.
Ketiga alasan pragmatis dan apatis. Bagi mereka, Pemilu dinilai tidak memberikan kemanfaatan apapun bagi dirinya. Masyarakat hanya dijadikan objek dan legitimasi politik saja saat pemilu. Pasca pemilu rakyat ditinggalkan bahkan sampah politik. Habis manis sepah dibuang. Dan bahkan dalam kadar tertentu seringkali suara rakyat dicampakkan begitu saja. Apatisme dan pesisme masyarakat semakin memuncak ketika melihat tingkah polah para wakil rakyat yang mengecewakan dan bahkan memuakkan. Apatisme masyarakat ini memang beralasan. Selama hamper satu periode ini, masyarakat dipertontonkan dengan berbagai bentuk keserakahan. Keserakahan akan kekuasaan, kerakusan akan uang, dan ketamakan akan fasilitas. Selama lima tahun para politisi (DPR/D) telah menjadi lembaga wakil rakyat yang autisme. Mereka asyik dengan dirinya sendiri. Cercaan dan kecaman terus dilontarkan, tetapi mereka seakan tuli. Mereka menganggap sepi semua keluhan publik. Buktinya, kasus demi kasus korupsi dan lainnya terus terjadi dan bersambung bagaikan cerita sebuah sinetron.
Karenanya cukup rasional ketika masyarakat memilih untuk tidak memilih dalam pemilu. Mestinya para elit politik bisa introspeksi terhadap perilaku dan kinerjanya selama ini. Apa yang telah mereka lakukan dan berikan kepada masyarakat. Sampai saat ini masyarakat belum merasakan nilai kemanfaatan dari hak suara yang digunakannya. Harapan masyarakat, dengan menggunakan hak suaranya dalam pemilu, tingkat kesejahteraannya semakin meningkat, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Kehidupan sosial-ekonomi masyarakat semakin terpuruk dan menderita. Keterpurukan dan penderitaan rakyat ini justru tak lepas dari perilaku dan berbagai kebijakan pemerintahan yang terus merugikan masyarakat.

Golput Produktif
Fenomena golput yang kecenderungannya jumlah semakin meningkat dari pemilu ke pemilu, akan lebih produktif bila dikelola dan dikembangkan lebih lanjut pasca Pemilu. Artinya, golput bisa dimanfaatkan dan dikembangkan menjadi sebuah gerakan ekstra parlementer yang lebih produktif. Gerakan ini bisa menjadi kontrol politik dan kekuatan penyeimbang terhadap pihak penguasa. Jika ini dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan, maka akan memberi pendidikan politik bagi masyarakat. Citra golput sebagai bentuk pembangkangan politik an sich kepada pemerintahan secara perlahan akan terkikis dengan sendirinya.
Hal tersebut yang sudah diinisiai dan dipraktikkan oleh “pejuang” Golput Fajrul Rahman. Dia secara konsisten memperjuangkan goput dalam setiap pemilu, karena pemilu dianggap tidak mampu memberikan asa baru bagi perubahan dan perbaikan negeri ini. Bagi Fajrul, perlu ada perubahan ang “revolusioner” dalam sistem pemilu kita. Sistem pemilu yang berlaku dinilai hanya melanggengkan kekuatan staus quo yang serakah terhadap kekuasaan. Dengan kata lain, akhirnya komunitas dan gerakan golput bisa memberikan kontribusi positif dan konstruktif bagi perkembangan demokratisasi di negeri ini.