Kamis, 31 Desember 2009

Nasib Pasien Mskin

Opini Bhirawa, 2 Oktober 2009


Sudah jatuh tertimpa tangga. Demikian pepatah yang pas ditujukan untuk keluarga miksin yang dibelit kasus kesehatan di Indonesia. Sudah miskin tak punya uang, mendapat pelayanan kesehatan yang buruk lagi. Inilah yang menimpa masyarakat miskin di Indonesia. Kisah tragis dialami Suharni dan Santi berikut dua bayi mereka yang masih tertahan di Rumah Sakit BErsalin Sofa Marwa, Jl. Bina Warga, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Suharni tertahan sejak dua minggu lalu. Mereka tidak sanggung bayar biaya persalinan sebesar Rp 5 juta lebih (Surya, 9/9/2009).
Masyarakat miskin menjadi korban kedua kalinya, sudah miskin dan dimiskinkan oleh kebijakan rumah sakit yang tidak adil, di tambah lagi pelayanan kesehatan yang mengecewakan. Kondisi ini yang memunculkan anekdot sosial; orang miskin di larang sakit.
Kejadian yang menimpa Bu Suharni dan kawan-kawan yang senasib merupakan potret buruknya pelayanan kesehatan dari rumah sakit terhadap pasien dari keluarga miksin. Perlakuan dan pelayanan kesehatan sungguh sangat mengecewakan dan tidak manusiwi. Para pasien Gakin ”dipaksa” untuk melunasi biaya persalinannya. Tidak tak kalah manusiawi, pihak rumah sakit teganya “menahan” ibu dan bayinya yang tak mampu melunasi biaya persalinannya..
Buruknya pelayanan kesehatan dari rumah sakit juga pernah dialami oleh anak-anak jalanan dari keluarga miskin dampingan Yayasan Arek Lintang (Arek). Menurut Direkturnya, Yuliati Umrah, pihaknya menemukan 37 kasus masyarakat miskin yang bermasalah dalam mendapatkan pelayanan kesehatan di dua rumah sakit di Surabaya, yakni di RSUD Dr. Soewandi dan Dr. Soetomo. Masyarakat miskin mengalami kesulitan dalam mengakses jaminan kesehatan. Menurutnya, satu Maskin meninggal dunia akibat keterlambatan dan diskriminasi saat mendapatkan pelayanan kesehatan.
Kasus di atas semakin menunjukkan kepada publik, praktik-praktik diskriminasi di institusi kesehatan mulai dari rumah sakit sampai puskesmas masih sering terjadi dan dirasakan Maskin. Akses kesehatan bagi masyarakat miskin kita masih sangat terbatas. Dan persoalan klasik yang dihadapi oleh masyarkat miskin adalah masalah uang. Persoalan uang ini sering kali menjadi “pembeda” dalam pelayanan kesehatan antara orang miskin dengan orang kaya.
Selama ini pemerintah telah membuat program Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) untuk Msyarakat (Miskin). Program masih ini belum menyentuh secara riil masyarakat misikin. Keluarga miskin masih kesulitan mendapat pelayanan gratis. Saat ini beberapa kab/kota akan mengeluarkan kartu kesehatan untuk keluarga Gakin (green card). Inipun masih menimbulkan masalah dilapangan, karena terjadi diskriminasi. Tidak sedikit Gakin yang belum mendapatkan kartu kesehatan tersebut. Apalagi bagi Gakin yang tidak memiliki KTP sangat kesulitan mendapatkannya. Padahal mereka juga sangat membutuhkan kartu kesehatan untuk mendapatkan layanan kesehatan secara gratis. Prosedur yang telalu rumit dan mbulet inilah yang menyebabkan banyaknya Gakin tidak bisa mendapatkan akses jaminan kesehatan yang baik dan layak.
Satu persoalan lagi, meskinpun ada pelayanan gratis bagi Gakin, namun bukan berati persoalan kesehatan bagi Gakin selesai. Gakin masih menghadapi persoalan perlakuan dari petugas rumah sakit atau puskesmas. Secara psikologis, sangat berbeda pelayanan yang diterima oleh Gakin ketika berobat atau periksa misalnya. Pelayanan hanya ala kadarnya. Bahkan ada cemoohan dari sebagian masyarakat yang mengatakan ada uang anda sehat, tak ada uang anda sekarat.
Selain itu, masih juga kita lihat Puskemas – sebagai institusi kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat- tidak ada dokter jaganya. Ketika masyarakat membutuhkan, dokter puskesmas tidak di tempat. Dan ini akan sangat berdampak pada kualitas pelayanan kesehatan. Belum lagi kalau misalnya muncul pungutan-pungutan yang tidak jelas alias pungli. Sudah miskin, dimiskinkan lagi oleh pelayanan yang mengecewakan.

Lemahnya Fungsi Sosial
Kasus memilukan dan mamalukan tersebut seharusnya menjadi bahan koreksi dan instropeksi dari pemerintah, terutama pihak Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit. Perlakuan diskriminasi dan pelayanan yang buruk akan sangat berdampak sangat serius bagi Gakin. Memperlambat atau bahkan membiarkan pasien maskin dalam keadakan sekarat, tanpa adanya penanganan yang supercepat itu sama saja pihak rumah sakit telah melakukan pelanggaran HAM.
Selama ini tidak sedikit rumah sakit yang masih berwatak kapitalis. Mereka hanya memburu rupiah. Pihak rumah sakit atau dokter mau melayani dan menangani secara sarius pasien yang memiliki uang banyak dan mau membayar tinggi. Dan itu hanya orang-orang kaya saja yang akan mendapatkan pelayanan kesehatan yang prima dan fasilitas yang memadai. Sementara rumah sakit atau dokter cenderung enggan atau ”tidak serius” melayani dan menangani pasien dari Gakin, karena tidak menghasilkan profit. Dengan kata lain, rumah sakit atau dokter sepertinya hanya mau berbuat apabila mendatangkan keuntungan profit yang besar, akan tetapi kalau tidak mendatangkan rupiah cenderung malas berbuat.
Ini menunjukkan fungsi ekonomis-kapitalis rumah sakit lebih mengedepan daripada fungsi sosial. Fungsi-fungsi sosial dari rumah sakit atau dokter masih sangat rendah. Seharusnya pihak rumah sakit tidak melakukan diskriminasi pelayanan bagi warga, terutama warag miskin. Masyarakat miskin juga manusia yang memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pelayaan kesehatan yang layak dan manusiawi. Tidak ada alasan apapun bagi rumah sakit atau dokter untuk menolak atau memberikan pelayanan kesehatan setengah hati untuk masyarakat miskin.
Melihat kondisi di atas, sudah saatnya institusi-institusi kesehatan seperti rumah sakit (RS) atau puskesmas perlu dilakukan revitalisasi. Artinya bagaimana mengembalikan fungsi asasi dari RS atau puskesmas, terutama terkait dengan pelayanan kesehatan bagi masyarakat tanpa ada diskriminasi, terutama dalam fungsi sosialnya.

Kunker DPRD Jatim dan Nasib Maskin

opini Surabaya Pagi, 14 Desember 2009

BARU dua setengah bulan menjabat, anggota DPRD Jatim sudah mulai berulah. Sama seperti kebisaan buruk yang dilakukan anggota dewan periode sebelumnya, yakni melakukan Kunjungan Kerja (Kunker) sia-sia. Kali ini Kunker dewan berdalih pembahasan RAPBD 2010. Yang menjadi pertanyaan, mengapa hanya untuk membahas RAPBD saja harus melakukan Kunker berulang-ulang dan yang menimbulkan pertanyaan publik, mengapa Kunker tersebut dilakukan di masa injuri time pelaksanaan APBD 2009?. Muncul suudhon politik, Kunker ini sarat bernuansa penghabisan anggaran, karena jika tidak dipakai maka akan dikembalikan kas daerah.
Seperti diberitakan, 95 anggota DPRD Jatim ramai-ramai melakukan Kunker ke berbagai propinsi di Indonesia dengan dalih untuk mencari informasi pembanding dalam rangka penyusunan dan pembahasan RAPBD 2010. Kunker yang melibatkan lima komisi ini mengabiskan dana lebih dari Rp 5 miliar. Dengan kata lain, setiap fraksi akan mendapatkan dana Kunker Rp 1 miliar.

Anggaran Kunker yang menghabiskan angka Rp 5 miliar dan dilakukan dalam waktu yang cukup singkat, menurut penulis sangat tidak masuk akal. Anggaran tersebut sangat berlebih, apalagi Kunker yang dilakukan adalah Kunker dalam negeri. Selain itu, uang Rp 5 miliar tersebut langsung dibagi rata ke lima fraksi, seperti membagi-bagi permen ke anak kecil. Praktik ini semakin menguatkan dugaan publik, orientasi politik anggota dewan melakukan Kunker bukan sekedar pembahasan RAPBD 2010, tapi lebih jauh dari itu adalah bagaimana menghabiskan anggaran menjelang tutup buku APBD 2009.

Pada Kunker tahap I, 20-22 Oktober 2009, Komisi A bertolak ke Medan, B ke Gorontalo, C ke Jawa Barat, D ke DKI Jakarta, dan E ke Kalimantan Timur. Dan ternyata Kunker berulang pada tanggal 28 Oktober 2009, di mana Komisi A, C, dan E akan bertolak ke Jakarta dan Banten, Komisi B ke Semarang dan Komisi D ke Bali. Materi Kunker II hampir sama seperti Kunker tahap I, yakni dalam rangka pembahasan RAPBD 2010. Kunker berulang ini, semakin menambah deretan panjang dugaan publik; Kunker hanya menghabiskan uang rakyat.

Kegiatan Kunker tersebut, penulis menilai tidak akan banyak membawa kontribusi positif dalam proses pembahasan RAPBD 2010. Selain karena dilakukan dalam waktu yang mendesak dan dipaksakan, juga yang perlu dicermati lebih jauh adalah karena tidak adanya perubahan paradigma politik anggaran. Paradigma politik anggaran pemerintah daerah Jatim sangat konservatif, yang masih menempatkan anggaran aparatur birokrasi (baca:rutin) sebagai “panglima”, sedangkan anggaran publik/pembangunan sebagai “prajurit”. Paradigma ini sudah mentradisi puluhan tahun dan rakyat terus menjadi korban. Dengan kata lain, APBD Jatim selama ini lebih banyak melayani kebutuhan elit daerah, baik untuk eksekutif maupun legislatif daripada kebutuhan untuk masyarakat.

Fakta ini pula yang terjadi pada RAPBD 2010 Jatim. Dalam pembacaan Nota Keuangan 2010, Gubernur Soekarwo menyebutkan dari total rancangan anggaran Rp 7,376 triliun, alokasi belanja pembangunan sebesar Rp 3,753 triliun (51,1 persen) sedangkan belanja pegawai Rp 3,591 triliun (48,9 persen). Komposisi sepertinya “berpihak pada rakyat” atau meminjam jargon Pakde Karwo dalam kampanye Pilgub; “APBD untuk Rakyat”, namun jika kita kritisi dan cermati lebih dalam, anggaran pembangunan yang mencapai 51,1 persen banyak yang kembali lagi untuk kebutuhan dan kepentingan aparatur birokrasi. Dengan kata lain, RAPBD 2010 Jatim bagaikan fatamorgana, masih belum berpihak pada kepentingan masyarakat. Karena itu, penulis melihat, Kunker tidak akan berdampak pada performance RAPBD 2010 yang pro rakyat, jika paradigma politik anggarannya tidak berubah.

Bagaikan Predator
Para anggota dewan baru seharusnya bisa belajar dari “kebiasaan buruk” Kunker sia-sia yang dilakukan anggota dewan sebelumnya. Dan yang paling disesalkan, ada anggota dewan baru yang dulunya bersama penulis lantang menyuarakan “tolak kunker” (bahkan sampai melakukan gugutan class action ke pengadian), namun saat ini suara lantang tersebut nyaris tak berbunyi di gedung dewan. Jangankan bersuara keras, yang dilakukan justru “mengamini” dan terlibat dalam kegiatan Kunker. Inilah wajah asli kekuasaan; suara rakyat berubah menjadi suara elit kekuasaan yang ingin berkuasa dan menguasai. Anggota dewan sudah terjangkit penyakit “amnesia politik”; lupa diri bahwa dirinya adalah wakil rakyat yang harus mengabdi pada rakyat. Kekuasaan telah melupakan segalanya, termasuk rakyat yang diwakilinya.

Penghabisan uang rakyat sebesar Rp 5 miliar dalam waktu cukup singkat tersebut, apalagi tidak dikuti dengan hasil dan kontribusi signifikan bagi peningkatan kerja dan kinerja dewan dan peningkatan kesejahteraan rakyat, sama saja dewan melakukan predatorisasi rakyat melalui penghisapan anggaran di APBD.

Apakah anggota dewan tidak melihat dan merasakan penderitaan masyarakat miskin dan pengangguran yang saat ini sedang kesulitan mencari sesuap nasi, apalagi di tengah harga bahan pokok yang terus melambung. Banyak anak keluarga miskin yang tak bisa sekolah dan putus sekolah, keluarga miskin yang tak mampu membayar biaya kesehatan di Rumah Sakit. Apalagi ada satu kecamatan di Kabupaten Ponorogo yang dijuluki sebagai “Kampung Idiot”. Ini sungguh sangat ironis dan tragis, di saat anggota dewan ramai-ramai Kunker, pada saat yang sama ada warga satu kampung yang idiot. Dimana nurani anggota dewan…?. kampung Idiot ini bisa menjadi wujud paling telanjang dari praktik politik anggaran kita yang manupulatif dan konspiratif.

Karena itu, tidak alasan bagi anggota dewan untuk terus melanjutkan Kunker “sia-sia” tersebut. Alangkah lebih baiknya, berkosentrasi penuh pada pembahasan dan penyusunan RAPBD 2010 yang berpihak pada kepentingan masyarakat Jatim. Kunker lah ke masyarakat bawah dan rasakan penderitaannya. Di situlah hakekat Kunker sebenarnya bagi anggota dewan, bukan nglencer mengabiskan anggaran ke luar daerah.

Remaja dan Bunuh Diri

Opini Harian Bhirawa, 27 Desember 2009

Akhir-akhir ini kasus bunuh atau percobaan bunuh diri di kota-kota besar kecederungannya semakin marak dan meningkat. Dari berbagai kasus bunuh diri atau percoabaan bunuh diri tersebut, yang paling memprihantikan adalah pelakunya masih usia belia, yakni usia remaja atau produktif. Di Jakarta misalnya, dua minggu lalu dalam satu hari dengan waktu yang bebeda terdapat dua remaja melakukan aksi bunuh diri dengan melompat dari lantai VII sebuah plaza.
DI Surabaya, karena cemburu pada pacarnya, seorang mahasiswi semester akhir perguruan tinggi negeri (PTN) di Malang, Yanu Nurcahyani, 23, mencoba bunuh diri dengan minum racun tikus jenis Tymex di kamar 102 Hotel Hayam Wuruk Jl Sukarno-Hatta Trenggalek. Namun upayanya tak berhasil. Racun itu membuatnya sekarat, tidak sampai menghilangkan nyawanya. Nah, pada saat sekarat itulah dia kemungkinan berpikir betapa berartinya hidup (Bhirawa, 9/12/2009).
Kasus percobaan bunuh diri yang dilakukan kalangan remaja cukup memprihatinkan. Hanya karena menghadapi persoalan-persoalan sepele (baca: seperti putus cinta), mereka nekat mengambil jalan pintas dengan cara bunuh diri. Secara statistik, berdasarkan data yang dihimpun bagian Poli Jiwa Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Soetomo, Surabaya, menyebutkan kasus percobaan bunuh diri yang terjadi selama 2008 tercatat 21 kasus. Ironisnya, kasus percobaan bunuh diri ini banyak dilakukan oleh pelaku berusia 17 tahun hingga 27 tahun. Disusul kemudian, pelaku yang berusia 30 tahun hingga 45 tahun.
Kalangan remaja yang nekat mengakhiri hidupnya dengan jalan bunuh diri mayoritas karena terlibat masalah dengan pacar dan selebihnya karena terlibat masalah dengan orang tua dan lingkungan pergaulan. Cara paling banyak dilakukan untuk mencoba bunuh diri yakni dengan meminum Baygon, minum racun tikus, mengiris pergelangan tangan, dan selebihnya dengan cara melompat dari tempat tinggi. Sedangkan, mereka yang berusia antara 30-45 tahun yang nekat berusaha bunuh diri sebagian besar disebabkan karena masalah-masalah rumah tangga.
Kasus bunuh diri atau percobaan diri yang dilakukan seseorang, termasuk kalangan remaja dilatarbelakangi oleh permasalahan yang kompleks. Dengan kata lain, sebab seseorang melakukan bunh diri atau percoabaan bunuh diri sangat beragam, tidak saja karena faktor kejiwaan atau psikis, tapi sosiologis. Khusus untuk remaja, di antaranya kepribadian remaja yang belum matang dan terjadinnya alienasi sosial rentan mengambil jalan pintas ketika mengalami masalah.
Menurut para psikolog, remaja yang nekat mengambil jalan pintas ingin mengakhiri hidupnya memiliki kecenderungan gampang putus asa, tidak bisa melihat jalan keluar ketika menghadapi masalah, hubungan dengan keluarga kurang harmonis, dan perkembangan jiwanya kurang matang. Selain pribadi dirinya yang kurang matang, faktor lingkungan sekitar, lingkungan sekolah, keluarga, orang tua, juga turut mempengaruhi.

Kajian Sosiologis
Dalam kajian sosiologi, sosiolog tekemuka yang secara khusus membahas masalah bunh diri (suicide) ini adalah E. Durkheim, menurutnya, bunuh diri bukan disebabkan masalah kemiskinan atau sakit jiwa, namun lebih disebabkan karena renggang atau lepasnya ikatan-ikatan sosial/ikatan nilai yang kemudian menjadikan masyarakat mengalami disintegrasi. Nilai-nilai atau kesadaran kolektif (Collective Consciousness) yang menjadi panduan bermasyarakat mengalami pemudaran atau dalam teori Durkhem disebut Anomie, yakni suatu situasi di mana nilai dan norma dalam masyarakat tetap ada, namun tidak lagi berfungsi untuk menjadi standard dan pedoman dalam bertingkah laku. Masyarakat mengalami kekacauan karena tidak adanya aturan-aturan yang diakui bersama yang eksplisit ataupun implisit mengenai perilaku yang baik, atau, lebih parah lagi, terhadap aturan-aturan yang berkuasa dalam meningkatkan isolasi atau bahkan saling memangsa dan bukan kerja sama.
Dalam konteks teori Durkheim, bunuh diri adalah salah satu bentuk dari penyimpangan perilaku. Durkheim ingin menunjukkan Bagaimana bunuh diri itu terjadi atau dilakukan oleh seseorang, disebabkan oleh benturan dua kutub integrasi dan regulasi di mana kuat dan lemahnya kedua kutub itu akan menyebabkan orang melakukan bunuh diri. Dalam teori bunuh dirinya (Suicide), Durkheim membaginya menjadi tiga; 1. Anomie Suicide; yakni bunh diri yang disebabkan karena adanya kekacauan nilai dan norma dalam masyarakat (contoh kasus bunuh diri dalam kondisi masyarakat yang serba kacau), 2. Egoistic Suicide, yakni bunuh diri yang disebabkan karena kepentingan dirinya lebih berharga daripada kepentingan orang lain (contoh kasus bunuh diri karena berhutang atau ditinggal pacar), dan 3. Altruisme Suicide, yakni bunuh diri yang disebabkan karena kepentingan orang lain/masyarakat lebih berharga daripada kepentingan dirinya (contoh; kasus sekte Harakiri di Jepang)
Para penganut teori social control mengatakan bahwa munculnya perilaku menyimpang atau lebih khusus “jalan pintas” yang terjadi dalam kasus bunuh diri remaja, lebih disebabkan karena lemahnya kontrol sosial dari lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat, terutama institusi keluarga. Lembaga ini dinilai gagal dalam mengatur, mendisiplinir dan mengarahkan perilaku dan tindakan anggotanya, begitu juga dengan lembaga sosial di luar keluarga. Masyarakat cenderung memberikan “ruang gerak” kepada individu maupun kelompok untuk berperilaku menyimpang. Selain itu, semakin menjamurnya perilaku dan budaya individualistik masyarakat yang berujung pada semakin renggangnya ikatan sosial di antara kita. Hilangnya ikatan sosial ini akibat semakin longgarnya nilai atau norma dalam masyarakat. Kondis ini yang dalam teori Durkhem di sebut sebagai Anomie atau ketiadaan norma.
Secara sosiologis, menurut Guru Besar Sosiologi Unair, Soetandyo Wignjosoebroto, munculnya kasus bunuh diri lebih disebabkan karena permasalahan struktural yakni terjadinya disorganisasi kehidupan yang berimbas pada terdisintegrasinya –dalam tempo yang relatif cepat- institusi-institusi primer komunitas-komunitas lokal, dengan fungsi-fungsi yang tak segera bisa di ambil-alih dan dilanjutkan oleh isntitusi-institusi penggantinya (yang seharusnya tumbuh-kembang dalam kehidupan urban-industrial). Sementara institusi-institusi keluarga kehilangan keterandalannya, institusi-institusi sekender yang seharusnya tumbuh-kembang dalam kehidupan urban-industrial nyatanya tidak cukup terkelola dan terpelihara dengan baik untuk melaksanakan fungsi-fungsi sosialisasi dan enkulturasi.
Dengan demikian bahwa ketidakutuhan atau disorganisasi ini yang kemudian menimbulkan gagalnya keluarga dalam memerankan peranannya sebagai agen atau institusi yang dapat memberikan kebutuhan psikologis. Kemapanan secara ekonomi yang dimilki suatu keluarga tidak menjamin kebetahan anak dalam keluarga atau menjadikan akan tidak berperilaku menyimpang. Justru karena kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi –walaupun secara ekonomik terpenuhi- menjadikan anak berperilaku delinkuen, termasuk melakukan aksi bunuh diri atau percobaan bunuh diri.
Bunuh diri adalah salah satu bentuk perilaku menyimpang, karena itu dalam konteks inilah, Durkheim menekankan, pentingnya agama bagi seseorang untuk menghindarkan dari berbagai penyimpangan yang mungkin terjadi, di mana unsur-unsur esensial dari agama itu terdiri dari nilai-nilai moralitas yang bisa dijadikan daya kendali seseorang dari perilaku menyimpang (baca: bunuh diri). Bagi Durkheim, moralitas itu merupakan suatu aturan yang merupakan patokan bagi tindakan dan perilaku manusia (juga dalam berinteraksi). Konsepnya mengenai moralitas ini merujuk pada apa yang dinamakan norms (norma-norma) dan rules (aturan-aturan) yang harus dijadikan acuan dalam berinteraksi. Selain faktor kedekatan diri dengan agama, faktor sosial, seperti membangun kebersamaan dan kepedulian sosial atas sesama adalah langkah solutif untuk menekan angka bunuh diri.

APBD 2010 Jatim ; Besar Pasak daripada Tiang

Sumber : Kompas Jatim, 24 November 2009

Paradigma politik anggaran Pemerintah Propinsi Jawa Timur, dari tahun ke tahun tidak mengalami perubahan signifikan alias konservatif. Komposisi dan alokasi anggaran masih timpang, komposisi anggarannya masih sekitar 65 persen untuk belanja rutin, dan sisanya 45 persen untuk belanja publik. Dengan kata lain, APBD Jatim masih belum pro rakyat, masih lebih banyak melayani kebutuan elit daerah. Bukan APBD untuk rakyat, tapi untuk elit daerah.
Selain konservatif, APBD Jatim juga bertradisi defisit. Sebut saja misalnya, pada Rancangan APBD 2010 yang dibahas DPRD, di mana awalnya Badan Anggaran (banggar) menyebut angka defisit sebesar Rp 274,11 miliar. Namun angka tersebut mengalami pembengkakan, dari Rp 274,11 miliar menjadi Rp 388,658 miliar. Peningkatan itu hasil evaluasi badan anggaran (Banggar), atas laporan komisi-komisi DPRD Jatim. Dalam perangkaan RAPBD 2010, pendapatan diproyeksikan Rp 7,070 triliun, belanja Rp 7,344 triliun. Ada defisit sekitar Rp 274,111 miliar. Perangkaan ini berbeda dengan laporan Banggar dalam sidang paripurna, kemarin (16/11). Banggar menyebutkan pendapatan Rp 7,388 triliun, ada kenaikan sekitar Rp 318 miliar dibandingkan perangkaan. Belanja versi Banggar diproyeksikan Rp 7,777 triliun, ada kenaikan Rp 433 miliar. Imbasnya, defisit naik menjadi Rp 388,658 miliar. Anehnya, sejumlah anggota banggar justru mengaku tak tahu-menahu perubahan tersebut.
Perlu di catat, bahwa defisit 2010 ini sifatnya sementara atau hanya untuk APBD regular. Angka defisit ini biasanya akan mengalami pembengkakan sampai dua sampai tiga kali lipat ada saat Perubahan Anggaran Keuangan (PAK), sebagaimana yang terjadi pada anggaran sebelumnya.
Satu catatan penting yang harus kita cermati dan kritisi bersama adalah wajah APBD Jatim yang selalu bertradisi defisit atau besar pasak daripada tiang. Artinya beban pengeluaran lebih besar daripada pendapatan. Dan ironisnya lagi, belanja daerah tersebut lebih banyak terserap untuk kebutuhan elit daerah.
Defisit anggaran sudah menjadi tradisi tahunan APBD Jatim. Bahkan setiap tahun defisit anggaran ini terus mengalami kenaikan cukup signifikan. Sebagai catatan, pada tahun 2005, APBD Jatim mengalami defisit sebesar Rp 135,76 miliar (ini defisit sebelum PAK APBD, setelah PAK angka lebih besar lagi)). Pada tahun 2006, angka defisit naik menjadi RP 230,78 miliar. Dan angka defisit ini terus merangkak naik pada APBD tahun 2007 sebesar Rp 606,61 miliar, tahun 2008 sebesar RP 732,39 miliar, tahun 2009 sebesar Rp 790 miliar dan anggaran reguler tahun 2010 dipatok sebesar Rp Rp 388,658 miliar (lihat tabel).
Setiap tahun APBD Jatim selalu menunjukkan tingkat kenaikan pos pendapatan daerah tak sebanding dengan kenaikan pos belanja. Pendapatan daerah bergerak bagaikan deret hitung sementara belanja daerah bergerak bagaikan deret ukur. Artinya pos pendapatan tingkat kenaikannnya sangat lambat, sementara pos pengeluarkan bergerak sangat cepat. Dengan kata lain, Pemprop lebih rajin mengeluarkan uang daripada menghasilkan devisa alias boros. Dan yang paling parah, belanja daerah yang begitu besar, sebagian besar tersedot untuk belanja untuk kebutuhan elit daerah. Ini yang mengakibatkan angka defisit anggaran semakin besar.

Tabel. 2: Perkembangan Angka Defisit APBD Jatim (2005-2010)
No Tahun Anggaran Defisit
1 2005 Rp 135,76 miliar
2 2006 Rp 230,78 miliar
3 2007 Rp 606,61 miliar
4 2008 Rp 732,39 miliar
5 2009 Rp 790 miliar
6 2010 Rp 388,658 miliar *
Catatan : Defisit APBD Reguler, Biasanya akan melonjak cukup besar pada saat PAK

Elit DPRD dan eksekutif sering beralasan, salah satu penyebab belanja daerah meningkat adalah adanya beberapa proyek agenda pembangunan tahun anggaran sebelumnya yang belum terealisasi, adanya inflasi atau kenaikan kebutuhan daerah. Karena itu, pengerjaan program tersebut dimasukan kembali dalam RAPBD tahun depan. Namun alasan ini sebenarnya bukanlah alasan utama yang menyebabkan semakin besarnya defisit APBD. Justru yang mengakibatkan pembengkakan anggaran pengeluarkan karena besarnya anggaran untuk belanja elit daerah yang angkanya mencapai 65 persen lebih. Bahkan tidak sedikit yang bermasalah alias menyimpang. Contoh yang terbaru adalah kasus penyimpangan dana P2SEM yang menyeret para elit daerah. Dengan kata, justru biang kerok dari adanya defisit ini adalah tingkat inefisiensi, pemborosan, kebocoran dan penyimpangan anggaran yang begitu tinggi.

Mengapa harus defisit?
Semakin membengkaknya angka defisit ini lebih karena faktor tingkat inefisiensi dan kebocoran atau penyimpangan anggaran yang masih begitu tinggi. Jika efisiensi serius (baca: penghematan atau di pangkas masing-masing 15% setiap pos anggaran) dilakukan dan tingkat kebocoran atau penyimpangan dapat ditekan semaksimal mungkin, maka desifit anggaran bisa ditekan bahkan bisa dihilangkan. Bahkan APBD 2008 bisa juga mengalami surplus. Namun ini yang tidak dilakukan oleh para elit daerah kita. Dengan efisiensi, dalam pandangan mereka, maka secara otomatis akan mengurangi “jatahnya”.
Selain itu, tingkat kontrol budjeting dari DPRD terhadap pemanfaatan anggaran eksekutif juga sangat lemah. Terbukti banyak penyimpangan dan kebocoran anggaran yang terjadi di tahun sebelumnya tidak ada penyelesaian lebih lanjut, terutama terhadap penyelamatan anggarannya. Jika fungsi pengawasan ini dijalankan dengan baik dan serius, maka setidaknya ada puluhan milyar dari APBD yang bisa diselamatkan. Dan itu bisa digunakan untuk menutup defisit anggaran.
Akhirnya, mengapa APBD Jatim harus mengalami defisit?. Dengan kata lain, ada something wrong dalam menejemen pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah belum menerapakan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah yang baik dan akuntabel diantaranya adalah prinsip efisiensi dan transparansi dan akuntabalitas.