Sabtu, 20 September 2008

Gerontokrasi dan Macetnya Regenerasi

Sumer : Opini Kompas Jatim, 19 September 2008

Saat ini pemerintah propinsi Jawa Timur baru saja melakukan kebijakan perampingan struktur birokrasi sebagaimana diamantkan dalam Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 2007. Meskinpun sudah ada perampingan. Namun, menurut hemat penulis struktur birokrasi Pemprop masih dirasa sangat gemuk, padahal semangat dari PP 41/2007 tersebut adalah bagaimana membentuk performance struktur birokrasi yang miskin struktur, tapi kaya fungsi. Sehingga dalam konteks ini, yang lebih dikedepankan adalah kerja dan kinerja fungsi-fungsi dalam setiap unit struktur birokrasi sehingga menghasilkan kinerja dan produktivitas aparatur birokrasi yang maksimal. Dengan kata lain, Pemprop Jatim masih setengah hati dalam melakukan kebijakan reformasi birokrasi sebagaimana yang dimanatkan PP.
Kebijakan setengah hati tersebut rupanya di tambah lagi dengan munculnya fenomena pejabat tua atau udzur yang masih memegang jabatan-jabatan strategis di lingkungan birokrasi Pemprop Jatim, padahal mereka sudah memasuki masa pensiunan bahkan ada beberapa melebihi masa pensiun (baca: 56 tahun). Sebagaimana di lansir oleh Komisi A DPRD Jatim, saat ini setidaknya ada 30 pejabat yang seharusnya sudah pensiun tapi masih dipertahaknakn untuk diperpanjang.
Para pejabat udzur tersebut berasal dari berbagai tingkatan; mulai dari eselon II, III, setingkat asisten, kepala dinas, wakil kepala dinas, sampai pada kepala biro dan badan. Para pejabat tersebut sudah berusia 56 tahun keatas. Bahkan, ada pejabat yang sudah berumur 58 tahun tapi masih mendapat dispensasi perpanjangan jabatan dan menduduki jabatan strategis, dengan rinician; 11 pejabat menduduki kepala dinas, 11 pejabat menduduki wakil kepala dinas, dan sisanya tersebar di beberapa badan, dinas, dan biro.

Sebagain Pejabat udzur (berusia di atas 56 tahun) di lingkungan Birokrasi Pemprop Jatim
No Nama Pejabat Instansi
01 Arifin Damuri Plt. Sekda Propinsi Jatim
02 Chaerul Djaelani Asisten II
03 Subagyo Asisten III
04 Drs Rasiyo Kepala Dinas P dan K
05 Bahrudin Kepala Disnaker
06 Soeyono Kepala Bappemas
07 Thoriq Afandi Kepala Biro Mental
08 M. Amin Kepala Biro Umum
09 M. Munir Kepala Biro Kepegawaian

Sarat KKN
Perpanjangan sekali mungkin masih bisa ditoleransi, itupun dengan catatan pejabat yang bersangkutan memiliki kinerja yang luar biasa dan tentunya memiliki catatan prestasi yang membanggakan bagi institusi dan Jatim pada umumnya. Apalagi dua kali, tentunya harus memiliki kinerja dan prestasi yang lebih dan luar biasa.
Namun faktanya, selama ini perpanjangan jabatan strategis di lingkungan Pemprop Jatim lebh banyak diwarnai dengan praktik KKN, lebih mengedepankan praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme daripada kinerja dan prestasi. Sudah tak menjadi rahasia umum, setiap pejabat yang akan naik pangkat atau mendapat perpanjangan jabatan, “diwajibkan” menyetor upeti atau angpou agar bisa lolos naik pangkat atau mendapat perpanjangan jabatan sekali atau dua kali. Bahkan praktik perpanjangan pejabat, lebih bernuansa pada upaya untuk mempertahankan status quo. Sebagian pejabat tidak mau “kehilangan” jabatannya lebih dini. Dan lebih dari itu bisa karena masalah politis maupun ekonomis seorang pejabat udzur dipertahankan.
Praktik illegal ini, yang kemudian melahirkan kemacetan regenerasi di tubuh birokrasi Pemprop. Pejabat-Pejabat muda yang memiliki kapabilitas, kredibilitas dan kompetensi lebih tidak bisa naik atau menduduki jabatan strategis, karena masih bercokolnya pejabat-pejabat tua. Para pejabat tua sepertinya tidak “rela” jabatannya diserahkan para pejabat muda. Kondisi ini yang kemudian menjadikan birokrasi Pemprop menjadi konservatif, tidak profesional, dan tidak produktif. Mereka anti perubahan. Tak salah jika reformasi birokrasi dalam bentuk perampaingan birokrasi saat ini dilakukan setengah hati.
Birokrasi Pemprop lebih banyak dihuni oleh para pejabat tua atau udzur yang rendah kapasitas dan produktivitasnya. Kondisi ini yang biasanya kita sebut sebagai gerontokrasi, birokrasi para pejabat tua. Birokrasi semacam ini, dipastikan bersifat konservatif, anti perubahan, tidak produktif, miskin kreasi dan inovasi. Performance gerontokrasi Pemprop semacam ini berdampak pada rendahnya fungsi-fungsi dan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Padahal birokrasi modern sebagaimana diungkapkan Max Weber, sejatinya harus bersikap adaptif, kreatif, inovatif, dan progresif dengan lingkungannya.

Perlu regenerasi
Salah satu indikator sehatnya sebuah orgnaisasi, termasuk organisasi birokrasi adalah berjalannya proses regenerasi secara berkesinambungan. Dengan adanya regenarasi di tubuh birokrasi apalagi proses regenerasi tersebut warnai dengan munculnya pejabat-pejabat muda yang kreatif, progresif dan profesonal diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan produktivitas pelayanan kepada masyarakat. Proses regenerasi ini senafas dengan semangat gerakan reformasi birokrasi yang saat ini sedang digalakan. Keinginan akan lahirnya birokrasi yang bersih dan sehat sangat logis, mengingat birokrasi di Indonesia sedang mengalami distorsi yang cukup parah setelah republik ini berdiri. Birokrasi belum berperan dan berfungsi seperti halnya birokrasi di negara maju dan demokratis. Bahkan mantan Presiden Megawati Sukarnoputri pernah menyebut birokrasi kita seperti keranjang sampah.
Kebijakan reformasi birokrasi yang saat ini sedang dijalankan Pemprop Jatim, sudah saatnya tidak saja menyentuh pada perampingan struktur dan personal birokrasi, tapi juga harus memperhatikan proses regenerasi yang berseinambungan. Dan salah bentuk regenerasi ini diwujudkan dengan “mempensiunkan” para pejabat tua, terutama para pejabat yang miskin kinerja dan prestasi dan digantikan dengan pejabat yang lebih muda. Para pejabat tua semacam ini tak hanya akan menjadi beban sosial bagi masyarkaat, tapi juga beban ekonomi (baca: APBD).

Selasa, 02 September 2008

Besama Kita Bisa (apa)?

Sumber : Opini Radar Surabaya, 21 Mei 2008

Bersama Kita Bisa. Jargon politik tersebut mungkin masih kita ingat di Pemilu 2004. Jargon politik tersebut yang digunakan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-M. Yusuf Kalla (MJK) ketika running menjadi presiden dan wakil presiden 2004-2009. Dan jargon tersebut yang juga digunakan pasangan SBY-MJK untuk menarik simpatik dan suara rakyat ketika berkampanye.
Kini di usia pemerintahan SBY-MJK yang memasuki tahun keempat, jargon politik masih belum dirasakan betul oleh rakat kebanyakan. Bahkan sebagian masyarakat mulai merasakan dan mempertanyakan; Bersama Kita Bisa apa?. Yang dirasakan betul oleh rakyat kita adalah kita bisa lapar, kita bisa ngangur, kita bisa miskin, kita bisa putus sekolah, dan bahkan kita sepertinya tidak bisa apa-apa. Semakin hari, kehidupan masyarakat semakin susah.
Empat tahun berjalan, pemerintah SBY-MJK belum mampu menghadirkan kesejahteraan untuk masyarakat. Kebijakan-kebijakan sosial-ekonomi bukannya mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarkat, justru semakin menyengsarakan masyarakat. Orang yang belum miskin menjadi miskin, orang yang sudah miskin semakin tambah miskin. Sehingga tak salah, jika ada sebagaian orang yang memplesetkan jargon politk tersebut ; bersama kita bisa berubah menjadi bersama kita binasa. Jargon tersebut masih sebatas sloganistik, yang tak nyata di lapangan.
Kemiskinan masih menjadi wajah buram negeri ini. Ribuan orang antri minyak tanah, minyak goreng, elpiji, bahkan beberapa bulan lalu antri beras. Tidak hanya itu, masyarakat juga masih dihadapkan pada masalah masih mahalnya beras. Bahkan ada sebagian Gakin di beberapa daerah yang tak mampu membeli beras, terpaksa makan aking atau gaplek. Sebuah kondisi ironis di tengah melimpahnya sumber daya alam yang kita miliki. Masyarakat indonesia sekarang bagaikan; ayam mati di lumbung padi. Bagaimana mungkin sampai ayam mati di kandangnya sendiri yang berlimpah makanan.
Pada tahun 2007, angka pengangguran terbuka diperkirakan bertambah 12,6 juta jiwa. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin diperkirakan mencapai 45,7 juta jiwa. Menurut Koordinator Tim Peneliti Prospek Perekonomian Indonesia 2007 Pusat Penelitian Ekonomi LIPI M. Tri Sambodo, angka itu berasal dari 1,6 juta pengangguran baru, menambah jumlah pengangguran yang sudah ada sebesar 11 juta. Ia menambahkan, angka 1,6 juta pengangguran itu berasal dari angkatan kerja yang tidak tertampung oleh kesempatan kerja pada 2007 sebesar 1,4 juta orang. Semakin besar angka pengangguran terbuka merupakan indikator meningkatnya angka kemiskinan.

Semakin Binasa
Kini masyarakat bersiap-siap untuk binasa lagi dan semakin binasa. Siap jadi pengangguran baru, siap jadi orang miskin baru, siap tak makan normal, siap lapar, siap antri lagi. Ini menyusul rencana pemerintah yang akan menaikkan harga BBM sebesar 30% pada awa Juni mendatang. Menurut pemerintah, kenaikkan ini tak bisa dihindari menyusul melambungnya harga minyak di pasaran dunia yang mencapai 120USD/barel,
Dipastikan dampak kenaikkan harga BBM ini akan mengakibatkan kenaikkan harga-harga yang lain, termasuk harga sembako. Bahkan harga BBM belum naik, harga sembako sudah lebih dulu naik. Lebih dari itu, kebiakan harga BBM ini akan berdampak pula pada melambungnya angka kemiskinan. Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi memperkirakan, kenaikkan harga BBM sebesar 30% berpotensi mengakibatkan orang miskin bertambah sebesar 8,55% atau sekitar 15,68 juta jiwa.
Berdasarkan data Badan Pusat Stastik per Maret 2007 angka kemiskinan nasional masih cukup tinggi, yaitu sekitar 16,58 persen atau sebanyak 37,17 juta orang, sementara angka pengangguran tercatat sekitar 9,75 persen. Jika digabung dengan potensi kenaikan orang miskin akibat kenaikan harga BBM ini, maka angka kemiskinan diperkirakan akan melambung menjad 42,85 juta jiwa.
Kebijakan ini akan semakin menambah beban masyarakat yang sampai saat ini masih juga menanggung beban krisis ekonomi yang belum pulih. Kenaikkan BBM akan mengakibatkan efek domino di masyarakat, baik secara ekonomi maupun sosial-politik. Secara ekonomi, kenaikan tersebut akan mengakibatkan kenaikkan harga-harga barang dan jasa (inflasi), bahkan kenaikkan tersebut bisa tak terkendali menyusul kenaikkan BBM itu. Seperti diungkapkan para pengamat ekonomi, Kenaikkan BBM yang cukup signifikan ini dikhawatirkan akan memicu inflasi besar-besaran pada tahun 2008. Kenaikkan laju inflasi itu akan tercermin dari naiknya harga sejumlah komponen kebutuhan pokok masyarkat, berupa barang dan jasa. Bahkan harga BBM belum naik, harga-harga sembako sudah naik duluan.
Secara sosial-politik kebijakan menaikan BBM tersebut juga akan menimbulkan kerawanan sosial di masyarakat. Di tengah kehidupan sosial-ekonomi yang semakin terhimpit krisis, kebutuhan hidup semakin melambung sementara, daya beli masyarakat semakin rendah, bukan tidak mungkin masyarakat akan berbuat nekad. Unjuk rasa terus-menerus akan sangat potensial menimbulkan ketidakstabilan sosial-ekonomi dan keamanan. Saat ini saja sudah mulai mengemuka mahasiswa dan elemen-elemen masyarakat lainnya di beberapa daerah yang menolak kebijakan yang tak berpihak rakyat itu. Mereka menilai kebijakan tersebut hanya semakin menyengsarakan dan memiskinkan kehidupan masyarakat.

Pilgub Jatim dan Oligakhi Parpol

Sumber : Majalaj Teropong Balitbangda Jatim Mei-Juli 2008


Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur secara langsung yang akan digelar 23 Juli 2008 mendatang diharapkan dapat berjalan aman dan demokratis. Kedaulatan rakyat benar-benar terwujud dalam proses Pilgub, bukan kedaulatan elit partai. Ini penting untuk menciptakan kepercayaan masyarakat terhadap hasil Pilkada nantinya. Dalam arti, gubernur dan wakil gubernur terpilih nantinya merupakan representasi dan cerminan aspirasi rakyat, bukan representasi dan aspirasi kelompok tertentu, apalagi personal elit politik.
Kekhawatiran terhadap hasil Pilgub ini menjadi wajar tatkala proses rekrutmen politik Parpol lebih diwarnai oleh praktik oligarki partai yang begitu masif. Ini jelas terlihat dalam praktik politik rekrutmen calon gubernur dan wakil gubenrur Jatim. Dalam proses rekrutmen calon kepala daerah ini justru yang lebih kuat adalah kekuasaan dan kedaulatan (elit) partai bukan kedaulatan rakyat. Ini tercermin dari adanya konflik di internal beberapa parpol dalam melakukan proses rekrutmen calon. Beberapa pengurus cabang sampai tingkat anak cabang partai melakukan aksi protes terhadap keputusan partainya (baca: elit partai) yang menetapkan calon kepala daerah secara sepihak, tanpa mengikutsertakan partisipasi politik konstituen.

Rekrutmen calon
Sebut saja misalnya proses rekutmen bakal calon gubernur di internal PDI-P. Seperti di ketahui, dalam konvensi internal PDI-P Jatim yang telah dilaksankaan pada pertengahan 2007 lalu, di mana Soekarwo telah mengantongi dukungan terbanyak di lingkungan PDI-P, yakni 22 Dewan Pimpinan Cabang (DPC) dibanding Soetjipto, yang didukung 11 DPC. Namun, kemenangan di tingkat konvensi ini tidak menjamin Soekarwo menjadi Cagub definitif dari PDI-P. Pihak DPD PDI-P Jatim justru mengajukan dua nama yang ikut konvensi –Soekarwo dan Sotjipto- ke DPP PDI-P untuk mendapatkan rekomendasi dari DPP, terutama Megawati. Dan terbukti, akhirnya DPP PDI-P memutuskan Soetjipto sebagai cagub dari PDI-P untuk Pilgub Jatim 2008
Dengan merujuk hasil konvensi PDI-P Jatim, sebenarnya pihak DPP PDI-P tidak terlalu sulit untuk menetapkan atau memberikan surat keputusan kepada DPD PDI-P Jatim terkait siapa Cagubnya. Karena hasil konvensi di tingkat daerah jelas pemenangnya. Molornya surat rekomendasi atau keputusan atas cagub PDI-P definitif ini sempat menimbulkan tanda tanya besar. Ada apa dengan molornya surat keputusan DPP ini? Ada dugaan politik tarik menarik kepentingan di lingkungan elit PDI-P baik di tingkat propinsi maupun pusat. Ada sebagian menginginkan cagub PDI-P berasal dari kader sendiri, sebagian yang lain menginginkan diluar kader.
PDI-P Kota Surabaya, melalui ketuanya, Muhammad Saleh Mukadar, pasca konvensi sempat mengancam akan mematikan mesin politiknya jika akhirnya DPP PDI-P memberikan rekomendasinya jatuh ke tangan Soekarwo. Dia mengatakan, diri dan pengurus “akan tidur nyenyak”.
Selain di PDI-P, Praktik oligarkis juga terjadi di Partai Demokrat. Di tengah penjaringan bakal calon yang dilakukan tingkat cabang, DPP PD secara mengejutkan memutuskan pasangan Soekarwo-Saefulloh Yusuf sebagai cagub dan cawagub dari PD. Bahkan DPP PD mengacam akan menjatuhkan sanksi kepada DPC-DPC yang mbalelo dan menentang keputusan DPP atas pasangan Pak De Karwo-Gus Ipul (Kompas Jatim, 7/2/2008).
Keputusan sepihak DPP PD ini langsung direaksi negatif oleh DPC-DPC tingkat kab/kota. Hal ini ditunjukkan oleh Forum DPC PD se-Jatim, melalui ketua umumnya, RM. Boedhi, menolak tegas Soekarwo menjadi bakal calon dari PD. Selain penentuannya tidak sesuai mekanisme internal partai, Soekarwo dinilai tidak punya sejarah apa pun dengan PD. Menurut Boedhi, saat ini sudah ada 30 DPC yang mulai merapatkan barisan dan menyuarakan penolakan atas Seokarwo. Menurutnya, DPC-DPC hanya dijadikan sebagai kendaran politik oleh partai, tanpa pernah diajak musyawarah atau urun rembug. PD seharusnya memilih tokoh yang memiliki hubungan sejarah berdirinya PD untuk dijadikan sebagai bakal cagub dari PD, diantaranya adalahAnggota dewan pembina PD; Hayono Isman, Haris Sudarno (mantan Pangdam V Brawijaya), dan wakil ketua DPP PD Anas Urbaningrum. Namun suara protes pengurus di bawah tak menyurutkan DPP PD untuk tetap mencalonkan duet Soekarwo-Saefullaoh Yusuf (Pak de Karwo-Gus Ipul).
Hal sama juga bisa merembet dan terjadi di PKB. Munculnya nama Achmady-Soehartono tak lepas dari peran dan pengaruh kuat politik Ketua Dewan Syuro’ DPP PKB, Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Bahkan munculmya Achmady-Soehartono ini diwarnai konflik intenal PKB, yakni antar kubu Gus Dur/Ali Masykur Musa dengan Muhaimin Iskandar. Konflik internal PKB yang tak berkesudahan ini, tentunya akan berpengaruh pada upaya PKB Jatim dalam memangkankan Pilgub 2008 ini.
Bahkan PAN yang mengklaim dirinya sebagai partai reformasi juga tak luput dari praktik politik oligarkhis. Ini ditunjukkan dengan reaksi keras dari DPC-DPC PAN di Kota Surabaya atas pencalonan “sepihak” para elit-elitnya di tingkat wilayah dan DPP yang tiba-tiba mengusung Pak De Karwo-Gus Ipul. Pengurus di tingkat kota dan kecamatan merasa tak pernah diajak rembug bareng untuk ikut menentukan bakal cagub dan cawagub yang akan diusung partainya. Tak pernah diajak bicara, pun tak ada sosiolisasi. Bahkan duet Karo-Ipul ini sudah mendapat restu dan SK dari ketua Umumnya, Sutrisno Bachir. Sama seperti Demokrat, meskinpun di protes kader-kader PAN di tingkah bawah, DPP dan DPW PAN Jatim tetap mencalonkan Pak De Karwo-Gus ipul.

Oligarki Partai
Kasus di atas menunjukkan bahwa praktik oligarki partai masih mewarnai proses rekrutmen politik dalam Pilkada di Jawa Timur. Kekuasaan partai (baca: elit partai) sangat begitu besar sehingga bisa secara sewenang-wenang melakukan pembonsaian politik terhadap aspiraasi dan kedaulatan rakyat (baca: konstituen). Kedaulatan rakyat yang diharapkan muncul dalam proses Pilkada ini, namun dalam realitasnya justru tereduksi oleh praktik oligarki (elit) partai yang begitu masif. Sehingga rakyat hanya dijadikan sebagai alat legitimasi politk saja. Rakyat bukan jadi sukjek politik, namun terus menjadi objek politik yang mudah dimonopoli dan dipermainkan oleh kekuasaan (elit) partai.
Keputusan politik partai dalam rekutmen calon di Pilkada ini lebih tergantung pada ‘selera’ dan otoritas elit politik tertentu dalam partai, terutama elit politik di pusat. Kalau di PKB selera dan otoritas politik ada di tangan Gus Dur. Sedangkan di PDI-P ada di tangan Megawati. Semua keputusan politik, termasuk penentuan calon gubernur dan wakil gubernur dalam Pilakda ini sangat ditentukan oleh kemauan politik Gus Dur dan Megawati. Dengan kata lain, otoritas personal elit partai lebih dominan daripada otoritas kelembagaan partai yang demokratis.

Peningkaran demokrasi
Proses suksesi kepala daerah yang diharapkan oleh 37 juta masyarakat Jatim sebagai wujud demokratisasi daerah, berpotensi hanya menjadi mimpi politik saja. Calon-calon gubernur dan wakil gubernur tidak lahir dari proses politik dan mekanisme yang demokratis, namun hanya sekedar memenuhi pesanan dan kemauan politik dari personal elit tertentu.
Itulah potret pengingkaran demokrasi dari elit-elit politik kita. Pelaksanaan Pilkada langsung yang diharapkan menjadi milik rakyat, tapi dalam kenyataanya sudah dibajak oleh praktik oligarki (elit) partai yang sangat pragmatis. Dengan kata lain, Keputusan politik kelembagaan parpol direduksi sedemikian rupa menjadi keputusan politik yang bersifat personal. Mekanisme kelembagaan parpol dikalahkan oleh otoritas kekuasaan sang ketuanya atau orang yang memiliki pengaruh dan kharisma kuat. Ini yang kemudian menghasilkan calon kepala daerah atau pemimpin “karbitan” dan instan.
Tentu, perilaku dan praktek politik ini tidak kondusif dan mematikan proses demokratisasi di internal Parpol. Aspirasi kader-kader partai dan masyarakat hanya menjadi slogan politik yang kemudian dimatikan oleh otoritas personal partai yang ‘otoriter’. PKB maupun PDI-P sebagai partai besar (pemenang dan runner up pemilu) seharusnya memiliki tanggung jawab moral dan politik terhadap konstituensnya.
Setiap Parpol -termasuk PKB dan PDI-P- seharusnya tidak terjebak dan menjebakkan diri pada pemunculan nama calon “karbitan” hasil pesanan dan kemauan politik elit tertentu dengan mengorbankan proses-proses politik dan kelembagaan partai yang semestinya harus dilalui dan lakukan. Pilgub ini seharusnya dijadikan momentum bagi Parpol untuk membangun budaya politik yang sehat, rasional, dan elegan, bukan sebaliknya menciptakan pendistorsian dan pembusukan terhadap demokrasi.
Biarlah proses demokratisasi berkembang secara wajar dan alami di lingkungan internal partai, tanpa adanya intervensi politik yang terlalu berlebihan dari seseorang atau kelompok secara dominan (baca: Gus Dur atau Megawati). Setiap Parpol tentunya secara kelembagaan memiliki hak politik dan otonomi sendiri dalam mengambil sebuah keputusan politiknya. Proses-proses kelembagaan ini yang seharusnya ditumbuh kembangkan di lingkungan parpol, bukan malah disumbat oleh otoritas kekuasaan yang sifatnya personal.
Pengalaman buruk Pilgub 2003 diharapkan tidak (akan) terjadi pada Pilgub 2008. Apalagi Pilgub 2008 akan dilaksanakan secara langsung. Parpol harus bertidak tegas dan berkomitmen untuk menjadikan Pilgub 2008 sebagai Pilgub yang demokratis dan menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Salah satunya dengan memilih cagub-cawagub yang sesuai dengan aspirasi masyarakat (baca: konstituen), bukan aspirasi dan kemauan elit tertentu seperti yang terjadi pada Pilgub 2003. Pemimpin Jatim ke depan bukan lahir dari proses yang instan, tapi ia lahir dari rahim rakyat. Dan mulai saat ini masyarakat Jatim harus terus mewaspadai munculnya cagub “karbitan” atau instan yang diproduksi Parpol.
Praktik politik “karbitan” model oligarkhis semacam itu, sangat tidak kondusif bagi proses pendidikan politik rakyat yang sehat dan rasional, dan bahkan lebih dari itu akan menghambat proses kehidupan demokratisasi, baik itu untuk internal partainya sendiri maupun dalam pembangunan demokrasi daerah. Dengan demikian, lalu apa jadinya, calon gubernur atau pemimpin yang dihasilkan dari praktik politik “karbitan” semacam itu?. Praktik semacam itu hanya akan melahirkan karakter kekuasaan yang otoriter. Calon pemimpin semacam itu tidak berpihak pada kepentingan rakyat, tapi pada kepentingan elit atau kelompok tertentu.
Pilgub 2008 mendatang diharapkan menjadi momentum bagi Parpol untuk membangun budaya politik yang sehat, rasional, dan elegan, bukan sebaliknya menciptakan pendistorsian dan pembusukan terhadap demokrasi. Jika praktek politik karbitan ini masih berlanjut pada Pilgub 2008 mendatang, maka ‘pesta demokrasi’ Pilgub nanti sangat tak layak disebut hajatan politik rakyat Jatim, melainkan hajatan kenikmatan dari elit parpol.

Senin, 01 September 2008

Mengkritisi Pencalegan Parpol

Sumber : Opini Radar Surabaya, 2 September 2008


Saat ini tahapan Pemilihan Umum (pemilu) 2009 memasuki masa pendaftaran calon anggota legislatif atau pencalegan yang dilakukan oleh Parpol. Pada tahapan ini, adalah salah satu tahapan yang paling ditunggu-tunggu oleh para kader atau elit-elit di internal Parpol. Para bakal caleg sudah barang tentu berkeinginan agar dirinya bisa ditempatkan para deretan urutan atas atau nomor urut topi. Dengan berada pada urutan teratas, berahap dapat terpilih menjadi anggota legislatif mendatang.
Meskinpun dalam Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu legislatif, berlaku ketentuan caleg terpilih adalah mereka yang memperoleh 30 persen suara dari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Namun jika tak ada satupun caleg parpol yang memperoleh suara minimal 30 persen, yang berlaku adalah nomor urut. Melihat pengalaman Pemilu 204, sangat sedikit sekali caleg yang memperoleh batas minimal 25 persen yang saat itu diberlakukan.
Saat ini, tidak sedikit proses pencalegan di interal parpol di berbagai daerah diwarnai dengan aksi protes dan bahkan tindak kekerasan yang dilakukan kader dan simpatisan yang kecewa terhadap penyusunan daftar caleg karena dinilai tidak aspiratif, tidak adil, diskriminaitf, bahkan diwarnai praktik politik “karbitan” dan bernuansa nepotisme. Hanya caleg-caleg yang memiliki kedekatan dengan pusat kekuasaan atau elit elit-elit kekuasaan di Parpol yang bisa berada dari daftar urutan atas. Bahkan tidak sedikit, pencalegan ini diwarnai dengan praktik politik uang. Caleg yang memiliki uang banyak akan bebas memilih Daerah Pemilihan yang diinginkan dan nomor urut atas alias jadi.
Bahkan tidak sedikit proses pencalegan ini diwarnai dengan politik oligarki, yakni hanya elit-elit tertentu saja yang menentukan penetapan caleg terdaftar. Bahkan sampai pada penentuan nomor urut. Proses pencelagan ini tak melalui proses dan mekanisme pelembagaan demokrasi di tubuh parpol. Aspirasi kader dan simpatisan parpol seringkali dikebiri. Karena itu, sangat wajar jika proses pencalegan ini sering diwarnai aksi protes dari kader dan simpatisannya sendiri.
Sebut saja misalnya, proses pencalegan di tubuh partai Demokrat Surabaya, sebanyak 19 Pengurus Anak Cabang (PAC) di tingkat Kecamatan di Surabaya mengajukan aksi protes di DPC. Aksi ini menyusul kebijakan DPC Partai Demokrat Kota Surabaya dalam penyusunan daftar caleg dinilai tidak adil. Aroma nepotisme sangat kental dalam penentuan nomor urut caleg PD untuk DPRD Kota Surabaya. Menurut Ketua PAV Rungkut, Tavar, Orang-orang baru yang di Demokrat yang belum berjuang membesarkan partai, diberi nomor urut jadi, karena mereka dekat dengan ketua DPC. Sedangkan kami yang di PAC-PAC yang berkeringat sejak tahun 2002 dan punya massa dalam pemenangan Pak SBY, ditempatkan di nomor urut sepatu (Radar Surabaya, 25/08/2008).
Masalah yang terjadi di tubuh partai Demokrat juga terjadi di parpol-parpol lainnya di berbagai daerah, baik parpol lama maupun parpol baru. Bahkan ada fenomena baru di berbagai parpol dalam pencalegan ini, yakni praktik politik “karbitan” atau politik instan. Dan yang paling mengkhawatirkan dan patut disesalkan, caleg yang dikarbit adalah mereka yang tak memiliki kapabilitas, kredibilitas dan kompetensi sebagai wakil rakyat. Jika yang dikarbit adalah caleg non kader dari kalangan intelektual atau akademisi, mungkin masih bisa ditolerir. Namun ini yang dikarbit adalah para artis, yang dari segi kapabilitas, kredibilitas, dan komptensi keilmuwan dan keahlihan sebagai wakil rakyat masih sangat diragukan. Demi ambisi memperoleh suara sebanyak-banyak, parpol ramai-ramai dan tak sungkan-sungkan merekrut artis untuk menjadi caleg. Yang diandalkan caleg artis ini hanya aspek popularitas semata, tanpa mempertimbangkan aspek kompetensinya.

Sulit diharapakan
Jika praktik pancelegan di tubuh parpol masih diwarnai dengan politik oligarki, nepotisme, politik uang, dan karbitan, maka caleg-caleg tersebut -jika sudah terpilih menjadi wakil rakyat- akan sangat sulit diharapkan bisa menjadi wakil rakyat dan berjuang untuk rakyat.
Praktik politik pencelagen semacam itu, sangat tidak kondusif bagi proses pendidikan politik rakyat yang sehat dan rasional, dan bahkan lebih dari itu akan menghambat proses kehidupan demokratisasi, baik itu untuk internal partainya sendiri maupun dalam pembangunan demokrasi daerah. Dengan demikian, lalu apa jadinya, caleg yang dihasilkan dari praktik politik pencalegan semacam itu?. Praktik semacam itu hanya akan melahirkan karakter kekuasaan yang otoriter. Caleg semacam itu tidak berpihak pada kepentingan rakyat, tapi pada kepentingan elit atau kelompok tertentu.
Bahkan bagi caleg yang hanya bermodalkan uang, patut kita curigai. Karena bukan tidak mungkin, jika terpilih nanti akan berusaha untuk mengembalikan uang yang telah dikeluarkan pada masa pencalegan. Dan bukan tidak mungkin juga, lembaga wakil rakyat nanti akan kembali diwarnai praktik korupsi seperti sekarang ini.
Itulah potret pengingkaran demokrasi dari elit-elit politik kita. Proses rekruitmen politik yang diharapkan menjadi milik rakyat, tapi dalam kenyataanya sudah dibajak oleh praktik oligarki (elit) partai yang sangat pragmatis. Dengan kata lain, Keputusan politik kelembagaan parpol direduksi sedemikian rupa menjadi keputusan politik yang bersifat personal. Mekanisme kelembagaan parpol dikalahkan oleh otoritas kekuasaan sang ketuanya atau orang yang memiliki pengaruh dan kharisma kuat. Ini yang kemudian menghasilkan caleg-caleg “karbitan” dan instan.
Karena itu, sebagai pemilik suara, masyarakat dituntut untuk lebih kritis, jeli dan rasional terhadap parpol-parpol –baik baru maupun lama- dalam proses pencalegan ini. Parpol-parpol yang masih menggunakan cara-cara karbitan atau instan dan apalagi menggunakan politik uang, sudah selayaknya tidak dipilih. Masyarakat jangan sampai kembali menjadi korban politik dari perilaku parpol-parpol dalam merekrut caleg-calegnya. Wakil rakyat hasil pemilu 2004 lalu, setidaknya bisa dijadikan pelajaran politik berharga bagi masyarakat untuk tidak kembali memilih caleg atau parpol yang sering bermasalah di Pemilu 2009 mendatang.
Pemilu 2009 mendatang diharapkan menjadi momentum bagi Parpol untuk membangun budaya politik yang sehat, rasional, dan elegan, bukan sebaliknya menciptakan pendistorsian dan pembusukan terhadap proses demokrasi.