Senin, 08 April 2013

SUDAHNYA MENGEKSEKUSI KORUPTOR

Opini Jawa Senin, 26 Maret 2012 Oleh : Umar Sholahudin Koord. Parliament Wacth Jatim dan Dosen Sosiologi Hukum Unmuh Surabaya "Kondisi proses penegakan hukum kita cuma berada dalam kemasan jika dibandingkan dengan pada zaman kolonial dan pada zaman orde lama”, kata Prof JE Sahetapy, guru besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Forum Keadilan, 2/6/l997). Kritik pedas ini sengaja dicuplik di awal tulisan ini untuk menggambarkan betapa lemahnya proses penegakan hukum yang dilakukan selama ini. lsi kutipan tersebut dapatlah difahami mengingat masih cukup beratnya tantangan yang dihadapi para penegak hukum, kompleksnya kriminalitas, serta tingginya tuntutan masyarakat atas kesigapan, kejujuran, dan profesionalitas para petugas. Penegakan hukum masih sebatas slogan dalam masyarakat hukum kita. Apalagi jika kita berbicara masalah keadilan hukum (bagi masyarakat), masih jauh dari jangkauan tangan masyarakat. Penegakan hukum kita saat ini sedang bermasalah. Bahkan juga semakin gencar dan tajam suara-suara yang mengatakan, penegakan hukum dewasa ini sudah sampai pada titik terendah, Betapa pesimistiknya masyarakat melihat kondisi penegakan hukum itu, sampai-sampai terdengar suara: di mana lagi kita akan mencari dan menemukan keadilan (Lopa, 1997) Kritik pedas tersebut memiliki relevansinya ketika kita melihat proses penegakan hukum atas kasus korupsi (gratifikasi) senilai Rp 720 juta yang melibatkan tiga tokoh penting di Pemkot Surabaya Sukamto Hadi Sekota, Asisten I Muhlas Udin, Kabag Pengelolaan Keuangan Porwito, dan Ketua DPRD Surabaya Musyafak Rouf pada Tahun 2007 lalu. Putusan MA Nomer : 1461 K/Pid.Sus/2010 yang menjatuhkan hukuman kepada Musyafak Rouf satu tahun enam bulan serta denda Rp 50.000.000,00. Meskinpun salinan putusan Mahmakah Agung (MA) yang menolak kasasi terdakwa atas nama terdakwa, tetapi hingga saat ini pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya selaku eksekutor belum mau mengeksekusi para terdakwa. Tidak ada kejelasan kapan mereka akan dieksekusi. Dengan ditolaknya kasasi para anggota dewan tersebut, seharusnya pihak Kejari Surabaya sudah bisa langsung mengeksekusi para terpidana tersebut masuk tahanan, namun sepertinya pihak Kejari “sengaja” mengolor-olor waktu. Meskipun sudah jadi terpidana sejak ada vonis pengadilan, pihak pihak kejari tidak pernah melakukan eksekusi penahanan. Saat ini Justru para terpidana dengan berbagai dalih meminta tidak dieksekusi. Para terdakwa yang sudah mendapatkan vonis hukuman dari pengadilan ini sering mangkir dari panggilan dan berusaha menghindar dari eksekusi. Sudah divonis ringan, yakni tak sampai dua tahun, susah lagi dieksekusi. Sebelumnya Kejari Surabaya menyatakan tak akan terpengaruh dengan dukungan para anggota dewan untuk melakukan penangguhan eksekusi, namun faktanya tak kunjung dieksekusi. Kejari sepertinya tak punya taring untuk mengeksekusi para terpidana yang sebagian kini masih aktif duduk di lembaga legislatif. Selama ini pihak Kejari selalu berdalih dan berkelit pada alasan prosedur dan mekanisme eksekusi. Namun alasan ini, sangat tidak bisa diterima masyarakat. Masyarakat menilai, ada sesuatu yang tidak beres dalam proses penegakan hukum atas kasus korupsi di Surabaya ini. Sikap apologis Kejari sepertinya berusaha untuk “merasionalisasi” hukum untuk kepentingan tertentu. Rasionalitas hukum mengalahkan substansialitas hukum. Dengan kata lain, proses penegakkan hukum (baca: eksekusi) adalah sesuatu yang substantif, sementara prosedur dan mekanisme adalah hal teknis. Namun dalam kasus ini, hal yang tidak substansial (baca: prosedur teknis) coba “dirasionalisasi” dan dicari celah-celahnya secara subjektif menjadi alat pembenar. Ini yang kemudian mengkaburkan substansi penegakan hukum itu sendiri. Kewenangan besar yang ada pada Kejari dalam mengeksekusi seorang terpidana, apalagi status hukumnya sudah memiliki kekuatan hukum tetap (incrach), ternyata tak membuat Kejari untuk segera bertindak tegas. Sebenarnya sudah tidak ada hambatan yuridis bagi Kejari untuk mengeksekusi. Apakah karena para terdakwa kebetulan anggota dewan, sehingga Kejari tak berani mengeksekusi. Kejari seperti macan ompong menghadapi para anggota dewan. Bahkan cenderung bersikap “toloren” terhadap para terdakwa. Lambannya tindakan hukum Kejari ini, tentunya menimbulkan tanda tanya besar dan prasangka buruk di masyarakat. Mengapa Kejari begitu sulit mengeksekusi para terdakwa yang sudah divonis pengadilan. Apakah Kejari takut kepada para terdakwa yang politisi itu atau ada intervensi politik yang menjadikan proses penegakan hukum terhadap para terdakawa tersebut berjalan lamban. Keadilan Masyarakat Lambannya Kejari Surabaya dalam mengekekusi terdakwa kasus korupsi tersebut, tentunya saja sangat melukai perasan kolektif masyarakat, terutama Surabaya. Masyarakat sebenarnya sudah gregetan dengan sikap Kejari yang tidak tegas dalam menangaani kasus ini. Kasus ini sebenarnya sudah berlangsung cukup lama. Bahkan pernah mau dilakukan proses penahan, namun tidak kunjung berhasil Para terdakwa justru bebas berkeliaran di masyarakat. Bahkan masih “diterima” sebagai anggota dewan kembali dan menerima gaji bulanan. Dan yang lebih parah lagi, sebagian dari mereka mencalonkan kembali pada Pileg 2009 ini. Sudat cacat moral dan politik, tapi masih saja diterima sebagai caleg. Ini sungguh sangat ironis. Kasus ini semakin menunjukkan nihilnya keadilan hukum bagi masyarakat. Dan menjadi potret buram bagi penegakan hukum di Indonesia, khususnya Surabaya. Kini, masyarakat tidak saja menunggu ketegasan para penegak hukum dalam melakukan pemberantasan korupsi di negeri ini, tetapi lebih dari itu bagaimana penegakan hukum bisa melahirkan keadilan hukum bagi masyarakat. Wallahu ‘alam.

Ketika Hukum Tumpul Ke Atas

(Telah dimuat di Opini harian Sindo, Kamis 28 Maret 2013) Oleh : Umar Sholahudin Dosen Sosiologi Hukum FH Unmuh Surabaya, Penulis Buku : Hukum dan Keadilan Masyarakat (2011) Penegakan hukum di negeri ini memangmasih layaknya pisau; tajam ke bawah, tumpul ke atas. Aparat penegak hukum; mulai polisi, jaksa dan hakim, sangat begitu garang ketika menangani dan menghukum pelaku kejahatan/tindak pidana dari kaum papa. Garangnya para penegak hukum sudah dimulai sejak proses penyidikkan di polisi. Sebut saja ketika ada orang miskin melakukan tindak pidana pencurian ringan –yang motifnya sering kali karena keterdesakan (baca: kemiskinan)- atau tindak pidana ringan lainnya, polisi langsung memproses hukum, bahkan kerapkali pelaku langsung ditahan. Alasan normatif “kaku” yang seringkali dipakai adalah karena alasan objektif dan alasan subjektif. Dua alasan ini yang sering pula diterapkan secara berbeda ketika menangani pelaku yang berbeda kasta. Penerapan alasan ini juga yang diterapkan pada kasus; mbah Minah, Basar-Kholil, Aal, dan kaum papa lainnya. Sementara, sebaliknya aparat penegak hukum sangat begitu lembek dan pedang hukum terasa tumpul ketika menangani atau berhadapan dengan pelaku tindak pidana yang pelakunya dari golongan kasta atas. Sebut saja misalnya kasus-kasus mega skandal pembobolan bank, pajak APBN/D, atau kasus hukum yang melibatkan anak pejabat, sebut saja misalnya kasus rasyid Rajasa. Saat ini, praktik ketidakadilan hukum yang cukup telajang adalah kasus Rasyid Rajasa yang menjadi terdakwa dalam kasus tabrak mati awal Januari 2013 lalu. Sejak awal, ketidakadilan hukum sudah mulai menguap; mulai dari proteksi pelaku ketika kecelakaan lalin terjadi; kejadiannya cenderung “ditutup-tutupi”. Mulai proses hukum (baca: penyidikan) di kepolisian, sang pelaku atau tersangka tidak ditahan dengan alasan subjektif polisi, padahal menimbulkan korban meninggal. Bagi polisi, pelaku tidak melarikan diri, tidak menghilangkan barang bukti, dan tidak melakukan perbutan yang sama. Dalam proses penyidikan di kepolisian, sangat kelihatan sekali perlakuan yang berbeda dengan kebanyakan pelaku yang lainnya dengan kasus yang sama. Perlakuan hukum yang sama juga terjadi ketika masuk ke kejaksaan, tersangka juga tidak ditahan, dengan alasan yang nyaris sama pada saat penyidikan. Pada proses hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, yang membuat heran masyarakat luas, adalah dasar hukum dan tuntutan Jaksa Penuntut umum (JPU). Rasyid dikenakan dakwaan primer Pasal 310 Ayat 4 subsider Ayat 3 Undang-Undang RI No 22 Tahun 2009 mengenai kelalaian dalam mengemudi yang menyebabkan orang lain meninggal dunia dengan dakwaan kedua Pasal 310 Ayat 2 Undang-Undang RI No 22 Tahun 2009 mengenai kelalaian yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan kendaraan. Atas dasar ini, Rasyid dituntut 8 bulan dengan masa percobaan 12 bulan.. Dan akhirnya hakim PN memvonis Rasyid bersalah dengan hukuman 5 bulan dengan masa percobaan 6 bulan. Artinya, putra Hatta Rajasa itu tidak menjalani enam bulan di penjara jika selama 12 bulan tidak melakukan pelanggaran hukum yang sama. Rasyid pun tak pernah ditahan sedikitpun. Publik langsung terperangah melihat tuntutan JPU dan vonis hakim yang super ringan tersebut. Dari tuntutan dan vonis itu, secara yuridis normatif memang tidak ada yang keliru. Namun, tuntutan dan vonis tersebut tentunya sangat menciderai rasa keadilan masyarakat. Bagaimana seandanya kasus yang sama dialami oleh selain Rasyid. Dan fakta membuktikan, dengan kasus yang sama pelakunya dihukum cukup berat. Ketidakadilan Hukum Keadilan hukum bagi kebanyakan masyarakat bagaikan sesuatu barang yang mahal, sebaliknya barang murah bagi segelintir orang (baca: elit). Keadilan hukum hanya di miliki oleh orang-orang yang memiliki kekuatan dan akses politik dan ekonomi saja. Kondisi ini sesuai dengan ilustrasi dari Donald Black (1976:21-23), ada kebenaran sebuah dalil, bahwa Downward law is greater than upward. Maksudnya, tuntutan-tuntutan atau gugatan oleh seseorang dari kelas atas atau kaya terhadap mereka yang berstatus rendah atau miskin akan cenderung dinilai serius sehingga akan memperoleh reaksi, namun tidak demikian yang sebaliknya. Kelompok atas lebih mudah mengakses keadilan, sementara kelompok marginal atau miskin sangat sulit untuk mendapatkannya (Wignjosoebroto, 2008:187). Fenomena ketidakadilan hukum ini terus terjadi dalam praktik hukum di negeri ini. Munculnya pelbagai aksi protes terhadap aparat penegak hukum di pelbagai daerah, menunjukkan sistem dan praktik hukum kita sedang bermasalah. Menurut Ahmad Ali (2005), supremasi hukum dan keadilan hukum yang menjadi dambaan masyarakat tak pernah terwujud dalam realitas riilnya, keterpurukan hukum di Indonesia malah semakin menjadi-jadi. Kepercayaan masyarakat terhadap law enforcement semakin memburuk. Gambaran ini yang disebut Satjipto Rahardjo sebagai bentuk krisis sosial yang menimpa aparat penegak hukum kita. Berbagai hal yang muncul dalam kehidupan hukum kurang dapat dijelaskan dengan baik. Keadaan ini yang kurang disadari dalam hubungannya dengan kehidupan hukum di Indonesia (Rahardjo, 2010:17). Praktik-praktik penegakkan hukum yang berlangsung, meskipun secara formal telah mendapat legitimasi hukum (yuridis-formalistik), namun legitimasi moral dan sosial sangat lemah. Ada diskriminasi perlakuan hukum antara mereka yang memiliki uang dan yang tak memiliki uang, antara mereka yang berkuasa dan yang tak punya kuasa. Keadilan bagi semua hanyalah kamuflase saja. Namun, kenyataannya, hukum terasa justru dibuat untuk menghancurkan masyarakat miskin dan menyanjung kaum elit. Penegak hukum lebih banyak mengabaikan realitas yang terjadi di masyarakat ketika menegakkan undang-undang atau peraturan. Akibatnya, penegak hukum hanya menjadi corong dari aturan. Ini tidak lain adalah dampak dari sistem pendidikan hukum yang lebih mengedepankan positivisme. Penegak hukum seperti memakai kacamata kuda (baca: berhukum dengan UU/pasal) yang sama sekali mengesampingkan fakta sosial. Inilah cara berhukum para penegek hukum tanpa nurani dan akal sehat. Karena itu, di tengah keterpurukan praktik berhukum di negara ini yang mewujud dalam berbagai realitas ketidakadilan hukum, terutama yang menimpa kelompok masyarakat miskin, sudah saatnya kita tidak sekedar memahami dan menerapkan hukum secara legalistic-positivistic, yakni cara berhukum yang berbasis pada peraturan hukum tertulis semata (rule bound), tapi perlu melakukan terobosan hukum, yang dalam istilah Satjipto Raharjo (2008), disebut sebagai penerapan hukum progresif. Dan salah satu aksi progresivitas hukum, adalah berusaha keluar dari belenggu atau penjara hukum yang bersifat positivistik dan legalistik. Dengan pendekatan yuridis-sosiologis, diharapkan –selain akan memulihkan hukum dari keterpurukannya, juga yang lebih riil, pendekatan yuridis-sosiologis diyakini mampu menghadirkan wajah keadilan hukum dan masyarakat yang lebih substantif.