Selasa, 30 Desember 2008

Menghukum Politisi KUNKER

Sumber : Opini KOMPAS Jatim, 24 Oktober 208

Salah satu penyakit lama anggota DPRD Jatim tak pernah sembuh dan bahkan sering kambuh adalah penyakit dan kebiasaan melakukan kunjungan kerja (Kunker). Penyakit yang menyakitkan perasaan masyarakat ini tak pernah sembuh total di tubuh DPRD Jatim. Meskinpun diprotes dan dikecam berbagai elemen masyarakat, tidak menyurutkan anggota DPRD Jatim untuk melakukan kegiatan Kunker ke luar negeri yang dinilai publik tak jauh dari nglencer.
Sudah sering kali kegaitan Kunker anggota DPRD Jatim bermasalah dan menjadi sorotan dan kecamanan publik. Namun semua itu sepertinya dianggap angin lalu. Bagaikan anjing menggongong kafilah tetap berlalu. Pada tahun 2007 lalu, salah satu kegiatan Kunker yang menjadi sorotan keras masyarakat Jatim adalah Kunker ke Belanda dengan dalih mencari hari Jadi Jawa Timur. Saat itu, Koalisi Masyarakat Anti Kunker DPRD mengecam dan bahkan membawa kasus Kunker tersebut ke Pengadilan Negeri Surabaya melalui Class Action, meskinpun akhirnya kalah di pengadilan.
Kini “kebiasan tak produktif” tersebut kembali diulangi pada akhir tahun anggaran 2008 ini. Menjelang akhir anggaran tahun 2008 ini, anggota DPRD ramai-ramai berencana melakukan kegiatan Kunker ke luar negeri. Setidaknya sudah ada tiga komisi yang sudah berancang-ancang memilih negara tujuan, sedangkan dua komisi lain masih berembuk. Perjalanan rencanannya dilakukan akhir Oktober dan awal November 2008 (Kompas Jatim, 10/10/2008).
Beberapa negara tujuan Kunker tersebut diantaranya adalah Komisi A yang membidangi Hukum dan Pemerintahan akan ke Helsinki, Finlandia dan Malaysia. Komisi B yang membidangi Ekonomi dan Pembangunan ke Australia. Sementara Komisi C yang membidangi Keuangan akan berkunjung ke Republik Rakyat China (RRC). Adapun anggaran yang tersedot untuk kegiatan Kunker 100 anggota dewan ini mencapai Rp 5 milyar, per anggota dialokasikan Rp 50 juta.
Masalah Kunker ini sepertinya sudah menjadi pesoalan dan penyakit tahunan DPRD Jatim. Ketika Kunker akan dilaksanakan sering kali menjadi polemik, bermasalah dan dipermasalahkan masyarakat. Mengapa demikian; Pertama, Manfaat dan urgensi Kunker tersebut. Pengalaman sebelumnya menunjukkan sudah beberapa kali anggota dewan melakukan Kunker ke luar negeri, tapi hasilnya nihil. Kunjungan tersebut hanya menghambur-hamburkan uang rakyat dan formalistik belaka, yakni memenuhi jatah dana Kunker tertera pada APBD. Bahkan Kunker kali ini menjelang tutup anggaran 2008, sehingga ada kesan Kunker ini hanya untuk menghabiskan anggaran. Kunkerpun tidak memberikan kontribusi berarti pada kinerja dewan, apalagi bagi peningkatan kualitas kesejahteraan hidup masyarakat.
Kedua, masalah transparansi dan akuntabilitas. Kunker seringkali dilakukan secara diam-diam tanpa ada publikasi dan tanpa sepengetahuan masyarakat. Perilaku ini semakin menunjukkan dugaan politik (suudhon politik) masyarakat bahwa kegiatan Kunker dewan sulit untuk dipertanggungjawabkan kepada publik., baik kegiatannya maupun anggarannya. Sehingga tak salah, jika Kunker dewan ini tak jauh beda dengan nglencer berjamaah. .
Anggaran untuk Kunker dewan ini setiap tahun terus mengalami kenaikan. Pada tahun 2004 total anggaran DPRD sebesar 68,98 milyar. Dari jumlah ini sebesar 47,43% atau sekitar 32,71 milyar dialokasikan untuk Kunker. Pada tahun 2005 anggaran DPRD sebesar 107,61 milyar, sebanyak 32,75% atau Rp 35,24 milyar untuk Kunker. Dan pada tahun 2006 dari total anggaran DPRD sebesar 94,48 milyar, 44,23% atau Rp 41,79 milyar dialokasikan untuk Kunker. Dan pada tahun 2007 ini anggaran DPRD Jatim mencapai Rp 93,55 milyar. Dari jumlah itu, sebesar Rp 32,24 milyar atau sekitar 34,24% dipakai untuk Kunker. Namun naiknya anggaran Kunker dewan ini, tidak sebanding dengan hasil yang di dapat. Anggaran Kunkernya jelas, namun hasilnya tidak jelas.
Anggaran Kunker dewan bergerak bagaikan deret ukur, sementara kinerjanya bergerak bagaikan deret hitung. Artinya besarnya anggaran yang dikeluarkan untuk kebutuhan Kunker tak sebanding dengan kinerja yang ditunjukkan anggota dewan selama ini. Baik kinerja legislasi, budgeting, maupun kinerja kontroling. Kinerja ketiga fungsi dewan tersebut dinilai masih jauh dari harapan masyarakat. Bahkan dewan sampai saat ini belum mampu berbuat banyak terhadap berbagai persoalan sosial-ekonomi masyarkaat Jatim, terutama terkait dengan pengentasan kemiskinan dan pengangguran yang angkanya terus merembet naik.

Menghukum Politisi Kunker
Kegiatan Kunker DPRD Jatim ini sungguh sangat kontras sekali dengan kondisi di Jatim saat ini. Di saat anggota dewan berambisi ramai-ramai Kunker ke luar negeri, pada saat yang sama Puluhan juta masyarakat Jatim bergelut dengan kemiskinan dan pengangguran. Mereka hidup di bawah gatis kemiskinan dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Masyarakat miskin (Maskin) saat ini tidak mampu membeli beras, minyak tanah, susu untuk anak balitanya, sulit mendapatkan pendidikan dan kesehatan murah apalagi gratis. Mereka hanya bisa bertahan hidup dengan makan aking, gaplek, hidup di tempat yang kumuh, jauh dari standart kesehatan. Kualitas hidup mereka sangatlah terancam.
Berdasarakan survey sosial-ekonomi nasional BPS Jatim menyebutkan saat ini jumlah penduduk miskin di Jatim sampai Maret 2007 tercatat 7,138 juta jiwa atau sekitar 18,93 persen dari total jumlah penduduk. Dan angka ini berpotensi melambung menyusul kenaikan harga BBM akhir Mei 2008 lalu. Selain itu juga, pertumbuhan ekonomi Jatim selama setahun ini suram. Bahkan dalam rapat paripurna penyampaian LKPJ gubernur 2007/2008 bulan lalu muncul data kemiskinan versi DPRD yakni mencapai 8 juta orang sementara versi Pemprop hanya sekitar 6,8 juta. Yang pasti, angka kemiskinan Jatim saat ini masih cukup tinggi. Di tengah keprihatinkan sosial-ekonomi masyarakat yang begitu parah ini, seharusnya mengundang simpatik dan empatik para anggota dewan terhormat. Kunker anggota dewan tersebut sungguh sangat menyakiti perasaan Maskin Jatim yang saat ini sedang berjuang untuk bertahan hidup.
Karena itu, menjelang Pemilu 2009 ini, sudah saatnya masyarakat Jatim untuk menghukum para politisi yang suka Kunker/nglencer, pertama hukuman sosial, yakni dengan menge-list beberapa anggota dewan suka nglencer, tak peduli dengan penderitaan masyarakat tersebut dan disebarluaskan kepada masyarakat. Kedua hukuman politis, yakni masukan para politisi Kunker tersebut dalam daftar hitam dan mengkampanyekannya ke masyarakat untuk tidak dipilih pada Pemilu 2009. Jangan Pilih Poltisi kunker...!

Implikasi Politis Putusan MK

Sumber : Opini Radar Surabaya, 29 Desember 2008


Pemilu 2009 dinilai akan menjadi pemilu yang lebih demokratis dibanding dengan Pemilu 2004. Ini menyusul keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan sistem penetapan caleg terpilih berdasarakan nomor urut sebagaimana yang diatur dalam Pasal 214 Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu legislatif dan menggantinya dengan sistem suara terbanyak. Sistem suara terbanyak dinilai lebih adil dan mendorong untuk para caleg untuk bekerja keras dan cerdas agar dapat dipilih oleh masyarakat pemilih. Caleg terpilih nantinya benar-benar orang yang dikenal masyarakat setempat dan akan memiliki kedekatan emosional dan politis antar rakyat dengan wakilnya di parlemen.
Selain itu, ada beberapa dampak politis yang positif atas keluarnya putusan MK tersebut di antaranya Pertama, putusan MK tersebut semakin mengukuhkan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945. Masyarakat pemilih diberi kebebasan untuk memilih caleg yang dikehendaki tanpa ada “intervensi politik” dari parpol. Caleg terpilih murni pilihan rakyat. Karena masyarakat pemilih akan tak sekedar memilih parpol, tapi yang lebih utama adalah memilih orang. Sistem ini hampir sama dengan sistem pemilihan distrik.
Kedua, putusan MK tersebut menegasikan atau meruntuhkan kekuasaan dan oligarkhi parpol. Dengan kata lain, kedaulatan dan kekuasaan parpol dalam menentukan caleg terpilih semakin kecil bahkan hilang. Prinsip vox populi vox dey, benar-benar tercemin dalam sistem suara terbanyak ini.
Ketiga, di tengah apatisme politik dan tingkat golput yang cukup tinggi, sistem suara terbanyak dinilai akan dapat meningkatkan partisipasi politik masyarakat (pemilih) dalam Pemilu 2009. Pilihan politik masyarakat tidak lagi “dijegal” dengan kehendak dan kepentingan politik parpol. Selama ini dengan sistem nomor urut, suara atau pilihan rakyat cenderung dikebiri oleh praktik politik oligarkhis dan kepentingan parpol. Caleg yang memiliki suara terbanyak dikalahkan caleg dengan suara sedikit namun berada di nomor urut terkecil. Dengan sistem suara terbanyak ini, masyarakat pemilih nantinya akan lebih bergairah dalam menentukan hak politiknya secara merdeka.
Keempat, sistem suara terbanyak dipastikan akan menjadikan pertarungan politk antar caleg dan parpol pada Pemilu 2009 akan semakin kompetitif dan ketat. Para caleg parpol akan berlomba-lomba dan bekerja keras mencari dan mencuri perhatian suara pemilih. Dalam konteks ini, rakyat akan menjadi raja, dialah penguasa sejati yang diburu banyak caleg. Meskinpun masyarakat sebagai pemegang kedaulatan dan pemilik suara yang sah, bukan berarti masyarakat bisa mengobral suaranya. Masyarakat dituntut untuk lebih rasional dan cerdas dalam menggunakan dan menentukan hak politiknya secara bertanggungjawab.
Kelima, putusan MK tersebut secara langsung maupun tidak langsung dapat memberi kontribusi bagi proses pendidikan politik rakyat yang lebih mencerahkan dan mencerdaskan. Ada semangat fair play di antara caleg, begitu juga ditataran pemilih. Karena suara caleg benar-benar pilihan dan kehendak rakyat. Caleg yang terpilih merupakan wujud dukungan besar dari masyarakat. Sementara caleg yang tak terpilih berarti belum mendapat dukungan dan kepercayaan dari masyarakat.
Keenam, putusan MK tersebut dinilai akan memberi keuntungan bagi caleg-caleg yang mengandalkan popularitas, seperti para caleg artis. Sehingga caleg-caleg artis merupakan salah satu caleg yang paling antusias menyambut putusan MK tersebut. Bagi caleg artis, dengan modal popularitas yang dimilikinya akan dapat meraih suara terbanyak atau kursi parlemen. Dengan kata lain, popularitas yang tinggi belum tentunya memiliki elektabilitas yangt tinggi pula. Karena itu, popularitas tidak cukup, tentunya harus dibarengi dengan kapabilitas, kredibilitas, kompetensi, dan track record caleg.

Politik uang marak.
Harus diakui, selain memberikan dampak politis yang positif, juga dinilai akan memberikan peluang negatif, diantaranya adalah Pertama, putusan MK tersebut akan menguntungkan para caleg yang memiliki modal kapital yang besar. Dengan sumber kapital yang banyak, si caleg bisa secara leluasa mencari dan memburu suara pemilih. Uang yang banyak akan dimanfaatkan dan digunakan semaksimalkan mungkin agar dirinya terpilih, salah satunya dengan membeli suara pemilih dengan tumpukan uang. Dengan kata lain, praktik politik uang akan semakin marak dan menjamur. Namun demikian, dalam sisi ini, masyarakat dituntut untuk menggunakan hak politiknya secara rasional, cerdas dan bertanggung jawab. Hak politik rakyat jangan sampai digadaikan dengan iming-iming rupiah yang ditawarkan para caleg.
Masyarakat pemilih harus berfikir money politic adalah racun bagi dirinya dan bangsa ini. Para caleg yang mengandalkan politik uang nantinya jika terpilih akan berperilaku lebih ganas bak predator yang bisa menghisap uang rakyat lebih banyak. Jika sudah menjadi anggota dewan, dalam pikirannya akan muncul bagaimana uang ratusan juta yang telah dikeluarkan bisa balik, bahkan kalau perlu bisa lebih. Para caleg model ini akan “menghalalkan segala cara” dalam meraih keuntungan politik dan ekonomi ketika sudah duduk menjadi wakil rakyat. Karena itu, ambil uangnya, jangan pilih orangnya.
Kedua, Putusan MK tersebut dinilai akan merugikan caleg perempuan. Kuota 30 persen dinilai sia-sia, karena dengan sistem suara terbanyak, semua caleg (laki-laki dan perempuan) bersaing setara, tidak ada perlakuan khusus secara gender. Caleg perempuan dengan nomor urut terkecil/topi tidak menutup kemungkinan akan terancam dengan caleg-caleg laki-laki yang berada di nomor urut besar atau sepatu. Apalagi sumber politik, kapital yang dimiliki perempuan kalah dibanding laki-laki. Dengan kata lain, representasi politik perempuan di parlemen akan terancam.
Namun demikian, sisi negatif dari putusan MK tersebut, bisa diminimalisir dengan meningkatkan kapabilitas, kredibilitas, akseptabilitas para caleg. Selain itu, para caleg dituntut untuk lebih banyak bergaul dan berkomunikasi secara intensif dengan masyarakat pemilih. Dan bisa mencuri hati pemilih. Dengan demikian, kedepan, Pemilu di Indonesia bisa akan berjalan lebih berkualitas dan demokratis. Suara dan kedaulatan rakyat benar-benar tercermin dalam proses politik (pemilu).

Senin, 29 Desember 2008

Rendanya Kinerja Legislasi DPRD Jatim

Sumber : Opini KOMPAS Jatim, 19 Desember 2008



Dalam rapat persiapan pelaksanaan Program Legislasi Daerah (Prolegda) 2009 oleh panitia legislatif (Panleg) DPRD Jawa Timur terungkap, selama tahun 2008 ini DPRD hanya mampu mengesahkan 13 Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) menjadi Perda. Padahal, usulan dan Raperda yang sudah direncanakan sebanyak 38 Perda. Yang lebih ironis lagi, dari 13 Perda yang sudah digedok tersebut, hanya tiga perda yang berasal dari inisiatif dewan. Sisanya, 10 Perda adalah usulan dari pihak eksekutif (Kompas Jatim, 29/11/2008).
Salah satu indikator untuk mengukur kinerja legislasi dewan bisa kita lihat pada aspek kuantitas dan kualitas Perda yang dihasilkan. Pertama, berapa Perda yang sudah dihasilkan dewan selama ini atau setidaknya tahun 2008 ini dan kedua seberapa kualitas Perda yang dihasilkan dewan atau sejauh mana dampak dari Perda yang dihasilkan dewan terhadap peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat. Jika alat ukur ini dipakai untuk melihat kerja dan kinerja DPRD dalam bidang legilasi selama ini, maka bisa disimpulkan bahwa kerja dan kinerja legislasi DPRD Jatim sangat buruk. Apalagi jika di bandingkan dengan anggaran yang dialokasikan untuk setiap Raperda jumlahnya cukup besar dan didukung dengan anggaran untuk keperluan Kunjungan Kerja (Kunker) yang terkait dengan pembahasan setiap Raperda.
Seringkali pembahasan Raperda diikuti dengan kegiatan Kunjungan Kerja atau studi banding. Apologi Kunker atau Studi banding tersebut dimaksudkan untuk mencari masukan dan pembanding terkait materi yang sama dalam Raperda yang akan dibahas. Namun kegiatan Kunker atau Studi Banding ini pun tak berpengaruh positif terhadap materi dan proses pembahasan Raperda. Padahal, kegiatan Kunker menyedot anggaran cukup besar. Jika kita hubungan antara anggaran Kunker dengan kinerja dan produk legislasi yang dihasilkan, menurut saya, anggaran Kunker dewan bergerak bagaikan deret ukur, sementara kinerja legislasi bergerak bagaikan deret hitung. Artinya fungsi dan kinerja legisilasi dewan lebih lemah dari besarnya anggaran yang telah dikeluarkan. Pembahasan Raperda terus molor, tak pernah terselesaikan tepat waktu.

Anggaran Kunker DPRD Jatim 2004-2008
Tahun Anggaran Kunker
2004 32,71 Milyar
2005 32,24 Milyar
2006 41,79 Milyar
2007 32,24 Milyar
2008 33,91 Milyar
Sumber : data Parliament Wacth, diolah, 2008

Kesibukkan anggota dewan saat ini sudah tidak konsentrasi pada tugas-tugas dan kewajibannya untuk menyelesiakan tugas-tugas kedewanan dan amanah rakyat, terutama dalam tugas-tugas legislasi. Mereka lebih memilih berkosentrasi pada pencalonan kembali sebagai anggota dewan untuk Pemilu 2009 nanti. Karena, saat ini waktunya pencalonan dan kampanye Pemilu Legislasi 2009. Di tambah lagi, Pilgub Jatim “putaran III”. Sehingga praktis, anggota dewan bermalas-malas pada tugas-tugas kedewanan, sebaliknya mereka ramai-ramai dan bersemangat untuk aktivitas pemenangan Pemilu Legislatif 2009.
Dengan melihat fakta tersebut, kinerja legislasi DPRD dinilai masih sangat rendah. Apalagi target 38 Raperda yang harus diselesaikan sampai akhir tahun ini, saya berkeyakinan tak akan bisa diselesaikan. Dari segi kuantitas saja sudah bermasalah, apalagi kualitasnya, dipastikan akan lebih bermasalah. Anggaran dan Kunkernya jelas, tapi hasilnya tak jelas. Ini semakin menguatkan pendapat publik bahwa Kunker tak berkorelasi positif terhadap kerja dan kinerja legislasi DPRD Jatim.
Saya melihat, dalam perkara tugas dan kewajibannya sebagai anggota dewan, mereka dewan sepertinya bermalas-malasan, tapi ketika berurusan dengan hak (baca; hak ekonomi) sangat bersemangat dan berjuang sampai titik darah pengahabisan. Kasus PP 37/2006 dan dana jasa pungut (japung) adalah salah satu contohnya.

Kinerja Legislasi
Salah satu parameter yang dapat dipakai untuk mengukur keberhasilan otonomi daerah dan tingkat kesejahteraan masyarakat, yakni dengan melihat Perda yang telah dihasilkan oleh Pemda dan dampaknya terhadap kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Perda merupakan instrumen sekaligus pedoman yuridis bagi Pemda dalam menjalankan proses pembangunan daerah yang goal-nya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Produk Perda ini juga dapat juga dijadikan sebagai tolak ukur apakah proses pembangunan yang dijalankan Pemda itu berpihak pada kepentingan masyarakat atau tidak?.
Sebagai catatan, pada tahun 2003 lalu, Departemen Dalam Negeri pernah mempublikaskan ada sekitar 7.000 Perda yang dibuat Pemerintah propinsi/kab/kota –termasuk sebagiannya diproduksi dari Jatim- yang dinilai tidak layak diterbitkan bahkan dari jumlah tersebut 2.000 Perda direkomendasikan untuk dicabut karena tidak mendukung iklim usaha di Indonesia. Perda-perda tersebut cenderung lebih banyak berorientasi pada penggemukkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan dinilai sangat memberatkan pengusaha sehingga menjadi kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah. Perda-perda tersebut juga dinilai sangat memberatkan masyarakat.
Dari segi kuantitas saja bermasalah, apalagi dari segi kualitas. Materi dan substansi dari Raperda yang ada tidak berkolerasi positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bahkan tidak sedikit Raperda yang ditolak oleh masyarakat. Dengan melihat fakta tersebut, kinerja legislasi DPRD Jatim masih sangat rendah.
Otonomi daerah yang diharapkan dapat mendekatkan aspirasi dengan kebijakan, dan lebih dari itu tingkat kesejahteraan masyarakat semakin meningkat, namun justru sebaliknya, yang semakin sejahtera para elitnya. Oleh karena itu, mulai saat ini masyarakat harus mulai menge-list anggota-anggota dewan yang berkinerja rendah; malas, tak pernah hadir pada rapat dewan, terindikasi kasus KKN dan moral, dan lebih mementingan kepentingan sendiri. Anggota dewan dengan karakter seperti ini sudah saatnya tidak dipilih kembali pada Pemilu 2009 nanti. Anggota dewan seperti ini, tidak saja akan menjadi beban sosial, politik, dan ekonomi bagi lembaga dewan, tapi juga bagi masyarakat Surabaya. Jangan polih politisi bermasalah..!

Selasa, 02 Desember 2008

Gubernur Baru dan Agenda Kemiskinan

Sumber : Opini Radar Surabaya, 16 November 2008

Pemilihan gubernur dan wakil gubernur (Pilgub) Jatim telah digelar. Berdasarkan perhitungan resmi manual KPU Jatim perolehan suara pasangan Soekarwo-Saefulloh Yusuf (Karsa) unggul dengan: 7.729.944 suara atau 50,20 persen sementara pasangan Khofifah Indarparawansa-Mudjjiono (Kaji) memperoleh 7.669.727 atau 49,80 persen. Selisih suara keduanya sebesar 60.233 suara atau 0,4 persen.
Gubernur terpilih, pasangan Karsa sudah dihadapkan pada berbagai problem Jatim yang harus segera digarap dan diselesaikan. Salah satu problem jatim yang harus mendapat perhatian lebih dari gubernur terpilih adalah masalah pengentasan kemisikinan. Mengingat problem yang satu ini sudah cukup mengkhawatirkan. Masalah kemiskinan dan pengangguran masih menjadi problem serius Jatim saat ini.
Meskinpun berbagai program pengentasan kemiskinan di Jatim ini digalakan dan digrojok dengan anggaran cukup besar, namun angka kemiskinan di Jatim masih cukup tinggi. Hal ini diperkuat dengan fakta di lapangan masih sulitnya masyarakat miskin kita mendapatkan kebutuhan dan pelayaan dasar; seperti pendidikan dan kesehatan. Masyarakat miskin juga sulit membeli beras dan terpaksa makan apa adanya, minyak tanah, susu untuk anak balitanya. Apalagi saat ini, menyusul kenaikan harga BBM akhir Mei lalu sebesar 28,6%, angka kemiskinan Jatim dipastikan akan melambung.
Berbagai kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam mengentaskan dan mengurangi angka kemiskinan di Jatim genjar dilakukan. Beberapa program pengentasan kemiskinan yang ada di Jatim di antaranya adalah PAMDKB, RASKIN, BOS, Jaring Pengaman Ekonomi-Sosial (JPES), ASKESKIN, Gerdu Taskin, Rehabilitasi Sosial Daerah Kumuh (RSDK) dan yang terbaru Program Keluarga Harapan (PKH). Semua itu dimaksudkan untuk mengurangi angka kemiskinan di Jatim.
Dilihat dari sisi anggarannya, program Gerdu Taskin misalnya setiap tahun dianggarkan sebesar Rp 40 milyar. Total anggaran selama lima tahun 2003-2008 mencapai Rp 200 milyar. Program PAMDKB tahun 2006-2007 dianggarankan sebesar Rp 450 milyar, dan JPES tahun 2007-2008 dianggarkan sebesar Rp 150 dan PKH di anggarkan 800 milyar. Banyaknya program dan besarnya anggaran tersebut ternyata tak berkorelasi positif terhadap penurunan angka kemiksinkan di Jatim.
Berdasarakan survey sosial-ekonomi nasional BPS Jatim menyebutkan saat ini jumlah penduduk miskin di Jatim sampai Maret 2007 tercatat 7,138 juta jiwa atau sekitar 18,93 persen dari total jumlah penduduk. Dan angka ini berpotensi melambung menyusul kenaikan harga BBM akhir Mei 2008 lalu. Selain itu juga, pertumbuhan ekonomi Jatim selama setahun ini suram, karena masalah lumpur Lapindo sampai saat ini belum selesai. Bahkan dalam rapat paripurna penyampian LKPJ gubernur 2007/2008 bulan lalu muncul data kemiskinan versi DPRD yakni mencapai 8 juta orang, sementara versi Pemprop hanya sekitar 6,8 juta. Yang pasti, angka kemiskinan Jatim saat ini masih cukup tinggi.
Selain melambungkan angka kemiskinan di Jatim, kenaikkan harga BBM juga akan semakin menambah beban masyarakat yang sampai saat ini masih juga menanggung beban krisis ekonomi. Dan keluaga miskin (Gakin) merupakan kelompok sosial yang paling awal terkena dampak kenaikkan harga BBM ini. Kehidupan sosial-ekonomi masyarakat semakin susah. Jangankan mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik, yang didapat justru kehidupan Gakin semakin terpuruk. Mereka menilai kebijakan tersebut hanya semakin menyengsarakan dan memiskinkan kehidupan masyarakat. Keluarga yang sebelumnya belum miskin berubah menjadi miskin, yang sudah miskin berubah menjadi semakin miskin. Di tengah kemiskinan masyarakat yang semakin merebak dan meluas ini, sangat berpotensi pada berbagai kerawanan sosial seperti kriminalitas sosial.

Peduli Wong Miskin
Dengan melihat realitas sosial (baca: kemiskinan) tersebut, masyarakat sangat menunggu gebrakan politik gubernur terpilih dalam 100 hari kerjanya. Masyarakat akan melihat, apakah gubernur terpilih memliki komitmen yang tingi terhadap janji-janji politiknya, terutama terhadap program pengentasan kemiskinan di Jtaim. Seperti kita ketahui, pada saat kampanye putaran I, hampir semua cagub-cawagub mengusung tema-tema peduli wong cilik, terutama masalah pengentasan kemiskinan. Para cagub-cawagub sangat begitu fasih dan bersemangat ketika menguarakan masalah kemiskinan di hadapan masyarakat.
Nah, setelah menduduki kursi empuk L-1 Jatim ini, apakah semangat yang terpancar dalam kampanye di berbagai daerah ini akan tercermin dalam menjalankan roda pemerintahan nanti. Komitmen awal gubernur-wakil gubernur terpilih nanti, setidaknya akan terlihat pada pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) 2009. Dalam APBD 2009 berapa alokasi anggaran yang yang diperuntukkan untuk program pengentasan kemiskinan dan pengangguran di Jatim. Dan tidak hanya itu, sejauh mana anggaran yang telah dialokasikan dan program yang telah dibuat bisa direalisasikan tepat sasaran. Indikator keberhasilan agenda kemiskinan ini adalah gubernur terpilih mampu menurunkan angkan kemiskinan Jatim setiap tahunnya. Dan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat semakin terangkat.
Isu kemiskinan dan pengangguran yang kerap kali dijadikan tema kampanye Pilkada hanya dijadikan alat penarik simpatik sesasat untuk meraup suara rakyat, tapi setelah duduk empuk di kursi kekuasaan, tidak sedikit pada kepala daerah lupa dengan nasib orang miskin. Terbukti, munculnya kelaparan dan gizi buruk di beberapa daerah di Jatim kurang mendapatkan perhatian dan pelayanan yang memuaskan.
Ini menjadi ujian politik gubernur terpilih. Jangan sampai mudah dikendalikan “phak ketiga” atau para penyandang dana kampanyenya, atau para pengusaha yang membantunya melancarkan ke Grahadi. Dengan kata lain, gebernur terpilih menjadi “boneka ekonomi” yang mudah dikendalikan sang sutradaranya/pengusaha, dengan dalih jasa atau kompensasi politik ekonomi karena ikut memenangkan dalam Pilgub.

Pilgub Jatim; Menguji Kedewasaan Politik Elite

Sumber : Opini KOMPAS Jatim, 25 November 2008


Pada awal kampanye lalu, kedua pasangan yang lolos putaran II Pilgub Jatim, Khofifah Indarparawansa-Mudjiono (Kaji) dan Soekarwo-Saefulloh Yusuf (Karsa) sudah berkomitmen di atas kertas dan melakukan deklarasi untuk “Siap Menang-Siap Kalah”. Setiap pasangan pasti mengaku siap menang, tapi apakah siap juga untuk menerima kekalahan?. Mengingat hasil rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Jawa Timur berbeda dengan hasil survey beberapa lembaga survey yang sebelumnya memenangkan pasangan Kaji.
Hasil rekapitulasi perhitungan resmi yang dilakukan KPUD menunjukkan pasangan Soekarwo-Saefulloh Yusuf (Karsa) menang dengan keunggulan tipis atas pasangan Khofifah Indarparawansa-Mudjjiono (Kaji). Pasangan Karsa memperoleh 7.729.944 suara atau 50,20 persen, sementara pasangan Kaji memperoleh 7.669.727 atau 49,80 persen. Selisih suara keduanya sangat tipis, yakni sebesar 60.233 suara atau 0,4 persen. Hasil rekapitulasi KPUD ini membalikan hasil beberapa survey yang dilakukan Lembagai Survey Indonesia seperti Lingkaran Survey Indonesia (LSI), yang memberi keunggulan pada Kaji dengan 50,76 persen, sedangkan Karsa memperoleh 49,24 persen dengan margin of error sebesar 1 persen. .
Atas hasil ini, pihak Kaji dengan tegas menolak hasil rekapitulasi KPU, kerena dinilai banyak terjadi kasus kecurangan dan berbagai pelanggaran yang dibiarkan Panitia Pengawas (Panwas). Pihak Kaji menyebut kasus kecurangan berupa penggelembungan suara Karsa di berbagai daerah di Jatim. Pihak Kaji mengklaim ada sekitar 160.000 suara Kaji yang hilang. Bahkan pihak Kaji menuntut adanya perhitungan atau Pilkada ulang., terutama di Madura
Sebagai tindak lanjutnya, pihak Kaji akan membawa kasus kecurangan Pilgub Jatim ini ke jalur hukum, yakni melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan tidak hanya itu, Khofifah akan mengirim surat protes atas praktik demokrasi yang dinilai cacat ini ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pihak KPUD Jatim saat ini masih belum menetapkan pasangan Karsa sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih dan akan menunggu proses gugatan hukum pasangan Kaji di MK. Dan ini adalah cara yang paling elegan. Sengketa Pilkada diselesiakan melalui jalur hukum, tidak dengan cara-cara jalanan (baca: jalur ekstraparlementer). Semua pihak untuk menahan diri dan menghormati proses hukum yang ada. Dan semua pihak pun harus menghormati dan menerima dengan lapang dada (legowo) hasil dan putusan apapun yang dikeluarkan MK.
Kita berharap salah satunya nanti bisa bersikap dan bertindak seperti McCain yang pada Pemilu Amerika Serikat lalu (4/11/2008), dimana McCain yang kalah atas Barack Obama mampu bersikap jentelmen atau bersikap legowo. Bahkan McCain, pasca kekalahan tersebut langsung menelpon Obama dan mengucapkan selamat atas kemenangannya. Tidak itu saja, McCain juga memuji kharisme dan kemampuan politik Obama dalam menarik simpatik warga AS. Dengan kata, budaya politik berdemokrasi “siap menang-siap kalah” tidak hanya jargon politik semata, tapi benar-benar ditunjukkan dalam sikap, perilaku dan tindakannya.

Kedewasaan elit Politik
Proses gugatan hukum sengketa Hasil Pilgub Jatim ini akan menjadi ujian politik kedua pasangan, bagaimana kedewasan politik kedua pasangan dalam menghadapi putusan hukum MK yang nantinya bersifat mengikat dan final. Kita berharap kasus Pilgub Maluku Utara tidak terjadi di Jatim, lantaran salah satu pasangan tidak atau belum mau menerima kenyataan politik yang ada. Bagaimanapun juga sikap elit partai atau cagub akan sangat berpengaruh pada sikap politik dan reaksi pendukung atau konstituennya.
Untuk menenangkan suasana Jatim yang semakin memanas, pasangan calon dan tim suksesnya dituntut bersikap jentelmen dan menenangkan para pendukung dan simpatisannya untuk bersikap tenang dan siap menerima apapun keputusan hukum dari MK. Kita harus belajar praktik demokrasi di Amerika Serikat. Salah satu pasangan –yang kalah- , nantinya kita harapkan bisa bersikap seperti McCain pasca kekalahan di Pemilu 4 November lalu. Saat itu, McCain tak hanya legowo menerima kekalahan, tapi lebih dari itu McCain berpidato di hadapan puluhan ribu pendukungnya di pusat kota dan mengatakan ucapan selamat kepada Obama dan menyerukan kepada pendukungnya untuk menerima kekalahan serta mendukung kemenangan Obama. Kemenangan Obama adalah kemenangan seluruh warga AS.
Demokrasi politik kita tidak hanya sekedar demokrasi prosedural semata, tapi demokrasi kita harus melahirkan sikap dan perilaku demokrat, yakni sikap dan perilaku yang menujunjung tinggi semangat dan prinsip-prinsip dalam hidup berdemokrasi, termasuk sikap dan budaya siap menang dan siap kalah. Masyarakat Jatim jangan sampai menjadi korban politik atas ketidak-legowo-an para elt politik dalam menerima kekalahan. Masyarakat Jatim sudah mengeluarkan uang hampir setengah triliun rupiah untuk menggelar hajatan lima tahunan tersebut. Uang setengah triliun rupiah tersebut hanya akan menjadi debu yang tak berbekas, akibat kekacauan politik yang disebabkan nihilnya kedewasaan politik elit-elit politik kita dalam menerima kekalahan
Sungguh indah kehidupan politik dan berdemokrasi kita, jika sikap, perilaku dan suasana politik seperti di AS bisa dilakukan oleh pasangan cagub-cawagub Jatim. Kedewasaan politik elit ini sangat dibutuhkan bangsa ini dalam membangun kehidupan politik dan demokrasi yang lebih baik dan berkualitas untuk kesejahteraan masyarakat. walluhu ‘alam.

Menjaga Konsisitensi KPK

Sumber : Opini Republika,12 November 2008

Sikap berani kembali ditunjukkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani kasus korupsi di Indoensia, terutama terkait dengan kasus korupsi penarikan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp 100 milyar yang melibatkan para petinggi Bank Indonesia. Setelah publik menunggu, akhirnya KPK menetapkan mantan deputi gubernur BI yang juga sekaligus besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Aulia Pohan sebagai tersangka. Aulia menyusul petinggi BI yang lainnya yang sudah menjadi pesakitan yakni, mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdulllah (sudah divonis pengadilan Tipikor selama lima tahun), Oey Hoey Tiong, dan Rusli Simanjuntak.
Penetapan Aulia Pohan sebagai tersangka bisa dibilang cukup ”terlambat”. Mengapa baru kali ini dia ditetapkan sebagai tersangkan, tidak berbarengan dengan ketiga terdakwa lainnya. Seharusnya Aulia Pohan sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak proses peradilan Burhanudiin, Oey Tiong, Rusli Simanjuntak berjalan. Karena berdasarkan fakta-fakta hukum dipersidangan, baik yang muncul dari para saksi dan penunutut umum, menyebut nama Aulia Pohan beberapa kali. Bahkan menurut Indonesia Corruption Wacth, nama Aulia Pohan disebut 114 kali.
Pihak KPK beralasan, bahwa KPK tidak mau gegabah dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Sebagaiamana yang dikatakan Ketua KPK Antasari Ashzar, bahwa penetapkan Aulia lebih didasarkan pada bukti-bukti hukum yang kuat untuk dilakukan penyidikan lebih lanjut. Bukan karena desakan publik atau asumsi yang kadang sulit dipertanggungjawabkan. KPK bekerja berdasar pada profesionalisme hukum.
Terlepas dari semua, langkah hukum KPK ini patut diapresiasi. Ini menunjukkan bahwa supremasi hukum masih berjalan, bukan lagi supremasi politik. Ini mengingat tersangka korupsi yang dihadapi KPK adalah bukan sembarangan. Dia (Aulia Pohan) adalah besan dari Presiden SBY. Jika ada “kemauan politik” dari SBY, bisa saja nasib hukum Aulia tidak seperti sekarang, jadi tersangka. Bahkan SBY sendiri, sebagai presiden menegaskan bahwa hukum harus ditegakkan kepada siapa pun. Ini sebagai komitmen awal dari SBY sendiri yang menjadi penegakkan hukum dan pemberantasan korupsi menjadi agenda utama dalam pemerintahannya, tidak akan intervensi dan menyerahkan besannya itu sepenuhnya kepada proses bukum. Terlepas dari “nada miring” dari publik yang menyebut sikap politik SBY untuk mencari simpatik publik jelang pemilu 2009. Namun, sikap politik SBY ini patut juga diaparesiasi.
Dalam konteks penegakkan hukum, penetapan Aulia Pohan tersebut menunjukkan KPK tidak melakukan tindakan diskriminatif atau “pandang bulu” sebagaimana yang sebelumnya dilontarkan sebagian orang. Hukum dalam konteks ini menjadi supreme dan otonom. Hukum berjalan sesuai dengan relnya. Tidak ada intervensi politik dari manapun dan siapapun. Baik dari istana maupun dari publik yang selama ini bersuara keras terhadap kasus korupsi BI ini.
Sikap tegas dan tak pandang bulu KPK sudah saatnya diikuti oleh para penegak hukum lainnya, terutama kejaksaan yang selama ini dianggap lamban dan kurang produktif dalam “menjaring” para tersangka korupsi untuk duduk di kursi pesakitan. Ada ratusan bahkan ribuan pejabat, mulai tinggi daerah sampai pusat, yang tersangkut kasus dugaan korupsi. Dan sebagian besar sudah ditangani kejaksaan, namun tidak sedikit sebagian dari para tersangka lolos dari jerakan kejaksaan.

Menjaga Konsistensi.
Setelah dijadikan tersangka, KPK akan aktif untuk melakukan menyidikan lebh lanjut minggu. Inilah ujian selanjtnya yang akan dihadapi KPK, apakah akan konsisten untuk membawa kasus Aulia ini sampai ke Pengadilan Khusus Tipikor. Dan Aulia sepertinya akan bernasib sama seperti keempat koleganyanya yang lain. Kecuali KPK mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan Perkara (SP3). Ini sangat sulit dan dalam sejarah KPK belum pernah ada kasus tindak pidana korupsi yang di SP3. Dengan kata lain, KPK bisa bersikap konsisten terhadap kasus Aulia dan para tersangka lainnya.
Selanjutnya, KPK diharapkan akan bekerja secara profesional dan konsisten. Tidak terpengaruh terhadap desakan publik atau tekanan politik dari manapun dan siapapun. Kini setelah menetapkan Aulia sebagai tersangka, gebrakan hukum lain dari KPK akan ditunggu publik, terutama terkait dengan calon tersangka lain yang berasal dari DPR. Saat ini baru dua orang anggota DPR RI yang ditetapkan sebagai tersangka, yakni Hamka Yandu, Anthoni Zedra Abidin.
Dalam persidangan Tipikor, fakta dan bukti-bukti hukum menunjukkan bahwa aliran dana BI sebesar Rp 35,5 milyar tidak saja dinikmati oleh kedua anggota dewan tersebut, tapi juga ke beberapa anggota dewan lainnya. Ini akan menjadi ujian hukum bagi KPK, apakah berani menyeret anggota dewan yang lainnya yang ikut menikmati uang haram tersebut menjadi tersangka?. Sampai sekarang sebagian anggota dewan tersebut masih bebas bebas berkeliaran. Belum tersentuh hukum.
Dengan logika sederhana, jika kepada Aulia (yang ada kaitannya dengan istana) saja bisa bersikap tegas, tentunya KPK bisa bersikap lebih tegas dan berani berhadapan dengan anggota dewan. Jangan sampai KPK mengkeret berhadapan dengan anggota dewan yang sebelumnya punya “jasa politik” atas terpilihnya Antasari dkk sebagai anggota KPK. Dan saya yakin, KPK bisa bersikap tegas dan lebih berani kepada anggota dewan yang lainnya yang belum dijadikan tersangka. Dan saya yakin, KPK tidak akan menggadaikan kasus hukum BI ini dengan jasa politik anggota dewan. Terlalu murah untuk dilakukan.
Kini, masyarakat tidak saja menunggu ketegasan para penegak hukum, termasuk KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi di negeri ini, tetapi lebih dari itu bagaimana penegakkan hukum bisa melahirkan keadilan hukum bagi masyarakat. Karena banyak kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara disidik dan dibawah persidangan, tapi sangat sedikit putusan hukumnya belum memenuhi rasa keadilan. Tidak sedikit kasus korupsi divonis ringan bahkan ketika ditangani hakim Pengadilan Negeri divonis bebas.
Karena itu, bagi masyarakat, penegakkan hukum penting, tetapi jauh lebih penting adalah bagaimana penegakkan hukum bisa melahirkan keadilan hukum bagi masyarakat. Wallahu ‘alam.