Selasa, 19 Januari 2010

Evaluasi Kinerja Legislasi DPRD Jatim 2009

Opini Bhirawa, 11 Januari 2010


Mengawali 2010, soroton publik atas kinerja DPRD Jatim tak pernah berhenti. Salah satu kinerja DPRD Jatim yang paling disorot masyarakat dan media akhir-akhir ini kegiatan Kunjungan Kerja (Kunker), baik dalam negeri maupun ke luar negeri. Sebut saja misalnya, anggota DPRD baru hasil Pemilu 2009, baru menjabat empat bulan sebaga wakil rakyat, langsung disorot habis-habisan oleh masyarakat, lantasan “kebiasaan buruk” warisan DPRD periode sebelumnya masih saja “ditradisikan” dan dilanjutkan.
Dengan hadirnya wajah-wajah baru wakil rakyat kita, seharunya dapat memberikan semangat dan tradisi politik baru dalam kerja dan kinerja kedewanan, termasuk dalam hal kegiatan klasiknya, yakni Kunker. Dengan kata lain, ada perubahan dan perbaikan dalam kerja dan kinerja DPRD yang baru, namun kenyataanya, baru empat bulan menjabat, bukannya merubah mentalitas dan kebiasaan buruk Kunker “sia-sia”, justru anggota dewan yang baru terlibat dalam kebiasaan buruk anggota dewan “incumbent”. Ini yang kemudian citra DPRD di mata publik, bukan semakin membaik, justru semakin memburuk akibat ulah dan tingkah polah anggota DPRD sendiri.
Soroton negatif atas kinerja Kunker DPRD Jatim ini, bukanlah hal yang baru, dua periode sebelumnya, DPRD Jatim juga setiap tahun sering disorot masyarakat dan media, namun kecaman, cacian dan bahkan sampai pada tindakan hukum atas Kunker DPRD oleh kelompok civil society (baca: class action), tidak membuat jera atau setidaknya DPRD melakukan perubahan dan perbaikan dalam kegiatan Kunkernya. Justru yang terjadi pada setiap Kunker, kecaman bukannya semakin surut, malah semakin keras. Ini karena, selama dua periode Pemilu langsung, tak memberi efek perubahan dan perbaikan pada kinerja DPRD Jatim, terutama pada aspek kegiatan Kunker.
Penjelasan tersebut cukup beralasan, karena selama ini, anggaran DPRD setiap tahun mengalami kenaikan cukup signifikan, namun kerja dan kinerja masih jauh dari harapan. Sebut saja misalnya, anggaran Kunker, setiap tahun anggaran Kunker DPRD selalu mengalami kenaikan, namun kerja dan kinernya masih sangat memprihantinkan. Selama ini, DPRD mengatakan anggaran DPRD naik (termasuk anggaran Kunkernya), dalam rangka untuk meningkatkan kerja dan kinerja DPRD secara institutional dan personal, namun realitasnya, maih jauh dari harapan (lihat tabel).

ANGGARAN KUNKER DPRD JATIM (2004-2009)
TAHUN ANGG. Kunker
2004 32,71 M
2005 35,24 M
2006 41,79 M
2007* 32,24 M
2008 35,77 M
2008 35,77 M
2009 41,05 M
*Belum termasuk PAK Sumber : data Parliament Wacth Jatim di oleh dari berbagai sumber

Dengan kata lain, anggaran DPRD (termasuk Kunker), bergeraknya bagaikan deret ukur, sementara kerja dan kinerja bagaikan deret hitung. Peningkatan anggaran DPRD setiap tahun bergerak lebih cepat daripada kerja dan kinerja yang dihasilkan. Image publik bahwa Kunker hanya mengabiskan uang rakyat semakin menampakkan wujud riilnya

Kinjer Legislasi rendah
Selama ini DPRD mengatakan bahwa kegiatan Kunker dilakukan dalam rangka pembahasan Raperda. Namun lagi-lagi, ini hanya omong kosong. Kita bisa lihat kinerja DPRD di bidang legislasi. Sebut saja misalnya, pada tahun 2008, DPRD hanya mampu mengesahkan 13 Perda. Bandingkan dengan target penyelesaian yang mereka patok tahun tersebut, yakni 38 perda. Di antara 13 perda yang disahkan itu, hanya tiga yang merupakan hasil inisiatif wakil rakyat. Sisanya adalah perda bikinan Pemprov yang tinggal dibahas di dewan. Dari 38 Perda tersebut sebenarnya sebagian besar adalah Raperda perubahan dari perda yang sudah ada, inipun tak mampu diselesaikan dengan baik oleh DPRD. Kondisi ini sungguh sangat ironi, dikasih anggaran besar, tapi hasilnya tak maksimal.
Pada tahun 2009 ini, DPRD periode lalu juga mewariskan 21 perda kepada DPRD baru hasil pemilu 2009. Dan ini akan menjadi beban politik baru bagi DPRD yang baru. Dari 21 perda tersebut, 15 di antaranya usulan eksekutif, tidak tersentuh. Kondisi semakin memprihantikan; dari semua Perda yang masuk Prolegda, sekitar 70% adalah Perda inisiatif dari eksekutif, sementara 30% adalah inisiatif dari DPRD. Kondisi ini menunjukkan bahwa daya kreativitas intelektual DPRD dalam melahirkan sebuah gagasan regulatif untuk kepentingan masyarakat sangat minim.
Hipotesa DPRD; semakin besar anggaran kunker, maka akan semakin baik kerja dan kinerjanya, ternyata salah besar. Jstru yang terjadi, semakin besar anggaran Kunker, kerja dan kinerja DPRD tidak terlalu memuaskan, baik secara kuantitif maupun kualitatif. Dengan kaa lan, besarnya anggaran Kunker DPRD tak berkorelasi positif terhadap kerja dan kinerjanya, baik untuk kepentingan internal dewan maupun lebih luas bagi kepentingan masyarakat.

Tidak ada komentar: