Senin Opini Radar Surabaya, Senin 5 September 2011
Salah satu persoalan krusial yang dihadapi Indonesia saat ini adalah masalah kemiskinan. Berdasarkan data BPS 2010, saat ini angka kemiskinan Indonesia mencapai 32 juta jiwa atau sekitar 16%. Menurut Sekjen ASEAN, Surin Pitsuwan yang menjadi salah satu pembicara dalam sebuah seminar Asia Pasific Conference on Tobacco of Health (APACT) di Sydney, Australia yang berlangsung 6-9 Oktober 2010 lalu, mengatakan konsumsi tembakau, terutama rokok, memperburuk kemiskinan. Karena itu, kondisi ini harus menjadi kekhawatiran, terutama negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sebagai negara pengkonsumsi rokok ketiga terbesar di dunia setelah China dan India.
Indikasi besarnya konsumsi rokok pada kelompok masyarakat miskin juga ditegaskan oleh hasil penelitian Rijo M. John, Ph.D dari American Cancer Society AS, yang mengatakan, di India konsumsi tembako meningkatkan angka kemiskinan 1,6%di desa dan 0,8% di daerah perkotaan serta menambah sekitar 15 juta orang miskin di India. Penelitian lain yang terkait, dari lembaga Demografi UI, menurut Abdilah Hasan; uang untuk rokok sembilan kali pengeluaran pendidikan dan 15 kali pengeluaran kesehatan. Data dan faka ini semakin menguatkan, masyarakat miskin sebagai kelompok terbesar dalam konsumsi rokok. Dan konsumsi rokok di kalangan masyarakat miskin semakin memperburuk kemiskinan mereka.
Konsumsi Rokok Kaum Miskin
Secara kasat mata, jika kita melihat kehidupan masyarakat miskin, maka kita tidak terlalu sulit menemukan para kepala keluarga miskin (Gakin) mengkonsumsi rokok. Bahkan di kalangan masyarakat miskin, rokok dianggap sebagai “obat stress” dari himpitan kemiskinan. Kepala keluarga miskin lebih mengutamakan kebutuhan “hisap asap” daripada memberikan konsumsi gizi yang baik bagi anak-anaknya. Karena itu, tak heran jika keluarga miskin identik dengan gizi buruk. Bagaimana mau memperbaiki kesehatan anak dan Gakin, jika salah satu anggotanya masih menjadi perokok aktif.
Menurut Sekjen KOMNAS Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, dari angka kematian balita sebesar 162.000 per tahun sesuai data Unicief 2006, konsumsi rokok pada Gakin telah menyumbang 32.400 kematian setiap tahun atau hampir 90 kematian balita per hari. Hal ini ditegaskan dengan Survey tahun 1999-2003 yang menemukan, pada lebih dari 175.000 Gakin perkotaan di Indonesia yang di survey, tiga dari empat keluarga (73,8%) adalah perokok aktif.
Studi sejenis tahun 2002-2003 pada lebih dari 360.000 rumah tangga miskin perkotaan dan pedesaan membuktikan, kematian bayi dan balita lebih tinggi pada keluarga yang dengan orangtua merokok daripada tidak merokok. Kerugian yang diderita anak akibat merokok tidak hanya permasalaan malnutrisi. Ketika mereka meranjak remaja, kembali rokok menjadi suatu pokok persoalan yang mendera mereka kerena mereka menjadi target sasaran iklan rokok.
Perilaku merokok pada sebuah keluarga miskin mengakibatkan gizi buruk pada anak karena orang tua lebih mengutamakan membeli rokok dibandingkan dengan membeli beras, telor, ikan, dan makanan bergizi lainnya. Belanja rokok telah menggeser kebutuhan terhadap makanan bergizi yang esensial untuk tumbuh kembang anak balita.
Tingginya angka balita yang bergizi buruk tentunya akan berpotensi meningkatkan angka kematian balita. Dalam hal angka kematian bayi, Indonesia (31/1.000 kelahiran) hanya lebih baik dibandingkan dengan Kamboja (97/1.000) dan Laos (82/1.000). Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, kita masih tertinggal. Singapura dan Malaysia memiliki angka kematian bayi amat rendah, masing-masing 3 dan 7 per 1.000 kelahiran. Ini menunjukkan besarnya perhatian negara itu terhadap masalah gizi dan kesehatan yang dihadapi anak-anak.
Sinergi dengan Program Kesehatan
Melihat fakta di atas, sudah saatnya program penanggulangan kemiskinan harus disinergikan dengan pengurangan konsumsi rokok pada kelurga miskin. Program penyadaran kepada Maskinn untuk berhenti merokok harus terus digalakan dan dikampanyekan. Memang tidak memudah merubah kebiasaan merokok di kalangan masyarakat miskin. Apalagi bagi perokok dari Gakin yang menganggap rokok dianggap sebagai alat penghilang stress. Menghilangkan konsumsi rokok pada keluarga miskin tentu saja tidak sekedar melalui panyadaran dan kampanye yang massif.
Dalam kajian sosiologi hukum, merubah kebiasaan buruk masyarakat tidak sekedar dilakukan melalui pidato dan kampanye. Tapi harus diperkuat dengan adanya regulasi. Dalam konteks ini, merubah kebiasaan merokok dan mengurangi angka kemiskinan harus didukung dengan kebijakan yang memungkinkan Gakin bisa berhenti merokok. Salah satunya dengan tidak memberikan kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) atau Jamkesda.
Kebijakan tersebut sudah dilakukan DKI Jakarta, di mana Dinas Kesehatan DKI Jakarta telah memasukan satu syarat tambahan bagi Gakin penerima kartu Jamkesda. Kartu Jamkesda hanya diberikan kepada Gakin non perokok. Pemberian kartu Jamkesda bagi Gakin perokok hanya akan memperburuk kualitas kemiskinan mereka. Tambahan syarat ini cukup beralasan, karena semakin meningkatnya Gakin yang kepala rumah tangganya adalah perokok. Karena itu, kebijakan Dinas Kesehatan DKI Jakarta tersebut patut didukung dan perlu diadopsi oleh propinsi lain di Indonesia.
Tepat sasaran
Pemerintah Propinsi di Indonesia, saya pikir perlu mengadopsi kebijakan DKI Jakarta. Sehingga pemanfaatan kartu Jamkesda akan lebih tepat sasaran dan lebih produktif. Pemberian kartu Jamkesda yang diberikan kepada Gakin tanpa persyaratan non perokok akan kontraproduktif dengan upaya pemerintah dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas kesehatan dan kehidupan Gakin.
Peningkatan kualitas kesehatan, terutama perbaikan gizi buruk Gakin melalui pemanfaatan kartu Jamkesda harus didukung dengan kesadaran para orang tua untuk tidak menghancurkannya, yakni dengan mengkonsumsi rokok. Para orang tua Gakin perlu diberikan pemahaman yang baik bahwa konsumsi rokok yang tinggi akan berakibat buruk pada kesehatan anak dan keluarganya. Jamkesmas yang diberikan Gakin akan sia-sia belaka, jika masih ada para orang tua Gakin yang menjadi perokok aktif.
Selasa, 13 September 2011
REMISI DAN KEADILAN MASYARAKAT
Sumber : Opini REPUBLIKA Rabu 7 September 2011
Di tengah gencar-gencarnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memburu dan memenjarakan para koruptor, pemerintah SBY-Budiono, melalui Kementrian Hukum dan HAM justru melakukan tindakan hukum yang berkebalikan, yakni dengan mudahnya memberikan remisi (keringan hukuman) dan grasi (pengampunan) kepada para koruptor kelas kakap. Ada kesan publik; para koruptor ditahan untuk dilepaskan.
Setelah mendapat remisi pada peringatan Proklamsi Kemerdekaan RI ke 66 lalu, kini para koruptor kembali mendapatkan remisi pada perayaan Hari Raya Idul Fitri 1432 H ini. pada Lebaran kali ini, Kementrian Hukum dan HAM member pengurangan masa tahanan kepada 44.652 narapidana. Sebanyak 235 diantaranya adaah koruptor. Pemberian remisi ini membuat delapan koruptor langsung dianyatakan bebas. Salah satunya adalah Indra Warman Siregar, mantan Asisten Menteri Sekretaris Negara yang dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi pengerukan Sungai Mahakam yang merugikan Negara sebesar Rp 21 milyar. Publik menilai perlakuan hukum ini sangat kontraproduktif dengan spirit pemberantasan korupsi.
Kita semua sepakat bahwa korupsi adalah tindakan kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime). Dan karenanya tidak cukup diselesaikan dengan menggunakan regulasi dan lembaga-lembaga yang biasa atau konvensional, melainkan harus diselesaikan dengan menggunakan tindakan hukum yang luar biasa (extra judicial action). KPK beserta senjata regulasinya yang dimiliki dimaksudkan untuk melakukan tindakan hukum yang luar biasa dengan harapan dapat menekan angka korupsi pada titik yang paling rendah.
Namun, kerja keras KPK selama ini, harus dibayar amat murah oleh Pemerintah dengan mengobral remisi dan grasi kepada koruptor. Dengan remisi dan grasi dan bahkan asimilasi, para koruptor yang telah mengkorupsi uang negara ratusan milyar rupiah bisa menghirup udara bebas. Dengan remisi, para koruptor mendapatkan waktu pembebasan lebih cepat.
Para koruptor kelas kakap sangat begitu mudahnya mendapatkan remisi, grasi atau asimilasi. Namun bagi para narapidana dari kelas sosial bawah, yang kebanyakan adalah mereka dari kelompok miskin, akan sangat kesulitan untuk mendapatkannya. Narapidana miskin harus melalui prosedur yang jlimet, panjang, lama, dan yang pasti harus menyediakan uang “pembebasan” bersyarat yang jumlahnya tidak sedikit. Inilah sebuah paradoks perlakuan hukum yang paling telanjang di negeri yang namanya ; Indonesia.
Selama ini alasan pemerintah dalam pemberian grasi dan remisi kepada para koruptor didasarkan pada UU No. 12/1995 tentang remisi dan UU No. 22/2000 tentang Remisi dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2006 tentang perubahan atas PP No. 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Selain alasan yuridis, Pemerintah juga berlindung bahwa pemberian grasi kepada koruptor, karena alasan kemanusiaan. Namun alasan ini sangat absurd, karena para koruptor juga melakukan tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Apakah korupsi itu bukan tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan?
Praktik korupsi di negeri ini sudah taraf yang sangat memprihatinkan, bahkan para penggiat anti korupsi menilai; negeri ini sedang darurat korupsi. Sebuah kondisi yang sudah sangat mendesak untuk dilakukan tindakan-tindakan hukum yang luar biasa. Praktik korupsi sudah berjalan begitu sistemik dan massif. Meskinpun ratusan regulasi dan puluan lembaga terkait pemberantasan korupsi dibentuk, praktik korupsi di negeri ini tidak menunjukkan tanda-tanda surut.
Di negeri ini sepertinya tidak ada institusi yang stiriil dari korupsi. Hampir semua lembaga negara baik itu di pusat dan di daerah berwajah korup. Praktik haram tersebut sudah menjalar ke berbagai lembaga negara; mulai eksekutif, legislatif, yudikatif, imigrasi, pajak, bea cukai, dan sebagainya. Dan bahkan saat ini praktik korupsi ini sudah merembet ke tiga institusi penting penegak hukum kita, yakni lembaga kepolisian, kejaksaan, dan peradilan. Institusi yang diharapkan menjadi penegak hukum dan pemberantas korupsi, justru tak stiril dari tindak kejahatan korupsi, dan bahkan menjadi bagian dari pelaku korupsi. Jika kondisinya demikian, bagaimana mau memberantas korupsi, jika para penegak hukumnya tersangkut kasus korupsi?.
Akibat korupsi yang dilakukan para pejabat negeri ini –yang berkolaborasi dengan para pengusaha, puluhan juta masyarakat kita hidup dalam kemiskinan, jutaan anak balita terkena gizi buruk, jutaan anak putus sekolah, puluhan juta masyarakat miskin tidak mendapatkan akses kesehatan yang murah dan layak, dan berbagai potret buram lainnya. Semua itu akibat anggaran pembangunan ang dikorupsi oleh para pemangku jabatan dan kekuasaan di negeri ini. Pendek kata, korupsi adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan, karena itu sangat tidak layak para koruptor kelas kakap mendapatkan remisi, asimilasi apalagi grasi. Perlakuan hukum tersebut juga sangat menciderai rasa keadilan masyarakat.
Meskinpun secara yuridis sah, namun tindakan pemerintah yang memberikan remisi dan grasi tersebut sangat menciderai semangat kolektif bangsa ini dalam memberantas korupsi. Pemerintah sangat tidak menghargai kerja keras KPK dalam memburu, menyidik, menuntut, dan kemudian menjebloskan para koruptor tersebut ke penjara. Komitmen pemerintah SBY-Budiono dalam pemberantasan korupsi patut dipertanyakan. Pidato berbusa-busa SBY di setiap kesempatan, akhirnya hanya “lips service” belaka. Karena faktanya nihil.
Langkah hukum Progresif
Pakar hukum Pidana Universitas Hasanuddin, Ahmad Ali (2002:48) mengatakan bahwa secara universal, jika kita ingin keluar dari situasi keterpurukan hukum, maka jawabannya adalah membebaskan diri dari belenggu positivism. Mengapa demikian, karena dengan hanya mengandalkan teori dan pemahaman hukum secara legalistik-positivistik yang hanya berbasis pada peraturan tertulis (rule bound) belaka, maka kita tidak akan pernah mampu untuk menangkap kebenaran dan keadilan.
Dalam pemikiran Pakar sosiologi hukum Undip, Satjipto Raharjo (2008:147), dalam suasana terimpit oleh karut-marut kehidupan berhukum kita (praktik-praktik korup) yang menggerogoti bangsa, mengapa kita tidak berani mencari jalan lain?. Di sinilah kita memilih pengadilan progresif dengan hakim-hakim partisan. Hakim seperti itu tidak datang dengan semangat kosong, tetapi penuh determinasi, komitmen, dan dare (keberanian) untuk mengalahkan korupsi. Jika hakim-hakim liberal “tidak berhasil” memberantas korupsi, kini saatnya memilih “hakim partisan dan progresif”. Inilah pilihan Indonesia bangun dari keterpurukan hukum.
Di tengah keterpurukan praktik berhukum di negara Indonesia yang mewujud dalam berbagai realitas ketidakadilan hukum, terutama yang menimpa kelompok masyarakat lemah atau miskin, sudah saatnya kita tidak sekedar memahami dan menerapkan hukum secara legalistic-positivistic ; yang berbasis pada peraturan hukum tertulis semata (rule bound), tapi dengan melakukan terobososan hukum, yang dalam istilah Satjipto Raharjo, disebut sebagai penerapan hukum progresif. Dan salah satu aksi progresivitas hukum, adalah berusaha keluar dari belenggu atau penjara hukum yang bersifat positivistik dan legalistik. Dengan pendekatan yuridis sosiologis, diharapkan –selain akan memulihkan hukum dari keterpurukannya, juga yang lebih riil, pendekatan yuridis sosiologis diyakini mampu menghadirkan wajah keadilan hukum dan masyarakat yang lebih substantif. Pemberian remisi dan grasi dalam konteks hukum progresif sungguh sangat menciderai rasa keadilan masyarakat dan agenda pembertantasan korupsi.
Di tengah gencar-gencarnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memburu dan memenjarakan para koruptor, pemerintah SBY-Budiono, melalui Kementrian Hukum dan HAM justru melakukan tindakan hukum yang berkebalikan, yakni dengan mudahnya memberikan remisi (keringan hukuman) dan grasi (pengampunan) kepada para koruptor kelas kakap. Ada kesan publik; para koruptor ditahan untuk dilepaskan.
Setelah mendapat remisi pada peringatan Proklamsi Kemerdekaan RI ke 66 lalu, kini para koruptor kembali mendapatkan remisi pada perayaan Hari Raya Idul Fitri 1432 H ini. pada Lebaran kali ini, Kementrian Hukum dan HAM member pengurangan masa tahanan kepada 44.652 narapidana. Sebanyak 235 diantaranya adaah koruptor. Pemberian remisi ini membuat delapan koruptor langsung dianyatakan bebas. Salah satunya adalah Indra Warman Siregar, mantan Asisten Menteri Sekretaris Negara yang dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi pengerukan Sungai Mahakam yang merugikan Negara sebesar Rp 21 milyar. Publik menilai perlakuan hukum ini sangat kontraproduktif dengan spirit pemberantasan korupsi.
Kita semua sepakat bahwa korupsi adalah tindakan kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime). Dan karenanya tidak cukup diselesaikan dengan menggunakan regulasi dan lembaga-lembaga yang biasa atau konvensional, melainkan harus diselesaikan dengan menggunakan tindakan hukum yang luar biasa (extra judicial action). KPK beserta senjata regulasinya yang dimiliki dimaksudkan untuk melakukan tindakan hukum yang luar biasa dengan harapan dapat menekan angka korupsi pada titik yang paling rendah.
Namun, kerja keras KPK selama ini, harus dibayar amat murah oleh Pemerintah dengan mengobral remisi dan grasi kepada koruptor. Dengan remisi dan grasi dan bahkan asimilasi, para koruptor yang telah mengkorupsi uang negara ratusan milyar rupiah bisa menghirup udara bebas. Dengan remisi, para koruptor mendapatkan waktu pembebasan lebih cepat.
Para koruptor kelas kakap sangat begitu mudahnya mendapatkan remisi, grasi atau asimilasi. Namun bagi para narapidana dari kelas sosial bawah, yang kebanyakan adalah mereka dari kelompok miskin, akan sangat kesulitan untuk mendapatkannya. Narapidana miskin harus melalui prosedur yang jlimet, panjang, lama, dan yang pasti harus menyediakan uang “pembebasan” bersyarat yang jumlahnya tidak sedikit. Inilah sebuah paradoks perlakuan hukum yang paling telanjang di negeri yang namanya ; Indonesia.
Selama ini alasan pemerintah dalam pemberian grasi dan remisi kepada para koruptor didasarkan pada UU No. 12/1995 tentang remisi dan UU No. 22/2000 tentang Remisi dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2006 tentang perubahan atas PP No. 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Selain alasan yuridis, Pemerintah juga berlindung bahwa pemberian grasi kepada koruptor, karena alasan kemanusiaan. Namun alasan ini sangat absurd, karena para koruptor juga melakukan tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Apakah korupsi itu bukan tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan?
Praktik korupsi di negeri ini sudah taraf yang sangat memprihatinkan, bahkan para penggiat anti korupsi menilai; negeri ini sedang darurat korupsi. Sebuah kondisi yang sudah sangat mendesak untuk dilakukan tindakan-tindakan hukum yang luar biasa. Praktik korupsi sudah berjalan begitu sistemik dan massif. Meskinpun ratusan regulasi dan puluan lembaga terkait pemberantasan korupsi dibentuk, praktik korupsi di negeri ini tidak menunjukkan tanda-tanda surut.
Di negeri ini sepertinya tidak ada institusi yang stiriil dari korupsi. Hampir semua lembaga negara baik itu di pusat dan di daerah berwajah korup. Praktik haram tersebut sudah menjalar ke berbagai lembaga negara; mulai eksekutif, legislatif, yudikatif, imigrasi, pajak, bea cukai, dan sebagainya. Dan bahkan saat ini praktik korupsi ini sudah merembet ke tiga institusi penting penegak hukum kita, yakni lembaga kepolisian, kejaksaan, dan peradilan. Institusi yang diharapkan menjadi penegak hukum dan pemberantas korupsi, justru tak stiril dari tindak kejahatan korupsi, dan bahkan menjadi bagian dari pelaku korupsi. Jika kondisinya demikian, bagaimana mau memberantas korupsi, jika para penegak hukumnya tersangkut kasus korupsi?.
Akibat korupsi yang dilakukan para pejabat negeri ini –yang berkolaborasi dengan para pengusaha, puluhan juta masyarakat kita hidup dalam kemiskinan, jutaan anak balita terkena gizi buruk, jutaan anak putus sekolah, puluhan juta masyarakat miskin tidak mendapatkan akses kesehatan yang murah dan layak, dan berbagai potret buram lainnya. Semua itu akibat anggaran pembangunan ang dikorupsi oleh para pemangku jabatan dan kekuasaan di negeri ini. Pendek kata, korupsi adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan, karena itu sangat tidak layak para koruptor kelas kakap mendapatkan remisi, asimilasi apalagi grasi. Perlakuan hukum tersebut juga sangat menciderai rasa keadilan masyarakat.
Meskinpun secara yuridis sah, namun tindakan pemerintah yang memberikan remisi dan grasi tersebut sangat menciderai semangat kolektif bangsa ini dalam memberantas korupsi. Pemerintah sangat tidak menghargai kerja keras KPK dalam memburu, menyidik, menuntut, dan kemudian menjebloskan para koruptor tersebut ke penjara. Komitmen pemerintah SBY-Budiono dalam pemberantasan korupsi patut dipertanyakan. Pidato berbusa-busa SBY di setiap kesempatan, akhirnya hanya “lips service” belaka. Karena faktanya nihil.
Langkah hukum Progresif
Pakar hukum Pidana Universitas Hasanuddin, Ahmad Ali (2002:48) mengatakan bahwa secara universal, jika kita ingin keluar dari situasi keterpurukan hukum, maka jawabannya adalah membebaskan diri dari belenggu positivism. Mengapa demikian, karena dengan hanya mengandalkan teori dan pemahaman hukum secara legalistik-positivistik yang hanya berbasis pada peraturan tertulis (rule bound) belaka, maka kita tidak akan pernah mampu untuk menangkap kebenaran dan keadilan.
Dalam pemikiran Pakar sosiologi hukum Undip, Satjipto Raharjo (2008:147), dalam suasana terimpit oleh karut-marut kehidupan berhukum kita (praktik-praktik korup) yang menggerogoti bangsa, mengapa kita tidak berani mencari jalan lain?. Di sinilah kita memilih pengadilan progresif dengan hakim-hakim partisan. Hakim seperti itu tidak datang dengan semangat kosong, tetapi penuh determinasi, komitmen, dan dare (keberanian) untuk mengalahkan korupsi. Jika hakim-hakim liberal “tidak berhasil” memberantas korupsi, kini saatnya memilih “hakim partisan dan progresif”. Inilah pilihan Indonesia bangun dari keterpurukan hukum.
Di tengah keterpurukan praktik berhukum di negara Indonesia yang mewujud dalam berbagai realitas ketidakadilan hukum, terutama yang menimpa kelompok masyarakat lemah atau miskin, sudah saatnya kita tidak sekedar memahami dan menerapkan hukum secara legalistic-positivistic ; yang berbasis pada peraturan hukum tertulis semata (rule bound), tapi dengan melakukan terobososan hukum, yang dalam istilah Satjipto Raharjo, disebut sebagai penerapan hukum progresif. Dan salah satu aksi progresivitas hukum, adalah berusaha keluar dari belenggu atau penjara hukum yang bersifat positivistik dan legalistik. Dengan pendekatan yuridis sosiologis, diharapkan –selain akan memulihkan hukum dari keterpurukannya, juga yang lebih riil, pendekatan yuridis sosiologis diyakini mampu menghadirkan wajah keadilan hukum dan masyarakat yang lebih substantif. Pemberian remisi dan grasi dalam konteks hukum progresif sungguh sangat menciderai rasa keadilan masyarakat dan agenda pembertantasan korupsi.
MENYOAL PROFESIONALISME POLISI
Sumber : Opini Jawa Pos Kamis 14 September 2011
Apa jadinya jika penegakkan hukum berhadapan dengan orang-orang yang memiliki akses politik kekuasaan di negeri ini?, maka mudah di jawab, penegakkan hukum akan lumpuh ketika berhadapan dengan elit-elit kekuasaan. Para penagak hukum, terutama polisi sangat begitu gamang dalam menegakkan hukum tanpa diskriminasi terhadap para elit-elit politik negeri ini yang tersangkut kasus hukum.
Ini juga yang terjadi pada polisi ketika menangani kasus hukum yang menimpa elit-elit partai penguasa, yakni Andi Nurpati dalam kasus pidana pemalasuan surat Mahkamah Konsitusi. Setelah melalui penyidikan dan konfrontasi dengan berbagai saksi-saksi, termasuk Andi Nurpati, pihak kepolisian sampai saat ini baru menetapkan dua tersangka, yakni mantan juru panggil MK, Masyhuri Hasan dan Mantan Panitera MK, Zainal Arifiin Husein. Penetapan ini pun tak stiril dari tanda tanya publik. Mengapa polisi lebih keras menetapkan tersangka pada para operator alias kelas teri seperti Masyhuri Hasan, sementara atas penetapan Zainal juga menimbulkan tanda tanya publik, mengapa Zainal yang menjadi korban pemalsuan tanda tangan dijadikan tersangka, dan mengapa aktor intelektualisnya yang selama ini sudah disebut-sebut, baik dalam pemeriksaan dikepolisianmaupun di Panja Mafia Pemilu DPR, yakni Andi Nurpati masih belum juga ditetapkan sebagai tersangka. Padahal, data dan bukti-bukti materiil sudah lebih dari cukup untuk menetapkan Andi Nurpati dijadikan sebagai tersangka.
Dengan dan dan bukti-bukti meteriil yang cukup lengkap, seharusnya pihak kepolisian sudah dapat menetapkan seseorang menjadi tersangka, termasuk kepada diri Andi Nurpati. Tapi mengapa ini tidak terjadi?. Kasus hukum pemalsuan surat MK menunjukkan secara telanjang, bagaimana penegakkan hukum mengalami kelumpuhan alias tak berdaya ketika berhadapan dengan orang-orang kuat atau yang memiliki akses dan kekuatan politik-kekuasaan.
Dugaan publik sangat masuk akal, jika lumpuhnya penegakkan hukum atas Andi Nurpati yang juga petinggi Demokrat ini dikaitkan dengan adanya faktor politik-kekuasaan. Independensi dan profesionalitas polisi menjadi lumpuh-layu ketika berhadapan dengan tembok kekuasaan. Ada dugaan tekanan politik, yang menjadikan polisi tidak bisa bersikap independen dan professional.
Kasus Wisnu; Bintek DPRD Surabaya
Penanganan kasus hukum Andi Nurpati sangat mirip dengan yang terjadi pada kasus hukum dugaan korupsi Bimbingan Teknis (Bintek) DPRD Kota Surabaya, yang juga diduga melibatkan Ketua DPRD Wisnu Wardhana (WW) yang juga petinggi demokrat Surabaya. Kasus dugaan penyimpangan dana Bintek tersebut mencapai Rp 3,7 milyar.
Beberapa dugaan penyimpangan dana Bintek DPRD diantaranya adalah; Pertama, proses penunjukkan langsung kepada penyelenggaran Bintek yang lebih banyak dilakukan oleh seorang diri WW. Bahkan sarat KKN. Kedua, penyelenggarn Bintek yang hanya formalitas belaka, hanya sekedar menghabiskan anggaran APBD. Ketiga, masalah waktu dan jadwal pelaksanaan Bintek yang sarat manipulasi, baik terkait dengan waktu, jadwal, materi, anggaran, peserta, dsb. Keempat, banyak peserta Binteks (baca: aleg) yang menerima dana Binteks dan tanda tangan kehadiran, namun orangnya tidak ada di lokasi alias “peserta fiktif”. Tanda tangan dan menerima uang, tapi orangnya tidak kelihatan sama sekali di acara Bintek. Dan berbagai bentuk penyimpangan lainnya yang sangat merugikan keuangan daerah.
Ada Apa dengan Polisi
Saat ini kasus dugaan korupsi Bintek sudah ditangani pihak Polrestabes Surabaya. Salah satu anggota dewan yang sudah diperiksa polisi, Musyafa Rouf, mengatakan bahwa dirinya sudah memberi keterangan sejelas-jelasnya dan memberikam bukti-bukti materiil/hukum yang cukup lengkap kepada pihak penyidik. Bahkan menurutnya, pihak penyidik sudah memiliki bukti materiil yang jauh lebih lengkap dari dirinya.
Dengan data dan bukti-bukti materiil yang cukup lengkap yang dimiliki polisi, tinggal pihak kepolisian serius atau tidak menuntaskan kasus ini menjadi terang benderang. Salah satunya dengan segera menetapkan tersangkanya. Namun, yang membuat publik bertanya; sudah puluhan saksi diperiksa, tapi belum ada satupun oknum anggota dewan atau dari pihak Sekwan, eksekutif, maupun penyelenggaran Bintek yang dijadikan tersangka. Ada apa dengan polisi?
Secara yuridis-normatif, seseorang bisa dijadikan sebagai tersangka tindak pidana jika pihak penyidik sudah memiliki sedikitnya dua alat bukti. dan terkait dengan kasus Bintek ini, polisi sebenarnya sudah memiliki lebih dari dua alat bukti, selain saksi juga bukti materiil yang cukup banyak dimiliki pihak penyidiki. Namun yang membuat publik heran, mengapa pihak penyidik sampai saat ini belum menetapkan seorang tersangka. Apakah kebetulan Ketua DPRD-nya –yang berpotensi menjadi tersangka- berasal dari the ruling partai saat ini atau memiliki beking politik dan hukum dari pihak-pihak tertentu yang memiliki kekuatan politik dan akses ke pusat kekuasaan, sehingga pihak penyidik tidak berani atau takut untuk mengusut dan menetapkannya sebagai tersangka?
Perlakuan hukum polisi ini sangat berbeda, ketika polisi menangani kasus pidana yang melibatkan orang-orang kecil, marginal atau miskin. Lihat saja kasus pencurian sarung bekas seharga Rp 3000 yang dilakukan seorang pembantu rumah tanggah, bu Amirah (40), di Dusun Sokon Desa Temberu, Kecamatan Barumarmar, Kabupaten Pamekasan, Pulau Madura. Pihak kepolisian begitu cepat dank keras mengusut dan menindak kasus pencurian ringan tersebut. Bahkan pelakunya sampai langsung dijebloskan ke penjara. Padahal Bu Amirah, terpaksa mencuri sarung karena terdesak kebutuhan untuk membiayai anaknya yang masih sekolah SD. Di mana rasa keadilan hukum bagi masyarakat; hukum seperti pisau; tumpul ke atas,tajam ke bawah.
Kasus hukum Andi Nurpati dan WW, akan menjadi ujian hukum dan pertaruhan serius bagi pihak kepolisian, apakah akan bertindak adil, independen, dan profesional atau terjebak atau bahkan menjebakan diri dalam kubangan politik-hukum kepentingan. Kita berharap pihak kepolisian bisa bersikap dan bertindak independen dan professional dalam menanani kedua kasus tersebut. Kita tunggu saja, apakah kasus ini akan berakhir di meja hijau atau “86” alias damai di tengah proses hukum?
Apa jadinya jika penegakkan hukum berhadapan dengan orang-orang yang memiliki akses politik kekuasaan di negeri ini?, maka mudah di jawab, penegakkan hukum akan lumpuh ketika berhadapan dengan elit-elit kekuasaan. Para penagak hukum, terutama polisi sangat begitu gamang dalam menegakkan hukum tanpa diskriminasi terhadap para elit-elit politik negeri ini yang tersangkut kasus hukum.
Ini juga yang terjadi pada polisi ketika menangani kasus hukum yang menimpa elit-elit partai penguasa, yakni Andi Nurpati dalam kasus pidana pemalasuan surat Mahkamah Konsitusi. Setelah melalui penyidikan dan konfrontasi dengan berbagai saksi-saksi, termasuk Andi Nurpati, pihak kepolisian sampai saat ini baru menetapkan dua tersangka, yakni mantan juru panggil MK, Masyhuri Hasan dan Mantan Panitera MK, Zainal Arifiin Husein. Penetapan ini pun tak stiril dari tanda tanya publik. Mengapa polisi lebih keras menetapkan tersangka pada para operator alias kelas teri seperti Masyhuri Hasan, sementara atas penetapan Zainal juga menimbulkan tanda tanya publik, mengapa Zainal yang menjadi korban pemalsuan tanda tangan dijadikan tersangka, dan mengapa aktor intelektualisnya yang selama ini sudah disebut-sebut, baik dalam pemeriksaan dikepolisianmaupun di Panja Mafia Pemilu DPR, yakni Andi Nurpati masih belum juga ditetapkan sebagai tersangka. Padahal, data dan bukti-bukti materiil sudah lebih dari cukup untuk menetapkan Andi Nurpati dijadikan sebagai tersangka.
Dengan dan dan bukti-bukti meteriil yang cukup lengkap, seharusnya pihak kepolisian sudah dapat menetapkan seseorang menjadi tersangka, termasuk kepada diri Andi Nurpati. Tapi mengapa ini tidak terjadi?. Kasus hukum pemalsuan surat MK menunjukkan secara telanjang, bagaimana penegakkan hukum mengalami kelumpuhan alias tak berdaya ketika berhadapan dengan orang-orang kuat atau yang memiliki akses dan kekuatan politik-kekuasaan.
Dugaan publik sangat masuk akal, jika lumpuhnya penegakkan hukum atas Andi Nurpati yang juga petinggi Demokrat ini dikaitkan dengan adanya faktor politik-kekuasaan. Independensi dan profesionalitas polisi menjadi lumpuh-layu ketika berhadapan dengan tembok kekuasaan. Ada dugaan tekanan politik, yang menjadikan polisi tidak bisa bersikap independen dan professional.
Kasus Wisnu; Bintek DPRD Surabaya
Penanganan kasus hukum Andi Nurpati sangat mirip dengan yang terjadi pada kasus hukum dugaan korupsi Bimbingan Teknis (Bintek) DPRD Kota Surabaya, yang juga diduga melibatkan Ketua DPRD Wisnu Wardhana (WW) yang juga petinggi demokrat Surabaya. Kasus dugaan penyimpangan dana Bintek tersebut mencapai Rp 3,7 milyar.
Beberapa dugaan penyimpangan dana Bintek DPRD diantaranya adalah; Pertama, proses penunjukkan langsung kepada penyelenggaran Bintek yang lebih banyak dilakukan oleh seorang diri WW. Bahkan sarat KKN. Kedua, penyelenggarn Bintek yang hanya formalitas belaka, hanya sekedar menghabiskan anggaran APBD. Ketiga, masalah waktu dan jadwal pelaksanaan Bintek yang sarat manipulasi, baik terkait dengan waktu, jadwal, materi, anggaran, peserta, dsb. Keempat, banyak peserta Binteks (baca: aleg) yang menerima dana Binteks dan tanda tangan kehadiran, namun orangnya tidak ada di lokasi alias “peserta fiktif”. Tanda tangan dan menerima uang, tapi orangnya tidak kelihatan sama sekali di acara Bintek. Dan berbagai bentuk penyimpangan lainnya yang sangat merugikan keuangan daerah.
Ada Apa dengan Polisi
Saat ini kasus dugaan korupsi Bintek sudah ditangani pihak Polrestabes Surabaya. Salah satu anggota dewan yang sudah diperiksa polisi, Musyafa Rouf, mengatakan bahwa dirinya sudah memberi keterangan sejelas-jelasnya dan memberikam bukti-bukti materiil/hukum yang cukup lengkap kepada pihak penyidik. Bahkan menurutnya, pihak penyidik sudah memiliki bukti materiil yang jauh lebih lengkap dari dirinya.
Dengan data dan bukti-bukti materiil yang cukup lengkap yang dimiliki polisi, tinggal pihak kepolisian serius atau tidak menuntaskan kasus ini menjadi terang benderang. Salah satunya dengan segera menetapkan tersangkanya. Namun, yang membuat publik bertanya; sudah puluhan saksi diperiksa, tapi belum ada satupun oknum anggota dewan atau dari pihak Sekwan, eksekutif, maupun penyelenggaran Bintek yang dijadikan tersangka. Ada apa dengan polisi?
Secara yuridis-normatif, seseorang bisa dijadikan sebagai tersangka tindak pidana jika pihak penyidik sudah memiliki sedikitnya dua alat bukti. dan terkait dengan kasus Bintek ini, polisi sebenarnya sudah memiliki lebih dari dua alat bukti, selain saksi juga bukti materiil yang cukup banyak dimiliki pihak penyidiki. Namun yang membuat publik heran, mengapa pihak penyidik sampai saat ini belum menetapkan seorang tersangka. Apakah kebetulan Ketua DPRD-nya –yang berpotensi menjadi tersangka- berasal dari the ruling partai saat ini atau memiliki beking politik dan hukum dari pihak-pihak tertentu yang memiliki kekuatan politik dan akses ke pusat kekuasaan, sehingga pihak penyidik tidak berani atau takut untuk mengusut dan menetapkannya sebagai tersangka?
Perlakuan hukum polisi ini sangat berbeda, ketika polisi menangani kasus pidana yang melibatkan orang-orang kecil, marginal atau miskin. Lihat saja kasus pencurian sarung bekas seharga Rp 3000 yang dilakukan seorang pembantu rumah tanggah, bu Amirah (40), di Dusun Sokon Desa Temberu, Kecamatan Barumarmar, Kabupaten Pamekasan, Pulau Madura. Pihak kepolisian begitu cepat dank keras mengusut dan menindak kasus pencurian ringan tersebut. Bahkan pelakunya sampai langsung dijebloskan ke penjara. Padahal Bu Amirah, terpaksa mencuri sarung karena terdesak kebutuhan untuk membiayai anaknya yang masih sekolah SD. Di mana rasa keadilan hukum bagi masyarakat; hukum seperti pisau; tumpul ke atas,tajam ke bawah.
Kasus hukum Andi Nurpati dan WW, akan menjadi ujian hukum dan pertaruhan serius bagi pihak kepolisian, apakah akan bertindak adil, independen, dan profesional atau terjebak atau bahkan menjebakan diri dalam kubangan politik-hukum kepentingan. Kita berharap pihak kepolisian bisa bersikap dan bertindak independen dan professional dalam menanani kedua kasus tersebut. Kita tunggu saja, apakah kasus ini akan berakhir di meja hijau atau “86” alias damai di tengah proses hukum?
Rabu, 01 Desember 2010
Perda Bermasalah dan Kinerja Legislasi Daerah
Sumber : Opini KOMPAS Jatim, Selasa 1 Desember 2010
Berdasarkan kajian dan evaluasi yang dilakukan Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), sampai Juli 2010 dari 9.714 Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), terdapat 3.091 perda atau 32 persen yang direkomendasikan untuk dibatalkan atau direvisi. Perda-perda tersebut lebih banyak berorientasi pada penggemukkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Perda Ini sangat memberatkan pelaku usaha sehingga menjadi kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah. Perda-perda tersebut menimbulkan ekonomi biaya tinggi (hight cost economic). Perda tersebut tidak saja memberatkan kalangan pelaku usaha, tapi juga sangat memberatkan masyarakat.
Sedangkan terhadap Raperda, menurut kementrian Keuangan terdapat 2.566 Raperda PDRD. Dari jumlah itu, sebanyak 1.727 Raperda atau 67 persen yang direkomendasikan untuk ditolak atau direvisi. Perda tersebut kebanyakan diperuntukkan bagi sektor perhubungan, industri dan perdagangan, pekerjaan umum, budaya dan pariwisata, serta kesehatan. Perda-perda itu banyak dikeluarkan oleh Provinsi Jawa Timur, Sulawesi Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Kalimantan Timur.
Selain menghambat iklim usaha, juga bermasalah secara yuridis. Artinya Perda-perda yang dibuat pemeritah daerah bersama DPRD bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada serta menimbulkan tumpang tindih dan kerancuan. Dalam kaidah normatif, Perda yang dibuat oleh Pemda tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, jika bertentangan, maka peraturan tersebut (baca: Perda) dinilai cacat dan batal demi hukum alias tidak bisa diterbitkan apalagi diberlakukan.
Dijelaskan perda yang menjadi sasaran teguran tersebut meliputi berbagai bidang mulai dari pengaturan organisasi pemerintahan daerah, kehutanan, sampai masalah keuangan. Otonomi daerah (Otoda) yang diharapkan dapat mendekatkan aspirasi dengan kebijakan, dan lebih dari itu tingkat kesejahteraan masyarakat semakin meningkat, namun justru sebaliknya, yang semakin sejahtera para elit-elit daerah.
Perda merupakan manifestasi kebijakan Pemda dalam menjalankan proses pembangunan di daerahnya. program pembangunannya. Salah satu parameter yang dapat dipakai untuk mengukur keberhasilan otonomi daerah dan tingkat kesejahteraan masyarakat yakni dengan melihat Perda yang telah dihasilkankan oleh Pemda. Perda merupakan instrumen sekaligus pedoman yuridis bagi Pemda dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan daerah yang goal-nya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Masyarakat Jadi “Sapi Perah”
Masyarakat selama ini hanya dijadikan “sapi perahan” Pemda melalui penarikan-penarikan baik itu dalam bentuk pajak, retribusi, maupun pungutan. Semua penarikan itu diformalkan dan dilegalkan dalam bentuk Perda. Dengan begitu Pemda dianggap memiliki payung hukum yang kuat untuk “menguras” uang rakyat. Dari sejumlah Perda tersebut bahkan cenderung “asal-asalan”, asal tarik dan asal comot, yang penting bagaimana dengan tarik dan comot itu bisa menaikkan PAD. Dan yang lebih ironis lagi, kenaikkan PAD yang terjadi setiap tahun dianggap sebagai sebuah prestasi oleh sebagian elit Pemda. Pejabat yang berewenang dinilai kreatif dalam menggali potensi daerah yang ada. Dan benar, para pejabat kita di era Otoda ini memang “kreatif dan inovatif” memeras rakyatnya melalui penarikan berbagai pajak dan retribusi dengan dalih dan alasan eufemistik yang dibuat-buat; “demi PAD” dan kesejahteraan masyarakat”.
Rendahnya Kinerja Legislasi Daerah
Masih banyak Perda-perda bermasalah yang diproduksi pemerintah daerah, termasuk di Jawa Timur, menunjukkan bahwa kinerja legislasi daerah sangat lemah. Para elit daerah lebih suka dan gemar membuat perda-perda yang berorientasi pada penggemukkan penerimaan PAD. Dalam pandangan mereka, membuat Perda yang bersifat retributif lebih gampang dibanding dengan perda-perda lainnya, terutama yang terkait dengan kepentingan masyarakat riil. Selain itu, yang paling riil bagi elit daerah adalah ada kentungan materiil yang bisa didapat dari pembahasan Raperda retributif tersebut. Di kalangan elit daerah (baca: eksekutif-DPRD), Perda retributif ini masuk dalam kategori “perda basah”. Dalam proses-proses pembahasan, Perda-perda ini bisa mendatangkan keuntungan ekonomis bagi mereka. Karena itu, cukup beralasan, jika mereka sangat semangat dalam proses pembahasannya.
Selain itu, salah satu kelemahan mendasar mengapa selalu muncul perda-perda bermasalah di daerah adalah lemahnya SDM, baik di eksekutif maupun di DPRD. Kapasitas dan kompetensi mereka terkait dengan fungsi legislasi sangat rendah. Sehingga yang muncul adalah produk legislasi “asal jadi” dan “asal dapat komisi”. Mereka tidak mempertimbangkan apakah perda yang dibuat tersebut akan bermasalah atau tidak, baik secara ekonomik, yuridis, maupun sosiologis?. Kegiatan supporting, seperti studi banding yang selama ini diklaim anggota dewan dalam rangka pembahasan Raperda, pun tak mampu memperbaiki kinerja legislasi daerah. bahkan cenderung dimanfaatkan anggota dewan untuk nglencer.
Kerena itu, untuk menyelesaikan persoalan ini, yang paling utama dibenahi adalah SDM, terutama di pihak DPRD yang nilai sangat rendah. Sebagian besar kader partai yang masuk gedung dewan memiliki kapasitas legislasi pas-pasn bahkan nihil. Kedua, perlu ada pembenahan kelembagaan legislasi di internal DPRD maupun eksekutif. Di DPRD yang harus di benahi adalah kelembagaan badan legislasi. Baleg tak sekedar membuat, tapi juga mengevaluasi semua produk legislasi daerah yang dihasilkan.
Otonomi daerah yang diharapkan dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat, justru sebaliknya hanya mensejahterakan kebutuhan elit-elit daerah. Masyarakat hanya mendapatkan pepesan kosong dari berbagai kebijakan pembangunan yang selama ini di jalankan oleh Pemda. Karena itu, sudah saatnya DPRD bersama Pemprop Jatim mengkaji ulang –kalau perlu di cabut- semua Perda yang telah dibuat, terutama Perda yang bermasalah, baik secara ekonomik, yuridis, maupun sosiologis.
Berdasarkan kajian dan evaluasi yang dilakukan Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), sampai Juli 2010 dari 9.714 Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), terdapat 3.091 perda atau 32 persen yang direkomendasikan untuk dibatalkan atau direvisi. Perda-perda tersebut lebih banyak berorientasi pada penggemukkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Perda Ini sangat memberatkan pelaku usaha sehingga menjadi kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah. Perda-perda tersebut menimbulkan ekonomi biaya tinggi (hight cost economic). Perda tersebut tidak saja memberatkan kalangan pelaku usaha, tapi juga sangat memberatkan masyarakat.
Sedangkan terhadap Raperda, menurut kementrian Keuangan terdapat 2.566 Raperda PDRD. Dari jumlah itu, sebanyak 1.727 Raperda atau 67 persen yang direkomendasikan untuk ditolak atau direvisi. Perda tersebut kebanyakan diperuntukkan bagi sektor perhubungan, industri dan perdagangan, pekerjaan umum, budaya dan pariwisata, serta kesehatan. Perda-perda itu banyak dikeluarkan oleh Provinsi Jawa Timur, Sulawesi Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Kalimantan Timur.
Selain menghambat iklim usaha, juga bermasalah secara yuridis. Artinya Perda-perda yang dibuat pemeritah daerah bersama DPRD bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada serta menimbulkan tumpang tindih dan kerancuan. Dalam kaidah normatif, Perda yang dibuat oleh Pemda tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, jika bertentangan, maka peraturan tersebut (baca: Perda) dinilai cacat dan batal demi hukum alias tidak bisa diterbitkan apalagi diberlakukan.
Dijelaskan perda yang menjadi sasaran teguran tersebut meliputi berbagai bidang mulai dari pengaturan organisasi pemerintahan daerah, kehutanan, sampai masalah keuangan. Otonomi daerah (Otoda) yang diharapkan dapat mendekatkan aspirasi dengan kebijakan, dan lebih dari itu tingkat kesejahteraan masyarakat semakin meningkat, namun justru sebaliknya, yang semakin sejahtera para elit-elit daerah.
Perda merupakan manifestasi kebijakan Pemda dalam menjalankan proses pembangunan di daerahnya. program pembangunannya. Salah satu parameter yang dapat dipakai untuk mengukur keberhasilan otonomi daerah dan tingkat kesejahteraan masyarakat yakni dengan melihat Perda yang telah dihasilkankan oleh Pemda. Perda merupakan instrumen sekaligus pedoman yuridis bagi Pemda dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan daerah yang goal-nya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Masyarakat Jadi “Sapi Perah”
Masyarakat selama ini hanya dijadikan “sapi perahan” Pemda melalui penarikan-penarikan baik itu dalam bentuk pajak, retribusi, maupun pungutan. Semua penarikan itu diformalkan dan dilegalkan dalam bentuk Perda. Dengan begitu Pemda dianggap memiliki payung hukum yang kuat untuk “menguras” uang rakyat. Dari sejumlah Perda tersebut bahkan cenderung “asal-asalan”, asal tarik dan asal comot, yang penting bagaimana dengan tarik dan comot itu bisa menaikkan PAD. Dan yang lebih ironis lagi, kenaikkan PAD yang terjadi setiap tahun dianggap sebagai sebuah prestasi oleh sebagian elit Pemda. Pejabat yang berewenang dinilai kreatif dalam menggali potensi daerah yang ada. Dan benar, para pejabat kita di era Otoda ini memang “kreatif dan inovatif” memeras rakyatnya melalui penarikan berbagai pajak dan retribusi dengan dalih dan alasan eufemistik yang dibuat-buat; “demi PAD” dan kesejahteraan masyarakat”.
Rendahnya Kinerja Legislasi Daerah
Masih banyak Perda-perda bermasalah yang diproduksi pemerintah daerah, termasuk di Jawa Timur, menunjukkan bahwa kinerja legislasi daerah sangat lemah. Para elit daerah lebih suka dan gemar membuat perda-perda yang berorientasi pada penggemukkan penerimaan PAD. Dalam pandangan mereka, membuat Perda yang bersifat retributif lebih gampang dibanding dengan perda-perda lainnya, terutama yang terkait dengan kepentingan masyarakat riil. Selain itu, yang paling riil bagi elit daerah adalah ada kentungan materiil yang bisa didapat dari pembahasan Raperda retributif tersebut. Di kalangan elit daerah (baca: eksekutif-DPRD), Perda retributif ini masuk dalam kategori “perda basah”. Dalam proses-proses pembahasan, Perda-perda ini bisa mendatangkan keuntungan ekonomis bagi mereka. Karena itu, cukup beralasan, jika mereka sangat semangat dalam proses pembahasannya.
Selain itu, salah satu kelemahan mendasar mengapa selalu muncul perda-perda bermasalah di daerah adalah lemahnya SDM, baik di eksekutif maupun di DPRD. Kapasitas dan kompetensi mereka terkait dengan fungsi legislasi sangat rendah. Sehingga yang muncul adalah produk legislasi “asal jadi” dan “asal dapat komisi”. Mereka tidak mempertimbangkan apakah perda yang dibuat tersebut akan bermasalah atau tidak, baik secara ekonomik, yuridis, maupun sosiologis?. Kegiatan supporting, seperti studi banding yang selama ini diklaim anggota dewan dalam rangka pembahasan Raperda, pun tak mampu memperbaiki kinerja legislasi daerah. bahkan cenderung dimanfaatkan anggota dewan untuk nglencer.
Kerena itu, untuk menyelesaikan persoalan ini, yang paling utama dibenahi adalah SDM, terutama di pihak DPRD yang nilai sangat rendah. Sebagian besar kader partai yang masuk gedung dewan memiliki kapasitas legislasi pas-pasn bahkan nihil. Kedua, perlu ada pembenahan kelembagaan legislasi di internal DPRD maupun eksekutif. Di DPRD yang harus di benahi adalah kelembagaan badan legislasi. Baleg tak sekedar membuat, tapi juga mengevaluasi semua produk legislasi daerah yang dihasilkan.
Otonomi daerah yang diharapkan dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat, justru sebaliknya hanya mensejahterakan kebutuhan elit-elit daerah. Masyarakat hanya mendapatkan pepesan kosong dari berbagai kebijakan pembangunan yang selama ini di jalankan oleh Pemda. Karena itu, sudah saatnya DPRD bersama Pemprop Jatim mengkaji ulang –kalau perlu di cabut- semua Perda yang telah dibuat, terutama Perda yang bermasalah, baik secara ekonomik, yuridis, maupun sosiologis.
Kamis, 25 Februari 2010
Reklame Bakal Cawali dan Estetika Kota
Sumber : Opini KOMPAS Jatim, 14 Januari 2010
Akhir–akhir ini kita menyaksikan betapa jalur hijau dan taman kota terus bertambah dan berbenah. Ada kebanggaan dan kebahagiaan di hati penulis melihat bekas SPBU telah menjadi taman yang cantik dan estetis, serta diikuti dengan pembangunan air mancur yang cukup membuat mata sejuk di tengah teriknya Kota Surabaya. Wajah kota ini bagaikan iklan; “bikin hidup lebih hidup”
Akan tetapi di tengah usaha keras menata kota ini agar lebih cantik dan indah, ada pihak-pihak tertentu yang berusaha menggantinya dengan reklame politik. Wajah kota ini menjadi rusak dengan hadirnya reklame politik yang dipasang oleh para kandidat calon walikota 2010-2015 secara sembarangan dan semrawut.
Maraknya reklame politik tersebut seiring dengan semakin dekatnya Pemilihan Walikota (Pilwali) Kota Surabaya yang akan di gelar 2010. Para kandidat tak henti-hentinya memperkenalkan diri dan berkampanye melalui berbagai macam media. Salah satu media sosialisasi dan kampanye yang paling marak di kota ini adalah media luar ruangan. Ribuan poster, brosur, spanduk, plamfet, dan sejenisnya menghiasi wajah Kota Surabaya. Namun yang paling disayangkan adalah, ribuan media kampanye tersebut ditempel dan dipasang sembarangan, semrawut, dan yang jelas tak beretika. Bahkan antar kandidat dan tim sukses saling rebutan lahan strategis (Kompas Jatim, 24/12/2009).
Tak hanya ribuan poster atau sejenisnya, wajah Surabaya juga dilumuri ratusan dan mungkin ribuan reklame foto dan gambar para kandidat yang terpampang sembarangan, semrawut dan tak beretika. Reklame kandidat –baik dalam ukuran kecil sedang dan bahkan jumbo- bertebaran di jalan-jalan protokol, kampung-kampung dan sebagainya.
Ratusan reklame tersebut tentu saja merusak tata dan estetika kota. Wajah kota semakin semrawut dan ambural. Apalagi reklame-reklame para kandidat tersebut tidak dipungut retribusi atau pajak. Kesemrawutan reklame dan alat peraga para kandidat ini tidak saja melanggar Peraturan Daerah (Perda) No. 8 tahun 2006 tentang penyelenggaran reklame, tapi juga melanggar UU. Pemerintahan Daerah No. 32 tahun 2008 pasal 77 Ayat 6 mengatakan : “Pemasangan alat peraga kampanye sebagaimana yang dimaksud pada pasal ayat (5) oleh pasangan calon dilaksanakan dengan mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Meskinpun aturan main dan regulasinya sudah jelas, namun para kandidat sepertinya tidak mau tahu, yang penting terpasang dan bisa dijangkau masyarakat luas dengan harapan bisa dikenal dan dipilih nantinya. Seorang warga kota ketika bersuara di stasiun radio swasta di Surabaya ini dengan sinisnya mengatakan; “belum menjadi walikota atau pejabat pubik saja sudah melanggar aturan, apalagi nanti jika sudah menjadi walikota atau pejabat publik”. Dan yang paling ironis lagi, selain pelanggarnya adalah salah satu kandidat “incumbent”, juga pelanggaran tersebut sepertinya dibiarkan begitu saja oleh Satpol PP. Tidak ada teguran apalagi tindakan tegas.
Sosialisasi atau kampanye para kandidat yang diharapkan dapat memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarkaat, tapi pada kenyataannya justru membodohi masyarakat dan merusak tata kota ini. Sebagian besar sosialisasi dan kampanye para kandidat dan tim sukses, terutama yang melalui media luar ruangan (reklame, poster, brosur, spanduk, plamfet dll) lebih banyak tebar pesona dan banyak umbar janji-janji. Tak ada visi dan misi, program dan rencana aksi yang dapat diketahui oleh masyarakat pemilih. Pendek kata, sosialisasi dan kampanye para kandidat dan tim suksesnya yang beredar sekarang ini miskin pendidikan politik yang mencerahkan bagi masyarakat.
Perlu Penertiban
Alat peraga sosialisasi dalam bentuk apapun saat ini sudah sangat meresahkan warga kota dan melanggar Perda dan UU yang ada. Sosialisasi atau kampanye melalui berbagai alat peraga dari para kandidat atau tim sukses bukannya mendapat simpatik dari masyarakat, namun justru antipati dan sinisme. Penulis yakin sebagian besar warga kota tidak simpatik terhadap para kandidat dan tim suksesnya yang sembarangan memasang berbagai alat peraga sosialisasi dan kampanye yang merusak estetika kota ini.
Demi ambisi meraih kursi kekuasaan, mereka para kandidat sudah menggunakan politik Machavelli, yakni politik menghalalkan segala cara. Berbagai cara dan modus operandi dilakukan para kandidat dan tim suksesnya untuk meraih suara terbanyak dan kekuasaan, meskinpun dengan menghalalkan segala cara. Bahkan ada sebagian menggunakan cara-cara hukum rimba.
Wajah kota ini sudah berubah menjadi hutan reklame akibat ulah para kandidat dan tim suksenya yang tak beretika. Keindahan kota yang sudah tata oleh Dinas Pertamaman dan Tata Kota akhirnya mubadzir, dirusak oleh oknum-oknum politisi yang tak bertanggungjawab.
Karena itu, wajah kota ini harus kita selamatkan dari kesemrawutan berbagai alat perada para kandidat. Perlu ada tindakan tegas, terutama dari Satpol PP. Alat-alat perada yang jelas-jelas melanggar Perda kota dan UU, harus dicabut atau diturunkan. Jika Satpol PP Pemkot tidak tegas dan bahkan terus membiarkan berbagai pelanggaran, maka bukan tidak mungkin Kota Surabaya yang indah dengan penataan tamannya akan berubah menjadi hutan reklame. Wajah kota semakin semrawut dan sulit untuk dikenali kembali jati dirinya. Bersosialisasi dan berkampanyelah dengan cara-cara yang sehat, taat aturan, dan beretika.
Akhir–akhir ini kita menyaksikan betapa jalur hijau dan taman kota terus bertambah dan berbenah. Ada kebanggaan dan kebahagiaan di hati penulis melihat bekas SPBU telah menjadi taman yang cantik dan estetis, serta diikuti dengan pembangunan air mancur yang cukup membuat mata sejuk di tengah teriknya Kota Surabaya. Wajah kota ini bagaikan iklan; “bikin hidup lebih hidup”
Akan tetapi di tengah usaha keras menata kota ini agar lebih cantik dan indah, ada pihak-pihak tertentu yang berusaha menggantinya dengan reklame politik. Wajah kota ini menjadi rusak dengan hadirnya reklame politik yang dipasang oleh para kandidat calon walikota 2010-2015 secara sembarangan dan semrawut.
Maraknya reklame politik tersebut seiring dengan semakin dekatnya Pemilihan Walikota (Pilwali) Kota Surabaya yang akan di gelar 2010. Para kandidat tak henti-hentinya memperkenalkan diri dan berkampanye melalui berbagai macam media. Salah satu media sosialisasi dan kampanye yang paling marak di kota ini adalah media luar ruangan. Ribuan poster, brosur, spanduk, plamfet, dan sejenisnya menghiasi wajah Kota Surabaya. Namun yang paling disayangkan adalah, ribuan media kampanye tersebut ditempel dan dipasang sembarangan, semrawut, dan yang jelas tak beretika. Bahkan antar kandidat dan tim sukses saling rebutan lahan strategis (Kompas Jatim, 24/12/2009).
Tak hanya ribuan poster atau sejenisnya, wajah Surabaya juga dilumuri ratusan dan mungkin ribuan reklame foto dan gambar para kandidat yang terpampang sembarangan, semrawut dan tak beretika. Reklame kandidat –baik dalam ukuran kecil sedang dan bahkan jumbo- bertebaran di jalan-jalan protokol, kampung-kampung dan sebagainya.
Ratusan reklame tersebut tentu saja merusak tata dan estetika kota. Wajah kota semakin semrawut dan ambural. Apalagi reklame-reklame para kandidat tersebut tidak dipungut retribusi atau pajak. Kesemrawutan reklame dan alat peraga para kandidat ini tidak saja melanggar Peraturan Daerah (Perda) No. 8 tahun 2006 tentang penyelenggaran reklame, tapi juga melanggar UU. Pemerintahan Daerah No. 32 tahun 2008 pasal 77 Ayat 6 mengatakan : “Pemasangan alat peraga kampanye sebagaimana yang dimaksud pada pasal ayat (5) oleh pasangan calon dilaksanakan dengan mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Meskinpun aturan main dan regulasinya sudah jelas, namun para kandidat sepertinya tidak mau tahu, yang penting terpasang dan bisa dijangkau masyarakat luas dengan harapan bisa dikenal dan dipilih nantinya. Seorang warga kota ketika bersuara di stasiun radio swasta di Surabaya ini dengan sinisnya mengatakan; “belum menjadi walikota atau pejabat pubik saja sudah melanggar aturan, apalagi nanti jika sudah menjadi walikota atau pejabat publik”. Dan yang paling ironis lagi, selain pelanggarnya adalah salah satu kandidat “incumbent”, juga pelanggaran tersebut sepertinya dibiarkan begitu saja oleh Satpol PP. Tidak ada teguran apalagi tindakan tegas.
Sosialisasi atau kampanye para kandidat yang diharapkan dapat memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarkaat, tapi pada kenyataannya justru membodohi masyarakat dan merusak tata kota ini. Sebagian besar sosialisasi dan kampanye para kandidat dan tim sukses, terutama yang melalui media luar ruangan (reklame, poster, brosur, spanduk, plamfet dll) lebih banyak tebar pesona dan banyak umbar janji-janji. Tak ada visi dan misi, program dan rencana aksi yang dapat diketahui oleh masyarakat pemilih. Pendek kata, sosialisasi dan kampanye para kandidat dan tim suksesnya yang beredar sekarang ini miskin pendidikan politik yang mencerahkan bagi masyarakat.
Perlu Penertiban
Alat peraga sosialisasi dalam bentuk apapun saat ini sudah sangat meresahkan warga kota dan melanggar Perda dan UU yang ada. Sosialisasi atau kampanye melalui berbagai alat peraga dari para kandidat atau tim sukses bukannya mendapat simpatik dari masyarakat, namun justru antipati dan sinisme. Penulis yakin sebagian besar warga kota tidak simpatik terhadap para kandidat dan tim suksesnya yang sembarangan memasang berbagai alat peraga sosialisasi dan kampanye yang merusak estetika kota ini.
Demi ambisi meraih kursi kekuasaan, mereka para kandidat sudah menggunakan politik Machavelli, yakni politik menghalalkan segala cara. Berbagai cara dan modus operandi dilakukan para kandidat dan tim suksesnya untuk meraih suara terbanyak dan kekuasaan, meskinpun dengan menghalalkan segala cara. Bahkan ada sebagian menggunakan cara-cara hukum rimba.
Wajah kota ini sudah berubah menjadi hutan reklame akibat ulah para kandidat dan tim suksenya yang tak beretika. Keindahan kota yang sudah tata oleh Dinas Pertamaman dan Tata Kota akhirnya mubadzir, dirusak oleh oknum-oknum politisi yang tak bertanggungjawab.
Karena itu, wajah kota ini harus kita selamatkan dari kesemrawutan berbagai alat perada para kandidat. Perlu ada tindakan tegas, terutama dari Satpol PP. Alat-alat perada yang jelas-jelas melanggar Perda kota dan UU, harus dicabut atau diturunkan. Jika Satpol PP Pemkot tidak tegas dan bahkan terus membiarkan berbagai pelanggaran, maka bukan tidak mungkin Kota Surabaya yang indah dengan penataan tamannya akan berubah menjadi hutan reklame. Wajah kota semakin semrawut dan sulit untuk dikenali kembali jati dirinya. Bersosialisasi dan berkampanyelah dengan cara-cara yang sehat, taat aturan, dan beretika.
Langganan:
Postingan (Atom)