Selasa, 13 September 2011

KAMPUNG IDIOT DAN TRAGEDI KEMISKINAN

Sumber : Opini Jawa Pos, Senin 2 Agustus 2011

Dalam beberapa kesempatan, termasuk ketika rapat paripurna dengan DPRD, Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, sering mengklaim bahwa angka kemiskinan Jawa Timur mengalami penurunan; tahun 2008 sebesar 7.202.000 jiwa atau 18,51%, sedangkan tahun tahun 2009 sebesar 6,002 jiwa atau 16,68%, atau turun sebanyak 628.690 jiwa atau 1,83% dan tahun 2010 turun menjadi 15,26%. Namun sekali lagi, perhitungan angka statistikal ini kerapkali tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Apakah pembangunan di Jatim sudah dinikmati masyarakat miskin sehingga angka kemiskinan turun?
Jika kita ingin melihat fakta empiriknya, marilah kita berkunjung ke salah satu kecamatan di Kabupaten Ponorogo yang warganya mengalami kemiskinan akut, yakni Kecamatan Karang Balong, Desa Karangpatihan, dan Kecamatan Jabon, Desa Krebet, maka kita akan menyaksikan secara kasat mata potret kemiskinan warganya yang begitu akut. Dua kecamatan tersebut dikenal sebagai ”Kampung Idiot”.
Sebuah TV swasta nasional, pernah memberitakan dan menvisualisasi bagaimana kondisi kampung idiot di Ponorogo tersebut. Sebagian besar keluarga memiliki anak mengalami keterbelakangan mental akut atau idiot secara turun-temurun, tidak saja lemah secara fisik, tapi juga mental. Mereka sejak lahir mengkonsumsi makanan gaplek atau tiwul yang jauh dari nilai gizi. Bahkan ada bebrapa keluarga yang memiliki anak idiot sudah berusia 40 tahun. Mereka juga tak mendapatkan pelayanan dasar, yakni pendidikan dan kesehatan yang layak.
Selain orang dewasa yang banyak mengalami keterbelakangan mental akut, pun demikian dengan kondisi anak-anaknya. Kehidupan anak-anak tidak saja kurang gizi, tapi juga lebih dari itu sudah mengarah pada busung lapar atau penyakit perut buncit (marasmus kwashiorkor). Kondisi mereka diperparah dengan tiadanya ketersediaan air bersih dan yang paling parah lagi tiadanya perhatian pemerintah daerah, baik propinsi maupun kabupaten. Ini terlihat dari usia kampung idiot yang sudah terjadi puluhan tahun. Kasus kampung idiot ini bisa disebut sebagai tragedi kemiskinan dan kemanusiaan yang memilukan. Propinsi Jatim yang dikenal sebagai salah satu daerah lumbung padi nasional dan memiliki APBD Rp 10 triliun lebih, tapi kehidupan masyarakatnya serba kekurangan yang berakibat pada lahirnya status “kampung idiot”.

Kemiskinan Paripurna
Kemiskinan mereka sungguh sangat begitu lengkap dan paripurna; miskin secara ekonomi, sosial, politik, dan miskin segalanya. Kondisi kehidupan mereka bagaikan peribahasa; hidup segan mati tak mau. Mengapa kondisi ini sampai terjadi dan berlangsung bertahun-tahun?. Dimana peran pemerintah daerah (propinsi dan kabupaten) selama ini?. Dimana janji-janji politik bupati dan gubernur ketika mereka kampanye saat Pemilukada?, Janji pendidikan dan kesehatan gratis, dan slogan “ABPD untuk Rakyat” hanya omong kosong, tak ada realisasinya. Masyarakat miskin selama ini hanya menjadi alat dan komoditas politik para elit saat Pemilukada saja. Masyarakat miskin bagaikan tebu; habis manis, sepah dibuang. Mereka hanya dipakai saat Pemilukada, pasca Pemilukada mereka ditinggalkan dan bahkan dicampakkan begitu saja.
Gambaran tersebut menunjukkan bahwa pemerintah propinsi dan daerah gagal dalam memberikan pelayanan dasar kepada masyarakat. Pemerintah daerah abai dengan kondisi kemiskinan warganya. Ini mengingatkan saya pada seorang sejarawan terkenal asal Jepang, Francis Fukuyama dalam bukunya berjudul “Memperkuat Negara” (2004); salah satu ancaman terbesar bagi ummat manusia pada awal abad 21 adalah adanya gejala-gejala politik dimana negara sebagai institusi terpenting dalam masyarakat gagal dalam menjalankan perannya, yakni memberikan perlindungan dan jaminan kehidupan yang lebih baik. Gagalnya peran negara ini ditunjukkan dengan munculnya berbagai persoalan yang menyangkut kehidupan masyarakat baik sosial, ekonomi, politik dan keamanan. Di mana berbagai persoalan masyarakat tersebut tak dapat diselesaikan atau setidaknya diminimalisir.

APBD untuk Rakyat?
Munculnya kampung idiot tersebut –salah satunya- dapat dilepaskan dari kebijakan politik anggaran kita yang belum berpihak pada masyarakat. Dalam studi analisis politik anggaran disebutkan bahwa pada prinsipnya anggaran adalah uang rakyat yang pengalokasiannya harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Prinsip ini yang seharusnya muncul dalam setiap proses pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD). Namun apa yang terjadi, APBD ini justru di dalamnya lebih banyak mengakomodir kepentingan dan kebutuhan elit daerah.
Sudah menjadi “tradisi tahunan”, paradigma politik penganggaran Pemprop Jatim masih menempatkan pengeluaran rutin sebagai “panglima”, sementara belanja pembangunan untuk kepentingan maasyarakat Jatim sebagai “prajurit”. Dengan kata lain, anggaran daerah nantinya sebagian besar dibelanjakan untuk melayani kebutuhan birokrasi Pemprop, sementara sisanya untuk kebutuhan masyarakat melalui belanja pembangunan. Ini juga yang terjadi pada Perubahan APBD 2010 Jatim. Pada P-APBD 2010 disebutkan bahwa belanja daerah tahun 2010 ini yang semula dianggarakan sebesar Rp 7,826 (target murni) berubah menjadi Rp 10, 506 trilyun atau mengalami kenaikan sebesar Rp 2,584 trilyun. Rinciannya; sebesar Rp 6,334 trilyun atau sekitar 60% dialokaskan untuk belanja tidak langsung yang identik dengan belanja rutin, dan Rp 4,171 trilyun atau sekitar 40% dialokaskan untuk belanja langsung atau identik belanja publik.
Pendek kata, APBD 2010 Jatim bagaikan fatamorgana, masih belum berpihak pada kepentingan masyarakat. Dengan demikian, dimana relevansinya antara motto pembangunan Jatim “APBD untuk Rakyat” dengan performance dan realisasi APBD 2010 ini?. APBD untuk rakyat hanya omong kosong, tak ada realisasi. Dan “kampung Idiot” bisa menjadi wujud paling telanjang dari praktik politik anggaran kita yang manupulatif dan konspiratif.
Akhirnya, pada dasarnya APBD adalah uang rakyat yang di dalamnya menyangkut hajat hidup orang banyak, karena itu bagaimana anggaran tersebut bisa semaksimal mungkin dimanfaatkan untuk kepentingan dan kebutuhan rakyat, bukan untuk kesenangan dan hura-hura elit daerah. Jangan sampai lahir “kampung-kampung idiot” baru di Jatim ini.

Tidak ada komentar: